Jumat, 13 September 2019

DISERTASI PENELITIAN MELEGALKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI DILUAR NIKAH TIDAK BERDASAR TEORI, DATA DAN NALAR

Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.


       Ada-ada saja perilaku manusia, banyak cara ditempuh untuk menjadi orang terkenal dengan cara instan. Tidak peduli apakah haram atau halal yang terpenting tujuan dapat tersampaikan. Kalau keterpopulerannya diperoleh dengan proses keilmuan yang positip misalnya, dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan umat manusia itu sangat bagus, karena manfaatnya dapat dirasakan oleh khalayak ramai. Tetapi, jika tujuan ingin terkenal dengan melakukan penelitian menerabas norma-norma yang berlaku ini sangat berbahaya sekali. Selain berbahaya bagi diri sendiri karena akan dihinakan dan dihujat masyarakat, juga berbahaya bagi masyarakat luas karena penelitiannya dapat berdampak buruk mempengaruhi perilaku masyarakat. Jika penemuan IPTEK tidak dilandasi dengan IMTAQ maka akan membawa malapetaka bagi umat manusia.
   Adalah Abdul Aziz, mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dalam melakukan penelitian disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor yang melegalkan hubungan seksual di luar nikah menjungkirbalikkan hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum positif, hukum islam dan hukum adat, penelitian disertasi jenis ini cacat hukum harus dibatalkan dianggap tidak pernah ada. 
     Disertasi Abdul Aziz berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital diuji di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 28 Agustus 2019 lalu. https://muslim.okezone.com/read/2019/09/04/614/2100501/penulis-disertasi-hubungan-seksual-di-luar-nikah-sah-mohon-maaf-ke-umat-islam.
   Bahasa jelasnya keabsahan hubungan seksual non marital adalah hubungan seksual yang dilakukan bukan suami istri itu dianggap legal. Kalau penelitian itu mengambil konsep Milik Al-Yamin Muhammad Syahrur jangan ditelan mentah-mentah. Sebab, tidak semua Hak Asasi Manusia itu bisa berlaku universal. Ada beberapa negara-negara yang mengesahkan undang-undang untuk perkawinan sejenis, tetapi untuk di Indonesia undang-undang semacam ini tidak mungkin dapat diundangkan meski banyak demonstrasi oleh kaum homo dan lesbian untuk  membuat undang-undang perkawinan sejenis, karena bertentangan dengan semua norma-norma yang berlaku.
   Sebab hak asasi manusia itu bersifat partikulatif terbatas pada negara tertentu dimana aturan itu berlaku bagi suatu negara. Kecuali hak asasi yang bersifat universal misalnya, kebebasan memeluk agama, tidak diskriminasi ras atau warna kulit, itu hak asasi yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Disertasi Abdul Azis sangat berbahaya sekali karena bertentangan dengan Al-quran perintah Allah SWT “Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32). Jangankan berzina kita mendekat saja sudah dilarang. Selain bertentangan dengan hukum islam juga kontradiktif dengan Pasal 2 UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu”. Disertasi tentang keabsahan hubungan seksual diluar nikah oleh Abdul Azis semua melanggar norma-norma yang ada di Indonesia, seperti yang saya sebutkan diatas termasuk norma etika dan keadaban di masyarakat.
  Gelar doktor adalah gelar pencapaian akademik tertinggi, seharusnya keilmuan doktor itu dalam sekali karena S3 sudah mengerucut keahlian atau kompetensi ke satu bidang. Yang dibutuhkan doktor bukan keluasan ilmu, tapi kedalaman ilmunya itu yang dipertaruhkan, dengan kedalaman ilmu tersebut penelitiannya tidak hanya mengambil satu sisi referensi harus cros cek ulang atau komparasi dikaitkan keilmuan dari berbagai sumber dan referensi berbagai pakar, sehingga penelitiannya menghasikan temuan baru untuk umat manusia, bukan sebaliknya, hasil penelitiannya menjungkirbalikkan logika dan norma-norma yang berlaku. Prinsip ilmuan itu boleh salah, tetapi tidak boleh bohong, kunci meneliti itu adalah  teori, data dan nalar. Dimana nalar Peneliti yang menyatakan hubungan seksual non marital itu sah?. Peneliti itu nalarnya harus jalan, setelah ada data-data yang disajikan, teorinya diolah dan pendapat-pendapat para pakar dicermati, setelah itu nalar peneliti harus jalan jangan sekedar memakai kaca mata kuda.
   Demikian juga profesor adalah jabatan tertinggi untuk kepangkatan dosen, mulai dari asisten ahli, lektor kepala sampai guru besar (profesor). Guru besar semestinya ketika menguji promovendus yang disertasinya menyimpang dan melanggar norma-norma yang berlaku sudah selayaknya penguji tidak meluluskan, bukannya malah diluluskan dengan predikat sangat memuaskan dan PADA BERTEPUK TANGAN. Dalam hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki otoritas tertinggi didunia kampus dapat membatalkan kelulusan disertasi yang penelitiannya melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia. Jika tidak dibatalkan, kelulusan atas disertasi yang melanggar norma-norma ini, dapat berdampak mempengaruhi perilaku buruk di masyarakat yang tengah terdegradesi moral. Menurut saya antara promovendus dengan profesor yang menguji disertasi ini, sama-sama besar dosanya  karena berani melawan perintah Allah SWT.
Na’udzu billahi mindzalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19