Oleh WARSITO
Juara I Analis Undang-Undang DPR-RI Tahun 2016
Seriuskah MPR berkehendak merubah amandemen kelima UUD 1945?. Selama ini MPR hanya terdengar bising berwacana hendak melakukan perubahan UUD 1945 antara lain terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 3 (tiga) periode, tapi masih bagus MPR sekarang menyadari negara ini tidak memiliki panduan bernegara (GBHN) kemudian ingin memasukkan kembali GBHN didalam konstitusi. Perubahan UUD 1945 harus dilakukan secara komprehensif, holistis dan terintegrasi tidak boleh dilakukan secara parsial. Muatan UUD 1945 itu berbeda dengan muatan UU yang sewaktu-waktu dapat dilakukan perubahan. Konstitusi harus dibuat dan memiliki visi jauh ke masa depan bangsa agar tidak mudah lapuk dimakan zaman (verourded). Dalam batas penalaran logis wacana masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 3 (tiga) periode sangat tidak masuk akal dan menjungkirbalikkan logika hukum. Hasil reformasi konstitusi mengapa pasal 7 UUD 1945 yang asli tentang masa jabatan presiden dirubah?. Karena rumusan tsb terjadi multitafsir yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Kata "dapat" multitafsir dapat dipilih seterusnya bisa juga dimaknai dapat dipilih sekali lagi. Oleh karena itu biar jelas dan gamblang pasal 7 UUD 1945 telah dirubah sbb: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal tsb sudah terang benderang sehebat apa pun presiden dan wakil presiden sudah di lampu merah oleh konstitusi maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Anehnya MPR, kini tidak ada angin dan tidak ada hujan tiba-tiba mewacanakan merubah konstitusi terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden 3 (tiga) periode. Kenapa tuan-tuan MPR tidak kreatif mengembalikan rumusan asli pasal 7 UUD 1945 tsb?. Kenapa perlu mengembalikan ke rumusan asli pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali?. Dalam Kondisi saat ini rumusan pasal 7 UUD 1945 yang asli justru benar dan tepat karena sekarang Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Mengapa cuma mewacanakan 3 periode masa jabatan?. Biarkan saja rakyat yang akan menentukan presidennya sepanjang dapat mensejahterakan rakyat.
Bukalah Pembentukan Komisi Konstitusi
melalui TAP MPR, sehingga MPR tidak perlu repot-repot lagi untuk membentuk dan membahas telaahan kajian konstitusi untuk amandemen UUD 1945 karena sudah diadakan oleh MPR periode
sebelumnya. MPR adalah Lembaga negara yang pernah menerbitkan TAP MPR
No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan
pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, di kemanakan kajian komisi konstitusi selama ini?. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah
secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan
Pimpinan MPR dengan pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah atau
DPD di MPR, Jakarta, Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008).
MPR
Jangan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran
MPR
pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi
yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan
perubahan UUD 1945. Komisi ini diberi tugas bekerja selama 7 bulan sejak 8
Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah
diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR
pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya,
kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana
milyaran rupiah itu?.
Dukungan pembentukan Komisi untuk amendemen kelima UUD 1945 secara komprehensif
disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun
ke-63 MPR, di gedung MPR, Jakarta (Kompas, 30/8-2008). Sebelumnya, dukungan
pembentukan Komisi pengkaji konstitusi disampaikan presiden pada saat pidato
kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu.
Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan
Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR,
MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas,
diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang
getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat
mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak
hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat
kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan
sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal
melakukan amendemen kelima UUD 1945.
DPD
meminjam tangan agar presiden lah yang berinisiatif membentuk Komisi, demikian
kata ketua DPD Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9-2008). Mengapa DPD berharap
presiden yang berinisiatif membentuk Komisi?. Bukankah DPD sendiri berwenang
membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” memakai jas MPR?. Jika benar
pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh presiden apakah hal itu justru
tidak menjerumuskan presiden?. Bolehkah presiden mengambil inisiatif membentuk
Komisi pengkaji Konstitusi?. Bukankah presiden bersumpah akan memegang teguh
UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya?. Bolehkah
presiden dalam kapasitas mempersoalkan substansi UUD 1945?. Berhati-hatilah
tuan presiden membentuk Komisi pengkaji konstitusi, karena hal itu boleh jadi
jebakan maut presiden untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan
membentuk Komisi pengkaji konstitusi itu berada ditangan MPR, bukan kepada
presiden juga bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
Mengapa
DPD berharap kepada presiden yang berinisiatif membentuk Komisi pengkaji
konstitusi?. Hal ini boleh jadi, setelah DPD melihat gelagat MPR lembaga yang
sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membentuk tim penelaah konstitusi,
justru enggan untuk membentuk. Apa yang sebenarnya menjadikan MPR enggan
membentuk tim penelaah konstitusi?. Jawabannya adalah, didalam MPR terdapat
kepentingan 575 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar
dengan DPR. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya pimpinan MPR
secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak pimpinan MPR, jika terjadi joint
session/sidang majelis (bertemunya DPR dengan DPD), pimpinan MPR akan dijabat
secara bergantian antara pimpinan DPR dengan pimpinan DPD, konsekuensinya
Pimpinan MPR secara permanen tentu akan dibubarkan. Gagasan ini masuk akal
(reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan
tugas konstitusionalnya melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan
kewenangan lainnya MPR, seperti merubah UUD 1945 dan memberhentikan presiden
menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
Bagaimana jika 136 anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi
Konstitusi?. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di
Majelis. Hal lain, gagasan amendemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti
akan mudah dikandaskan melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Marilah menyimak
dengan saksama rumusan pasal 37 UUD 1945.
