Kamis, 19 Januari 2017

Dibutuhkan Berapa Periode MPR Amandemen Konstitusi?


 
Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
               Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
           JABATAN FUNGSIONAL DOSEN: LEKTOR

Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan. DPD itu maju tidak, mundur juga tidak alias bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan daerah (regional representation) sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen. Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat  kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Ada dugaan kuat DPD sengaja di design tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, dalam batas penalaran logis DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan, sebab jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain, keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR  ada dugaan kuat memiliki kepentingan untuk menempatkan orang-orang yang belum kebagian posisi di DPR untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki  peran strategis.
             Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga 15 Juli 1945).
             Sebagai buah reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil amandemen yang sangat signifikan dirasakan antara lain dapat: mengembalikan kuasa daulat rakyat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat {1} UUD 1945)  sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan mendistorsi kuasa daulat rakyat; dapat membatasi dengan tegas kekuasaan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan (pasal 7 UUD 1945); melahirkan lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang memiliki reputasi sangat baik sebagai peradilan progresif di abad mutakhir ini sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian constitution).
           Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Kegaduhan gagasan amandemen kelima UUD 1945 sudah dimulai sejak 2007 tatkala DPD mengusulkan agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR, sayangnya gagasan amandemen tersebut gagal total di pertengahan jalan. Berikutnya, pada tahun 2011 DPD  kembali ribut mengusulkan amandemen kelima UUD 1945,  tetapi kali ini belum sampai pada tahap diajukan oleh DPD pelan-pelan menghilang bak ditelan bumi. Selanjutnya pada tahun 2014 MPR telah secara resmi mengajukan amandemen kelima UUD 1945 untuk mengubah sejumlah substansi dalam konstitusi, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Tim Ad Hoc II MPR, Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014, nasional.kompas.com), sayangnya usulan tersebut sampai sekarang juga tidak jelas juntrungnya. Jika penulis perhatikan, dari periode ke periode masa jabatan anggota MPR selalu gaduh mewacanakan perubahan kelima UUD 1945, sayangnya antara periode sebelumnya dengan periode sekarang maupun di masa yang akan datang tidak dijadikan sebuah keputusan melembaga dan sistemik, sehingga terkesan dari periode ke periode  masa bhakti anggota MPR masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri cuma membikin gaduh suasana perpolitikan nasional. Di tahun 2016 kemarin MPR gencar kembali mengusung perubahan kelima UUD 1945, bedanya usulan amandemen konstitusi kali ini bukan inisiatif DPD, tetapi murni buah pikir MPR membaca gerak nadi masyarakat yang menginginkan kembali GBHN dimasukkan ke dalam konstitusi dimana selama ini kita telah kehilangan arah panduan untuk bernegara. Jika amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2017, besar kemungkinan akan bernasib sama dengan gagasan amandemen sebelumnya yang hanya bising membuat kegaduhan perpolitikan nasional alias GAGAL TOTAL. Mengharap MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 2018, HAMPIR MUSTAHIL, sebab anggota MPR didalamnya anggota DPR dan anggota DPD akan mencari selamat sendiri-sendiri merebut hati rakyat terjun ke kantong-kantong konstituen guna menghadapi pertarungan pemilu legislatif pada tahun 2019.
Sejak DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C  jo. Pasal 22D UUD 1945 yang diputuskan  dalam  rapat paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001 kelembagaannya hanya dijadikan assessories dalam sistem ketatanegaraan. DPD dilahirkan, tetapi hanya dipasangi “napas buatan” oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi dalam bentuk pengaturan (regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Jika di Inggris  memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords  dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral parliament, yaitu, The House of Representatives dan The Senate yang secara bersama-sama disebut The Congress The United States of America. The House of Representatives mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat (Pengantar llmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita yang mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya justru menjadi lelucon belaka. Kini, anggota DPD dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan setelah dihempas badai (gagalnya) amandemen konstitusi tahun 2007 lalu. Ibarat pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Analogi lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola, 132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang melawan tim DPR yang berkekuatan penuh 560 anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini pertahanan lapangan (usulan 1/3 perubahan konstitusi) tidak akan mampu.
