Jumat, 12 April 2013

Faktor-Faktor yang Menghambat Nikah Siri Dipidanakan

 Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


         Tiga tahun lalu tepatnya 2010 publik dihebohkan pemberitaan kontroversi mengenai legal tidaknya nikah siri dapat dipidanakan. Bagi kalangan perempuan terutama yang duduk di parlemen tentu geram melihat sepak terjang banyaknya laki-laki yang menikah lagi dengan alasan sunah nabi, padahal syarat-syarat untuk menikah kedua, ketiga dan seterusnya tidak terpenuhi, seperti tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya. Besar kemungkinan anggota parlemen dari kalangan wanita akan memuluskan menyetujui draft RUU Nikah siri menjadi undang-undang untuk memidanakan suami-suami menikah siri. Sisi lain, anggota Parlemen dari kalangan Pria, kuat dugaan akan menolak habis-habisan RUU tersebut, karena menganggap membatasi hak asasinya. Kedudukan hukum Nikah siri memang sangat menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisa dengan saksama, sungguh-sungguh, holistis, sistemik, secara terintegrasi dan komprehensif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum), maupun secara hukum Islam (dalil naqli) bagi warga Negara Indonesia yang tunduk dan taat pada hukum Islam. Yang menarik, pemidanaan nikah siri ini pada saatnya, diobsesikan akan mendapatkan dukungan penuh dari kalangan anggota parlemen perempuan, srikandi-srikandi senayan tentu tidak mau menjadi korban suaminya menikah lagi. Ironisnya, sisi lain, wanita non parlemen yang dinikahi siri, justru merasa berbahagia, nikah siri baginya dianggap berkah. Kemauan nikah siri bagi kaum wanita pada umumnya banyak faktor kepentingannya, misalnya, menyukai pria yang berjabatan dan harta yang berlimpah tetapi tidak peduli, soal rupa, usia senja, apalagi yang namanya cinta. Tetapi bagi kaum laki-laki nikah siri dianggap suatu kebutuhan dan kepuasan, apalagi jika ekonominya sudah mulai mapan, maka bisikan nikah siri terngiang kuat ditelinga kaum laki-laki pada umumnya untuk melaksanakan hasrat “sunah nabi” itu. Umumnya laki-laki merasa kurang puas hanya memiliki seorang istri. Pendapat tersebut pada umumnya, artinya nikah siri bagi kaum wanita tidak mutlak selalu dilandasi oleh faktor-faktor negatif semata, tentu ada pengecualian bagi kaum wanita yang memiliki jiwa shalehah, baginya melaksanakan nikah dibawah tangan (siri), tetap tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kepada sang suaminya. Sebagaimana kita ketahui hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini ada tiga yaitu, hukum positip, hukum Islam dan hukum adat. Semuanya hukum tersebut menjadi living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat, keberadaannya perlu diakui, dijunjung tinggi dan dihormati, tidak boleh hukum antar tata hukum saling berbenturan satu sama lain, sehingga mengakibatkan perpecahan antar umat. Pasal 143 RUU Nikah Siri yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. RUU yang mengatur sanksi bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus nikah siri. Tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus. Sebab selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pemberlakuan pemidanaan nikah siri ini jelas tidak tepat selain melanggar Alqur’an juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nikah siri ini hanya soal tidak tertib administrasi saja sehingga dampaknya anak-anak dan suami atau istri tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Pernikahan sudah dilakukan dengan memenuhi syarat nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan. Namun pernikahan ini belum dicatat, sehingga tidak memiliki akta perkawinan. Kedudukan akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak memiliki bukti otentik inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki hubungan perdata. Apakah legal memidanakan Nikah Siri?. Marilah menyimak dengan saksama Firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat An Nisaa: 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berangkat dari Firman Allah SWT Surat AN Nisaa sebagaimana tersebut diatas, jelas pemidanaan nikah siri dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Selain dalil naqli yang kuat sebagaimana tersebut diatas pemidanaan nikah siri juga tidak mendapatkan ruang didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku. UUP (undang-Undang Perkawinan) Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Yang menjadi masalah besar karena perkawinan siri tidak dicatatkan maka secara hukum perdata, baik suami/istri atau anak-anaknya tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, dengan pengakuan yang dilakukan oleh seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Bedakan Pasal 43 UUP yang menyatakan bahwa, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya pasal tersebut menyatakan untuk anak luar nikah bagi ibunya tidak perlu mendapat pengakuan, dengan sendirinya anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun untuk bapak agar anak memiliki hubungan perdata tetap harus mendapat pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU. No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 8/2011, tentang Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. memutus pembubaran partai politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. . Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat. Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. Dengan putusan MK tersebut diatas jelas anak luar kawin selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga dengan bapak atau keluarga bapaknya. Dengan demikian gugurlah pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 43 UUP tersebut diatas. Dalam konteks Islam menikah untuk kedua, ketiga dan keempat kalinya memang dimungkinkan sepanjang laki-laki itu dapat berlaku adil pada istri-istrinya, dan tentu saja mendapat persetujuan istrinya. Akan tetapi bagi yang tidak dapat berlaku adil maka lebih baik cukup satu saja. Perbedaan Asas Perkawinan menurut Hukum Perdata dengan UU. No. 1 Tahun 1974 Sebagai perbandingan asas Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah monogami mutlak sebagaimana dipersepsikan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Maksud pasal ini suami atau istri baru dapat menikah untuk kedua kali dan seterusnya, jika salah satu pasangannya terjadi cerai hidup atau cerai mati. Hukum perdata memandang soal perkawinan hanya memiliki hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dilihat dari sudut pandang UUP (Undang-Undang Perkawinan) asas perkawinan juga monogami, tetapi monogami pengecualian, dipersepsikan pasal 3 ayat (1) :”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Berbeda dari sudut pandang kitab undang-undang hukum perdata, tujuan perkawinan menurut UUP pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan abadi berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan menurut UUP ada unsur religiusnya yang berorientasi nilai-nilai Ketuhanan, untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah dalam naungan dan ridho Allah SWT. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dipandang memiliki hubungan-hubungan bersifat keperdataan saja. Syarat Menikah untuk kedua kali dan seterusnya Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“ Kesimpulan Sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang partikulatif tidak memungkinkan pemidanaan bagi pelaku nikah siri, selain melanggar Firman Allah SWT dalam Surat AN NISAA:3 sebagaimana tersebut diatas juga melanggar Undang-Undang Perkawinan itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Senin, 11 Januari 2010

