Senin, 15 September 2008

Jebakan Maut Membentuk Komisi Konstitusi Jika Diusulkan Oleh Presiden


Warsito, SH M.Kn
- Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Master Kenotariatan UI


       Wacana pembentukan komisi pengkaji konstitusi kembali mengemuka tapi hati-hati boleh jadi itu jebakan Maut jika Membentuk Komisi Konstitusi Diusulkan Oleh Presiden, karena presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan segala peraturan perundang-undangan. Dukungan komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008).
       Sebelumnya dukungan pembentukan komisi pengkaji konstitusi disampaikan oleh presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan dengan adanya gagasan pembentukan komisi konstitusi?. Jawabannya, adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Wajarlah, jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan komisi konstitusi. Mengapa?. Karena saat ini DPD adalah lembaga negara merana, keberadaannya tidak diberi wewenang oleh konstitusi, tugasnya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR. Pembentukan komisi pengkaji konstitusi diharapkan oleh DPD, karena memosisikan DPD sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi. Hal lain kehadiran komisi tersebut disambut gembira ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan   amendemen kelima UUD 1945. Wacana pembentukan komisi pengkaji konstitusi kembali mengemuka tapi hati-hati boleh jadi itu jebakan Maut jika Membentuk Komisi Konstitusi Diusulkan Oleh Presiden, karena presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan segala peraturan perundang-undangan.
      DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Yang mengherankan mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk komisi?. Bukankah DPD ‘menyamar’ menjadi anggota MPR berwenang membentuk komisi konstitusi?. Jika benar pembentukan komisi pengkaji konstitusi dilakukan presiden apakah justru tidak menjerumuskan?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Kewenangan Pembentukan komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan lembaga-lembaga negara lain.
      DPD berharap presiden berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi karena MPR yang sesungguhnya memiliki kewenangan justru enggan membentuk komisi tersebut. Mengapa MPR bersikap enggan?. Karena didalam MPR ada kepentingan 550 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain implikasi penguatan DPD juga dapat berdampak meniadakan pimpinan MPR secara permanen. Sebab ada wacana yang menarik jika terjadi sidang MPR, maka pimpinan MPR dijabat oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD. Hal ini masuk akal karena sidang MPR sifatnya insidentil sehingga pimpinan MPR tidak perlu dibuat permanen seperti sekarang ini, yang terkesan hanya bagi-bagi kekuasaan. Bagi-bagi kekuasaan itu terlihat empat pimpinan MPR terdiri dari dua unsur DPR dan dua unsur DPD.
Bagaimana jika 128 anggota DPD ‘menyamar’ menjadi anggota MPR membentuk komisi konstitusi?. Sulit diwujudkan, mengingat minoritas anggotanya. Sampai klenger DPD tidak bakal bisa menembus Pasal 37 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Itulah sebabnya, mengapa DPD harus meminjam tangan presiden untuk membentuk komisi, karena DPD tidak memiliki kekuatan apa-apa. Pengharapan pembentukan komisi konstitusi oleh presiden sifatnya hanya dukungan politis untuk DPD, secara juridis tidak memiliki makna apa-apa, karena keberadaan komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga yang berwenang.
      Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional. Berangkat dari gagasan pembentukan komisi tersebut, ada hal yang paling penting untuk dicermati, yaitu, apakah MPR sudah lupa ingatan?. Bukankah MPR pernah membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian perubahan UUD 1945 secara komprehensif?. Kemanakah hasil kerja Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menghabiskan dana yang tidak sedikit itu?. MPR pernah menerbitkan TAP.No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak tanggal 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Pembentukan Komisi Konstitusi pada waktu itu dilakukan oleh MPR terpaksa, karena desakan berbagai pihak yang tidak puas terkait perubahan UUD 1945 yang dilakukan kebablasan. Pembentukan Komisi Konstitusi, MPR secara tidak langsung mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 dilakukan banyak terdapat kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, ditolak sendiri oleh MPR. Dengan menolak kajian komisi konstitusi tersebut, berarti MPR sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat membentuk Komisi Konstitusi.
Singkatnya, pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi dengan itikad baik untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara.
      Oleh karena itu, sebaiknya urungkan niat membentuk Komisi pengkaji konstitusi, jika pada akhirnya tidak dipergunakan untuk menyempurnakan konstitusi itu sendiri.
Jika MPR memaksakan kehendak membentuk Komisi lagi, dipastikan keberadaan komisi itu akan bernasib sama dengan komisi sebelumnya.
      MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Hasil perubahan itu, antara lain yakni, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Sisi lain, kelemahan konstitusi membarter melahirkan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridik memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi. Pertanyaannya, apa bedanya DPA dengan DPD?. Sepintas terlihat beda, namun jika kita kaji lebih mendalam, kedua lembaga ini pada hakekatnya fungsinya sama saja dalam sistim ketatanegaraan. Persamaannya, baik DPA maupun DPD itu adalah lembaga yang tidak diberi kewenangan oleh konstitusi, keberadaannya hanya diposisikan memberikan pertimbangan dan pendapat tetapi tidak berimplikasi yuridis jika pertimbangan dan pendapat itu tidak ditindaklanjuti oleh yang menerima pertimbangan.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
       Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, kenyataannya DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang jelas yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini ‘dihidangkan’ jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik inovasi amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asal dilakukan tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (dibuat percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi kelembagaan ini kembali.
Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
       Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Kungkungan untuk DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD itu secara hukum, presiden dapat saja membubarkan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden agar juga tidak membubarkan DPD. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amendemen berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, pasca amendemen, UUD 1945 tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD sendiri. DPD terpaku hanya berkeinginan merubah UUD 1945 secara parsial terkait penguatan kelembagaannya.
      DPD akan kembali berjuang mengusung perubahan UUD 1945 tidak terbatas penguatan kelembagaannya, tetapi perubahan secara komprehensif. Usulan amendemen UUD 1945 yang pernah digagas DPD, tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota DPR yang merangkap MPR, argumentasinya usulan perubahan UUD 1945 yang disusun oleh DPD tidak diajukan secara komprehensif hanya terbatas kepada penguatan lembaga DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan
      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir empat tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Apabila keberadaan DPD tetap model lembaga Konsolasi (suguhan hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Jika sebaliknya, pilihan ditetapkan ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
       Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk komisi baru pengkaji perubahan UUD 1945, MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana amanat Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk dijadikan referensi menata ulang kelembagaan menjadi lebih baik lagi. MPR perlu menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali banyak terdapat ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan negara. Contoh ketimpangan-ketimpangan telah penulis kemukakan diatas. MPR jangan rajin hanya menerbitkan Ketetapan MPR jika sekedar untuk hiburan kepada masyarakat, karena hanya akan menghabiskan uang rakyat. Wacana pembentukan komisi pengkaji konstitusi kembali mengemuka tapi hati-hati boleh jadi itu jebakan Maut jika Membentuk Komisi Konstitusi Diusulkan Oleh Presiden, karena presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan segala peraturan perundang-undangan.

