Selasa, 30 Januari 2024

AMANDEMEN UUD 1945 DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA TERHADAP LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

 


 

Oleh Warsito, SH., M.Kn.                                                      

   Peneliti dan Pengkaji Konstitusi

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Gerakan reformasi yang   dimotori kaum mahasiswa dengan berbagai komponen masyarakat, sudah tidak dapat dibendung lagi, sehingga secara heroik puncaknya dapat menumbangkan rezim Soeharto dari jabatan Presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998.        

  Tuntutan reformasi ini berawal dari krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional, ditambah krisis moral yang bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Demonstrasi besar-besaran ini sebenarnya bom waktu akumulasi dari ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahan Soeharto. Tragis benar nasib Soeharto yang baru dilantik kembali menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 11 Maret 1998, selang dua bulan kemudian dipaksa mengundurkan diri, pada waktu itu penyelenggaraan Negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab kepada presiden.

Menurut Laica Marzuki, hampir semua Negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya. Rakyat adalah segala-galanya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan kedaulatan tertinggi. The founding fathers di dalam UUD 1945 mencantumkan paham kedaulatan rakyat dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama), dikala konstitusi dimaksud disahkan dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Komanfu, Pedjambon 2, Djakarta. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Bermula rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menurut Rancangan UUD 1945 hasil Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar  yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, berbunyi, “Souvereneiteit” berada ditangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Badan Permusyawaratan Rakyat”. Istilah Badan Permusyawaratan Rakyat kelak diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat, sesuai usul anggota BPUPKI, Muhammad Yamin, dalam sidang Kedua anggota BPUPKI, pada tanggal 11 Juli 1945. (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sejarah, Realita dan Dinamika, 2007:3).[1]

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum terbentuk kala itu. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (redaksi lama) berbunyi, “sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan  Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.[2]

Gerakan reformasi antara lain menuntut amandemen konstitusi yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan, termasuk menata ulang kedudukan, tugas, fungsi  dan wewenang serta susunan keanggotaan lembaga-lembaga negara. MPR sebelum melaksanakan perubahan UUD 1945 ada 5 (lima) kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan perubahan UUD 1945 tersebut sebagai platform atau koridor yaitu:

a.       tidak mengubah pembukaan UUD 1945;

b.      tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c.       tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial;

d.      menghapuskan penjelasan UUD 1945 dengan memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan de dalam pasal-pasal;

e.       perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara adendum.[3]

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Selain itu, MPR juga sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR  memiliki kewenangan luar biasa dahsyat yaitu, dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal lembaga tertinggi Negara  bernama MPR ini.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat secara langsung yang diselenggarakan pada tahun 2014  merupakan kali ketiga sejak reformasi digulirkan pada Tahun 1998. Dimana sebelumnya, Pilpres secara langsung untuk pertama kalinya dilaksanakan pada Tahun 2004. Sebelum perubahan UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR dipandang sarat dengan kepentingan politik, hasilnya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR ketika itu tidak memiliki derajat dan akuntabilitas yang tinggi di mata rakyat.

Salah satu substansi penting dari perubahan UUD 1945 adalah, dikembalikannya fungsi kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Gebrakan putusan MPR melalui UUD 1945 tersebut perlu mendapat apresiasi kita semua sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat.

Sebelum reformasi konstitusi kedudukan presiden sebagai mandataris MPR, menjadi tidak berfungsinya organ-organ hubungan antar kelembagaan Negara dengan baik serta tidak berfungsinya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reformasi  yang di inginkan agar penyelenggaraan Negara mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna. Dalam praktek penyelenggaraan Negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang telah menguntungkan, pribadi, sekelompok, golongan dan partai politik sehingga menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat Negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan Negara dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.

Tuntutan reformasi itu antara lain:

a.       amandemen UUD 1945;

b.      penghapusan dwi fungsi ABRI;

c.       penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);

d.      desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);

e.       mewujudkan kebebasan pers;

f.       mewujudkan kehidupan demokrasi.