Mengapa MPR Mendistorsi Kewenangan DPD”?.


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI

            Angin segar kini kembali berhembus memberikan harapan kepada Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Menanggapi disertasi dari teman saya Saldi Isra yang menyatakan presiden terbelenggu oleh legislasi, ada baiknya kita merenungkan dan mengkalkulasi seberapa besar pembelengguan konstitusi tersebut terhadap presiden. Sebab sebelum perubahan UUD 1945 terjadi eksekutive heavy, pasca amendemen terjadi pergeseran parlemen heavy. Apabila keposisian kedua lembaga Negara ini masih diotak-atik lagi, itu namanya kita melangkah mundur. Hal lain seringnya konstitusi diamendemen menjadi tidak baik, karena akan menggganggu keberlangsungan dinamika konstitusi dimasa mendatang. Untuk mensejajarkan DPR dengan presiden, kedua lembaga Negara baik presiden maupun DPR harus sama-sama diberi hak veto untuk menyetujui atau menolak undang-undang. Hak veto tidak boleh hanya diberikan kepada presiden saja, keliru besar pemikiran demikian.
Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini.
Dampak Pembelengguan Presiden
           Dampak dari pembelengguan presiden DPD lah yang akan menangguk untung besar, sebab jika amendemen UUD 1945 dilaksanakan, DPD akan nimbrung agar kelembagaannnya disejajarkan dengan DPR. Jadi dalam konteks ini DPR akan “dikeroyok” oleh kedua lembaga Negara yaitu, presiden dan DPD yang sama-sama meminta kewenangannya disejajarkan.
Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. Juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?. Ibarat jenis kelamin, DPD bukan laki-laki bukan juga perempuan. Lantas apa jenis kelamin DPD ini?. Apakah mau DPD disebut khuntsa (banci)?.
Referendum Untuk DPD
            MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
           Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Ada adagium hukum, lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi.
DPD kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen.
           Marilah memerhatikan dengan saksama tugas dan fungsi DPD sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 22D UUD 1945, sbb: DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaan DPD hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan, meskipun anaknya nglunjak tidak marah. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “Sabar anakku, jangan meminta amendemen sekarang, tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kemungkinan akan memberi wejangan lebih manis lagi: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, tunggu di 2014” susun dulu perubahan secara komprehensif.
Dibutuhkan keberanian sikap DPR memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant terhadap politik, ataukah sebaliknya politik yang determinant terhadap hukum. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka keberadaan konstitusi dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia senantiasa akan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
          DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD.
Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945 diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak konstitusional setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 1338 BW dan pasal 37 UUD 1945). Hal ini perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis jika ingin memiliki sifat kenegarawanan.Dibutuhkan kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sedemikian sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 230 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 sebagai pembelengguan DPD yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amendemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, memilih DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amendemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD,dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat DPD tersebut. Sebab ketika membuat perjanjian, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amendemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amendemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Rabu, 21 Oktober 2009