Selamat Datang Dualisme Komisi Konstitusi



Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Master Kenotariatan UI
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


      Akhirnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR kembali merencanakan membentuk sebuah tim untuk menelaah secara komprehensif perubahan UUD 1945. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008).

MPR sudah Lupa Ingatan.
      Berangkat dari gagasan pembentukan Komisi tersebut, ada satu hal penting untuk dicatat dan dicermati, yaitu, apakah MPR sudah lupa ingatan?. Bukankah MPR pernah membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian perubahan UUD 1945 secara komprehensif?. Ditumpuk kemana hasil kerja Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?. MPR pernah menerbitkan TAP.No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak tanggal 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan pembentukan komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
      Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi bakal terwujud?. Apakah lembaga DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi karena tugasnya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR. Pembentukan Komisi pengkaji konstitusi diharapkan oleh DPD, karena hasil telaah Komisi tersebut memosisikan DPD sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi, hal itu sama dengan kajian Komisi Konstitusi sebelumnya. Hal lain, kehadiran Komisi tersebut pasti akan disambut gembira ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.
      DPD meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Yang mengherankan mengapa DPD berharap presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan ‘menyamar’ menjadi anggota MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan presiden apakah tidak menjerumuskan?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan Pembentukan Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada presiden juga bukan lembaga-lembaga negara lain.
      DPD berharap presiden berinisiatif membentuk Komisi pengkaji konstitusi karena MPR yang sesungguhnya memiliki kewenangan justru enggan membentuk. Mengapa MPR bersikap enggan?. Karena didalam MPR ada kepentingan 550 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD dapat berdampak dihilangkannya pimpinan MPR secara permanen. Ada wacana menguat, jika terjadi joint session (sidang MPR) atau bertemunya antara DPR dengan DPD, sebaiknya pimpinan MPR dijabat secara bergantian, yaitu, antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Hal ini masuk akal karena sidang MPR sifatnya insidentil, pimpinan MPR tidak perlu bersifat permanen. Tapi itulah politik, didalamnya banyak faktor kepentingannya untuk bagi-bagi kekuasaan, sehingga yang tidak perlu dibuat seolah-olah dibutuhkan untuk tujuan kekuasaan dan uang.
       Bagaimana jika terjadi 128 anggota DPD ‘menyamar’ menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Dipastikan akan sia-sia belaka, mengingat minoritas anggotanya. Selain itu, gagasan amendemen kelima UUD 1945 oleh DPD, akan mudah dipatahkan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Itulah sebabnya, mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena posisi DPD lemah tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden, sifatnya hanya untuk dukungan politis kepada DPD. Dipastikan pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden secara juridis tidak memiliki makna apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.

      Pembentukan Komisi Konstitusi sebelumnya dilakukan MPR terpaksa, karena desakan dari berbagai pihak yang tidak puas menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, secara tidak langsung MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan selama empat kali banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, ditolak sendiri oleh MPR. Penolakan kajian Komisi Konstitusi tersebut, berarti MPR sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat. Singkatnya, pembentukan Komisi Konstitusi tidak dilandasi dengan itikad baik untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi. Apapun namanya batalkan saja, jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan konstitusi. Jika MPR mencari-cari kerjaan dan memaksakan kehendak membentuk Komisi Konstitusi lagi, dipastikan keberadaan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi sebelumnya.
MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Hasil perubahan itu, antara lain yakni, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Sisi lain, kelemahan konstitusi membarter melahirkan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridik memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
      Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang jelas yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini ‘dihidangkan’ jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik inovasi amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asal dilakukan tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (dibuat percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi kelembagaan ini kembali.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir empat tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Apabila keberadaan DPD tetap model lembaga Konsolasi (suguhan hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Jika sebaliknya, pilihan ditetapkan ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.
Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana amanat Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk dijadikan referensi menata ulang kelembagaan ini menjadi lebih baik lagi. Pembentukan Komisi tersebut tidak kekejar untuk melakukan amendemen UUD 1945 mengingat mepetnya periode MPR 2004-2009 yang akan berkonsentrasi menuju pemilu 2009. Hal lain pembentukan Komisi Konstitusi lagi justru akan membingungkan masyarakat, karena sebelumnya MPR pernah membentuk Komisi serupa. Sikap MPR sangat disayangkan, bekerjanya tidak terstruktur dan tidak profesional, sehingga setiap pergantian periode MPR selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh periode sesudahnya. Contohnya Pembentukan Komisi Konstitusi oleh MPR periode 1999-2004, yang tidak ditindaklanjuti MPR periode 2004-2009 justru ingin membentuk Komisi baru lagi. MPR perlu menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan negara. Contoh ketimpangan telah penulis kemukakan diatas. Namun demikian, MPR tidak boleh rajin menerbitkan Ketetapan MPR jika sekiranya hanya sekedar untuk hiburan kepada masyarakat.
Selamat datang Komisi Konstitusi jilid II, semoga hasil kajian Komisi Konstitusi tidak sekedar untuk menguras uang rakyat.

