oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Untuk menurunkan Joko Widodo dari jabatan Presiden tidaklah mudah ada
tahapan-tahapan panjang atau mekanisme yang harus dilalui sesuai pasal 7B UUD 1945. Didahului ada
dugaan dari DPR bahwa Presiden telah melanggar UUD 1945 seperti melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
dan melakukan perbuatan asusila. Masalahnya sekarang, atau tidak pelanggaran konstitusi yang
dilakukan oleh Joko Widodo?. Dugaan itu harus diajukan oleh DPR kepada Mahkamah
Konstitusi (MK), hasil putusan Mahkamah Konstitusi dikembalikan kepada DPR untuk
selanjutnya DPR mengundang MPR untuk melakukan sidang majelis membahas agenda putusan MK tersebut. Berikutnya, sidang MPR akan menyikap putusan Mahkamah Konstitusi apakah akan memberhentikan presiden atau tidak. Putusan impeachment harus dihadiri
sekurang-kurang 3/4 jumlah anggota MPR jika jumlah anggota MPR sekarang ini 692
maka dibutuhkan jumlah kehadiran 519 Anggota MPR, sedangkan untuk pengambilan putusan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir berarti dibutuhkan minimal 346 anggota
MPR untuk memberhentikan presiden.
Sekali lagi jika hendak impeachment Joko
Widodo dari jabatan Presiden memangnya Jokowi salahnya apa?. Reformasi tahun
1998 itu tujuannya beda jauh dengan kondisi saat ini. Selama Joko Widodo tidak
melanggar UUD 1945 pasal 7B tersebut dan keluarganya termasuk anak-anaknya juga
tidak terseret main tender projek pemerintah hampir mustahil impeachment Presiden bisa dilakukan. Apalagi ada anak Joko Widodo yang rela dan lebih baik berjualan martabak untuk mengumpulkan uang receh tidak
mau terseret-seret project pemerintah. Kalau mau bisa saja Joko Widodo menitipkan anak-anaknya untuk ikut tender project-project pemerintah, tapi selama ini Jokowi tidak melakukan. Jadi mau mencari pasal apa untuk menggulingkan Joko Widodo dari jabatan Presiden?.
Mendengar kata reformasi yang
terpikirkan oleh kita, masa depan bangsa akan menjadi lebih baik termasuk
didalamnya kesempatan bekerja seluas-luasnya untuk rakyat akan diakomodir oleh
pemerintah, reformasi diharapkan mencari nafkah mudah dan harga-harga kebutuhan
sembako yang semakin murah dan mudah didapat. Ternyata, reformasi yang
digaungkan oleh mahasiswa pada tahun 1998 itu kehilangan arah dan tujuan yang tidak jelas, karena reformasi ketika itu tujuan utamanya yang terpenting rezim di negeri
ini bisa runtuh.
Gerakan reformasi membahana yang dipelopori
oleh kaum mahasiswa yang didukung elemen masyarakat pada tahun 1998 kini
tinggal nama saja. Tujuan semula memaksa Soeharto berhenti dari jabatan
presiden, tidak lain agar kondisi secara umum kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara akan semakin lebih baik.Namun, tujuan reformasi itu jauh panggang
dari api. Reformasi kala itu untuk memberangus KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), ternyata era reformasi korupsi justru semakin merajalela banyak
anggota DPR dan menteri aktif kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. Sesungguhnya
makna reformasi justru harus direformasi kembali.
Gelombang unjuk rasa besar-besaran,
yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen
bangsa,klimaksnya berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada
tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa heroik berhentinya Soeharto dari jabatan
presiden terjadi ditengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan
kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal pergerakan reformasi di tanah air.
Tuntutan reformasi antara lain yakni: a. amendemen UUD 1945; b. penghapusan dwi
fungsi ABRI; c. penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia
(HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); d. desentralisasi dan
hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. mewujudkan
kebebasan pers; dan f. mewujudkan kebebasan demokrasi.
Bagaimana reformasi di Bidang
Politik?.
Reformasi di bidang politik menambah kesemrawutan sederet lembaga negara
seperti DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang tidak memiliki makna (meaningless), yang
hanya sekedar assessories dalam sistem
ketatanegaraan belaka, sebab parlemen pokoknya adalah Dewan Perwakilan Rakyat
atau DPR yang berwenang untuk membentuk dan mengesahkan undang-undang.