Dengan hitungan rasional matematik diatas hampir mustahil usulan amandemen yang diusung secara parsial oleh DPD untuk memperkuat kelembagaannya dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan 1/3 usulan perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR untuk pengambilan putusan.
Berkaca dari pengalaman 2007 lalu, sudah 110 anggota DPR memberikan dukungan usulan amandemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan anggota DPR 550 anggota. Tetapi sayangnya, sebagian anggota DPR mencabut dan mengingkari tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali. Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit kepada DPD dianjurkan mengusulkan amandemen hasil pemilu 2009 saja. DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti saja hasil pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 ini nampaknya anggota MPR mulai setengah serius untuk melakukan amandemen UUD 1945 khususnya isue sentral mengenai perlunya GBHN kembali dimasukkan di dalam UUD 1945.
Usulan perubahan kelima konstitusi pada tahun 2007 lalu yang digagas oleh DPD  sudah mendapat dukungan 238 anggota MPR (110 anggota DPR dan 128 anggota DPD) tetapi kandas dipertigaan jalan, padahal sudah memenuhi persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Untuk kali kedua di akhir tahun 2011 DPD kembali menggugat konstitusi (baca mengusulkan amandemen) ketika itu DPD telah merampungkan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75 perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media Indonesia, 24/12/2011).Usulan amandemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk ditindaklanjuti. Dalam perkembangannya, usulan dukungan amandemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen kempes tinggal  204 anggota. Secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. Perilaku yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu  jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau menambah dukungan usulan amandemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu yang terkesan dibuat-buat ini, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan MPR), dugaan kuat memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amandemen itu. Batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika  itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi, soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amandemen konstitusi ditentukan kenegarawanan jumlah 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR. Pada hakekatnya, setiap anggota DPR  itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung amandemen konstitusi meski berseberangan kepentingan dengan partainya. Kedudukan anggota Majelis melakukan perubahan UUD bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945 (teliti KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320  dan Pasal 37 UUD 1945).
 Gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mengemuka di tahun 2016 dan 2017 ini, DPD lah yang akan menenggak keuntungan karena dapat mendompleng mengusulkan kembali agar kelembagaannya kuat dan sejajar dengan DPR. Dalam hal ihwal amandemen konstitusi, penulis pernah memaparkan secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian Media Indonesia pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara saksama draft naskah usulan amandemen konstitusi sebelumnya, usulan amandemen Jilid II ketika itu yang diusulkan DPD tidak terlihat perubahan yang signifikan, cuma sedikit semiran seolah memperjuangkan aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan di dalam konstitusi biar mendapat simpati rakyat, ide ini pun bakalan sulit direalisasikan mengingat DPR akan mudah membacanya. Dibanding 2007, usulan amandemen yang digagas DPD 2011 lalu, memang cukup cemerlang dan realistis bungkus indahnya, agar calon presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan amandemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki agenda yang utama, yaitu, agar kelembagaan DPD kuat dan sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi.                       
 Hanya ada dua opsi bagi MPR, mempertahankan DPD dengan memberi kewenangan, ataukah membubarkan. Indikasi kuat DPD “tidak diurus” dipertontonkan dengan terang benderang oleh DPR dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amandemen UUD 1945 tentang penguatan kelembagaan DPD. Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa.
Amandemen Konstitusi Berhasil Jika DPR Negarawan
Dampak jika DPD dapat  menembus amandemen kelima konstitusi, lembaga ini akan memiliki kewenangan ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan: “DPR  memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD  bergabung dengan DPR membuat UU, sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Kebalikannya, jika MPR tetap menelikung peran DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama, jika DPD diperkuat, berdampak mengacaukan konstitusi, jika hanya dijadikan assessoris dalam sistem ketatanegaraa lembaga negara ini selain mubadzir juga nihilnya estetika konstitusi. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak memiliki arti (meaningless).
Sesungguhnya bagi MPR mudah jika berkehendak membubarkan DPD cukup menggunakan tangan kanan MPR (anggota DPR) yang jumlahnya 560 beramai-ramai “memasuki ruang sidang majelis”, sudah dapat membubarkan DPD, sekalipun tanpa kehadiran seluruh anggota DPD (tangan kiri MPR) yang juga merangkap anggota MPR.

Selasa, 27 Desember 2016

Jika Nikah Siri Dipidanakan


                                   Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta;                                                                    Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang;                                           Dosen Fakultas Universitas Jayabaya, Jakarta.

         Enam tahun lalu, tepatnya pada tahun 2010 publik dihebohkan pemberitaan kontroversi mengenai legal tidaknya nikah siri dapat dipidanakan. Bagi kalangan perempuan terutama yang duduk di parlemen tentu geram melihat sepak terjang banyaknya laki-laki yang menikah lagi dengan alasan sunah nabi, padahal syarat-syarat untuk menikah kedua, ketiga dan seterusnya tidak terpenuhi, seperti tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya. Besar kemungkinan anggota parlemen dari kalangan Srikandi akan memuluskan menyetujui draft RUU Nikah siri menjadi undang-undang untuk memidanakan suami-suami menikah siri. Sisi lain, anggota Parlemen dari kalangan Pria, kuat dugaan akan menolak habis-habisan RUU tersebut, karena menganggap membatasi hak asasinya. Kedudukan hukum nikah siri memang sangat menarik untuk diteliti, dikaji, dianalisa dengan saksama, secara terintegrasi dan komprehensif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum), maupun secara hukum Islam (dalil naqli) bagi warga Negara Indonesia yang tunduk dan taat pada hukum Islam. Yang menarik, pemidanaan nikah siri ini diobsesikan akan mendapatkan dukungan penuh dari kalangan anggota parlemen perempuan, srikandi-srikandi senayan tentu tidak mau menjadi korban suaminya menikah lagi. Ironisnya, sisi lain, wanita non parlemen yang dinikahi siri, justru merasa berbahagia, nikah siri baginya dianggap berkah. Kemauan nikah siri bagi kaum wanita pada umumnya banyak faktor kepentingannya, misalnya, menyukai pria yang berjabatan dan harta yang berlimpah tetapi tidak peduli, soal rupa, usia senja, apalagi yang namanya cinta. Tetapi bagi kaum laki-laki nikah siri dianggap suatu kebutuhan dan kepuasan, apalagi jika ekonominya sudah mulai mapan, maka bisikan nikah siri terngiang kuat ditelinga kaum laki-laki pada umumnya untuk melaksanakan hasrat “sunah nabi” itu. Umumnya laki-laki merasa kurang puas hanya memiliki seorang istri. Pendapat tersebut pada umumnya, artinya nikah siri bagi kaum wanita tidak mutlak selalu dilandasi oleh faktor-faktor negatif semata, tentu ada pengecualian bagi kaum wanita yang memiliki jiwa shalehah, baginya melaksanakan nikah dibawah tangan (siri), tetap tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kepada sang suaminya. Sebagaimana kita ketahui hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini ada tiga yaitu, hukum positip, hukum Islam dan hukum adat. Semuanya hukum tersebut menjadi living law (hukum yang hidup) ditengah-tengah masyarakat, keberadaannya perlu diakui, dijunjung tinggi dan dihormati, tidak boleh hukum antar tata hukum saling berbenturan satu sama lain, sehingga mengakibatkan perpecahan antar umat. Pasal 143 RUU Nikah Siri yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. RUU yang mengatur sanksi bagi nikah siri pada awalnya dilakukan dengan alasan atau bertujuan untuk melindungi status anak dan istri yang banyak dirugikan pada kasus nikah siri. Tujuan dari RUU tersebut, jelas bagus. Sebab selama ini anak-anak maupun istri-istri hasil nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum. Namun pemberlakuan pemidanaan nikah siri ini jelas tidak tepat selain melanggar Alqur’an juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nikah siri ini hanya soal tidak tertib administrasi saja sehingga dampaknya anak-anak dan suami atau istri tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Pernikahan sudah dilakukan dengan memenuhi syarat nikah, rukun nikah serta ada wali pernikahan. Namun pernikahan ini belum dicatat, sehingga tidak memiliki akta perkawinan. Kedudukan akta tersebut bukan yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan melainkan bukti terjadinya pernikahan. Tidak