Untuk Apa DPD Unjuk Kekuatan?



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Alumnus Magister Kenotariatan UI
- PNS DPD yang Berhenti Dengan Hormat


      Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atau DPD-RI pada tanggal 23 Agustus 2008 akan menyelenggarakan sidang paripurna khusus dengan agenda mendengarkan pidato presiden Republik Indonesia Tentang Pembangunan Daerah.
      Sidang Paripurna Khusus DPD-RI rencananya akan mengundang 33 gubernur provinsi, 33 DPRD provinsi, 434 DPRD Kabupaten/Kota, bupati 349 orang, dan 91 walikota di seluruh Indonesia, anggota DPD sendiri sebanyak 128 anggota. Gedung Nusantara pada tanggal 23 Agustus 2008 akan dihuni sekitar 1101 orang, belum termasuk pegawai Sekretariat Jenderal DPD, wartawan, dan undangan termasuk di dalamnya adalah para pakar.
      Sidang Paripurna khusus ini dapat digunakan momentum oleh MPR untuk mengkaji keberadaan DPD. Apakah keberadaan lembaga ini dipertahankan, atau dibubarkan saja. Keberadaan DPD saat ini hanyalah sebagai lembaga komplementer atau pelengkap dalam sistim ketatanegaraan. Lembaga ini hanya diberi tugas memberikan pertimbangan dan pendapat untuk disampaikan kepada DPR, tetapi tidak memiliki implikasi yuridis. Artinya, jika DPR tidak menindaklanjuti usulan DPD, atau ekstrimnya, jika usulan DPD dibuang oleh DPR, maka tidak ada implikasi yuridisnya.
Bagi DPD, sidang paripurna khusus ini menjadi obat penawar sekaligus untuk menunjukkan kepada publik bahwa DPD itu sepertinya ada, bukan antara ada atau tiada sebagaimana konsepsi publik sekarang ini. Sekedar diketahui, DPD pernah gagal melakukan amendemen UUD 1945 terkait penguatan kelembagaannya di dalam pasal 22D UUD 1945. Kegagalan itu, antara lain, disebabkan oleh kesalahan DPD sendiri yang manut dengan keputusan pimpinan MPR yang memberikan batas waktu 7/8-2007 untuk penarikan dan/atau dukungan amendemen.
      Sejak Anggota DPD dilantik pada 1 Oktober 2004, sidang-sidang paripurna yang dijalankan DPD selama ini hanya berputar-putar dan sibuk tidak karuan. Produknya meaningless (tidak memiliki arti). Hanya sidang paripurna khusus tanggal 23 Agustus yang sedikit memiliki daya tarik di masyarakat. Selebihnya sidang-sidang paripurna yang diselenggarakan DPD selain sidang paripurna khusus, hanya terpaku dan terjebak pada rutinitas formal sehari-hari, dengan kata lain sidang sekedar menjalankan perintah tata tertib DPD. Demikian itu karena materi persidangan DPD tidak mengangkat hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Kesimpulannya sidang-sidang DPD selama ini membosankan. Pada sidang DPD kali ini para pemimpin daerah akan tumplek bleg berkumpul di Gedung Nusantara. Selain itu, kita akan menyaksikan lautan batik di Sidang Paripurna khusus ini.