 

Hasil reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Perubahan UUD 1945 tersebut merupakan pengalaman historis bersifat monumental bagi bangsa dan negara Indonesia untuk menyempurnakan aturan dasar yang fundamental bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Dengan perubahan itu, UUD 1945 disempurnakan menjadi makin sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan bangsa Indonesia dan peradaban umat manusia. Perubahan Konstitusi itu diharapkan menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, sehingga memiliki daya tahan yang kuat ke masa depan. Perubahan UUD 1945 tersebut dimaksudkan agar cita-cita negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 oleh para pendahulu dapat diteruskan oleh generasi penerus. Selain itu perubahan UUD 1945 tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD 1945 agar sesuai dengan antara lain perkembangan paham demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tegaknya supremasi hukum, dikembangkannya ekonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan terwujudnya Negara kesejahteraan pada era modern ini yang di Ridhoi Allah SWT. Perubahan UUD 1945 diharapkan dapat menjangkau jauh ke masa depan bangsa agar tidak mudah usang atau lapuk di makan zaman (verourded).

Amandemen UUD 1945 itu, berdampak kepada tereduksinya kewenangan MPR antara lain, tidak lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kini sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR sekarang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi.

Dengan dipangkasnya kewenangan MPR secara signifikan, sisa-sisa kewenangan MPR, antara lain, tinggal melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan, kewenangan MPR untuk merubah UUD 1945 dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela: dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, hanya bersifat insidentil belaka, (Pasal 7A Jo. Pasal 7B UUD 1945).
                Secara periodik, MPR pasca amandemen UUD 1945, praktis hanya menjalankan tugas rutinitas lima tahunan sekali yaitu, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tugas seremonial kenegaraan ini membutuhkan waktu tidak kurang tidak lebih hanya satu setengah jam saja. Namun demikian, meskipun secara kelembagaan kewenangan MPR sudah melemah bukan sebagai lembaga tertinggi negara lagi, ada satu hal yang menarik dari lembaga MPR ini, keberadaannya dalam praktek masih tetap sebagai lembaga tertinggi negara, hal itu dapat dilihat kewenangan MPR dapat merubah dan menetapkan UUD 1945 yang didalamnya dapat menghadirkan atau membubarkan lembaga-lembaga Negara yang dipandang tidak memiliki asas kemanfaatan.
            Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).     Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.

Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
            Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
            Menurut Monika Suhayati (Jurnal Ilmiah Negara Hukum: 2011: 191) Perubahan UUD 1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.

            Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:

1.      MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD;

2.      MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

3.      MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

            Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.

            Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan ”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan.

            Menurut penulis, sejalan dengan prinsip ketatanegaraan, salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah dapat diselenggarakannya pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, dimana sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung merupakan sarana pelaksanaan fungsi kedaulatan rakyat. Reformasi konstitusi juga dapat membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Selain itu, hasil reformasi konstitusi yang sangat substansial adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.[4] Keberadaan Mahkamah Konstitusi terkait pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Selain itu, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden agar mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Selain itu, demokrasi yang dilaksanakan dengan jujur dan adil dapat  menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi dari penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk  menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Disamping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat.[5]

           

        BAB II

PEMBAHASAN

  1. Kedudukan MPR

Anggota MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota MPR periode 2019-2024 saat ini berjumlah 711 Anggota terdiri dari anggota DPR 575 orang dan anggota DPD 136 orang.

Menurut Denny Indrayana dalam Monika Suhayati, perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara  melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan ”MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap  sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara” dan bahwa”karena MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.[6]

            Namun menurut Maria Farida Indrati S, masih dalam Monika Suhayati, perubahan Pasal 3 UUD 1945 telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa presiden tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab menjalankan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR.[7]

            Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur didalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002.

            Menurut Jimly, dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR ditentukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc.[8] Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 2004. Ketentuan ini menempatkan undang-undang langsung berada dibawah UUD 1945.

            Namun menurut penulis pembentuk undang-undang nampak kebingungan sekali dengan kedudukan status TAP MPR apakah termasuk bagian perundangan-undangan atau tidak. Sehingga terbitnya UU. No. 10 Tahun 2004 TAP MPR menjadi dihilangkan dari hierarki peraturan perundang-undangan, namun didalam UU. No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan TAP MPR dimasukkan kembali sebagai bagian dari  hirarki peraturan perundangan-undangan dibawah langsung UUD 1945.

            Di dalam buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Terbitan Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2007:44), Perubahan Pasal 1 ayat (2) dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga Negara, yaitu, MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga yang ditentukan oleh UUD 1945.[9]

Menurut Herdiansyah Hamzah, secara umum implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat perubahan kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :

  1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
  2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cenderung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.
  3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur.

