

Selamat jalan bpk H.
Harmoko, Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji’un semoga almarhum Husnul Khatimah.
Menteri Penerangan di era orde baru yang juga pernah menjabat Ketua MPR/DPR RI
periode 1997-1999 telah meninggal dunia
di rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) pada hari Minggu sekira pukul 20.22
WIB dalam usia 82 Tahun. Banyak kenangan indah saya bersama bapak H. Harmoko sejak
tahun 1997-1999 persis di saat-saat gema reformasi, ketika itu saya menjadi PNS
MPR. Sebutan si Ganteng kepada Harmoko saya saksikan sendiri disematkan oleh
ibu-ibu di sekitaran masjid Wisma Graha Sabha Kopo DPR RI Cisarua, Bogor ketika
rombongan pak Harmoko mau menunaikan Shalat Jum’at, ibu-ibu itu berbaris
memanggil pak Harmoko dengan sebutan SI GANTENG. Setahu saya secara personal Pak
Harmoko itu orangnya cerdas dan baik hati dan banyak shadaqohnya di sekitaran masjid
Wisma Graha Sabha Kopo DPR RI tersebut. Kesukaan pak Harmoko Sate Kambing Pak
Kadir selesai bermain tenis lapangan, kami menyantap makan siang bersama-sama sambil
mendengar wejangan pak Harmoko soal filsafat kehidupan dan seputaran politik yang sedang hangat pada waktu reformasi. Beliau ketika saya menikah tanggal 27 Januari 2000 di Solo tidak bisa hadir karena ada sesuatu hal yang tidak bisa ditinggalkan dengan mengirimkan karangan bunga dan ucapan selamat kebetulan kartu ucapan selamat masih saya simpan dan saya posting diatas.
Tidak banyak orang
yang beruntung bisa sedekat dengan penguasa ketika itu, apalagi
dengan seorang Ketua MPR/DPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara yang
memiliki wewenang purbawisesa, mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya
mengenal Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun 1998-sekarang, bukan
lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen di Sekretariat
Jenderal MPR tempat saya bekerja tempo dulu, bukan pula karena staf
ahlinya, atau staf Sekretariat Pimpinan MPR. Tetapi, saya adalah seorang
pegawai biasa yang diperkenalkan dengan Harmoko atas berkah dan RahmatAllah Yang Maha Kuasa, lantaran bisa sedikit bermain
tenis lapangan. Sebagai pegawai biasa, tentu saya siap melaksanakan
tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan saya untuk melayani Harmoko
bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan politis pimpinan Setjen MPR, yang
sesungguhnya untuk kepentingan dirinya saya paham betul, sebab, untuk menjadi
Sekjen dan Wakil Sekjen MPR harus diusulkan oleh Ketua MPR/DPR kepada Presiden.
Maka, sudah seharusnya pimpinan MPR/DPR harus dilayani dengan baik dan
disenangkan hatinya. Ketika Harmoko menjabat Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu,
pagi-pagi rutin bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat Jenderal MPR,
Widya Chandra, Komplek Menteri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar
biasa, pagi-pagi orang sudah berkerumun ikut-ikutan bermain tenis bersama
Harmoko, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan
project, dan masih banyak lagi orang-orang dengan modus kepentingan
lainnya. Harmoko ketika itu benar-benar bak gula yang sedang dikerubuti semut.
Setiap hari Minggu, sehabis sholat subuh, saya harus menyiapkan kebersihan
lapangan tenis,termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk
melayani Harmoko bermain tenis lapangan. Harmoko, selain bermain Tenis di
lapangan tenis Setjen MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, terkadang, dua atau
tiga minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo
DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat sedih bathin saya, tatkala Harmoko lengser
dari jabatan Ketua MPR/DPR, orang-orang yang berjubel, menyemut dan
berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Itulah sifat
kebanyakan manusia Indonesia, ketika sedang menjabat dikerubuti, begitu
Purnabakti langsung dijauhi. Tahun 2008 ketika pak Harmoko mendirikan PARTAI
KERAKYATAN NASIONAL (PKN) saya dipanggil kerumahnya di Jln Patra Kuningan XII
Jakarta Selatan untuk bergabung, tetapi saya menolak halus saya belum siap.
Pada tahun 2012 saya juga dipanggil untuk menghadap beliau di Kantor Pos Kota
Jln Gajah Mada 100 ditawari untuk menulis artikel di Pos Kota, terakhir beliau pernah
menelpon ke rumah saya, tetapi saya lupa tahunnya saya langsung yang menerima rasanya
kaget dan tidak percaya kala itu yang menelpon pak Harmoko langsung.
Penyebab runtuhnya
Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah banyak diketahui
publik, mulai dari krisis ekonomi di penghujung tahun 1997, hingga pertengahan
1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Krisis ekonomi tersebut berkembang
liar menjadi krisis hukum, politik, yang bermuara krisis kepercayaan kepada
pemerintah Republik Indonesia. Penyebab lainnya, juga sudah diketahui publik,
ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua MPR/DPR, Harmoko,
mengetukkan palu saat melantik pak Harto menjadi
Presiden untuk ketujuh kalinya pada Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot
dan patah kepalanya. Lantas, rahasia apalagi yang sesungguhnya sampai sekarang
belum terkuak oleh publik?. Simak dengan saksama artikel ini, yang akan saya
beberkan agar publik mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab
tumbangnya pak Harto dari Presiden
Republik Indonesia yang langsung saya dengar dari pak Harmoko ketika istirahat
bermain tenis. .
Sering
Diajak Bareng Satu Mobil
Hati saya bergetar
ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk berdampingan
untuk bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI,
Cisarua, Bogor. Jika bermain tenis ke puncak, Harmoko selalu mengendarai
mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya
membisu, kalau tidak diajak bicara, saya tidak akan nyerocos, saya tahu diri,
sedang berhadapan dengan Ketua MPR/DPR yang memiliki jabatan super power dapat
mengangkat dan memberhentikan Presiden kala itu. Saking senang dan bahagianya
berjejer dengan Harmoko, saya terlena tidak menyadari, bahwa sesungguhnya diri
saya sedang terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar
oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu saja, saya juga
terkena imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan
Harmoko selalu makan gulai dan sate kambing dari pak Kadir yang selalu
disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan
wejangan Harmoko tentang kehidupan, dan cerita politik yang sedang aktual.
Kalau Harmoko pasif tidak ngobrol politik, maka, kamilah yang memancing, agar
Harmoko bercerita sejujurnya mengenai isu-isu politik seputaran gelombang
reformasi.
Pak Harto Minta
Menjadi Presiden Lagi
Setelah rehat selesai
bermain tenis, dilanjut makan siang, kebiasaan Harmoko selalu bercerita ngalor
ngidul, terkadang cerita lelucon yang membuat ger-geran kami semua, adakalanya
cerita diselingi seputaran tentang makna hakekat kehidupan. Akhirnya, tibalah
saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang gerakan reformasi
yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata Harmoko: “Gimana,
Wong pak Harto waktu itu masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana, orang Pak
Harto pada waktu itu masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko,
tidak seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi Presiden sudah
menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu. Namun kali itu, pak Harto
bersikap lain, sebelum terpilih dan pelantikan Presiden untuk ketujuh kalinya,
jauh-jauh hari sudah menghubungi para pembantunya, agar bersedia memperkuat
pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung Harmoko kepada saya, bahwa pak
Harto itu sudah ndisikki kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya
keweleh. Hal-hal inilah, yang selama ini belum terkuak oleh publik mengenai
pencalonan pak Harto untuk ketujuh kalinya.
Dalam batas penalaran
logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang tidak ingin menjadi
Presiden seumur hidup?. Karena sistemnya yang memungkinkan untuk itu,
akibat tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi
Presiden ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah,
hanya saja Pak Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden
ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR
yang mewakili aspirasi rakyat sudah melaporkan bahwa rakyat masih
menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah tepat,
melalui amendemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut: “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Harmoko Dianggap
Brutus
Gerakan reformasi Mei
1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak
dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika itu dilematis, sudah terjepit-pit.
Satu sisi, sebagai Ketua MPR/DPR harus menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi
permintaan berhentinya pak Harto dari jabatan Presiden, sisi lain, tentu,
Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega itu memundurkan pak Harto, orang
yang telah berjasa membesarkan dan melambungkan dirinya. Namun, pilihan
apa pun harus diambil Harmoko, meski konflik batin dan pahit dampaknya.
Akhirnya, Harmoko atas nama Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR memberikan
pernyataan pers dengan lantang, tegas dan berani menyatakan bahwa: “Demi
kepentingan bangsa dan negara, dan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,
agar Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatan
Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu saja membuat istana marah besar,
berbeda-beda publik menyikapi pernyataan Harmoko. Ada yang memuji
keberanian Harmoko, tidak sedikit pula yang menilai Harmoko itu Brutus
(pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan (Hari-Hari Omong Kosong) menjadi
bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak habis pikir, sebagai Ketua MPR/DPR
Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan Harmoko pula yang meminta Soeharto
berhenti dari jabatan Presiden. Dari perspektif politis dan hukum, baik pak
Harto maupun bung Harmoko tidak dapat dikatakan salah, yang keliru adalah
sistem ketatanegaraannya yang harus diperbaiki. Sebagai Ketua MPR/DPR, Harmoko
berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak Harto
dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.
SI GANTENG TELAH
TIADA
Kini, Harmoko sudah TIADA,
mari kita doakan semoga beliau HUSNUL KHATIMAH bagaimana pun beliau adalah
orang yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya
tamatan SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika
kami Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor,
Harmoko selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu
berbaris dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program
Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang
digagas oleh Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara
kekurangan orde baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak
berkembangnya pers, jika ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah,
sudah menjadi rahasia umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem
pemerintahan orde baru, lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko,
sistem bangunan demokrasi lah yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto,
menurut penulis adalah seorang Presiden yang luar biasa, kinerjanya nyata
dirasakan oleh rakyat, keamanan yang terkendali dan harga-harga di
pasaran yang murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia
biasa, Pak Harto tentu ada kekurangannya, salah satunya adalah mempraktekkan
pemerintahan otoriter.
Ketika tahun
2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya, tidak
lolos ferivikasi faktual, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra
Kuningan XII, Jakarta. Sesampainya dirumah, sembari ngobrol seputaran Partai
yang didirikannya, Harmoko bertanya: “Warsito Kamu tahu artinya SARS nggak?.
Saya jawab: “tahu pak!, kata Harmoko, apa itu?: “saya jawab: “Severe Acute
Respiratory Syndrome atau gangguan pernapasan”, yaitu batuk, napas pendek
dan kesulitan bernafas. Kata Harmoko:, salah!. Yang benar: “Saya Amat
Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal mendengar plesetan arti SARS
dari Harmoko itu, dalam hati saya, ada-ada saja Harmoko ini orangnya, meski
memang saya sering mendengar kerinduan masyarakat akan hadirnya kembali sistem
pemerintahan pak Harto.
Begitulah
warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing
memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Kita tidak pernah
akan menemukan kesejatian pemimpin yang sempurna. Falsafah jawa mengatakan
mikul dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua
pemimpin kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk
pengabdian kepada ibu pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang
berbudaya dan berkeadaban tinggi.
Selamat jalan pak
Harmoko semoga HUSNUL KHATIMAH.