Adakah Manfaat Sidang Paripurna Khusus?.
      Gedung Nusantara MPR/DPR akan gemerlap dengan warna warni atribut khas daerah dan lautan manusia. Anak-anak bangsa dari seluruh pelosok negeri melalui Paskibraka akan mengusung bendera kebanggaan provinsinya masing-masing dalam bingkai NKRI.
Penulis benar-benar haru, ketika menyaksikan putra-putri Indonesia mengusung bendera lambang daerah masing-masing. Sayangnya, persidangan paripurna khusus yang menghabiskan dana yang tidak sedikit itu, dilihat dari substansi tidak memiliki makna apa-apa, atau dengan perkataan lain DPD menjalankan persidangan hanya sebatas seremonial saja. Mengapa demikian?. Sebab sidang paripurna khusus tersebut DPD tidak diberikan kewenangan memutuskan UU. Kesimpulannya, penyelenggaraan sidang paripurna khusus ini hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja. Apakah gubernur dan bupati dari seluruh Indonesia yang datang ke Jakarta itu dengan biaya sendiri?. Adakah hasilnya setelah mendengarkan pidato presiden Republik Indonesia Tentang Pembangunan Daerah?. Apakah setelah kembali ke daerah, gubernur walikota dan bupati tersebut kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik?.
    Sidang paripurna khusus DPD yang mengundang bupati, walikota, gubernur, DPRD Kabupaten/kota seluruh Indonesia tidak lain hanyalah sebagai manuver DPD unjuk kekuatan (show of force) untuk mencari simpati, agar publik turut mendorong MPR memperkuat kelembagaan DPD. Sidang paripurna khusus ini memiliki makna yang mendalam dan point bagi DPD sebagai lembaga negara yang baru berusia empat tahun. Sidang Paripurna Khusus juga dapat digunakan momentum untuk memperkuat NKRI agar tidak mendapat gangguan dari separatisme di berbagai daerah sekaligus menyadarkan mereka kembali kejalan yang benar.

Selasa, 29 Juli 2008

Menyoal Penggunaan Lambang Negara dan Logo MPR, DPR dan DPD



Oleh:
Warsito, S.H., M.Kn.
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah Dinas DPD
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