DPD Perlu Belajar Hukum Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Master Hukum UI

        Sikap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) benar-benar sangat memalukan. Pasalnya baru-baru saja terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR unsur DPD dipermasalahkan karena dianggap tidak mewakili lembaga DPD. Pada hakekatnya Farhan Hamid itu bukan bertindak untuk dan atas nama kelembagaan DPD, tetapi ia adalah dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama dirinya sebagai anggota MPR. Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, anggota MPR itu terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Jadi terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR secara hukum itu sudah sah, karena sudah sesuai ketentuan konstitusi, UU maupun peraturan Tata Tertib MPR.
DPD Perlu belajar hukum ketatanegaraan dengan baik, sebab sikap yang diperagakan oleh DPD ini benar-benar sangat memalukan. Apalagi yang dipermasalahkan tidak bersifat mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan Negara. Permasalahannya hanya sepele soal ketiadaan “pembagian permen secara seimbang antara DPR dengan DPD” di Pimpinan MPR.
Jika DPD ngambeg hal itu wajar-wajar saja karena sakit hati tidak diberikan jatah 2 anggotanya duduk di Pimpinan MPR. Namun, DPD perlu menahan amarahnya kepada DPR, sebab, selain tidak seimbang melawan DPR baik mengenai kewenangannya maupun jumlah anggotanya, bisa-bisa jika DPR sudah geram kepada DPD malah memasuki ruang sidang paripurna majelis menjelma menjadi anggota MPR membubarkan DPD.

Kamis, 24 September 2009

Idul Fitri Hubungannya dengan Kehidupan Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen-Pati


            Lebaran dan Idul Fitri memang sudah berlalu, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh berlalu begitu saja. Bagi umat muslim, sebulan penuh telah melaksanakan ibadah puasa dan dilanjutkan dengan kegiatan ibadah tarawih dan tadarusan. Kegiatan itu semata-mata dilakukan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, karena kegiatan ibadah di Bulan Ramadhan nilainya dilipatgandakan ketimbang bulan-bulan yang lain.
           Namun sangat disayangkan, banyak yang belum memahami nilai-nilai semangat Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Pasca Ramadhan kita kenal dengan sebutan hari raya Idul Fitri atau lebaran, momentum tersebut digunakan untuk salam-salaman memohon maaf dan bathin. Saya tidak tahu apakah permohonan maaf tersebut dilakukan dengan tulus atau tidak. Atau bahkan sebaliknya, hanya dilakukan sekedar basa-basi belaka. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh imbalan pahalanya tidak lain adalah kita menjadi suci kembali, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Pada hari itu Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa hambanya, tetapi untuk urusan dosa dengan umat manusia (hablumminnas), maka antar sesama manusia sendiri yang wajib saling memafkan. Jangan sampai permohonan maaf lahir dan bathin ini hanya jadikan sebuah tradisi yang tidak bermakna.       Konkretnya hanya sekedar sebuah seremonial belaka.
Jika kita melaksanakan puasa dengan benar, maka bulan-bulan berikutnya ahlak dan moral kita akan menjadi lebih baik lagi, akan tercermin baik di Lingkungan bekerja, kehidupan masyarakat, berbangsa dan Bernegara. Karena Bulan puasa adalah ruh untuk bulan-bulan berikutnya.
Indikatornya seseorang yang berpuasa dengan benar, maka jika menjadi pemimpin pasti ia akan menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana, dan bagi karyawan atau pegawai akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggungjawab karena bekerja pada hakekatnya adalah merupakan ibadah.

Rabu, 25 Maret 2009

Apakah Sesungguhnya Fungsi Materai Itu ?.



Oleh Warsito, SH., M.Kn
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta


         Siapakah yang dipersalahkan jika banyak orang yang tidak mengetahui kegunaan materai dalam pembuatan kontrak atau perjanjian?. Anggapan selama ini, di instansi pemerintah atau swasta, jika orang sudah tanda tangan di perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat. Padahal sebenarnya fungsi materai tidak sekuat apa yang mereka kira.Materai itu tidak memilki pembuktian apa-apa.
        Lalu apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang otentik maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: Bentuk perjanjian/kontrak ditentukan oleh UU; dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum/notaris; dibuat di wilayah pembuatan kontrak tersebut (pasal 1868 BW). Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya.
Sekali lagi materai itu tidak memiliki pembuktian apa-apa, kecuali hanya untuk membayar pajak kepada negara.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19