memiliki bukti otentik inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari pernikahan siri tidak memiliki hubungan perdata. Apakah legal memidanakan Nikah Siri?. Marilah menyimak dengan saksama Firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat An Nisaa: 3 yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berangkat dari Firman Allah SWT Surat AN Nisaa sebagaimana tersebut diatas, jelas pemidanaan nikah siri dalam konteks sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Selain dalil naqli yang kuat sebagaimana tersebut diatas pemidanaan nikah siri juga tidak mendapatkan ruang didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku. UUP (undang-Undang Perkawinan) Pasal 2 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Yang menjadi masalah besar karena perkawinan siri tidak dicatatkan maka secara hukum perdata, baik suami/istri atau anak-anaknya tidak memiliki hubungan-hubungan keperdataan. Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, dengan pengakuan yang dilakukan oleh seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Bedakan Pasal 43 UUP yang menyatakan bahwa, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya pasal tersebut menyatakan untuk anak luar nikah bagi ibunya tidak perlu mendapat pengakuan, dengan sendirinya anak luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun untuk bapak agar anak memiliki hubungan perdata tetap harus mendapat pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU. No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 8/2011, tentang Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 3. memutus pembubaran partai politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. . Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat. Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. Dengan putusan MK tersebut diatas jelas anak luar kawin selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga dengan bapak atau keluarga bapaknya. Dengan demikian gugurlah pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 43 UUP tersebut diatas. Dalam konteks Islam menikah untuk kedua, ketiga dan keempat kalinya memang dimungkinkan sepanjang laki-laki itu dapat berlaku adil pada istri-istrinya, dan tentu saja mendapat persetujuan istrinya. Akan tetapi bagi yang tidak dapat berlaku adil maka lebih baik cukup satu saja. Perbedaan Asas Perkawinan menurut Hukum Perdata dengan UU. No. 1 Tahun 1974 Sebagai perbandingan asas Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah monogami mutlak sebagaimana dipersepsikan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Maksud pasal ini suami atau istri baru dapat menikah untuk kedua kali dan seterusnya, jika salah satu pasangannya terjadi cerai hidup atau cerai mati. Hukum perdata memandang soal perkawinan hanya memiliki hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dilihat dari sudut pandang UUP (Undang-Undang Perkawinan) asas perkawinan juga monogami, tetapi monogami pengecualian, dipersepsikan pasal 3 ayat (1) :”Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pasal 3 ayat (2): “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Berbeda dari sudut pandang kitab undang-undang hukum perdata, tujuan perkawinan menurut UUP pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan abadi berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan menurut UUP ada unsur religiusnya yang berorientasi nilai-nilai Ketuhanan, untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah dalam naungan dan ridho Allah SWT. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dipandang memiliki hubungan-hubungan bersifat keperdataan saja. Syarat Menikah untuk kedua kali dan seterusnya Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“ Kesimpulan Sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang partikulatif tidak memungkinkan pemidanaan bagi pelaku nikah siri, selain melanggar Firman Allah SWT dalam Surat AN NISAA:3 sebagaimana tersebut diatas juga melanggar Undang-Undang Perkawinan itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19