Siapakah orang yang belum pernah melihat lambang anggota MPR, DPR dan DPD?. Sengaja atau tidak, tentu kita sudah pernah melihatnya. Yaitu, logo bergambar burung garuda dilingkari padi dan kapas yang berseliweran dijalanan pada nomor plat mobil. Logo legislatif ini semestinya hanya diperuntukkan bagi anggota MPR, DPR dan DPD, namun dalam prakteknya, ada sebagian masyarakat yang bukan anggota legislatif latah mempergunakannya, tujuannya antara lain, agar selamat dari urusan kepolisian jika sewaktu-waktu terjadi pelanggaran lalu lintas.
Lambang anggota MPR, DPR dan DPD dengan menggunakan burung garuda di lingkari padi dan kapas selama ini salah kaprah digunakan di lingkungan legislatif. Penggunaannya bertentangan dengan PP. 43 tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara. Pada penggunaan lambang negara dilarang menulis huruf atau gambar-gambar lainnya.
Burung garuda adalah lambang negara, sebagai simbol, kebanggaan, kebesaran, dan keagungan bangsa Indonesia. Agar selaras, maka penggunaannya sudah diatur di dalam PP. 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara. Sejauh ini penggunaannya masih belum dipahami sepenuhnya oleh instansi dan kelembagaan negara. Belum dipahaminya penggunaan lambang negara oleh institusi dan kelembagaan negara berakibat penggunaannya melampaui batas kewenangannya (ultra vires). Tidak selaras dengan kedudukannya.
Marilah kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh ketentuan Pasal 7 PP. 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara.
(1) Cap jabatan dengan Lambang Negara didalamnya hanya dibolehkan untuk cap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Konstituante, Ketua Dewan Nasional, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Dewan Pengawas Keuangan, Kepala Daerah dari tingkat Bupati dan Notaris.
(2) Cap Dinas dengan Lambang Negara didalamnya dibolehkan untuk kantor-kantor pusat dari pejabat-pejabat tersebut dalam ayat 1.
(3) Lambang Negara dapat digunakan pada surat jabatan Presiden, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Konstituante, Ketua Dewan Nasional, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Ketua Dewan Pengawas Keuangan, Gubernur Kepala Daerah dan Kepala Daerah yang setingkat, Direktur Kabinet Presiden dan Notaris.
Dengan memerhatikan secara saksama penggunaan lambang negara tersebut, pertanyaan substansial dapat diajukan, apakah anggota MPR, DPR, dan DPD itu dibolehkan menggunakan cap jabatan dan surat jabatan dengan lambang negara?. Berdasarkan PP. 43 tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara, anggota MPR yang terdiri dari unsur DPR dan DPD secara perorangan tidak diperkenankan menggunakan lambang negara. Yang diberi wewenang menggunakan surat jabatan dengan lambang negara di lingkungan legislatif hanyalah ketua-ketua kelembagaannya saja. Dalam hal ketua kelembagaan berhalangan, maka penerima pendelegasian, boleh menggunakan surat jabatan dengan lambang negara dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama ketua kelembagaan.
Sudah 50 Tahun PP tentang penggunaan lambang negara ini belum ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR-RI bersama Presiden dalam bentuk undang-undang. Pembuatan undang-undang tentang penggunaan lambang negara merupakan perintah konstitusi yang bersifat imperatif (memaksa). Sebagaimana diamanatkan Pasal 36C Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
“Ketentuan Lebih lanjut mengenai bendera, bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu kebangsaan itu diatur dengan undang-undang”.
Dalam Praktek, sering diketemukan penyimpangan, adanya instansi pemerintah dari eselon III sampai dengan eselon I menggunakan surat jabatan dengan Lambang Negara. Melihat serampangan penggunaan lambang negara oleh instansi dan kelembagaan negara ini sudah saatnya DPR bersama pemerintah membentuk undang-undang tentang penggunaan lambang negara. Dengan demikian, penggunaan lambang negara di instansi pemerintah maupun di kelembagaan negara lebih tertib, sehingga selaras dengan kedudukannya.
Pasal 229 jo Pasal 230 Tata Tertib DPR RI, menyatakan bahwa DPR memiliki lambang dan tanda anggota.
Lambang sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut terdiri atas garuda ditengah-tengah, padi dan kapas yang melingkari garuda, serta pita dengan huruf DPR-RI, yang berbentuk bulat dengan batasan:
a. sebelah kanan: kapas sejumlah 17 (tujuh belas) buah;
b. sebelah kiri: padi sejumlah 45 (empat puluh lima) buah; dan
c. sebelah bawah: tangkai padi dan kapas yang diikat dengan pita dan diatasnya ada pita lain yang bertuliskan DPR-RI.
DPR mungkin saja tidak sadar dalam membuat tata tertib yang mengatur lambang anggota DPR-RI bergambar burung garuda dengan lingkaran padi dan kapas. Peraturan tata tertib itu melanggar PP. 43 Tahun 1958 pasal 12 angka 2 sebagai berikut: Pada Lambang Negara dilarang menaruh huruf, kalimat, angka, gambar atau tanda-tanda lain”.
Logo perkumpulan yang memiliki kemiripan dengan penggunaan lambang negara itu dilarang oleh pasal 13 PP. 43 Tahun 1958: “Lambang untuk perseorangan, Perkumpulan, organisasi partikelir atau perusahaan tidak boleh sama atau pada pokoknya menyerupai Lambang Negara”.
Penulis menelusuri sejarah penggunaan lambang anggota DPR dan MPR guna melakukan penelitian materi tentang penggunaan lambang negara oleh: Presiden; wakil presiden; ketua-ketua lembaga negara; menteri; gubernur; bupati; walikota dan notaris. Penulis mendapatkan informasi dari sumber, hal ihwal lambang negara dilingkari padi dan kapas digunakan sebagai logo anggota MPR dan DPR. Konon MPR dan DPR pernah mengadakan sayembara logo untuk anggota MPR dan DPR, salah seorang pegawai Sekretariat Jenderal MPR memenangi sayembara tersebut. Peserta dengan hasil karya bergambar burung garuda dilingkari padi dan kapas diputuskan sebagai pemenang untuk lambang anggota MPR dan DPR. Bukankah gambar padi dan kapas itu sudah ada di tubuh burung garuda?. Mengapa burung garuda harus dikurung lagi dengan padi dan kapas?. Ironisnya, anggota DPR dan MPR menerima begitu saja bentuk lambang tersebut tanpa mengkaji dari aspek legalitasnya.
DPD Ikut Terjerumus
Lebih celakanya lagi, penggunaan lambang anggota MPR dan DPR yang salah kaprah dan melanggar aturan itu, dijiplak mentah-mentah oleh Dewan Perwakilan Daerah atau DPD diturunkan menjadi Tata Tertib. Sehingga lambang anggota MPR, DPR dan DPD tidak ada perbedaan. Perbedaan sedikit terletak hanya pada tangkainya, yaitu, pada tulisan DPR-RI untuk lambang anggota DPR-RI, dan tulisan MPR-RI untuk anggota MPR-RI, diganti oleh DPD-RI menjadi lambang anggota DPD-RI (Tata Tertib DPD-RI Pasal 184 jo Pasal 185). Jika DPR dengan MPR memiliki kemiripan lambang, hal itu masih bisa dimaklumi, mengingat kedudukan MPR pada waktu itu sebagai lembaga tertinggi negara sedangkan DPR sebagai lembaga tinggi Negara yang ketua kelembagaannya dijabat oleh satu orang (kini MPR dan DPR berkedudukan sebagai lembaga negara). Masing-masing memiliki ketua kelembagaan.
Bagaimana dengan posisi anggota DPD yang mempergunakan lambang burung garuda dilingkari padi dan kapas?. Sudah tepatkah?. Tidak!. Lambang itu tidak selaras dengan kelembagaan DPD. Mengapa?. Sebab DPD adalah lembaga negara wakil-wakil ikatan daerah yang berorientasi kedaerahan (regional base). Keberadaan DPD haruslah mencerminkan lambang yang berbeda dengan lembaga-lembaga negara lain, punya ciri khas dan warna tersendiri.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum, maka perlu diatur penggunaan lambang negara bersifat unifikasi (satu kesatuan) berlaku di lingkungan instansi pemerintah dan kelembagaan Negara. Dengan demikian, penggunaan lambang negara dapat lebih tertib dan selaras dengan kedudukannya.

