Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.
Ada-ada saja perilaku manusia, banyak cara ditempuh untuk menjadi orang terkenal dengan cara instan. Tidak peduli apakah haram atau halal yang terpenting tujuan dapat tersampaikan. Kalau keterpopulerannya diperoleh dengan proses keilmuan yang positip misalnya, dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan umat
manusia itu sangat bagus, karena manfaatnya dapat dirasakan oleh khalayak
ramai. Tetapi, jika tujuan ingin terkenal dengan melakukan penelitian menerabas norma-norma yang berlaku ini sangat berbahaya sekali. Selain berbahaya bagi diri sendiri karena akan dihinakan dan dihujat masyarakat, juga berbahaya bagi masyarakat luas karena penelitiannya dapat berdampak buruk mempengaruhi
perilaku masyarakat. Jika penemuan IPTEK tidak dilandasi dengan IMTAQ maka akan membawa malapetaka bagi umat manusia.
Adalah Abdul Aziz, mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dalam melakukan penelitian disertasinya untuk
memperoleh gelar Doktor yang melegalkan hubungan seksual di luar nikah menjungkirbalikkan
hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum positif, hukum islam dan
hukum adat, penelitian disertasi jenis ini cacat hukum harus dibatalkan dianggap tidak pernah ada.
Disertasi Abdul Aziz berjudul Konsep Milk Al-Yamin
Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital diuji di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 28 Agustus 2019 lalu. https://muslim.okezone.com/read/2019/09/04/614/2100501/penulis-disertasi-hubungan-seksual-di-luar-nikah-sah-mohon-maaf-ke-umat-islam.
Bahasa jelasnya keabsahan hubungan
seksual non marital adalah hubungan seksual yang dilakukan bukan suami istri itu dianggap
legal. Kalau penelitian itu mengambil konsep Milik Al-Yamin Muhammad Syahrur jangan
ditelan mentah-mentah. Sebab, tidak semua Hak Asasi Manusia itu bisa berlaku
universal. Ada beberapa negara-negara yang mengesahkan undang-undang untuk perkawinan
sejenis, tetapi untuk di Indonesia undang-undang semacam ini tidak mungkin
dapat diundangkan meski banyak demonstrasi oleh kaum homo dan lesbian
untuk membuat undang-undang perkawinan
sejenis, karena bertentangan dengan semua norma-norma yang berlaku.
Sebab hak asasi manusia itu bersifat
partikulatif terbatas pada negara tertentu dimana aturan itu berlaku bagi suatu negara. Kecuali
hak asasi yang bersifat universal misalnya, kebebasan memeluk agama, tidak diskriminasi ras atau warna kulit, itu hak asasi yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Disertasi Abdul Azis sangat
berbahaya sekali karena bertentangan dengan Al-quran perintah Allah SWT “Dan janganlah kalian mendekati
zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan
yang buruk.” (Al-Israa’: 32).
Jangankan berzina kita mendekat saja sudah dilarang. Selain bertentangan dengan hukum islam juga kontradiktif dengan Pasal 2 UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan
adalah sah jika dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu”. Disertasi tentang keabsahan hubungan seksual diluar nikah
oleh Abdul Azis semua melanggar norma-norma yang ada di Indonesia, seperti yang saya sebutkan
diatas termasuk norma etika dan keadaban di masyarakat.
Gelar doktor adalah gelar pencapaian akademik tertinggi, seharusnya keilmuan doktor itu dalam sekali karena S3 sudah mengerucut keahlian atau kompetensi ke satu bidang. Yang dibutuhkan doktor
bukan keluasan ilmu, tapi kedalaman ilmunya itu yang dipertaruhkan, dengan
kedalaman ilmu tersebut penelitiannya tidak hanya mengambil satu sisi referensi
harus cros cek ulang atau komparasi dikaitkan keilmuan dari berbagai sumber dan referensi berbagai pakar, sehingga penelitiannya menghasikan temuan baru untuk umat
manusia, bukan sebaliknya, hasil penelitiannya menjungkirbalikkan logika dan norma-norma yang berlaku. Prinsip ilmuan itu boleh salah, tetapi tidak boleh bohong, kunci meneliti itu adalah teori, data dan
nalar. Dimana nalar Peneliti yang menyatakan hubungan seksual non marital itu sah?. Peneliti itu nalarnya harus jalan, setelah ada data-data yang disajikan, teorinya diolah dan pendapat-pendapat para pakar dicermati, setelah itu nalar peneliti harus jalan jangan sekedar memakai kaca mata kuda.
Demikian juga profesor adalah
jabatan tertinggi untuk kepangkatan dosen, mulai dari asisten ahli, lektor kepala
sampai guru besar (profesor). Guru besar semestinya ketika menguji promovendus
yang disertasinya menyimpang dan melanggar norma-norma yang berlaku sudah selayaknya penguji
tidak meluluskan, bukannya malah diluluskan dengan predikat sangat memuaskan dan PADA BERTEPUK TANGAN. Dalam
hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki otoritas tertinggi
didunia kampus dapat membatalkan kelulusan disertasi yang penelitiannya
melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia. Jika tidak dibatalkan, kelulusan atas disertasi yang melanggar norma-norma ini, dapat berdampak
mempengaruhi perilaku buruk di masyarakat yang tengah terdegradesi moral. Menurut saya antara promovendus dengan
profesor yang menguji disertasi ini, sama-sama besar dosanya karena berani melawan
perintah Allah SWT.
Na’udzu
billahi mindzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.