Kamis, 29 Januari 2009

MPR dan Politik Pertanahan



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Master Kenotariatan UI
- Konsultan Pertanahan
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



        Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah menerbitkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayang TAP MPR tersebut tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003. Tap MPR tersebut tidak perlu dicabut, dengan sendirinya sudah tidak berlaku karena ia bukan hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.
       Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hal lain negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

        Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam artian kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Politik Pertanahan

       Politik Pertanahan diatur didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Politik Pertanahan juga diatur di dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Negara adalah sebagai organisasi pemegang tertinggi kekuasaan negara dibidang pertanahan, oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme
      Salah satu prinsip utama dari UUPA adalah mengenai nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUPA berbunyi: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Demikian pula Pasal 1 ayat (2): "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Ini artinya bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu kita sebagai keseluruhan, dan menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. Menurut Prof. Boedi Harsono tanah berfungsi sebagai komunalistis reigius. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan, tetapi menjadi tanah hak Bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan yang bersifat pribadi.
Adapun antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
       Pada masa Orde Baru-reformasi permasalahan agraria ditandai semakin banyaknya aksi-aksi protes oleh korban ke kantor pertanahan, DPR dan Komnas HAM. Permaslahan agraria itu tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah pertanahan.
Sebagai contoh ketidakpastian hukum dibidang pertanahan, kasus sengketa PT Portanigra dengan Warga Meruya Selatan yang diperoleh dari H. Djuhri. Seseorang yang sudah memiliki sertipikat yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang (BPN) selama bertahun- tahun telah menguasai secara fisik digugat, dan anehnya dapat dikalahkan di pengadilan, karena dapat dibuktikan sebaliknya.
Kelemahan Publikasi Pertanahan
        Di negara manapun ada dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat digugat, dalam hal ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena sertipikat tertulis atas nama pembeli terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura.
Kedua, publikasi negatif, artinya negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak yang bersengketa mengadakan research sendiri. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Masuk Publikasi Pertanahan yang Mana?.
        Sistem hukum Indonesia selalu soft, alias tidak jelas. Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif. Lantas apa publikasi pertanahan Indonesia?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Ini artinya negara bersifat ambivalensi. Sebab, disisi lain negara memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak kepemilikannya, sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi konflik di Pengadilan. Publikasi Pertanahan Indonesia yang ambivalen ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 PP. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan juridis pemerintah agar kasus pertanahan yang selama ini terjadi tidak semakin merebak.

Selasa, 27 Januari 2009

Makna Dibalik Angka 128 Anggota DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



