Senin, 02 September 2019

RELEVANSI MASA JABATAN PRESIDEN DENGAN PILPRES SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT



Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

            Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandement (perubahan) UUD 1945 sejak 1999-2002, perubahan yang dilakukan selama empat kali itu setelah penulis mengamati dan memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh, MPR tidak melakukan perubahan dengan cermat dan hati-hati. Pasalnya, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam UUD 1945 terjadi jonjing (tidak nyambung), hal ini dapat dilihat melalui pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan Presiden yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.  Artinya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dikatup oleh konstitusi dengan nyala lampu merah maksimal dua kali masa jabatan. Mari kita kaitkan dengan Pasa 6A ayat (1) yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Dimana Letak Tidak Nyambungnya?.

            Presiden yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung semestinya konstitusi tidak perlu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan. Bagaimana jika kinerjanya Presiden sangat baik untuk rakyat negara dan bangsa, tetapi konstitusi mengatup sudah memberikan lampu merah tidak dapat dipilih kembali?, Jika saja pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR, maka pasal antar pasal seperti ini nyambung untuk membatasi maksimal dua kali masa jabatan presiden, bersebab  anggota DPR dan DPD yang merangkap menjadi anggota MPR itu dikhawatirkan suaranya dalam pemilihan Presiden tidak sejalan dengan suara rakyat yang diwakilinya.

            MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

          Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.

      Komisi Konstitusi ini lahir karena desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan dan parsial. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipakai  oleh MPR sendiri. MPR nampak sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tentang pembentukan Komisi Konstitusi tetapi tidak digunakan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif.

Hasil MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja seperti DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

          Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan kurang profesional, indikatornya, setiap pergantian periode MPR sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi Konstitusi tandingan waktu itu.  MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara maka dibuatlah TAP MPR tersebut yang berisikan tentang pengkajian secara komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pertanyaannya bagaimana tindaklanjut TAP MPR ini?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEST ASN MELALUI CAT

  Zaman sudah berubah aturan juga harus berubah mengikuti perkembangan zaman, sebab bila tidak maka aturan itu tidak dapat menjawab tantanga...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19