Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandement (perubahan)
UUD 1945 sejak 1999-2002, perubahan yang dilakukan selama empat kali itu
setelah penulis mengamati dan memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh, MPR
tidak melakukan perubahan dengan cermat dan hati-hati. Pasalnya, antara pasal
yang satu dengan pasal yang lain dalam UUD 1945 terjadi jonjing (tidak
nyambung), hal ini dapat dilihat melalui pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan
masa jabatan Presiden yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Artinya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dikatup oleh konstitusi dengan nyala lampu merah maksimal dua kali masa jabatan. Mari kita kaitkan dengan Pasa
6A ayat (1) yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat”
Dimana Letak Tidak
Nyambungnya?.
Presiden yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung
semestinya konstitusi tidak perlu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua
kali masa jabatan. Bagaimana jika kinerjanya Presiden sangat baik untuk rakyat negara
dan bangsa, tetapi konstitusi mengatup sudah memberikan lampu merah tidak
dapat dipilih kembali?, Jika saja pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR, maka pasal antar pasal seperti ini nyambung untuk membatasi maksimal dua kali masa jabatan presiden, bersebab anggota DPR dan DPD yang merangkap menjadi
anggota MPR itu dikhawatirkan suaranya dalam pemilihan Presiden tidak sejalan dengan
suara rakyat yang diwakilinya.
MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara
komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, Komisi ini bekerja selama 7 bulan
sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945
yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan
Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang
menguras dana milyaran rupiah itu?.
Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan
Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR,
MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas,
diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang
getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat
mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak
hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat
kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan
sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal
melakukan amendemen kelima UUD 1945.
Komisi Konstitusi ini lahir karena desakan dari berbagai pihak
yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan dan parsial. Adanya
pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD
1945 yang dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan.
Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipakai oleh MPR sendiri. MPR nampak sekedar
memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tentang
pembentukan Komisi Konstitusi tetapi tidak digunakan untuk
menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif.
Hasil MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak
1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung
atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD
yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja seperti DPA. Keberadaan
DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat
sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD,
maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu
hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral.
Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena
yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan UUD
1945. MPR lebih baik membuka kembali kajian Komisi Konstitusi sebagaimana
diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi
untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik
lagi. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya,
hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan kurang profesional,
indikatornya, setiap pergantian periode MPR sering membuat produk dalam bentuk
Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya,
Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode
2004-2009 malah ingin membentuk Komisi Konstitusi tandingan waktu itu. MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945
selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan
Negara maka dibuatlah TAP MPR tersebut yang berisikan tentang pengkajian secara
komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pertanyaannya bagaimana tindaklanjut TAP MPR
ini?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.