Jumat, 06 Maret 2009

Reformasi Telah Mati



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Alumnus Magister Kenotariatan UI
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri




          Gerakan reformasi membahana yang dipelopori oleh kaum mahasiswa yang didukung elemen masyarakat pada tahun 1998 kini tinggal nama saja. Tujuan semula memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden, tidak lain agar kondisi secara umum kehidupan masyarakat, bangsa dan negara akan semakin lebih baik.Namun teori reformasi itu tidak sejalan dengan kenyataan,justru reformasi yang didambakan, kini jauh panggang dari api. Makna reformasi justru harus direformasi kembali.
Gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa,klimaksnya berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa heroik berhentinya Soeharto dari jabatan presiden terjadi ditengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal pergerakan reformasi di tanah air.
        Tuntutan reformasi antara lain yakni: a. amendemen UUD 1945; b. penghapusan dwi fungsi ABRI; c. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. mewujudkan kebebasan pers; dan f. mewujudkan kebebasan demokrasi.
Marilah memerhatikan dengan saksama, apakah sesungguhnya yang telah dihasilkan oleh reformasi ini?. Di bidang perekonomian,kebutuhan harga bahan pokok justru semakin meroket, sebagian besar rakyat sudah tidak berdaya lagi menjangkau harga-harga yang menggila ini.

Bagaimana reformasi di Bidang Politik?.

          Reformasi konstitusi hanya menambah kesemrawutan di dunia politik.Sederet lembaga-lembaga negara dihadirkan,padahal sebenarnya keberadaannya itu tidak dibutuhkan.Contoh lembaga negara yang tidak dibutuhkan adalah, yakni, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang hanya sekedar dijadikan accessoir (ikutan) dalam sistem ketatanegaraan belaka, sebab parlemen pokoknya adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Keberadaan DPD tidak lebih sekedar hanya memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR tetapi tidak berimplikasi yuridis.Namanya sebuah pertimbangan kalau tidak dipakai pastilah dibuang ke tong sampah oleh DPR.
Namun hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek.Dari sisi manfaat,pasca amendemen konstitusi, ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progressif, antara lain dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.Sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power).

           Celakanya lagi, reformasi di bidang politik itu tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru sebelumnya. Indikatornya terlihat, undang-undang pemilu 2009 yang baru disyahkan (sebelumnya sempat mengalami penundaan), malah menjadi ajang keributan antara DPR dengan DPD. Permasalahannya cukup sederhana, DPR dianggap menyerobot kavling DPD. Pada pemilihan umum sebelumnya anggota DPR yang ingin menjadi anggota DPD diberikan jeda selama 4 tahun tidak menjadi pengurus partai politik. Pada undang-undang pemilu yang baru,anggota DPR yang ingin mencalonkan menjadi anggota DPD cukup mengajukan berhenti dari kepengurusan partai politik. Ketentuan undang-undang yang membuat longgar anggota DPR menjadi anggota DPD dipandang merugikan DPD. Benarkah hak konstitusional DPD dirugikan UU pemilu?. Konflik DPD dengan DPR tentang persyaratan menjadi anggota DPD, tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan anggota DPD dan DPR. Substansi yang diributkan sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Inikah makna reformasi itu?. Oleh karena itu wajar, jika masyarakat bersikap acuh kepada DPD ketika ingin mengajukan judicial review UU pemilu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
           Penting bagi kita merefleksi makna reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 yang usianya kini hampir sebelas tahun,sejak Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kontemplatif tersebut diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan dengan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa yang mengorbankan harta benda, tetesan darah bahkan nyawa, kembali memiliki arah yang jelas.
          Kini Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Soeharto adalah presiden yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita Indonesia. Sebagai manusia biasa, tidak bisa dipungkiri, Soeharto tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya semasa memimpin negeri ini. Namun demikian, kekurangan-kekurangan Soeharto itu, tidak boleh dijadikan senjata untuk mendiskreditkan Soeharto. Kita perlu mikul duwur mendem jero kepada pemimpin kita. Falsafah jawa ini perlu kita pegang teguh, kita agungkan dan kita junjung tinggi, agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang begitu membahana di gedung MPR/DPR yang dipadati oleh lautan manusia.Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti dari jabatan presiden sesegera mungkin.Tetapi tidak dipikir apakah lengsernya Soeharto, keadaan negara akan semakin membaik ataukah justru sebaliknya. Atas desakan para mahasiswa dengan dibantu berbagai komponen bangsa, akhirnya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Mendengar pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden,seketika itu juga para mahasiswa melakukan sujud syukur,berpelukan dan menangis terharu,seraya mengumandangkan takbir, atas kemenangan perjuangan reformasi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menceburkan diri ke kolam air mancur gedung MPR/DPR untuk meluapkan kegembiraannya.
Reformasi Telah Mati

         Pada 21 Mei 2009 mendatang, reformasi genap memasuki 11 tahun. Melihat keadaan reformasi yang tidak jelas seperti ini, saya sedih. Ternyata reformasi yang pernah menggetarkan dunia itu,tidak mendatangkan banyak kebaikan untuk rakyat. Reformasi macet,secara umum keadaan reformasi tidak lebih baik dari pemerintahan orde baru. Reformasi benar-benar telah mati. Yang lebih menyakitkan lagi, perilaku elite politik tidak mencerminkan perilaku kelembagaan negara yang memperjuangkan aspirasi rakyat.Tercermin banyaknya elite politik yang ditangkap KPK karena skandal kasus korupsi.Mereka tidak menyadari,bahwa keberadaannya di gedung MPR/DPR yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas wah, pada hakekatnya mahasiswa lah yang mengantarkan mereka kesana.Bukankah elite politik sebelumnya ‘terserang flu berat’ diam seribu bahasa terhadap penguasa?.Mahasiswa dan seluruh komponen bangsa yang telah memperjuangkan reformasi,tidak menuntut elite politik memberikan balas jasa kepadanya.Yang diharapkan pejuang reformasi hanya satu, yaitu, meminta kepada elite-elite politik untuk dapat memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
       Jangan sampai era yang serba sulit ini, kata reformasi diplesetkan menjadi sebuah novel dengan judul: ‘repot nasi’.Judul novel itu bisa saja kita anggap sebagai guyonan,tetapi pada hakekatnya hati kita tidak dapat memungkiri kenyataan itu,karena kondisi masyarakat yang terjadi saat ini memang demikian,yaitu, sulitnya mencari sesuap nasi di era reformasi.

Selasa, 03 Maret 2009

Surat Terbuka Untuk Setjen MPR-DPD Penyesuaian Ijasah itu Kebijakan Atau Peraturan?.


Oleh: Warsito, SH., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta;
-Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI;
-PNS DPD-RI digolongkan II/c Yang Berhenti Atas
Permintaan Sendiri;
- Master Kenotariatan UI;
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-DPR
Tahun 2003;
- Juara I Lomba MTQ Kec. Kayen, Pati
Tahun 1983.


Pembaca website MPR yang saya cintai.
   