Sejalan dengan angka ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat regeling (pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945.[10]

            Hamid S. Attamimi dengan meminjam istilah JJ Rousseau dalam Monika Suhayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ”Citoyen atau burger” (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rakyat asli dinamakan ”suyet” atau onderdaan” (rakyat yang diperintah).[11] Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis Perundingan/negotiation/deliberation rakyat[12], sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwakili oleh DPR. Sebagai pemegang kedaulatan Rakyat, Ketetapan MPR/MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia serta Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

            Monika Suhayati mengutip Maruarar Siahaan (2003: 16), pada tahun 2001, Pasal I ayat (2) UUD 1945 mengalami perubahan sehingga menjadi ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasarkan perubahan ini maka kedaulatan rakyat tidak lagi berada ditangan MPR, melainkan dilaksanakan menurut ketentuan UUD, yaitu UUD 1945. Perubahan ini merupakan suatu bentuk pergeseran kearah susunan kekuasaan yang bersifat horizontal fungsional, dimana kedudukan lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan negara melakukan pengawasan secara fungsional terhadap lembaga negara lainnya. Perubahan yang dilakukan bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.[13]

            Implikasi Hukum

Masih menurut Herdiansyah Hamzah, pasca diterbitkannya Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka keberadaan TAP MPR kembali menjadi wacana (diskursus) hangat di semua kalangan, khususnya diantara para ahli hukum tata negara dan perundang-undangan. Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi logis dalam penataan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda.

Lebih lanjut Herdiansyah Hamzah menyatakan, bahwa silang pendapat pun muncul diantara pengamat hukum ketatanegaraan dan perundang-undangan. Ada yang menyebutkan bahwa keberadaan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah memberikan ruang bagi MPR untuk  merumuskan kembali ketentuan yang mengikat publik. Padahal dalam Sidang Umum MPR tahun 2003, telah diputuskan bahwa TAP MPR tidak lagi mengatur keluar (mengikat publik), namun hanya berlaku bagi intern MPR. Dalam sidang umum MPR di tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa, ketentuan yang mengikat publik, harus diimplementasikan melalui produk Undang-undang. Namun hal ini sudah dijawab pada bagian pembahasan sebelumnya, bahwa MPR kini tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang bersifat mengatur (regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatarbelakanginya, Pertama, perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak lagi dapat membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang dalam UUD pasca amandemen.

Herdiansyah Hamzah, menganalisa dengan saksama, ada 3 (tiga) pertanyaan penting terkait dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, sesungguhnya apa roh atau “asbabun nuzul” dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan? Kedua, TAP MPR yang manakah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Ketiga, bagaimana konsekuensi pengujian materi atau norma dalam TAP MPR yang bertentangan dengan peraturan perundanga-undangan lainnya dan sebaliknya? Mengapa TAP MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki perundang-undangan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Harus dipahami bahwa TAP MPR masih diakui sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada bagian Aturan Tambahan Pasal I yang menyatakan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.[14]

Menurut hemat penulis, mengapa TAP MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?. Hal ini nampak kebingungan dari pembentuk UU untuk memaknai rumusan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003. Aturan tambahan UUD ini secara eksplisit jelas maknanya bahwa TAP MPR yang status hukumnya masih berlaku itu bagian dari Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga keberadaannya dapat mengikat kedalam maupun keluar anggota Majelis. Namun kecerobohan DPR yang telah membentuk UU pada tahun 2004 berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghilangkan TAP MPR dari hierarki peraturan perundang-undangan.

WEWENANG MPR Pasal 4 ( UU. MD3)

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun     1945;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

 

Tugas MPR  (Pasal 5 (UUMD3):

 

a. memasyarakatkan ketetapan MPR;

b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan

d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

ww.hukumonline.com

Pasal 6 (UU MD3)

(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.

(3) Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 63 (UU MD3)

Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:

a. dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. dihadiri paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

Menurut Ali Serizawa, Walaupun MPR sebagai lembaga negara yang fungsi, tugas dan wewenangnya diatur secara tegas dalam UUD, namun tugas MPR dan Wewenang MPR itu hanya bersifat sementara/ insidental. Tugas dan wewenang MPR hanya terjadi pada saat yang luar biasa untuk mengantisipasi jika presiden dan wakil presiden salah satunya atau keduanya berhalangan tetap, agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan sehingga diperlukannya tugas MPR dan Kewenangan MPR.

Jadi Menurut Ali Serizawa, Tugas MPR dan Wewenang MPR digunakan hanya jika terjadi hal-hal yang bersifat khusus atau bisa dikatakan darurat bagi kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan agar tidak menimbulkan kekosongan pemerintahan. disamping itu kewenangan MPR melantik presidan dan wakil presiden terpilih bersifat seremonial belaka. Pelantikan yang dilakukan MPR mengandung makna bahwa pembebanan hak dan kewajiban yang melekat pada jabatan ditentukan setelah pelantikan secara resmi.