Keberadaan DPD sekedar memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR tetapi
tidak berimplikasi yuridis jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti
oleh DPR.
Namun hasil reformasi konstitusi
tidaklah semuanya jelek. Pasca amendemen konstitusi, ketatanegaraan kita
menjadi lebih modern dan progressif, antara lain dapat menetapkan presiden dan
wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.
Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang belum tentu
mencerminkan aspirasi rakyat. Selain itu, konstitusi kita berhasil
membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power).
Penting bagi kita merefleksi makna reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998
yang usianya kini hampir 21 tahun sejak Soeharto dipaksa berhenti dari jabatan
presiden. Kontemplatif tersebut diperlukan, agar reformasi yang telah
diperjuangkan dengan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa yang
mengorbankan harta benda, tetesan darah bahkan nyawa, kembali memiliki arah
yang jelas.
Kini Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Soeharto adalah presiden yang
telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita Indonesia. Sebagai manusia
biasa, tidak bisa dipungkiri, Soeharto tidak luput dari kesalahan-kesalahan
yang diperbuatnya semasa memimpin negeri ini. Namun demikian,
kekurangan-kekurangan Soeharto itu, tidak boleh dijadikan senjata untuk mendiskreditkan.
Kita perlu mikul duwur mendem jero kepada pemimpin kita. Falsafah jawa ini
perlu kita pegang teguh, kita agungkan dan kita junjung tinggi, agar kita bisa
menjadi bangsa yang berbudaya dan berkeadaban tinggi. Sebagai mahasiswa pada
tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi
yang begitu membahana di gedung MPR/DPR yang dipadati oleh lautan manusia.Salah
satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti dari jabatan presiden
sesegera mungkin.Tetapi tidak dipikir apakah lengsernya Soeharto, keadaan
negara akan semakin membaik ataukah justru sebaliknya. Atas desakan para
mahasiswa dengan dibantu berbagai komponen bangsa, akhirnya pada hari Kamis
tanggal 21 Mei 1998 tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari
jabatan presiden. Mendengar pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden, seketika
itu juga para mahasiswa melakukan sujud syukur, berpelukan dan menangis
terharu, seraya mengumandangkan takbir, atas kemenangan perjuangan reformasi.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menceburkan diri ke kolam air mancur
gedung MPR/DPR untuk meluapkan kegembiraannya.
Reformasi
Telah Mati
Melihat
keadaan reformasi yang tidak jelas seperti ini, saya sedih. Ternyata reformasi
yang pernah menggetarkan dunia itu, tidak mendatangkan banyak kebaikan untuk
rakyat. Reformasi macet, secara umum keadaan reformasi tidak lebih baik dari
pemerintahan orde baru. Yang lebih menyakitkan lagi, perilaku elite politik
tidak mencerminkan perilaku kelembagaan negara yang memperjuangkan aspirasi
rakyat. Tercermin banyaknya elite politik yang ditangkap KPK karena skandal
kasus korupsi. Mereka tidak menyadari,bahwa keberadaannya di gedung MPR/DPR
yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas wah, pada hakekatnya mahasiswa yang
mengantarkan mereka. Bukankah elite politik sebelumnya ‘terserang flu berat’
diam seribu bahasa terhadap penguasa?.Mahasiswa dan seluruh komponen bangsa
yang telah memperjuangkan reformasi, tidak menuntut elite politik memberikan
balas jasa kepadanya. Permintaan pejuang reformasi kepada elite-elite politik hanya
satu untuk memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kini demonstrasi yang menentang revisi UU KPK, RKHUP, Agraria karena DPR
terlalu cepat memutuskan ini dipertanyakan ada kepentingan apa sesungguhnya dibalik
pengesahan UU super kilat tersebut. Wajar mahasiswa marah besar merasa ada
pelemahan KPK yang selama ini menjadi tumpuan dan harapan masyarakat Indonesia
dalam bidang penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi.
Namun, jika demonstrasi tersebut
berkembang liar meminta Presiden Joko Widodo turun dari jabatannya (imepeachment) menurut penulis hampir
mustahil Joko Widodo dapat diturunkan dari jabatannya Presiden sepanjang tidak
melanggar ketentuan Pasal 7B UUD 1945 Presiden melakukan pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan melakukan perbuatan
asusila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.