          Tuan-tuan Pejabat Sekretariat Jenderal MPR-DPD yang saya hormati.
Sudah dua minggu ini saya tidak sempat menulis opini di website MPR,dikarenakan adanya kesibukan sehari-hari dalam menjalankan tugas jabatan saya sebagai Notaris-PPAT yang tidak dapat saya tinggalkan. Jika saya tidak menulis di website MPR seminggu saja, rasanya badan ini terasa pegal sekali.
        Dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf, jika tulisan ini dianggap suatu kritik pedas. Menulis opini ini saya niatkan tidak lain kecuali untuk mencari ridho Allah SWT agar saling nasehat-menasehati diantara kita dalam hal kebenaran.
Penyesuaian ijasah itu kebijakan (beleid) atau peraturan (regelling)?. Salah besar jika Setjen MPR-DPD selama ini berargumentasi bahwa penyesuaian ijasah itu adalah suatu kebijakan. Maukah tuan-tuan saya tunjukkan jalan yang lurus?. Jalan yang lurus yaitu, penyesuaian ijasah itu adalah peraturan, sebagaimana diatur di dalam PP No. 12 Tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS. Kalau penyesuaian ijasah itu kebijakan, bagaimana kalau kebijakan tuan-tuan itu tidak membawa kabajikan?. Kebijakan itu artinya adalah sesuatu yang memberi manfaat bagi orang banyak, bukan sebaliknya malah mematikan karir orang. Sebagai contoh suatu kebijakan, Setjen MPR pada waktu itu mengeluarkan kebijakan yang membawa kebajikan kepada pegawai yang menikah diberikan “sesuatu”. Padahal tidak diberikan sesuatu itu pun tidak apa-apa karena memang aturannya tidak ada. Oleh karena itu pelajari UU. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apakah kebijakan itu termasuk peraturan perundang-undangan atau tidak?.
Apakah Sebenarnya Kenaikan Pangkat Itu?.
       Kenaikan pangkat itu adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS yang bersangkutan terhadap Negara, selain itu kenaikan pangkat juga dimaksudkan sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
Bagaimana mereka dapat meningkatkan prestasi kerja, jika PNS MPR-DPD yang telah menyelesaikan S1 tidak segera disesuaikan ijasahnya?.Dengan perkataan lain malah dijegal?. Bukankah ketika mereka sekolah sudah memperoleh ijin?. Kalau argumentasi belum ada formasi, mengapa setiap tahun menerima pegawai baru?. Sebagai contoh si BADU yang tamatan SMA bergolongan II/b itu melanjutkan kuliah lalu lulus S1 sarjana politik, si BADU-nya bukan disesuaikan malah menerima pegawai baru si KEMPRIT yang formasi lulusannya sama dengan si Badu. Dimana logika hukumnya?.
        Jika Setjen MPR-DPD baru akan menyesuaikan ijasah si BADU menunggu dia bergolongan II/d itu namanya mengada-ada, kalau tidak mau saya bilang dholim. Apa bedanya dengan kenaikan pangkat reguler?. Lihat tetangga sebelah (Setjen DPR), seangkatan saya bergolongan II/c berijasah SI sudah disesuaikan golongan III/a. Kemudian sahabat saya di Departemen Hukum dan HAM bergolongan II/b yang berijasah SI langsung disesuaikan menjadi golongan III/a.
Jadi mana yang benar?. Apakah Setjen MPR-DPD, Setjen DPR, ataukah Departemen Hukum dan HAM?. Yang benar adalah di instansi Departemen Hukum dan HAM, instansi tersebut benar-benar paham oleh karena bisa mengetrapkan PP 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS.
Jangan teruskan kebijakan yang tidak terpuji tersebut. Bagaimana jika hal ini terjadi kepada tuan-tuan pejabat Setjen MPR-DPD?.
      Dedikasikanlah keilmuanmu untuk kepentingan umat. Jangan berlaku sebaliknya.Mempunyai kewenangan tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Itu namanya dholim, karena mematikan karir orang lain. Nasehat ini saya berikan kepada Setjen MPR-DPD karena saya masih sayang, meskipun saya sudah tidak berada di dalam lingkaran sana.
       Pada umumnya PNS bersekolah lagi itu untuk penyesuaian ijasah demi untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik. Pikiran mereka tidak salah meskipun saya tidak sepenuhnya sependapat.Mereka bergolongan rendahan bahkan ada yang membiayai kuliah sampai-sampai SK PNS-nya digadaikan. Kontras dengan perilaku sebagian besar pejabat Setjen MPR-DPD yang berkuliah di biayai oleh dinas, tetapi tidak banyak yang selesai karena merasa biaya bukan dari kantongnya sendiri.
      Oleh karena itu marilah memerhatikan pasal 18 Ayat (1) butir (e) PP. 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS: PNS yang memperoleh ijsaha sarjana (S1), atau ijasah diploma IV dan masih berpangkat pengatur tingkat I, golongan ruang II/d kebawah, dapat dinaikkan pangkatnya menjadi peƱata muda, golongan ruang III/a. Sekali lagi untuk pejabat Setjen MPR-DPD dedikasikanlah keilmuanmu untuk pengabdian umat, sesuai dengan gelar akademis yang telah tuan peroleh. PP tersebut sudah jelas maksudnya tidak ada interpretasi lagi.
       Saya do’akan Allah SWT membukakan pintu hatimu, segera sesuaikan sahabat-sahabat saya di Setjen MPR-DPD yang telah menamatkan kesarjanaannya dengan susah payah, jangan ditunda-tunda lagi. Semoga tuan-tuan mendapatkan petunjuk. Amien.

Jumat, 20 Februari 2009

Selamat Datang Sekretariat Parlemen



Oleh Warsito, SH., M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Mantan PNS DPD-RI di golongkan IIc
Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Juara I Lomba Pidato Tingkat Pegawai MPR-
DPR Tahun 2003


Pembaca website MPR yang saya hormati dan saya cintai.