Masih menurut Ali Serizawa, Tugas MPR dan wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar seperti yang dikemukakan diatas, tentu tidak berarti bahwa setiap periodisasi pimpinan dan anggota kelembagaan MPR hasil pemilihan umum, dapat  mengadakan perubahan UUD. Sebab Undang-Undang Dasar yang baik itu keberlakuannya berlangsung dalam kurung waktu cukup lama karena materi muatan suatu UUD pada umumnya hanya berisi ha-hal pokok dan mengatur hal-hal yang bersifat fundamental bagi keberlangsungan hidup bangsa dan Negara sehingga sangat fleksibel.[15] 

            Namun menurut hemat penulis, harus dibedakan antara wewenang MPR dengan tugas MPR. Yang masuk dalam ketegori wewenang MPR adalah sebagai berikut:

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun     1945;

b. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

d. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

 

Sedangkan tugas MPR secara seremonial lima tahunan sekali adalah sebagai berikut:

a. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

b.melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

                 Mengapa penulis mengkelompokkan 2 jenis tentang tugas dan kewenangan MPR itu berbeda?. Sebab namanya tugas adalah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan secara periodisasi oleh MPR sifatnya seperti tugas melantik presiden dan/atau wakil presiden setelah dipilih oleh rakyat secara langsung. Sedangkan kewenangan MPR misalnya, dalam hal menetapkan dan merubah UUD 1945 tidak dapat diketahui waktunya karena sifatnya insidentil/sewaktu-waktu jika Negara dalam keadaan darurat. Begitu juga kewenangan MPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden karena pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan dan perbuatan tercela lainnya setelah didahului DPR mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

           

C.    POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan Latar belakang dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1.      Sudah Tepatkah rumusan Pasal 1 (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar?.

2.      Bagaimana peran MPR setelah kewenangannya tereduksi?.

3.      Apa yang menyebabkan kedudukan MPR saat ini sebagai lembaga Negara?..

4.      Apa yang harus dilakukan oleh MPR untuk mengembalikan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara?.

 

 

PENUTUP

D.    Simpulan

1.               Menurut hemat penulis, ketentuan yang menyatakan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD adalah tidak tepat. Tidak tepat, karena bagaimana mungkin UUD 1945 sebagai benda mati dapat melaksanakan kedaulatan rakyat?. Sebenarnya, redaksi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 (lama) sudah tepat yang menyatakan ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Hanya saja MPR tidak cermat mengamandemen UUD 1945 tersebut. Seharusnya perubahan UUD 1945 yang tepat berbunyi: ”Kedaulatan Berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Presiden. Mengapa oleh Presiden?. Sebab, pemilihan presiden dan wakil Presiden sudah melalui rakyat secara langsung, sehingga perubahan yang menyatakan ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD adalah tidak relevan lagi, yang menunjukkan kebingungan perumus UUD 1945. Meski secara legal formal, MPR pasca amandemen UUD 1945 berkedudukan sebagai lembaga negara, namun dalam praktek MPR tetap saja sebagai lembaga tertinggi negara, hal ini dapat dilihat kewenangan MPR yang dapat menetapkan dan merubah UUD 1945 dengan kewenangan  menghapus atau menambahkan sederetan lembaga-lembaga negara.

2.               Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga Negara yang sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY dan KPU. Konsekuensi logis hilangnya predikat MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR tidak lagi berwenang untuk memilih dan mengangkat presiden karena pemilihan presiden sudah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Selain itu karena MPR sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, maka tidak ada kewajiban lembaga-lembaga Negara memberikan laporan tahunan kepada MPR.

3.               Kedudukan MPR saat ini menjadi lembaga Negara dimaksudkan agar semua lembaga-lembaga Negara dapat melakukan fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol (check and balances). Yang menyebabkan kedudukan MPR sebagai lembaga Negara karena MPR tidak berwenang lagi mengangkat presiden.

4.               Yang harus dilakukan oleh MPR agar kelembagaannya kembali menjadi lembaga tertinggi Negara, maka siding tahunan MPR yang pernah diadakan setiap tahun untuk mendengarkan laporan lembaga-lembaga Negara tetap diselenggarakan. Sebab dengan cara itu MPR kembali menjadi lembaga tertinggi Negara karena meminta laporan pertanggungjawaban kepada semua lembaga Negara. Namun dalam prakteknya, meski MPR bukan sebagai lembaga tertinggi Negara dalam praktek penyelenggaraan Negara MPR tetap berkedudukan sebagai lembaga tertingi Negara. Sebab kewenangan MPR dapat menetapkan dan merubah UUD 1945, selain itu MPR juga pada akhirnya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.

