Kamis, 15 Januari 2009

Saatnya Mengkaji Ulang Keberadaan DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI


      Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR sudah saatnya mengkaji ulang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pasalnya akhir-akhir ini lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi ini, sering berantem dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Jika MPR cerdas menggunakan sedikit sisa waktu masa bhakti keanggotaan MPR periode 2004-2009 yang tinggal menunggu detik-detik akhir ini, MPR bisa saja memaksa menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Dasar hukumnya jelas, yaitu, aspek kemanfaatan (zwechtmassikheit) dari kelembagaan DPD. Materi amendemen UUD 1945 antara lain, mempertahankan DPD dengan konsekuensi memberikan kewenangan sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan, ataukah sebaliknya, membubarkan DPD karena selama ini ternyata hanya sebagai lembaga negara tiada guna. Jika hasil amendemen UUD 1945 ternyata memutuskan membubarkan DPD, hitunglah, berapa ratusan milyar uang rakyat yang bisa diselamatkan atau dihemat. Implikasi amendemen UUD 1945, pertama, DPD tidak akan diikutsertakan pada pemilu 2009, dengan demikian biaya Pemilu tidak menggelembung. Implikasi kedua, hasil amendemen UUD 1945, keuangan negara tidak akan terbebani untuk memberikan fasilitas kepada dewan berupa, gaji, tunjangan dan kegiatan operasional lainnya. Inilah yang dalam artikel ini, saya katakan MPR memiliki kecerdasan jika dapat mengkaji ulang keberadaan DPD. Penyelenggaraan sidang majelis dengan agenda pembubaran DPD tersebut dapat jalan terus meskipun tanpa kehadiran seluruh anggota MPR unsur DPD. Sebab jumlah anggota MPR unsur DPR yang 550 itu, sudah bisa berbuat ”segala-galanya” kepada DPD. Katakanlah dengan jujur, apakah keberadaan lembaga DPD ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jika selama ini keberadaannya bermanfaat untuk rakyat, silakan diteruskan saja, dan berilah kewenangan ia seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain, jangan malah dipasung. Sebaliknya, jika selama hampir lima tahun ini tidak ada manfaatnya, sekedar penggembira dalam sistim ketatanegaraan, lebih baik bubarkan saja sekarang juga.
Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara pemberi wejangan, maka selamanya pula, DPD akan menjadi bahan ledekan DPR. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Bahkan lebih dari itu, di forum Internasional DPR tega meledek DPD. Kejadian itu ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).

Marilah merenung sejenak dengan kutipan pidato Ir. Soekarno berikut ini:

      Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).

      Kutipan Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam kehidupan ketatanegaraan kita saat ini. Soekarno mengingatkan kepada kita semua, bahwa UUD 1945 yang telah dibuatnya adalah karya manusia biasa, dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu, di dalam pasal 37 UUD 1945 diberikan landasan juridis untuk dapat diubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law).
DPD yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, menjadi problematika di dalam konstitusi. Indikator problematika konstitusi ini terlihat dari upaya Dewan Perwakilan Daerah yang tidak puas atas kehadirannya yang tidak diberikan kewenangan oleh UUD 1945, sehingga DPD mengusulkan perubahan kembali UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balance), yaitu dengan cara memperkuat peran dan fungsi lembaga DPD.

Perlu Sikap Kenegarawanan

      MPR tidak perlu gengsi untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. MPR perlu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945, alangkah arifnya jika MPR memiliki sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Soekarno sebagai salah satu perumus UUD 1945. Soekarno memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan mengingat yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Konstitusi yang pernah dilakukan perubahan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002, tercatat telah ada kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Sebaliknya juga banyak kekurangan-kekurangan didalamnya.
Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. UUD 1945 pasca amendemen juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power.
Dengan kemajuan yang dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945 itu, maka konstitusi hasil amandemen itu jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan.
Namun demikian, juga perlu disadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 tersebut banyak kekurangannya. Salah satu kelemahan itu adalah MPR membubarkan DPA, sisi lain MPR menukargantikan dengan lembaga DPD yang sama-sama tidak memiliki kewenangan. Sifat pertimbangan dari kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi juridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi juridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Apabila DPD ingin eksistensinya tetap dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Sebaliknya, jika DPD hanya dibuat sebagai lembaga negara pajangan, lebih baik dibubarkan saja.

