Kamis, 05 September 2019

PIMPINAN MPR JANGAN DIJEJER SEPERTI WAYANG KULIT


Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

Sebagai orang yang pernah mengabdikan diri bekerja di MPR menjadi PNS sekarang ASN (Aparatur Sipil Negara) selama 13 tahun, saya malu hati  dan kesel tatkala saya membaca detikcom pada hari Kamis, tanggal 5 September 2019 bahwa RUU UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) akan kembali menjejer Pimpinan MPR dari 8 orang bertambah 10 orang. https://news.detik.com/berita/d-4694133/dpr-gelar-paripurna-bahas-revisi-uu-md3-dan-uu-kpk-pagi-ini?_ga=2.164530367.1446272999.1567495107-1109816018.1543445715. 
         MPR seharusnya punya rasa malu setelah amandemen UUD 1945, seyogyanya lembaganya tidak dipermanenkan, legislatif keseharian cukup dijalankan DPR dan DPD, cluster MPR itu baru ada setelah adanya joint session sidang gabungan antara DPR dengan DPD seperti melantik presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali. Jika ada sidang gabungan maka pimpinan MPR  dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan Pimpinan DPD. Apa fungsi dan manfaatnya jika pimpinan MPR akan dijejer seperti wayang kulit?. Orang yang ahli analisis akan mudah membaca apalagi kalau bukan bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan saja. Sedangkan tugas dan kewenangan MPR pasca amandemen UUD 1945 sudah dipangkas secara signifikan MPR tidak diberikan kewenangan memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN lagi. Praktis bekerjanya MPR hanya lima tahunan sekali untuk melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Soal kewenangan merubah UUD 1945 dan impeachment terhadap presiden setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi didahului dugaan DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden melanggar UUD 1945 itu hanya insidentil sifatnya sewaktu-waktu saja.
Menurut Laica Marzuki, hampir semua Negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya. Rakyat adalah segala-galanya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan kedaulatan tertinggi. The founding fathers di dalam UUD 1945 mencantumkan paham kedaulatan rakyat dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama), dikala konstitusi dimaksud disahkan dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Komanfu, Pedjambon 2, Djakarta. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Selain itu, MPR juga sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR  memiliki kewenangan luar biasa dahsyat yaitu, dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal lembaga tertinggi Negara  bernama MPR ini. Sebelum reformasi konstitusi kedudukan presiden sebagai mandataris MPR, menjadi tidak berfungsinya organ-organ hubungan antar kelembagaan Negara dengan baik serta tidak berfungsinya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Amandemen UUD 1945 itu, berdampak kepada tereduksinya kewenangan MPR antara lain, tidak lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kini sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR sekarang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi.
 Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) kini UU. No. 2 Tahun 2018 tentang MD3. Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Dengan memahami fungsi, tugas dan kewenangan MPR, maka tidak selayaknya menjejer Pimpinan MPR seperti wayang kulit dari 8 orang yang sudah banyak  bertambah 10 orang lagi ini jelas akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. Saat ini rakyat sedang susah harga-harga sembako membumbung tinggi banyak rakyat yang sudah tidak mempunyai ikat pinggang lagi, jangan asal-asalan membuat undang-undang yang tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat banyak. Seharusnya legislatif yang telah kita pilih itu malu membuat rumusan undang-undang yang menyakiti hati rakyat dengan menjejer Pimpinan MPR, sementara rakyat berjibaku memikirkan kebutuhan sehari-hari sudah klenger. Lebih baik dan sangat bijak jangan diputuskan atau dihentikan saja usulan yang tidak baik itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19