E.     Saran/Rekomendasi

1.      MPR perlu mengamandemen UUD 1945 terkait Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dirubah menjadi: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh presiden”. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari keberlakuan pemilihan presiden oleh rakyat secara langsung.

2.      MPR tidak tepat disejajarkan dengan lembaga-lembaga Negara lain, sebab dalam praktek MPR tetap sebagai lembaga Negara tertinggi yang muaranya dapat memberhentikan presiden/atau wakil presiden, jika telah diputus bersalah secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu MPR memiliki kewenangan untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 yang didalamnya dapat membubarkan atau menambahkan sederetan lembaga-lembaga Negara.

3.      Agar hubungan antar lembaga Negara MPR, DPR, DPD, Presiden, MK, BPK, MA, KY, dapat saling mengimbangi dan saling mengontrol, MPR dapat mengeluarkan Ketetapan MPR untuk mengatur tentang mekanisme laporan-laporan lembaga negara kepada MPR. Kedudukan TAP MPR saat ini menjadi bagian peraturan perundang-undangan berdasarkan UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4.      MPR setiap tahun perlu  mengadakan Sidang Tahunan untuk mendengarkan laporan dari lembaga-lembaga Negara. Dengan sidang tahunan ini, maka secara de fakto MPR tetap menjadi lembaga tertinggi Negara meski secara legal formal MPR berkedudukan sebagai lemabaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain.

           DAFTAR PUSTAKA

Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003.

 

Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen    

         Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966.

 

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan  Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

 

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan  Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

 

Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.

 

Buyung Nasution, Adnan.  Asprasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).

 

Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007.

 

Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005.

 

Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn 1999-2000: An Evaluation of Contitutional-Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.

 

Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968.

 

Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011.

 

  Marzuki, Laica. Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008.

 

Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993.

 

Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004.

 

Nasution, Adnan Buyung.      Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001.

 

Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.

 

 

Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

 

Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

 

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987.

 

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

 

Sumardi. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2006.

 

Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

 

Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945.  Jakarta:  Sekretariat Jenderal  MPR RI, 2004.

 

 Panduan Sosialisasi  Undang-Undang Dasar 1945.  

            Jakarta:  Sekretariat Jenderal  MPR RI, 2004.

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia.  Undang-Undang Dasar 1945.

 

___________. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/2003, Tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

 

___________.  Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.

 

__________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.12, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

 

A.   JURNAL

_________. Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum Jurnal, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2,  Nopember 2011.

 

_________. Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI,2014).

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 61.

 

[2] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 62.

 

[3] Indonesia, Panduan Memasyarakatkan UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003), hal.

   25.

[4] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,UU No.  24, LN No.98  tahun 2003,  TLN. No. 4316.

[5] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,UU No. 42, LN No 176  tahun  2008, TLN. No. 4924.

 

[6]Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional Making Transtition, Bandung: Penerbit Mizan, 2007, hal. 275. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2,  Nopember 2011, hal.191.

[7] Maria Farida S., Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, hal. 54-55. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.192.

 

 

[8]  Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 174. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193.

 

[9] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 65.

 

[10] http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia

[11] A. Hamid  S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Jakarta: FHUI, 1990, hal. 133-135 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 47. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2,  Nopember 2011, hal.189.

 

[12] Muhamad Ridwan Indra, MPR Selayang Pandang. Jakarta: Haji Masagung, 1984, hal.19 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal. 47, Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2,  Nopember 2011, hal.189.

 

[13]Sekretariat Jenderal MPR-RI, Panduan Dalam Memayarakatkan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,  Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI. 2003) hal. 16 dalam Maruarar Siahaan, Mengawali Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Indonesia:Masalah dan Tantangan dalam Sistem Hukum Kita, http://cic-jure.0rg/Download/makalah/mengawal %20 Konstitusionalitas%20Peraturan%20Perundang%20watwepark%20pdf.pdf, diakses 11 Nopember 2011, hal. 1.Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.190,  Volume 2 No. 2,  Nopember 2011, hal.190.

