Minggu, 26 September 2021

Cara Memilih Suami atau Istri Yang Baik Utamakanlah Agama dan Akhlaq Yang Baik Agar Tidak Menyesal Dikemudian Hari.

 

Ketika kita masih remaja dalam hal memilih pasangan hidup tentu mendambakan memiliki suami/istri yang ganteng atau cantik, keinginan itu wajar dan sah-sah saja dalam batas penalaran logis cita-cita itu normal sebagai manusia siapa sih yang tidak ingin punya suami yang ganteng atau istri yang cantik, syukur-syukur sekalian dapat orang kaya itu juga keinginan yang masuk akal. Apalagi kalau dapat anak semata wayang berharap warisan akan jatuh kepada dirinya semuanya. Saran saya jika kita ingin memilih suami atau istri untuk pendamping hidup jangan mengedepankan kegantengan atau kecantikannya semata tetapi tidak melihat akhlaq atau moralnya baik atau tidak. Sebab, jika kita memilih jodoh tanpa mempertimbangkan akhlaq  dan moral nantinya kita bakalan kecewa dan akan menyesal seumur hidup, karena dalam perjalanan rumah tangga itu tidak melulu ganteng dan cantiknya yang dibutuhkan tetapi utamanya adalah akhlaq. Sudah berapa banyak rumah tangga yang berantakan karena perbedaan prinsip dalam mengarungi biduk rumah tangganya sehingga berakhir dengan perceraian. Perceraian disini dapat dipicu berbagai macam dari mulai alasan ekonomi, perselingkuhan maupun perbedaan prinsip yang sudah tidak bisa didamaikan lagi. Namun jika kita berharap punya suami ganteng atau istri yang cantik dan kaya itu tidak salah karena siapa sih yang hidup ini tidak ingin bahagia dengan harta, tetapi jika kegantengan dan kecantikan serta kekayaan dijadikan ukuran utama untuk memilih pasangan hidup itu justru dapat berakibat malapetaka bagi rumah tangga kita dikemudian hari.

 

Pilihlah Suami atau Istri Yang Memiliki Akhlaq Baik Niscaya Hidupmu Akan Bahagia

Rasulullah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan agar kita mengutamakan memilih suami atau istri yang memiliki agama dan akhlaq yang baik, tetapi tidak mengesampingkan jika kita berkeinginan untuk memiliki pasangan yang ganteng dan cantik, lagi-lagi itu keinginan yang normal dan sah-sah saja. Saya yakin tulisan ini bagi yang sudah berumah tangga akan membenarkan sebab ketika kita sudah berumah tangga ternyata banyak onak duri merintang perbedaan-perbedaan yang kita hadapi dengan pasangan yang kita ketahui baru setelah menikah. Sebelum menikah atau ketika masih pacaran tentu kita tidak akan mengetahui semua tabiat baik dan buruknya pasangan, pada waktu pacaran hanya yang indah-indah saja yang ditampilkan dipermukaan, tetapi begitu rumah tangga kita akan disuguhi isi keasliannya karakter pasangan kita masing-masing. Inilah mengapa Rasulullah Nabi Agung Muhammad SAW menganjurkan kita agar mengutamakan memilih pasangan yang memiliki agama dan akhlaq yang baik agar kita selamat dalam berumah tangga, sebab jika orang sudah memiliki agama dan akhlaq baik insya allah dia akan bersabar dan sejuk dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, orang yang agamanya baik tidak akan membanding-bandingkan tetangga kanan dan kirinya yang memiliki rumah atau barang yang tidak sesuai kemampuannya. Orang yang memiliki agama dan akhlaq yang baik akan terasa dipandang indah baik ucapannya maupun perilakunya. Pasangan yang memiliki budi pekerti yang luhur kita akan betah tinggal dirumah, sebaliknya, pasangan yang tidak memiliki akhlaq atau agama yang baik bisa-bisa rumah tangga sering berantem, uring-uringan akhirnya kita terbesit fikiran untuk kabur dari rumah. Masalahnya, kabur dari rumah jika kita sudah punya anak kasihan anak-anak kita apalagi masih membutuhkan kasih sayang dan biaya yang tidak sedikit. Agar tali perkawinan bisa sekali untuk selama hidup, maka utamakanlah pasangan yang memilki agama dan akhalq yang baik insya allah hidupmu akan berbahagia.

Aamiin.

 

Cara Memilih Jurusan Kuliah Agar Tidak Menyesal Seumur Hidup

 

 

Ketika masih duduk di bangku SMA kita sering mendengar banyak  siswa yang ambil jurusan IPA ketimbang IPS, hal ini karena menganggap jurusan IPA itu memiliki gengsi tinggi dalam percaturan pendidikan, padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Pada tahun 1984 ketika saya SMA jurusan yang ada pada waktu itu A1, A2 dan A3 bahkan A4, dikalangan teman-teman saya pada waktu itu  seolah jika bisa ambil jurusan IPA atau biologi itu sudah jurusan favorit lagi-lagi tidak demikian. Sebelum kita mengambil jurusan kuliah harus benar-benar dipikirkan secara matang agar dikemudian hari kita tidak menyesal, sebab salah memilih jurusan kita bisa menyesal seumur hidup. Sebenarnya mau jurusan IPA atau IPS itu semua bagus tergantung kemampuan atau kompetensi kita, ingat antara individual yang satu dengan yang lain tentu tidak sama dan memiliki kemampuan masing-masing. Memilih jurusan kuliah itu ibarat kita memiliki tas yang ada isinya, kalau ditanya didalam tas isinya apa tentunya hanya kita sendiri yang tahu isinya orang lain tidak bakalan tahu apa yang ada didalamnya. Ketika memilih jurusan kuliah hanya kita yang bisa mengukur kemampuan kita sendiri sekalipun  orang tua kita juga tidak tahu kemana kompetensi anaknya, tetapi orang tua juga harus bisa mengarahkan anaknya dan memiliki panca indera yang kuat dapat menilai dan menuntun anaknya agar tepat memilih jurusan kuliah agar tidak salah pilih, sebab jika salah pilih dalam menentukan jurusan kuliah bisa fatal akibatnya dan ingat masa muda tidak akan pernah terulang lagi.

 

Pilihlah Jurusan Yang Sesuai Dengan Jiwamu

Dengan memilih jurusan yang sesuai dengan bidang dan jiwamu maka saudara akan belajar dengan sungguh-sungguh dan akan mencintai pekerjaan itu nantinya kelak. Sudah banyak ribuan bahkan jutaan orang yang menyesal akibat salah pilih jurusan karena tidak cermat dalam menentukan keputusan ketika kuliah. Soal kuliah di PTN atau PTS yang penting kita masih mau kuliah itu tidak masalah semua kuliah dimana saja bagus, sebab kuliah hanya akan mengantarkan kita untuk bisa berfikir secara sistematis dan terukur kuliah dimana pun tidak dapat menjamin kita bisa sukses yang bisa menjamin kita bisa hidup sukses adalah kita sendiri dengan bekerja keras, ulet dan pantang menyerah. Banyak dari lulusan sarjana yang bekerja mengalami “Kecelakaan”, kecelakaan disini yang saya maksud adalah bahwa bekerja banyak yang tidak sesuai dengan jurusan waktu kuliah, tetapi berhubung hidup ini jalan terus butuh biaya untuk kehidupan, bekerja apa saja diterima yang penting pokoknya halal. Inilah pentingnya kita agar benar-benar memperhatikan jurusan kuliah yang akan kita ambil agar kita tidak menyesal nantinya dikemudian hari. Jika kita sudah ambil jurusan yang sesuai dengan talenta kita insya allah besok kelak ketika kita bekerja akan nyaman, tenang dan damai. Karena hidup ini tidak hanya mengejar uang tetapi juga perlu kepuasan hidup yang harus berjalan beriringan buat apa kerja dalam tekanan apalagi tidak sesuai dengan talenta hanya untuk mengejar uang maka hidup yang sekali yang seharusnya kita nikmati ini akan merugi. Saya bisa memberikan saran seperti ini karena saya sudah makan asam garam dalam hal kehidupan dengan orang-orang yang mengalami hidupnya salah jurusan kuliah sehingga menyesal seumur hidup. Pertanyaannya, apakah ada orang yang tidak berpendidikan tinggi tetapi bisa sukses?. Jawabannya ada, lagi-lagi kuliah tidak bisa membuat orang untuk hidup sukses kuliah hanya mengantarkan ke depan pintu gerbang kita semua untuk memperoleh kesuksesan semuanya dikembalikan kepada pribadi kita masing.

 

Cara Kaji Ulang Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Opsi Diberikan Kewenangan Atau Dibubarkan

 

 

 

Berkali-kali penulis telah menyerukan, bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini kelembagaannya hanya dijadikan accessories  di dalam sistem ketatanegaraan, karena legislatif yang memiliki kuasa penuh adalah DPR yang mempunyai kekuatan purbawisesa di parlemen. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi, sudah beberapa kali  protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat, kewenangan DPR menjadi dimadu dalam pertarungan legislasi bersama DPD. Untuk itu, ada dugaan kuat DPR tidak akan rela memberikan persetujuan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaan DPD. Setiap anggota majelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan, ataukah sebaliknya, politik yang dikedepankan. Apabila, jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka, konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek juridis, tetapi tidak mengesampingkan sudut pandang filosofis, sosiologis, dan historis soal aspek politis tidak mesti harus ada.

Dibutuhkan sikap kenegarawanan MPR, bahwa rumusan Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 itu  ada pemasungan terhadap kelembagaan DPD yang sudah terstruktur sedemikian sistemik. Lihat Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR, ini rumusan yang tidak tepat. Dihubungkan dengan Pasal 37 UUD 1945, yang menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan, jumlah anggota DPD itu saat ini hanya 136 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum, bahwa Presiden dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

MPR perlu belajar dari kasus Presiden Adurrahman Wahid yang membekukan MPR/DPR, sehingga pada 23 Juli 2001, di impeachment (dimakzulkan) melalui Sidang Istimewa MPR. Boleh jadi, alasan pembekuan MPR/DPR oleh Presiden Abdurrahman Wahid karena UUD 1945 (naskah lama), tidak ada larangan  membubarkan MPR/DPR. Larangan itu hanya diatur didalam penjelasan yang dianggap bukan sebagai bagian normatif.

Penting diperhatikan bahwa perubahan konstitusi tidak hanya melalui amandemen formal (formal amandement) sebagaimana mekanisme Pasal 37 Perubahan UUD 1945 yang menghendaki persetujuan mayoritas anggota MPR. Menurut Wheare (1971) didalam Harun (2006: 37), menyebut tiga kemungkinan perubahan konstitusi: (i) melalui some primary forces, (ii) melalui judicial interpretation dan convention.

MPR Kewenangannya Sudah Direduksi Secara Signifikan Dalam Sistem Ketatanegaraan

 

Salah satu, yang menjadikan kelumpuhan MPR pasca amandemen UUD 1945, adalah MPR tidak berwenang lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat {1} UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden, inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara lagi. Secara periodik, MPR pasca amandemen UUD 1945, praktis hanya menjalankan tugas rutinitas lima tahunan sekali, yaitu, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tugas seremonial kenegaraan ini membutuhkan waktu tidak kurang tidak lebih hanya satu setengah jam saja.

        Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945 sejak 1999-2002, tidak melakukan dengan cermat, teliti dan hati-hati, sehingga terdapat pasal-pasal UUD 1945 yang tidak konkordan. Salah satunya, MPR tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”.

MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri, sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR, menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut, hampir dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.

Sebenarnya, Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian, fungsi rakyat benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan Presiden dan/ atau Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tentunya tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Cara Atau Mekanisme Prosedur Perubahan UUD 1945 Secara Konstitusional

Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi. Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah 711 anggota MPR (DPR 575, DPD 136). Jadi 1/3 nya 711 anggota MPR adalah 237, sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR.

Ayat (2) untuk mengubah Pasal-Pasal UUD 1945, kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3, dari jumlah anggota MPR (711x2/3)= 474 anggota MPR. Apabila,  kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya, apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya, sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disini, pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis, agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat diteruskan.
            Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota, dari seluruh anggota MPR (711:2+1) dibutuhkan 356.5 anggota MPR untuk amandemen konstitusi.

            Apabila ternyata dalam sidang majelis 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amandemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralism, sejajar dan kuat dengan DPR turut pengambilan keputusan bidang legislasi. Tetapi permasalahannya,  memperkuat DPD, akan berdampak kepada Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945  yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya, apabila amandemen tersebut disetujui, maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR, tetapi,  juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang, tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain,  penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR, yang bukan sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu, antara lain, menetapkan dan merubah UUD 1945.

 

 

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19