     Tidak terasa,setahun sudah saya tidak bekerja lagi menjadi PNS MPR-DPD-RI.Disela-sela kesibukan saya menjalankan tugas jabatan sebagai Pejabat umum (public official) sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris,saya tetap menyempatkan diri untuk memantau perkembangan kontemporer ketatanegaraan Indonesia saat ini, baik melalui media cetak, maupun elektronik.
Sebagai rasa kecintaan saya kepada Sekretariat Jenderal MPR yang pernah telah membesarkan saya, tentu saya tidak pernah dan tidak akan melupakannya. Saya akan mikul duwur mendem jero.Demi kecintaan itu pula,saya sering memberikan masukan kepada Sekretariat Jenderal melalui website MPR maupun melalui media cetak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana perintah Allah SWT.

        Saudaraku Sekretariat Jenderal yang saya cintai……...
Menanggapi issu serius yang berkembang saat ini tentang penggabungan Sekretariat Jenderal MPR-DPD dilebur menjadi Sekretariat Parlemen, anda semua tidak perlu cemas,tidak perlu menyambut dengan jerit tangis. Yakin lah, rezeki itu sudah diatur oleh Allah SWT. Terutama saudara-saudaraku yang berkedudukan sebagai staff,anda ditaruh dimanapun juga tidak berpengaruh. Dampak besar terhadap peleburan sekretariat jenderal ini akan dirasakan oleh eselon III sampai dengan eselon I.
    Jika saudaraku masih ingat,didalam website MPR ini saya tidak pernah henti-hentinya menyuarakan agar pegawai Setjen MPR jangan dipindahkan ke Setjen DPD. Kecuali dengan promosi tentu mereka merasa diberikan hiburan.Masih ingatkah anda dengan pesan Sekretariat Jenderal agar kita merebut hati anggota DPD?. Ada apa dengan pesan ini?.Jawabnya,karena mereka mempunyai kepentingan untuk menduduki jabatan tertentu di Setjen DPD. Tetapi Allah SWT berkehendak lain, ternyata Sekjen DPD-RI bukan dari internal MPR sebagaimana diidam-idamkan oleh mereka.Itu merupakan salah satu do’a saya, agar jabatan itu tidak diberikan kepada orang yang meminta-minta.
Bagi staff MPR yang di pindahkan ke DPD termasuk saya merupakan malapetaka. Sebab pekerjaan numpuk, hanya pindah tempat duduk, ditambah lagi Setjen MPR tidak memahami (baca: tidak mempunyai itikad baik) terhadap PP 12 tahun 2002 yang mengatur tentang kenaikan pangkat PNS.Lebih gila lagi Setjen DPD-RI bekerjanya pulang larut malam(absen finger) belum diberlakukan pada waktu itu.
     Oleh karena itu,pesan saya kepada saudara-saudaraku,jika secara nyata nanti terjadi peleburan sekretariat Jenderal MPR-DPR-DPD menjadi Sekretariat Parlemen kita semua tidak perlu resah.
Saya do’akan semoga anda bekerja dalam damai, naungan dan ridho Allah SWT.

Selasa, 10 Februari 2009

Mengapa MPR Mendistorsi Kewenangan DPD”?.




Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI


          Angin segar kini kembali berhembus memberikan harapan kepada Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Menanggapi disertasi dari teman saya Saldi Isra yang menyatakan presiden terbelenggu oleh legislasi, ada baiknya kita merenungkan dan mengkalkulasi seberapa besar pembelengguan konstitusi tersebut terhadap presiden. Sebab sebelum perubahan UUD 1945 terjadi eksekutive heavy, pasca amendemen terjadi pergeseran parlemen heavy. Apabila keposisian kedua lembaga Negara ini masih diotak-atik lagi, itu namanya kita melangkah mundur. Hal lain seringnya konstitusi diamendemen menjadi tidak baik, karena akan menggganggu keberlangsungan dinamika konstitusi dimasa mendatang. Untuk mensejajarkan DPR dengan presiden, kedua lembaga Negara baik presiden maupun DPR harus sama-sama diberi hak veto untuk menyetujui atau menolak undang-undang. Hak veto tidak boleh hanya diberikan kepada presiden saja, keliru besar pemikiran demikian.
Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini.
Dampak Pembelengguan Presiden
        Dampak dari pembelengguan presiden DPD lah yang akan menangguk untung besar, sebab jika amendemen UUD 1945 dilaksanakan, DPD akan nimbrung agar kelembagaannnya disejajarkan dengan DPR. Jadi dalam konteks ini DPR akan “dikeroyok” oleh kedua lembaga Negara yaitu, presiden dan DPD yang sama-sama meminta kewenangannya disejajarkan.
Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. Juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?. Ibarat jenis kelamin, DPD bukan laki-laki bukan juga perempuan. Lantas apa jenis kelamin DPD ini?. Apakah mau DPD disebut khuntsa (banci)?.
Referendum Untuk DPD
       MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
         Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Ada adagium hukum, lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi.
DPD kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen.
          Marilah memerhatikan dengan saksama tugas dan fungsi DPD sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 22D UUD 1945, sbb: DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaan DPD hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan, meskipun anaknya nglunjak tidak marah. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “Sabar anakku, jangan meminta amendemen sekarang, tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kemungkinan akan memberi wejangan lebih manis lagi: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, tunggu di 2014” susun dulu perubahan secara komprehensif.
       Dibutuhkan keberanian sikap DPR memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant terhadap politik, ataukah sebaliknya politik yang determinant terhadap hukum. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka keberadaan konstitusi dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia senantiasa akan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
       DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD. Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945 diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak konstitusional setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 1338 BW dan pasal 37 UUD 1945). Hal ini perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis jika ingin memiliki sifat kenegarawanan.Dibutuhkan kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sedemikian sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 226 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 sebagai pembelengguan DPD yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
       Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amendemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, memilih DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amendemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD,dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat DPD tersebut. Sebab ketika membuat perjanjian, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amendemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amendemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
 Berilah kewenangan DPD yang jelas kesimpulannya, pilih DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan sekarang juga karena sebagai lembaga Negara tiada bermakna.

Senin, 09 Februari 2009

Ketika sudah menjadi anggota MPR Pengabdianmu Kepada Partai Politik Itu Berakhir


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta
-Juara I Lomba Pidato tingkat Pegawai MPR-DPR 2003
-Master Kenotariatan UI
-Konsultan Hukum
-Pegiat Konstitusi dan Pengamat DPD



         Sejak saya menyatakan berhenti dari PNS DPD setahun yang lalu, waktu saya agak leluasa untuk kembali menulis, dimana hoby utama saya adalah memang menulis, guna memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik lagi.
UUD 1945 pasca amendemen, dipastikan tidak ada satupun mahluk di dunia ini yang hafal konstitusi. Jika pembukaan UUD 1945 masih banyak yang hafal, hafalan tersebut tidak berlaku untuk pasal-pasal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amendemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakbanyakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang ogah untuk membacanya apalagi menghafalnya. Pusing kepala, demikian “kata pelajar dan para mahasiswa”.
       Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat. Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan perubahan oleh MPR selama empat kali dalam sidangnya sejak 1999-2002. Salah satu amendemen UUD 1945 tersebut adalah, melahirkan lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah atau DPD sekaligus menjadi permasalahan di dalam konstitusi karena keberadaannya tidak diberi kewenangan.
   Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkat ceritera DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi.
       Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. 

Mekanisme Perubahan UUD 1945
        Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (DPR 550, DPD 128) jumlah anggota MPR 678. Jadi 1/3 nya MPR adalah 226 syarat untuk menggelar sidang MPR.
       Ayat (2) untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (678x2/3)= 452 kourum kehadiran. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan.
      Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (678:2+1) 340 anggota MPR.
Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amendemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak secara sadar telah membentuk cluster MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang.

MPR Tidak Boleh Menutup Mata
       Usulan Perubahan UUD 1945 yang kini digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah semula telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Usulan dukungan amendemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amendemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amendemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR harus tegas melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang “nyleneh”. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya yang akan menentukan nasib DPD, yaitu lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis putusan untuk merubah UUD 1945.
Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Ketika kita sudah menjadi anggota MPR, DPR dan DPD, maka berakhirlah pengabdian kita kepada partai, kelompok, fraksi dan golongan berubah menjadi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Selamat merubah Undang-Undang Dasar 1945, utamakanlah pengabdianmu kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun partai politik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19