Undang-Undang Peradilan Agama mengalami perubahan kedua kali tentu ada alasannya, baik ditinjau dari aspek yuridis maupun sosiologis serta menyelaraskan dengan perubahan UU terkait. Hukum yang berlaku di Indonesia ini ada 3 (tiga) macam: 1. Hukum positif, (dijabarkan didalam UU. No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU. No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan melalui Pasal 7 Hierarki peraturan perundang-undangan sbb: UUD 1945; TAP MPR; UU/Perppu; PP; Perpres; Perda); 2. Hukum Islam, yang berlaku bagi umat islam yang bersumber dari al qur’an dan sunah nabi; 3. Hukum adat sepanjang keberadaannya masih ada dan tidak bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku di masyarakat seperti kepatutan, kebiasaan, norma agama dan undang-undang. Hukum adat yang berlaku di masyarakat sebagai kearifan lokal harus dihormati dan dijunjung tinggi secara konstitusional hukum adat telah diakui keberadaannya melalui pasal 18B UUD 1945.
Landasan Sosiologis-Yuridis Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dengan tegas melalui Pasal
24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu
badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan
hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan
kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum
kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu, termasuk
pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar’iyah dalam melaksanakan kewenangannya
di bidang jinayah berdasarkan qanun.
Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain
meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini kalimat yang terdapat dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih
hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang.
Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama diperlukan antara lain dilatarbelakangi
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23
Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan
pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
selain undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial itu sendiri
yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu
undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, perlu pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama,
pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi
Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan
hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut: 1. penguatan
pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan
eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; 2.
memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama
maupun hakim pada pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi
hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus
melalui proses atau lulus pendidikan hakim; 3. pengaturan mengenai pengadilan
khusus dan hakim ad hoc; 4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian hakim; 5. keamanan dan kesejahteraan hakim; 6. transparansi
putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; 7. transparansi biaya perkara
serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya perkara; 8. bantuan
hukum; dan 9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim. Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa,
yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih
peradilan agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
KOMPETENSI PERADILAN AGAMA
Berdasarkan Pasal 2 UU. No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :a. Pengadilan Agama; b. Pengadilan Tinggi Agama.(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
KEKUASAAN PENGADILAN
Berdasarkan
Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompetensi
Peradilan Agama: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat,
dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. wakaf dan shadaqah. (2)
Bidang perkawinan ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan ialah penentuan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut.
Berdasarkan Pasal 50 menyatakan dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 50 juga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Dalam perkembangannya Kompetensi Peradilan Agama melalui Perubahan kedua UU. No. 3 Tahun 2006 telah menambahkan kewenangan kompetensi peradilan agama didalam memutus perkara melalui Perubahan Pasal 49 sehingga menjadi berbunyi sbb: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.perkawinan;
b.waris;
c.wasiat;
d.hibah;
e.wakaf;
f.zakat;
g. infaq;
h.shadaqah;dan
i. ekonomi syari'ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.