Rabu, 14 Januari 2009

Tarik Tambang DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD-RI




        Mari kawan semua, jangan melamun saja!. Bagi kita yang masih merasa memiliki kepedulian terhadap sistim ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik, berkontemplatiflah sejenak, seraya merenungkan kembali keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD dilahirkan dimuka bumi ini. Jika keberadaannya bermanfaat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, silakan eksistensi DPD diteruskan. Sebaliknya, jika keberadaannya tidak bermanfaat (mubazir), hanya sebagai Accessoir (mengekor) dalam pembahasan undang-undang, maka lebih baik lembaga ini dibubarkan saja. MPR periode 2004-2009 masih ada waktu untuk meninjau kembali keberadaan DPD ini. Jika hasil amendemen kelima UUD 1945 ternyata membubarkan DPD, maka pada pemilu 2009 rakyat tidak memilih anggota DPD lagi yang berarti akan menghemat keuangan negara.
Tarik Tambang DPR Versus DPD
      Jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD mengajukan pengujian materi (judicial review) Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), yang substansinya tentang komposisi Pimpinan MPR atau untuk mengAdHockan Pimpinan MPR, apakah Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (gezetkheit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) ataukah aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit)?.

      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. DPD akan tetap terus diledek oleh DPR. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira dalam sistim ketatanegaraan yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Bahkan lebih dari itu, di forum Internasional pun DPR tega meledek DPD. Kejadian itu ketika anggota DPD Mochtar Naim menurut keterangannya telah diberi kesempatan dan dipersilakan oleh pemimpin sidang untuk berbicara sebagai salah satu delegasi parlemen Indonesia dalam forum tersebut, tetapi mikrofonnya direbut oleh anggota DPR yakni Abdillah Toha. DPD benar-benar dipermalukan di forum Internasional dalam sidang pleno Forum Parlemen Asia Pasifik (APPF) di Laos, Senin (12/1) (Media Indonesia, 14/1-2009).
      DPR dan DPD terus akan selalu ribut. Sebenarnya persoalan yang diributkan sangat sepele. Contoh sebelumnya, RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

      MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

      Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.
Norma Konstitusi.
       Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Selasa, 13 Januari 2009

Saksikan Pertikaian DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD mengajukan pengujian materi (judicial review) Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), yang substansinya tentang komposisi Pimpinan MPR atau untuk mengAdHockan Pimpinan MPR, apakah putusan Mahkamah Konstitusi akan menggunakan pendekatan aspek keadilan (gezetkheit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) ataukah aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit)?.

      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Atraksi menarik dari Senayan konon dari para wakil rakyat dapat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak meributkan soal-soal sepele yaitu meminta bagi-bagi jatah kekuasaan. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

       MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
       Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

       Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.
Norma Konstitusi.
      Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Senin, 12 Januari 2009

Menonton Pertikaian DPR Versus DPD


Oleh: Warsito, S.H., M.Kn.
- Master Kenotariatan UI
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS MPR 9 Tahun dan DPD 3 Tahun
Berhenti Atas Permintaan Sendiri



      Sebelum tiba kiamat, jika fungsi Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetap difungsikan sebagai lembaga negara yang hanya sebagai pemberi wejangan seperti profesi dukun, maka, selamanya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan tetap melecehkan DPD. Mengapa demikian?. Karena DPR merasa memiliki kekuatan penuh (purbawisesa) dalam memutuskan undang-undang, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ikutan (accessoir) tidak turut memutuskan, keberadaannya tidak lebih sebagai penggembira yang tidak memiliki implikasi juridis. Ibarat peribahasa, saat ini DPD sudah jatuh tertimpa tangga. Usulan amendemen UUD 1945 sudah digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Atraksi menarik dari Senayan konon dari para wakil rakyat dapat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak meributkan soal-soal sepele yaitu meminta bagi-bagi jatah kekuasaan. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Apabila kita dalami akar permasalahannya, cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika dua anggotanya tetap diberikan duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu betul, bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ancaman judicial review tersebut jelas manuver DPD yang tidak lain agar DPD diberikan jatah “kue” seimbang dengan DPR. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

       MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
       Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
      Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

      Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Dikabulkan MK.

Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.


Norma Konstitusi.

      Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karenanya keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka, besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan asas kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Kredibilitas dan kepiawaian DPD dipertaruhkan dalam bermain reasoning untuk meyakinkan dihadapan sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Berhitung secara logika hukum, karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah dianggap adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga dari jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi Pimpinan MPR yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

Minggu, 11 Januari 2009

Menakar Judicial Review UU Susduk


Warsito, SH M.Kn.
• Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
• Mantan Tim Perumus Tata Naskah
DPD-RI
• Master Kenotariatan UI
• PNS MPR-RI dan DPD-RI Yang
Berhenti Atas Permintaan Sendiri


      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar melecehkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sudah usulan amendemen UUD 1945 digembosi oleh DPR, kini peran DPD di Pimpinan MPR akan dikerdilkan hanya diberi jatah satu anggota melalui Undang-Undang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk). Mengamuk lagi DPD.
Atraksi menarik dari Senayan konon tempat mangkalnya para wakil rakyat kita saksikan lagi, apalagi kalau tidak ribut-ribut soal legislasi nasional. RUU Susduk "masih dimasak" oleh DPR dan pemerintah belum disyahkan menjadi undang-undang, DPD sudah mencegat, mengancam akan melakukan pengujian materi (judicial review) UU Susduk terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Substansi judicial review dibungkus dalam kemasan menarik, yaitu untuk penghematan keuangan negara jika Pimpinan MPR tidak dipermanenkan. Cakar-cakaran itu sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara, melainkan hanya ingin bagi-bagi kekuasaan belaka.
      Menurut Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, sejak awal DPD mengusulkan agar Pimpinan MPR bersifat Ad Hoc yang dirangkap oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD jika joint session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD) dilakukan. Alasan Ketua DPD tidak mempermanenkan pimpinan MPR untuk menghemat anggaran negara yang cukup besar untuk membiayai gaji dan kegiatan Pimpinan MPR (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Patut dipertanyakan, benarkah ancaman DPD melakukan judicial review tersebut dilandasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara demi efisiensi keuangan negara?.
      Dalam rancangan UU Susduk tersebut menurut Ketua Pansus Ganjar Pranowo sudah ditetapkan bahwa pimpinan MPR itu tetap bersifat permanen dan sudah ada kesepakatan mengenai komposisi pimpinan MPR terdiri dari dari tiga orang, dua orang dari unsur DPR dan satu orang dari unsur DPD (Media Indonesia, 30 Desember 2008). Rupanya karena jatah DPD di inkorting di Pimpinan MPR menyulut kemarahan besar, sehingga DPD mengancam akan melakukan judicial review UU Susduk.
Sebelumnya dalam draft usulan yang disampaikan ke Pansus, DPD menghendaki pimpinan MPR terdiri dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD, komposisi yang diusulkan DPD 2:2 tersebut tidak diterima oleh Pansus (Media Indonesia, 30 Desember 2008).
Sakit Hati Atau Efisiensi Keuangan Negara?.
      Mudah membaca niat DPD melakukan judicial review, apakah pengujian materi UU Susduk ke Mahkamah Konstitusi didasari atas sakit hati tidak dikabulkannya dua anggotanya duduk di Pimpinan MPR, ataukah karena ketulusan DPD untuk memikirkan penghematan keuangan negara?. Seperti telah diberitakan oleh Media Indonesia, bahwa dalam draft usulan DPD menghendaki pimpinan MPR dua dari unsur DPD ternyata Pansus menolak. Jika DPD diberikan dua jatah duduk di pimpinan MPR seperti rumusan UU Susduk lama, pertanyaannya, apakah DPD akan protes atau meneng wae (diam seribu bahasa)?. Sudah tentu DPD tidak akan berniat melakukan judicial review UU Susduk kepada Mahkamah Konstitusi jika tetap diberikan dua jatah anggotanya duduk di Pimpinan MPR, meskipun DPD tahu bahwa menjejer empat pimpinan MP itu sangat-sangat memboroskan keuangan negara. Ujung-ujungnya ancaman judicial review tersebut tidak lain adalah untuk berebut kekuasaan antara DPD dengan DPR agar memperoleh jatah “kue” seimbang. Dengan demikian, tabiat DPD dan DPR tidak ada bedanya, alias sami mawon.