(1)
Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Berarti
syarat minimal usulan perubahan UUD 1945 itu 1/3x711= 237 anggota MPR. Berapa
jumlah anggota DPD?. Apakah jumlah anggota DPD yang hanya 136 itu dapat
memenuhi syarat usul perubahan konstitusi?.
(2)
Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3)
Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota MPR.
Berarti
kourum kehadiran membutuhkan 2/3x711= 474 anggota MPR. Berapa jumlah anggota
DPD?. Jangankan memenuhi kourum kehadiran, mengusulkan perubahan konstitusi
saja tidak memenuhi syarat.
(4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
MPR.
Berarti
putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 dibutuhkan 711:2+1=357 anggota MPR. Lagi-lagi jumlah anggota DPD tidak memenuhi syarat. Mekanisme perubahan konstitusi pasal 37 UUD 1945 hanya
menempatkan DPD sebagai lembaga Negara komplementer alias tidak memiliki makna (meaningless) dalam sistem ketatanegaraan.
Itulah,
mengapa DPD perlu meminjam tangan presiden untuk membentuk Komisi, karena
posisi DPD lemah lunglai tidak berdaya. Pengharapan pembentukan Komisi
Konstitusi oleh presiden, hanya bersifat dukungan politis untuk DPD. Secara
juridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh presiden tidak memiliki makna
apa-apa, mengingat keberadaan Komisi tersebut tidak dibuat oleh lembaga Negara
yang berwenang. Apabila Presiden nekat membentuk komisi konstitusi, maka
tindakan presiden dapat dikwalifisir inkonstitusional.
MPR membentuk Komisi Konstitusi karena dilatari desakan dari
berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan.
Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan
UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung
kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak
dimanfaatkan oleh MPR. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi
Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah. Dengan demikian, MPR hanya
sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR
tersebut. Hal ini boleh jadi akibat pembentukan Komisi Konstitusi tidak
dilandasi itikad baik untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Oleh
karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II.
Apapun namanya telaahan konstitusi tersebut, lebih baik dibatalkan saja, untuk
apa membentuk komisi lagi jika pada akhirnya MPR tidak mau melaksanakan rekomendasi dari pembentukan komisi konstitusi tsb. Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi
Konstitusi, sama saja MPR STM (sibuk tidak menentu) hanya mubadzir,
besar kemungkinan komisi itu akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi
sebelumnya.
Sepanjang
MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya
antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain
MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis
memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Keberadaan DPD yang hanya
dijadikan pelengkap dalam sistem ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari
Komisi Konstitusi.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD,
maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu
hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral.
Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena
yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih
presiden dan wakil presiden lagi, ternyata DPD masih lebih lemah
(lintuh) ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat
mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden;
juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan
yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi
Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih
Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersama-sama.
Untuk
Apa DPD?
Editorial Media Indonesia 29/12 2007 berjudul “Kesetaraan DPR dan DPD” mengajak
kita semua patut kontemplatif mengenai keberadaan DPD. Editorial tersebut
menyatakan bahwa “Ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga
tidak mengganjilkan”, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas.
Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini “dihadirkan” jika keberadaannya tidak
mendatangkan manfaat sama sekali?.
Keberadaan
lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak
mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini
tidak diberi wewenang oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam
bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking).
Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan
kepada DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR
tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga
“Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR”.
(Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba
terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD
diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh
dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan
terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan
kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja
dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk
merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.
Dibubarkan
Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD saat ini sudah menginjak usia 17
tahun, mari merefleksi sejenak keberadaan kelembagaan ini, apakah lembaga ini
bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerja
memakai kaca mata kuda hanya untuk memenuhi ketentuan: Konstitusi; Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak
bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai sebuah lembaga negara yang tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini
dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka,
konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amendemen pasal 22D UUD
1945.
Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi pengkaji perubahan UUD
1945. MPR lebih baik membuka kembali buku kajian Komisi Konstitusi sebagaimana
diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi
sebagai referensi menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Hal
terpenting untuk diketahui oleh MPR, bahwa jika niat pembentukan Komisi tetap diteruskan, dipastikan tidak akan terkejar untuk amendemen
kelima UUD 1945, mengingat MPR periode 2019-2024 akan segera berakhir. Bukankah tuan-tuan
anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD akan berkonsentrasi menuju pemilu 2024 untuk merayu konstituen?. Kesalahan besar MPR tidak
menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena
selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur, indikatornya, setiap pergantian
periode MPR, sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode
berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi
karya MPR periode 1999-2004 ini, tetapi MPR periode 2004-2009 dan berikutnya tidak menindaklanjutinya. Padahal MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama
empat kali terdapat banyak kekurangan dan ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara.