Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Gerakan reformasi yang dimotori kaum mahasiswa dengan berbagai komponen masyarakat, sudah tidak dapat dibendung lagi, sehingga secara heroik puncaknya dapat menumbangkan rezim Soeharto dari jabatan Presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998.
Tuntutan reformasi ini berawal dari krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional, ditambah krisis moral yang bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Demonstrasi besar-besaran ini sebenarnya bom waktu akumulasi dari ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahan Soeharto. Tragis benar nasib Soeharto yang baru dilantik kembali menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 11 Maret 1998, selang dua bulan kemudian dipaksa mengundurkan diri, pada waktu itu penyelenggaraan Negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab kepada presiden.
Menurut Laica Marzuki, hampir semua Negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya. Rakyat adalah segala-galanya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan kedaulatan tertinggi. The founding fathers di dalam UUD 1945 mencantumkan paham kedaulatan rakyat dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama), dikala konstitusi dimaksud disahkan dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Komanfu, Pedjambon 2, Djakarta. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Bermula rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menurut Rancangan UUD 1945 hasil Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, berbunyi, “Souvereneiteit” berada ditangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Badan Permusyawaratan Rakyat”. Istilah Badan Permusyawaratan Rakyat kelak diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat, sesuai usul anggota BPUPKI, Muhammad Yamin, dalam sidang Kedua anggota BPUPKI, pada tanggal 11 Juli 1945. (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sejarah, Realita dan Dinamika, 2007:3).[1]
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum terbentuk kala itu. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (redaksi lama) berbunyi, “sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.[2]
Gerakan reformasi antara lain menuntut amandemen konstitusi yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan, termasuk menata ulang kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang serta susunan keanggotaan lembaga-lembaga negara. MPR sebelum melaksanakan perubahan UUD 1945 ada 5 (lima) kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan perubahan UUD 1945 tersebut sebagai platform atau koridor yaitu:
a. tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
b. tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial;
d. menghapuskan penjelasan UUD 1945 dengan memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan de dalam pasal-pasal;
e. perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan dengan cara adendum.[3]
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Selain itu, MPR juga sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR memiliki kewenangan luar biasa dahsyat yaitu, dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal lembaga tertinggi Negara bernama MPR ini.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat secara langsung yang diselenggarakan pada tahun 2014 merupakan kali ketiga sejak reformasi digulirkan pada Tahun 1998. Dimana sebelumnya, Pilpres secara langsung untuk pertama kalinya dilaksanakan pada Tahun 2004. Sebelum perubahan UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR dipandang sarat dengan kepentingan politik, hasilnya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR ketika itu tidak memiliki derajat dan akuntabilitas yang tinggi di mata rakyat.
Salah satu substansi penting dari perubahan UUD 1945 adalah, dikembalikannya fungsi kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Gebrakan putusan MPR melalui UUD 1945 tersebut perlu mendapat apresiasi kita semua sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat.
Sebelum reformasi konstitusi kedudukan presiden sebagai mandataris MPR, menjadi tidak berfungsinya organ-organ hubungan antar kelembagaan Negara dengan baik serta tidak berfungsinya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reformasi yang di inginkan agar penyelenggaraan Negara mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna. Dalam praktek penyelenggaraan Negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang telah menguntungkan, pribadi, sekelompok, golongan dan partai politik sehingga menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat Negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan Negara dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
Tuntutan reformasi itu antara lain:
a. amandemen UUD 1945;
b. penghapusan dwi fungsi ABRI;
c. penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e. mewujudkan kebebasan pers;
f. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Hasil reformasi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002. Perubahan UUD 1945 tersebut merupakan pengalaman historis bersifat monumental bagi bangsa dan negara Indonesia untuk menyempurnakan aturan dasar yang fundamental bagi kehidupan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Dengan perubahan itu, UUD 1945 disempurnakan menjadi makin sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan bangsa Indonesia dan peradaban umat manusia. Perubahan Konstitusi itu diharapkan menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, sehingga memiliki daya tahan yang kuat ke masa depan. Perubahan UUD 1945 tersebut dimaksudkan agar cita-cita negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 oleh para pendahulu dapat diteruskan oleh generasi penerus. Selain itu perubahan UUD 1945 tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD 1945 agar sesuai dengan antara lain perkembangan paham demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tegaknya supremasi hukum, dikembangkannya ekonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan terwujudnya Negara kesejahteraan pada era modern ini yang di Ridhoi Allah SWT. Perubahan UUD 1945 diharapkan dapat menjangkau jauh ke masa depan bangsa agar tidak mudah usang atau lapuk di makan zaman (verourded).
Amandemen UUD 1945 itu, berdampak kepada tereduksinya kewenangan MPR antara lain, tidak lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kini sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR sekarang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi.
Dengan dipangkasnya kewenangan MPR secara
signifikan, sisa-sisa kewenangan MPR, antara lain, tinggal melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden setelah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui
pemilihan umum. Sedangkan, kewenangan MPR untuk merubah UUD 1945 dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah Mahkamah Konstitusi
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela: dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, hanya bersifat
insidentil belaka, (Pasal 7A Jo. Pasal 7B UUD 1945).
Secara periodik, MPR pasca amandemen UUD 1945, praktis hanya
menjalankan tugas rutinitas lima tahunan sekali yaitu, melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Tugas seremonial kenegaraan ini membutuhkan waktu
tidak kurang tidak lebih hanya satu setengah jam saja. Namun demikian, meskipun
secara kelembagaan kewenangan MPR sudah melemah bukan sebagai lembaga tertinggi
negara lagi, ada satu hal yang menarik dari lembaga MPR ini, keberadaannya
dalam praktek masih tetap sebagai lembaga tertinggi negara, hal itu dapat
dilihat kewenangan MPR dapat merubah dan menetapkan UUD 1945 yang didalamnya
dapat menghadirkan atau membubarkan lembaga-lembaga Negara yang dipandang tidak
memiliki asas kemanfaatan.
Kedudukan
MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki
kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No.
17 Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan
bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang
kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah
memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu:
a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c.
Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih
dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih
dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu,
pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam
bentuk pengaturan (regelling). MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan
yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres
menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres;
c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersama-sama.
Menurut Monika Suhayati (Jurnal Ilmiah Negara Hukum: 2011: 191) Perubahan UUD
1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis
besar daripada haluan negara. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD;
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan ”kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan.
Menurut penulis, sejalan dengan prinsip ketatanegaraan, salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah dapat diselenggarakannya pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, dimana sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung merupakan sarana pelaksanaan fungsi kedaulatan rakyat. Reformasi konstitusi juga dapat membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Selain itu, hasil reformasi konstitusi yang sangat substansial adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.[4] Keberadaan Mahkamah Konstitusi terkait pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Selain itu, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden agar mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Selain itu, demokrasi yang dilaksanakan dengan jujur dan adil dapat menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi dari penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Disamping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat.[5]
BAB II
PEMBAHASAN
- Kedudukan MPR
Anggota MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota MPR berjumlah 692 Anggota terdiri dari anggota DPR 560 orang dan anggota DPD 132 orang (UU. No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD).
Menurut Denny Indrayana dalam Monika Suhayati, perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan ”MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara” dan bahwa”karena MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.[6]
Namun menurut Maria Farida Indrati S, masih dalam Monika Suhayati, perubahan Pasal 3 UUD 1945 telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa presiden tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab menjalankan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR.[7]
Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur didalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002.
Menurut Jimly, dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR ditentukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc.[8] Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 2004. Ketentuan ini menempatkan undang-undang langsung berada dibawah UUD 1945.
Namun menurut penulis pembentuk undang-undang nampak kebingungan sekali dengan kedudukan status TAP MPR apakah termasuk bagian perundangan-undangan atau tidak. Sehingga terbitnya UU. No. 10 Tahun 2004 TAP MPR menjadi dihilangkan dari hierarki peraturan perundang-undangan, namun didalam UU. No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan TAP MPR dimasukkan kembali sebagai bagian dari hirarki peraturan perundangan-undangan dibawah langsung UUD 1945.
Di dalam buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Terbitan Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2007:44), Perubahan Pasal 1 ayat (2) dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga Negara, yaitu, MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga yang ditentukan oleh UUD 1945.[9]
Menurut Herdiansyah Hamzah, secara umum implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat perubahan kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :
- MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
- Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cenderung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.
- MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur.
Sejalan dengan angka ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat regeling (pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945.[10]
Hamid S. Attamimi dengan meminjam istilah JJ Rousseau dalam Monika Suhayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ”Citoyen atau burger” (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rakyat asli dinamakan ”suyet” atau onderdaan” (rakyat yang diperintah).[11] Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis Perundingan/negotiation/deliberation rakyat[12], sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwakili oleh DPR. Sebagai pemegang kedaulatan Rakyat, Ketetapan MPR/MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan diatas undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia serta Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Monika Suhayati mengutip Maruarar Siahaan (2003: 16), pada tahun 2001, Pasal I ayat (2) UUD 1945 mengalami perubahan sehingga menjadi ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasarkan perubahan ini maka kedaulatan rakyat tidak lagi berada ditangan MPR, melainkan dilaksanakan menurut ketentuan UUD, yaitu UUD 1945. Perubahan ini merupakan suatu bentuk pergeseran kearah susunan kekuasaan yang bersifat horizontal fungsional, dimana kedudukan lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan negara melakukan pengawasan secara fungsional terhadap lembaga negara lainnya. Perubahan yang dilakukan bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.[13]
Implikasi Hukum
Masih menurut Herdiansyah Hamzah, pasca diterbitkannya Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka keberadaan TAP MPR kembali menjadi wacana (diskursus) hangat di semua kalangan, khususnya diantara para ahli hukum tata negara dan perundang-undangan. Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi logis dalam penataan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda.
Lebih lanjut Herdiansyah Hamzah menyatakan, bahwa silang pendapat pun muncul diantara pengamat hukum ketatanegaraan dan perundang-undangan. Ada yang menyebutkan bahwa keberadaan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah memberikan ruang bagi MPR untuk merumuskan kembali ketentuan yang mengikat publik. Padahal dalam Sidang Umum MPR tahun 2003, telah diputuskan bahwa TAP MPR tidak lagi mengatur keluar (mengikat publik), namun hanya berlaku bagi intern MPR. Dalam sidang umum MPR di tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa, ketentuan yang mengikat publik, harus diimplementasikan melalui produk Undang-undang. Namun hal ini sudah dijawab pada bagian pembahasan sebelumnya, bahwa MPR kini tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang bersifat mengatur (regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatarbelakanginya, Pertama, perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak lagi dapat membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang dalam UUD pasca amandemen.
Herdiansyah Hamzah, menganalisa dengan saksama, ada 3 (tiga) pertanyaan penting terkait dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, sesungguhnya apa roh atau “asbabun nuzul” dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan? Kedua, TAP MPR yang manakah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Ketiga, bagaimana konsekuensi pengujian materi atau norma dalam TAP MPR yang bertentangan dengan peraturan perundanga-undangan lainnya dan sebaliknya? Mengapa TAP MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki perundang-undangan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Harus dipahami bahwa TAP MPR masih diakui sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada bagian Aturan Tambahan Pasal I yang menyatakan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.
TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.[14]
Menurut hemat penulis, mengapa TAP MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?. Hal ini nampak kebingungan dari pembentuk UU untuk memaknai rumusan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003. Aturan tambahan UUD ini secara eksplisit jelas maknanya bahwa TAP MPR yang status hukumnya masih berlaku itu bagian dari Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, sehingga keberadaannya dapat mengikat kedalam maupun keluar anggota Majelis. Namun kecerobohan DPR yang telah membentuk UU pada tahun 2004 berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghilangkan TAP MPR dari hierarki peraturan perundang-undangan.
WEWENANG MPR Pasal 4 ( UU. MD3)
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Tugas MPR (Pasal 5 (UUMD3):
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ww.hukumonline.com
Pasal 6 (UU MD3)
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 63 (UU MD3)
Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
a. dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. dihadiri paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Menurut Ali Serizawa, Walaupun MPR sebagai lembaga negara yang fungsi, tugas dan wewenangnya diatur secara tegas dalam UUD, namun tugas MPR dan Wewenang MPR itu hanya bersifat sementara/ insidental. Tugas dan wewenang MPR hanya terjadi pada saat yang luar biasa untuk mengantisipasi jika presiden dan wakil presiden salah satunya atau keduanya berhalangan tetap, agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan sehingga diperlukannya tugas MPR dan Kewenangan MPR.
Jadi Menurut Ali Serizawa, Tugas MPR dan Wewenang MPR digunakan hanya jika terjadi hal-hal yang bersifat khusus atau bisa dikatakan darurat bagi kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan agar tidak menimbulkan kekosongan pemerintahan. disamping itu kewenangan MPR melantik presidan dan wakil presiden terpilih bersifat seremonial belaka. Pelantikan yang dilakukan MPR mengandung makna bahwa pembebanan hak dan kewajiban yang melekat pada jabatan ditentukan setelah pelantikan secara resmi.
Masih menurut Ali Serizawa, Tugas MPR dan wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar seperti yang dikemukakan diatas, tentu tidak berarti bahwa setiap periodisasi pimpinan dan anggota kelembagaan MPR hasil pemilihan umum, dapat mengadakan perubahan UUD. Sebab Undang-Undang Dasar yang baik itu keberlakuannya berlangsung dalam kurung waktu cukup lama karena materi muatan suatu UUD pada umumnya hanya berisi ha-hal pokok dan mengatur hal-hal yang bersifat fundamental bagi keberlangsungan hidup bangsa dan Negara sehingga sangat fleksibel.[15]
Namun menurut hemat penulis, harus dibedakan antara wewenang MPR dengan tugas MPR. Yang masuk dalam ketegori wewenang MPR adalah sebagai berikut:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
d. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Sedangkan tugas MPR secara seremonial lima tahunan sekali adalah sebagai berikut:
a. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
b.melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Mengapa penulis mengkelompokkan 2 jenis tentang tugas dan kewenangan MPR itu berbeda?. Sebab namanya tugas adalah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan secara periodisasi oleh MPR sifatnya seperti tugas melantik presiden dan/atau wakil presiden setelah dipilih oleh rakyat secara langsung. Sedangkan kewenangan MPR misalnya, dalam hal menetapkan dan merubah UUD 1945 tidak dapat diketahui waktunya karena sifatnya insidentil/sewaktu-waktu jika Negara dalam keadaan darurat. Begitu juga kewenangan MPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden karena pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan dan perbuatan tercela lainnya setelah didahului DPR mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
C. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan Latar belakang dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Sudah Tepatkah rumusan Pasal 1 (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar?.
2. Bagaimana peran MPR setelah kewenangannya tereduksi?.
3. Apa yang menyebabkan kedudukan MPR saat ini sebagai lembaga Negara?..
4. Apa yang harus dilakukan oleh MPR untuk mengembalikan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara?.
PENUTUP
D. Simpulan
1. Menurut hemat penulis, ketentuan yang menyatakan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD adalah tidak tepat. Tidak tepat, karena bagaimana mungkin UUD 1945 sebagai benda mati dapat melaksanakan kedaulatan rakyat?. Sebenarnya, redaksi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 (lama) sudah tepat yang menyatakan ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Hanya saja MPR tidak cermat mengamandemen UUD 1945 tersebut. Seharusnya perubahan UUD 1945 yang tepat berbunyi: ”Kedaulatan Berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Presiden. Mengapa oleh Presiden?. Sebab, pemilihan presiden dan wakil Presiden sudah melalui rakyat secara langsung, sehingga perubahan yang menyatakan ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD adalah tidak relevan lagi, yang menunjukkan kebingungan perumus UUD 1945. Meski secara legal formal, MPR pasca amandemen UUD 1945 berkedudukan sebagai lembaga negara, namun dalam praktek MPR tetap saja sebagai lembaga tertinggi negara, hal ini dapat dilihat kewenangan MPR yang dapat menetapkan dan merubah UUD 1945 dengan kewenangan menghapus atau menambahkan sederetan lembaga-lembaga negara.
2. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga Negara yang sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY dan KPU. Konsekuensi logis hilangnya predikat MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR tidak lagi berwenang untuk memilih dan mengangkat presiden karena pemilihan presiden sudah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Selain itu karena MPR sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, maka tidak ada kewajiban lembaga-lembaga Negara memberikan laporan tahunan kepada MPR.
