Oleh Warsito, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari periode ke periode hanya terdengar gaduh belaka
hendak melakukan perubahan UUD 1945 sekaligus mengkaji secara komprehensif pelaksanaan
perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR sejak 1999-2002. Tetapi faktanya, wacana itu hanya sekedar pepesan kosong karena anggota DPR yang merangkap anggota MPR disibukkan urusan politik apalagi jika sudah diambang masa bhaktinya berakhir akan terkonsentrasi ke dapilnya masing-masing agar dapat terpilih kembali.
MPR Periode 2019-2024 sudah harus fokus untuk perbaikan bangsa dan negara dengan menorehkan tinta emas untuk mengevaluasi kembali hasil perubahan UUD 1945, mana yang tergolong sudah baik untuk dipertahankan dan mana yang buruk harus dihapus didalam konstitusi.
Hal-hal yang baik hasil amandemen konstitusi dan perlu dipertahankan antara lain: pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan; Penyelenggaraan Pilpres secara langsung oleh rakyat; Keberadaan lembaga negara MK, dll. Sedangkan hal-hal yang buruk yang tidak perlu ditulis di Konstitusi adalah wajib dihapuskannya lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena lembaga negara ini meaningless (tidak memiliki makna) karena konstitusi tidak memberikan kewenangan kepada DPD.
DPD hanya sebatas diberikan fungsi mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD diikutkan membahas yang berkaitan dengan kedaerahan tersebut tetapi tidak ikut menentukan untuk memutuskan.DPD diberikan fungsi pertimbangan kepada DPR terkait RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Tetapi kesemua pertimbangan dari DPD itu bermuara ke DPR artinya jika DPR tidak menindaklanjuti pertimbangan dari DPD tidak ada implikasi yuridisnya.
Begitu juga DPD diberikan fungsi pengawasan terkait hal kedaerahan tersebut dan pelaksanaan APBN, Pendidikan, dan agama untuk disampaikan kepada DPR. Yang menjadi masalah bagaimana jika pengawasan DPD tersebut tidak ditindaklanjuti oleh DPR?. Tentu hanya akan menjadi tumpukan-tumpukan kertas belaka. (lihat dengan saksama Pasal 24D UUD 1945 tentang fungsi DPD).
Oleh karenanya MPR patut mempertimbangkan kembali, apakah keberadaan
DPD sekarang dipertahankan diberikan kewenangan, atau dibubarkan saja. Dan jangan lupa jika amandemen konstitusi GBHN perlu dimasukkan lagi didalam UUD 1945 agar negara memiliki panduan untuk menjalankan tahapan-tahapan pembangunan secara berkisanambungan melalui TAP MPR. adanya GBHN dimaksudkan agar ganti presiden tidak berganti acara pembangunan sesuai kehendak presiden tetapi Presiden dalam rangka menjalankan GBHN berdasarkan TAP MPR secara berkesinambungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.