 

 

 

 

[14] http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia

[15] http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/tugas-mpr-dan-wewenang-mpr.html#_

 

 

 

Kamis, 25 Januari 2024

Pengalaman Menjadi Pengawas Ujian di Universitas Primagraha Fakultas Ekonomi Manajemen Mata Kuliah Sosiologi Politik

 


 


       Pada hari Kamis, tanggal 25 Januari 2024 saya mengawasi Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Sosiologi dan Politik di Fakultas Manajemen Universitas Primagraha Serang Cabang Perum Tangerang. Luar biasa mahasiswa/mahasiswi Universitas Primagraha sangat disiplin dan tertib baik dalam proses belajar mengajar maupun pelaksanaan ujian baik itu UTS maupun UAS. Luar biasa di Fakultas Ekonomi jurusan manajemen dipelajari sosiologi dan politik, saya dengan senang hati menerima tawaran mengajar di Universitas Primagraha  Serang Cabang Perum Tangerang karena rumah saya tidak jauh dari kampus Primagraha yang berpusat di Serang Cabang Perum Tangerang. Mata kuliah yang saya ujikan ini adalah mata kuliah sosiologi dan Politik kebetulan saat ini sedang hangat-hangatnya menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan anggota DPR,DPRD maupun DPD yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 sehingga soal yang saya sajikan tentunya update dengan kondisi kekinian mengenai perpolitikan nasional dan hukum ketatanegaraan di Indonesia. Untuk menjadi seorang dosen yang baik tentunya harus diniatkan dengan tulus hati mengajar untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa karena generasi muda adalah sebagai penerus cita-cita bangsa. 

 

Ketika Ujian Saya Perintahkan Untuk Buka Buku

  Ketika ujian saya selalu memerintahkan mahasiswa/mahasiswi untuk membuka buku yang penting jangan ribut dan tidak boleh bekerja sama. Tetapi membuka buku ada ketentuannya boleh diktat dari dosen, buku-buku referensi, undang-undang catatan ketika dosen mengajar memperhatikan dengan saksama menulis dengan merangkum apa yang disampaikan oleh dosen hal ini saya perbolehkan untuk dibuka. Tetapi ada satu  syarat tidak boleh buka buku yaitu buku catatan dari kawan-kawannya kemudian di foto kopi lalu dibuat sontekan perbuatan ini yang yang saya larang. Mengapa saya memberikan kebijaksanaan mahasiswa ketika ujian untuk membuka buku?. Karena saya berfikir jauh ke depan dari bangku kuliah inilah dimulai kejujuran, bagaimana nanti mau menjadi pejabat jika dari mulai kuliah sudah tidak jujur?. Buat apa membuat aturan tertulis diatas kertas tutup buku tetapi pada kenyataannya mahasiswa ujian banyak yang kucing-kucingan membuka buku dan searching mbah google?. Cara berpikir inilah yang saya rubah bahwa saya mengedepankan kejujuran saya tidak mau mengajari kecurangan mending sekalian buka buku karena sama saja mereka sudah belajar. Mahasiswa/mahasiswi sudah saya berikan kiat jika ingin belajar yang baik dan cepat menangkap belajarlah sambil menulis. Pengalaman saya waktu kuliah mengambil magister hukum di UI setiap dosen mata kuliahnya saya rangkum saya buatkan resume kemudian saya foto kopi filosofinya setiap saya masuk kamar tidur maka dengan sendirinya saya sudah membaca catatan yang saya ringkas itu dan hasilnya sangat efektif  sekali saya akhirnya  lulus tepat waktu di Universitas Indonesia. Puji Syukur kepada Allah SWT pada September 2004 saya masuk UI pada 2 September 2006 saya di wisuda dengan lulus tepat waktu. Senangya kedua orang tua saya menghadiri wisuda di UI tsb semua ini adalah berkat belajar keras dan kerjasama yang baik dengan rekan-rekan mahasiswa.

 

Selama UTS dan UAS di UI Tidak Boleh Keluar Ruangan

Kuliah di UI memang “agak seram” ketika pelaksanaan ujian baik UTS maupun UAS tidak diperbolehkan untuk ke luar ruangan. Misalnya ujiannya dimulai jam 5 sore pengalaman saya ketika itu saya sudah datang 1 jam sebelum ujian untuk melihat ruangan ujian dan mempersiapkan mental. Pengawas ujian sangat ketat bagi mahasiswa/mahasiswi yang ketahuan nyontek pasti tidak lulus karena langsung dibuatkan berita acara menyontek. Sebelum pelaksanaan ujian dimulai seluruh mahasiswa/mahasiswi dipersilahkan untuk ke kamar kecil terlebih dahulu soalnya setelah ujian dimulai tidak diperblehkan lagi untuk keluar ruangan karena di kahawatirkan akan membuka sontekan. Nampaknya kebijakan UI yang ketat sampai saat ini masih diterapkan tapi semua itu ada hikmahnya, mahasiswa/mahasiswi menjadi lebih disiplin baik ketika ujian maupun ketika proses belajar mengajar dilangsungkan.