      MPR pasca amendemen UUD 1945 praktis hanya melakukan sidang selama lima tahun sekali melantik presiden dan wakil presiden. Namun, Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih presiden dan wakil presiden lagi, ternyata kewenangan DPD masih lebih lemah (lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?
      Editorial Media Indonesia 29/12- 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak kita semua kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dihadirkan jika keberadaannya tidak mendatangkan manfaat sama sekali?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga “Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
      Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progressif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. “Virus” DPR yang terbiasa berebut kekuasaan tidak perlu menjangkiti DPD. DPD sebagai wakil kedaerahan (regional base) perlu memiliki nilai lebih yang berbeda dari DPR sebagai wakil partai politik. Ada dugaan kuat, DPD sengaja dilahirkan percobaan (antifisial), oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan

       Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah hampir lima tahun, yang berarti hampir tamat sudah masa bhakti keanggotaan DPD periode 2004-2009. Mari merefleksi keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga hiburan (konsolasi), maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD 1945.

Implikasi Judicial Review Jika Dikabulkan MK.

      Dua implikasi besar akan terjadi jika uji materi (judicial review) UU Susduk dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi pertama, Pimpinan MPR akan dibubarkan diganti dengan pimpinan MPR secara Ad Hoc yang akan dijabat oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan DPD secara bergantian ketika ada sidang paripurna majelis. Implikasi kedua, hasil judicial review tersebut, akan membuat jerit tangis di jajaran Sekretariat Jenderal MPR, karena pelikuidasian Pimpinan MPR dengan sendirinya akan membekukan Sekretariat Jenderal MPR. Implikasi kedua ini sangat penting karena menyangkut hidup orang banyak bukan hanya untuk para pegawai dan pejabat Sekretariat Jenderal MPR bahkan keluarganya pun akan terkena imbas dari judicial review ini.

Norma Konstitusi.

       Mempermanenkan Pimpinan MPR atau mengAdHockan Pimpinan MPR, sama sekali bukan norma (muatan) konstitusi, oleh karena keberadaan Pimpinan MPR selama ini hanya diatur di dalam UU Susduk. Ini Artinya, keberadaan Pimpinan MPR boleh ada dan boleh ditiadakan, bergantung urgensinya. Jika DPD mengajukan judicial review argumentasinya, agar Pimpinan MPR tidak dipermanenkan demi efisiensi keuangan negara, maka besar kemungkinan judicial review DPD akan dikabulkan oleh MK. Ada dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan asas kemanfaatan hukum (Zwechtmassikheit). Sebaliknya jika DPD mengajukan judicial review hanya dilandasi untuk kepentingan sesaat untuk meminta jatah dua anggota DPD duduk di Pimpinan MPR, besar kemungkinan judicial review akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dugaan kuat Mahkamah Konstitusi akan memutus dengan menggunakan pendekatan aspek keadilan (Gezetkheit). Yang pasti, MK tidak akan memutus judicial review dengan menggunakan pendekatan kepastian hukum (rechtssicherkheit), karena kepastian hukumnya memang tidak ada. Disini tinggal kelihaian DPD untuk berargumentasi hukum dihadapan Sembilan hakim penjaga gawang konstitusi. Mengapa aspek keadilan yang akan dikedepankan oleh MK?. Karena anggota DPD itu hanya berjumlah 128 orang, sedangkan jumlah anggota DPR 550 orang. Jadi Komposisi Pimpinan MPR 2:1 untuk DPR dan DPD itu sudah sangat adil. Sebab anggota DPD tidak ada sepertiga jumlah anggota DPR. Bahkan komposisi yang paling tepat semestinya adalah 3:1 yaitu Pimpinan MPR tiga dari unsur DPR dan satu dari unsur DPD.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19