Selasa, 22 Juli 2008

DPD Antara Dibubarkan atau Diberikan Kewenangan


Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Dosen Universitas Satyagama Jakarta

- Alumni Pasca Sarjana Magister Kenotariatan UI

- PNS DPD Yang Berhenti Dengan Hormat


     Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, adalah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi. Keterdamparan DPD ini diakibatkan konstitusi tidak memberinya wewenang ikut memutuskan undang-undang. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR selama empat kali sejak 1999-2002, telah melahirkan sekaligus menjadikan lembaga DPD ‘tidak jelas juntrungnya.’
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, DPD masih lebih lintuh (lemah) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang jelas yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Sebaliknya, lembaga DPD praktis hanya bekerja memenuhi ketentuan konstitusi tanpa produk berupa putusan UU. DPD hanya diberikan fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan ke DPR jika DPR tidak mau maka saran DPD tsb hanya masuk tong sampah. Oleh karena itu, jangan biarkan lembaga DPD ini mengalum (merana).
 
Dibubarkan Atau Dipertahankan
     Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir 17  tahun keberadaan lembaga DPD kini terbentuk sejak saya revisi blog hukum ini pada tahun 2021. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Kemudian jawablah pertanyaan ini dengan sejujurnya. Adakah manfaat keberadaan DPD selama ini untuk rakyat?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi menjadikan produknya tidak bernilai. Apabila keberadaan DPD tetap dijadikan model lembaga Konsolasi (suguhan hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Jika sebaliknya, pilihan ditetapkan ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen Pasal 22D UUD 1945.
 
Jika ada Amandemen UUD 1945
Jika ada amandemen UUD 1945 selain menghidupkan kembali GBHN juga harus meninjau ulang keberadaan DPD apakah dibubarkan atau diperkuat melalui amandemen UUD 1945. Pembubaran DPA sudah tepat tapi anehnya melahirkan lembaga negara DPD yang sama-sama hanya memiliki tugas pertimbangan bedanya pertimbangan DPA disampaikan ke Presiden tetapi pertimbangan DPD disampaikan ke DPR yang sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19