 

Pemberian Nilai Saya Dasarkan Kepada Amal Ibadahnya Masing-Masing

Ketika saya memberi nilai ujian kepada mahasiswa saya dasarkan kepada amal ibadah masing-masing tentu saya tidak cuma berdasarkan nilai UTS dan nilai UAS saja, banyak komponen yang saya perhatikan misalnya: Kehadiran, tugas terstruktur, UTS, UAS keaktifan di kelas dan etika mahasiswa. Dalam penilaian saya tidak pernah mempersulit urusan umat saya harus bijaksana memperhatikan berbagai hal dalam memberikan penilaian. Tetapi di mana pun saya mengajar kalau saya menjumpai mahasiswa yang tidak sopan dan kurang ajar meskipun nilainya bagus pasti saya kurangi nilainya. Begitu juga ketika saya menjumpai ada mahasiswa yang tidak pernah masuk tiba-tiba misterius ketika ujian bisa ikut ujian sudah saya pastikan mahasiswa tsb tidak lulus harus mengulang setelah mengulang tentunya nilai maksimal yang saya berikan adalah B. Dalam memberikan penilaian saya juga tidak diskriminasi kepada siapa saja mahasiswa yang dapat mengerjakan dengan baik dan tugas terpenuhi pasti saya kasih nilai A ditambah moral dan etikanya baik. Begitu juga ketika saya membimbing skripsi mahasiswa maka saya bimbing dengan sepenuh hati saya membantu merangkai kata demi kata agar skripsi mahasiswa menjadi orisinil alias tidak hasil plagiasi. Sepanjang pengalaman saya bekerja maka menjadi dosen adalah pekerjaan yang paling indah dan menyenangkan lebih banyak sukanya ketimbang dukanya kata Rasulullah SAW salah satu amalan yang tiada putus-putusnya. Begitulah pengalaman saya membuat soal ujian dan mengawasi ujian di Universitas Primagraha Serang cabang Perum Tangerang harapan saya dan do’a saya semoga universitas ini dapat berkembang pesat dan jaya untuk mendidik insan yang ber-IPTEK dan ber-IMTAQ dalam ridhol Allah SWT. Aamiin.

 

Rabu, 24 Januari 2024

Sayangilah Indonesia Selamat Berpesta Demokrasi Memilih Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024 Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa

 


  

Untuk pertama kalinya dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia Pemilihan Umum akan diadakan secara serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI dan anggota DPR, DPD dan DPRD pada 14 Februari 2024. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tsb adalah perintah konstitusi dimana penyelenggaraan presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara langsung oleh rakyat berdasarkan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 sebelumnya presiden dipilih oleh MPR belum tentu mewakili aspirasi rakyat. Pada tahun 2024 ini pemilihan presiden dan wakil presiden di ikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan urut nomor 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan urut  nomor 2 Prabowo Subianto-Gibran dan pasangan urut nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud M.D. Tentu semua pasangan calon presiden dan wakil presiden memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi ini. Pasangan urut nomor 1 diusung oleh Partai Nasdem, PKS dan PKB dengan mengusung koalisi perubahan. Sementara Pasangan urut nomor 2 Prabowo Subianto-Gibran diusung oleh Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) dengan mengusung slogan Indonesia maju. Sedangkan Pasangan urut nomor 3 Ganjar Pranowo diusung oleh PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura dan Perindo (Partai Persatuan Indonesia)  dengan mengusung gerak cepat maju.