3. Kedudukan MPR saat ini menjadi lembaga Negara dimaksudkan agar semua lembaga-lembaga Negara dapat melakukan fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol (check and balances). Yang menyebabkan kedudukan MPR sebagai lembaga Negara karena MPR tidak berwenang lagi mengangkat presiden.
4. Yang harus dilakukan oleh MPR agar kelembagaannya kembali menjadi lembaga tertinggi Negara, maka siding tahunan MPR yang pernah diadakan setiap tahun untuk mendengarkan laporan lembaga-lembaga Negara tetap diselenggarakan. Sebab dengan cara itu MPR kembali menjadi lembaga tertinggi Negara karena meminta laporan pertanggungjawaban kepada semua lembaga Negara. Namun dalam prakteknya, meski MPR bukan sebagai lembaga tertinggi Negara dalam praktek penyelenggaraan Negara MPR tetap berkedudukan sebagai lembaga tertingi Negara. Sebab kewenangan MPR dapat menetapkan dan merubah UUD 1945, selain itu MPR juga pada akhirnya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
E. Saran/Rekomendasi
1. MPR perlu mengamandemen UUD 1945 terkait Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dirubah menjadi: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh presiden”. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari keberlakuan pemilihan presiden oleh rakyat secara langsung.
2. MPR tidak tepat disejajarkan dengan lembaga-lembaga Negara lain, sebab dalam praktek MPR tetap sebagai lembaga Negara tertinggi yang muaranya dapat memberhentikan presiden/atau wakil presiden, jika telah diputus bersalah secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu MPR memiliki kewenangan untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 yang didalamnya dapat membubarkan atau menambahkan sederetan lembaga-lembaga Negara.
3. Agar hubungan antar lembaga Negara MPR, DPR, DPD, Presiden, MK, BPK, MA, KY, dapat saling mengimbangi dan saling mengontrol, MPR dapat mengeluarkan Ketetapan MPR untuk mengatur tentang mekanisme laporan-laporan lembaga negara kepada MPR. Kedudukan TAP MPR saat ini menjadi bagian peraturan perundang-undangan berdasarkan UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4. MPR setiap tahun perlu mengadakan Sidang Tahunan untuk mendengarkan laporan dari lembaga-lembaga Negara. Dengan sidang tahunan ini, maka secara de fakto MPR tetap menjadi lembaga tertinggi Negara meski secara legal formal MPR berkedudukan sebagai lemabaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003.
Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen
Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966.
Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.
Buyung Nasution, Adnan. Asprasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007.
Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005.
Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn 1999-2000: An Evaluation of Contitutional-Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.
Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968.
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011.
Marzuki, Laica. Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008.
Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993.
Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001.
Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Soemantri Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.
Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sumardi. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2006.
Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Panduan Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.
Panduan Sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
___________. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/2003, Tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
___________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.
__________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.12, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
A. JURNAL
_________. Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum Jurnal, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011.
_________. Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI,2014).
[1] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 61.
[2] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 62.
[3] Indonesia, Panduan Memasyarakatkan UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003), hal.
25.
[4] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,UU No. 24, LN No.98 tahun 2003, TLN. No. 4316.
[5] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,UU No. 42, LN No 176 tahun 2008, TLN. No. 4924.
[6]Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional Making Transtition, Bandung: Penerbit Mizan, 2007, hal. 275. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.191.
[7] Maria Farida S., Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, hal. 54-55. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.192.
[8] Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 174. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193.
[9] Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 65.
[10] http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia
[11] A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Jakarta: FHUI, 1990, hal. 133-135 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 47. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189.
[12] Muhamad Ridwan Indra, MPR Selayang Pandang. Jakarta: Haji Masagung, 1984, hal.19 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal. 47, Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189.
[13]Sekretariat Jenderal MPR-RI, Panduan Dalam Memayarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI. 2003) hal. 16 dalam Maruarar Siahaan, Mengawali Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Indonesia:Masalah dan Tantangan dalam Sistem Hukum Kita, http://cic-jure.0rg/Download/makalah/mengawal %20 Konstitusionalitas%20Peraturan%20Perundang%20watwepark%20pdf.pdf, diakses 11 Nopember 2011, hal. 1.Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.190, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.190.
[14] http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia
[15] http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/tugas-mpr-dan-wewenang-mpr.html#_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.