Minggu, 26 September 2021

Cara Kaji Ulang Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Opsi Diberikan Kewenangan Atau Dibubarkan

 

 

 

Berkali-kali penulis telah menyerukan, bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini kelembagaannya hanya dijadikan accessories  di dalam sistem ketatanegaraan, karena legislatif yang memiliki kuasa penuh adalah DPR yang mempunyai kekuatan purbawisesa di parlemen. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi, sudah beberapa kali  protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat, kewenangan DPR menjadi dimadu dalam pertarungan legislasi bersama DPD. Untuk itu, ada dugaan kuat DPR tidak akan rela memberikan persetujuan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaan DPD. Setiap anggota majelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan, ataukah sebaliknya, politik yang dikedepankan. Apabila, jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka, konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek juridis, tetapi tidak mengesampingkan sudut pandang filosofis, sosiologis, dan historis soal aspek politis tidak mesti harus ada.

Dibutuhkan sikap kenegarawanan MPR, bahwa rumusan Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 itu  ada pemasungan terhadap kelembagaan DPD yang sudah terstruktur sedemikian sistemik. Lihat Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR, ini rumusan yang tidak tepat. Dihubungkan dengan Pasal 37 UUD 1945, yang menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan, jumlah anggota DPD itu saat ini hanya 136 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum, bahwa Presiden dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

MPR perlu belajar dari kasus Presiden Adurrahman Wahid yang membekukan MPR/DPR, sehingga pada 23 Juli 2001, di impeachment (dimakzulkan) melalui Sidang Istimewa MPR. Boleh jadi, alasan pembekuan MPR/DPR oleh Presiden Abdurrahman Wahid karena UUD 1945 (naskah lama), tidak ada larangan  membubarkan MPR/DPR. Larangan itu hanya diatur didalam penjelasan yang dianggap bukan sebagai bagian normatif.

Penting diperhatikan bahwa perubahan konstitusi tidak hanya melalui amandemen formal (formal amandement) sebagaimana mekanisme Pasal 37 Perubahan UUD 1945 yang menghendaki persetujuan mayoritas anggota MPR. Menurut Wheare (1971) didalam Harun (2006: 37), menyebut tiga kemungkinan perubahan konstitusi: (i) melalui some primary forces, (ii) melalui judicial interpretation dan convention.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALHAMDULILLAH ANAK SAYA LULUS SKD TEST ASN di KEMENTERIAN ESDM SUMBER DAYA MINERAL UJIAN BERTEMPAT DI PPK KEMAYORAN

    Foto Anak Saya Test ASN di Gedung PPK Kemayoran Pada hari Minggu, Tanggal 27 Oktober 2024   Pada hari Minggu, tanggal 27 Oktober 2024 sa...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19