 

Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Pemilihan umum hendaklah dilaksanakan dengan penuh suka cita dimana setiap lima tahun sekali kita mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif. Setiap warga negara diberikan kebebasan untuk menentukan hak politiknya yang dijamin oleh konstitusi perbedaan pilihan untuk menentukan pemimpin jangan dijadikan ajang gontok-gontokkan sesama anak bangsa. Perlu disadari bahwa semua Capres dan Cawapres memiliki tujuan mulia untuk memajukan Indonesia ketika terpilih menjadi presiden juga berkeinginan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Yang penting Capres dan Cawapres yang sudah janji kepada rakyat ketika kampanye jangan sampai mengingkari istilah perdatanya adalah wanprestasi. Bahasa latin pacta sunt servanda artinya jika kerbau yang dipegang adalah congornya kalau manusia yang dipegang adalah ucapannya. Maksudnya adalah kalau kita berjanji harus ditepati tidak boleh dilanggar. Ingatan kita masih segar Ketika pemilu presiden pada tahun 2019 ada istilah cebong dan kadrun sesama anak bangsa saling mengejek hanya perbedaan pilihan Capres dan Cawapres, padahal akhirnya Capres yang kalah dalam pemilihan umum ikut bergabung didalam koalisi pemerintahan kepada Capres yang memenangi pemilihan. Benarlah politik itu bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi yang ada hanya kepentingan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh calon presiden dan wakil presiden  yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung dengan mengangkat sumpah dengan lafadz demi Allah saya bersumpah/berjanji akan menjalankan presiden/atau wakil presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbhakti kepada nusa dan bangsa.  Hendaklah seorang presiden dan wakil presiden yang sudah berjanji sewaktu kampanye harus ditepati, menjadi pemimpin itu jangan ingkar janji, istilahnya dalam perdata wanprestasi, jika ingkar janji maka sanksi sosial tentu rakyat tidak akan memilihnya kembali pada pemilu mendatang. Gunakan kesempatan yang sebaik-baiknya ketika mendapatkan kepercayaan dari rakyat jika seorang pemimpin itu amanah dan adil maka pahalanya sangat besar sekali dihadapan Allah SWT orang yang adil ini akan dirindukan syurganya Allah SWT.

Sayangilah Indonesia Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa Mari Kita Sukseskan Pemilu 2024 Dengan Aman dan Damai

Sebagai warga negara yang baik dan mencintai negaranya sayangilah Indonesia dengan cara menjaga keamanan dan ketertiban agar pelaksanaan pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden pada Februari 2024 dapat berjalan dengan lancar, aman dan damai. Dengan pemilu yang damai dan aman maka negara dalam suasana kondusif sehingga perekonomian dapat tumbuh kembang semakin menggeliat ini tentunya harapan kita semua untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Tidak Ada Yang Menang dan Kalah

Sesungguhnya kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 yang di ikuti  oleh 3 (tiga) pasang calon Presiden dan wakil presiden siapa pun yang dipilih dan mendapatkan suara terbanyak oleh rakyat semua harus menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi dengan penuh rasa tanggung jawab. Sesungguhnya tidak ada yang menang dan kalah dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang menang adalah seluruh rakyat Indonesia yang dapat melaksanakan penyelenggaraan pesta demokrasi dengan baik secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Disini dibutuhkan peran Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dapat melaksanakan pemilihan umum dengan sebaik-baiknya sesuai perintah konstitusi.  

Peran Penting Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Pemilihan Umum Yang Adil

Satu-satunya pejabat negara yang dipersyaratkan negarawan adalah hakim Mahkamah Konstitusi, kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah memutus perselisihan hasil pemilihan mum yang bersifat final dan mengikat (final and binding), penting bagi 9 hakim konstitusi untuk menjauhkan diri dari konflik kepentingan dengan cara pihak-pihak yang berperkara dalam urusan sengketa perselisihan hasil  pemilihan umum yang ada kaitannya dengan kerabat dan keluarga hakim MK, maka hakim MK  tsb wajib hukumnya mundur tidak boleh ikut memutuskan dalam rapat permusyawaratan hakim. Inilah arti makna penting kenegarawanan yang sesungguhnya. TAP MPR No. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa sampai saat ini masih berlaku yang wajib ditaati oleh segenap penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia. Dalam TAP MPR tsb ada etika pemerintahan, etika politik dan pejabat yang diduga ditengarai melakukan tindakan korupsi wajib mundur tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Semoga pemilihan umum untuk memilih pemimpin mendatang yang akan menakhodai Indonesia selama 5 tahun dapat terpilih pemimpin yang Amanah, jujur, berintegritas, memiliki kapabilitas dan jujur serta memiliki kemauan yang kuat untuk mensejahterakan masyarakat.

Selamat berpesta demokrasi selamat memilih Presiden dan wakil presiden pada 14 Februari 2024, tentukan pilihan suara anda di bilik suara yang tepat, pilihan suara anda akan menentukan nasib masa depan bangsa Indonesia 5 tahun mendatang. semoga Allah SWT merahmati, memberkahi dan meridhoi-Nya. Aamiin.

 

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19