          Apakah sebenarnya makna dibalik jumlah 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD itu?. Suatu kebetulan, ataukah sudah diatur secara sistemik oleh MPR unsur DPR?. Untuk menjawab kebetulan atau sudah diatur secara sistemik,terlebih dahulu marilah kita mengkaji secara mendalam muatan konstitusi baik secara substantif maupun secara kwantitatif.
Dari segi kwalitatif, jelas DPD itu adalah lembaga Negara yang tidak memiliki makna(meaningless).Sebab ia hanyalah lembaga Negara pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak berimplikasi juridis. Namun jika kita mengkaji lebih mendalam dari segi kwantitatif, ada yang menarik dari keberadaan jumlah anggota DPD yang 128 itu. Mengapa harus berjumlah 128?. Marilah kita merefleksi sejenak hal ihwal ayat UUD 1945 pra amendemen yang berjumlah 71 ayat, sedangkan pasca amendemen UUD 1945 menjadi 199 ayat,dengan demikian penambahannya 128 ayat. Jumlah penambahan 128 ayat ini sama persis dengan jumlah anggota DPD. Apakah hal ini masih dianggap suatu kebetulan ataukah ada maksud tertentu agar amendemen UUD 1945 itu cukup ditambahkan 128 ayat saja?. Apakah berarti hal ini bisa dibaca tidak akan terjadi amendemen kelima UUD 1945?. Inilah kenyataannya, mau tidak mau harus diakui bahwa angka 128 anggota DPD itu menyimpan misterius. Padahal konstitusi menyatakan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih sepertiga dari jumlah anggota DPR, semestinya jumlah ideal anggota DPD adalah 224,jumlah yang masih diperbolehkan karena belum melebihi sepertiga jumlah DPR, dengan asumsi masing-masing tujuh anggota setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jumlah itu apabila dipandang terlalu banyak masih bisa diturunkan menjadi seratus sembilan puluh dua dengan asumsi enam anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jika jumlah itu masih dianggap terlalu banyak masih dapat diturunkan lagi menjadi seratus enam puluh dengan asumsi lima anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Akhirnya keputusan DPR di UU Susduk memutuskan 128 untuk anggota DPD, yaitu, empat anggota untuk setiap masing-masing provinsi dari jumlah tiga puluh dua provinsi. Ada apa dengan jumlah 128 anggota DPD ini?.
Jika diadakan semacam perlombaan untuk menemukan bentuk hukum (rechtvinding) lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, maka, dipastikan peserta lomba akan kesulitan menjawab bentuk hukumnya. Pasalnya jika DPD sebagai lembaga legislatif, keberadaannya tidak ikut memutuskan undang-undang yang bersifat mengatur (regelling).Sebaliknya, jika bukan lembaga legislatif keberadaannya termasuk rumpun lembaga legislatif sebagaimana dimaksud oleh UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
         Sayang sekali lembaga DPD ini, dari tahun ketahun hanya bekerja berputar-putar tidak karuan, sedangkan produknya tidak memiliki arti (meaningless). Apabila DPD tidak segera diperkuat melalui amendemen UUD 1945, maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bernasib sama seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jangan biarkan lembaga negara ini mengalum, dan mubadzir karena hanya akan memboroskan keuangan Negara.

Minggu, 25 Januari 2009

Perlukah Kaji Ulang Keberadaan DPD Melalui Sidang Majelis?


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



      Jika keberadaan setiap organisasi baik menyangkut hubungan orang-perorang, kelompok, komunitas tertentu, tatakelola pemerintahan maupun kelembagaan negara tidak memiliki arti, cepat atau lambat pasti akan musnah. Hukum alam itu pasti akan berlaku. Keperkasaan hukum alam itu pernah terbukti merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
      Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin dilakukan. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Siapa mau?.
Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, inisiator menggelar sidang amendemen UUD 1945 harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Dugaan kuat selama ini karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, hal itu terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna., ada dugaan kuat DPD akan tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Di sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika tidak laku di partai politik.. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa bersandar DPR periode 2009-2014 dapat memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap tidak memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Jiwa kenegarawanan pasti bersedia mengkaji ulang keberadaan DPD. Sebab posisi DPD selama ini antara ada dan tiada. Baik secara normatif, maupun data fisik DPD itu memang ada, tetapi dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) DPD itu produknya tidak memiliki arti apa-apa, sebab keberadaannya hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi juridis. Kenegarawanan sejati akan berani mengambil satu putusan diantara dua pilihan. Yaitu, DPD dipertahankan dengan diberikan kewenangan sejajar dengan DPR, ataukah dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara tiada guna. MPR tidak boleh terus-menerus menutup mata membiarkan DPD menjadi bulan-bulanan DPR. Berapa ratusan milyar uang rakyat yang dihambur-hamburkan mubadzir, jika MPR terlambat mikir (telmi) tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD. Singkatnya, MPR perlu segera menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).

Kamis, 22 Januari 2009

DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



         Hukum alam pastilah akan berlaku, begitu juga terhadap lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini. DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan karena keberadaannya tidak memiliki makna. Hukum alam itu terbukti pernah merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
        Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, terkecuali MPR menggelar sidang majelis dengan agenda amendemen UUD 1945. Inisiator menggelar sidang amendemen harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna. Namun demikian, karena DPD itu mendatangkan keuntungan materi besar bagi para anggotanya, dugaan kuat itulah, yang menyebabkan DPD tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika DPR sudah jompo sambil berkipas-kipas mendapatkan gaji dan tunjangan yang memuaskan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat kenegarawanan yang tidak memiliki intrik-intrik di konstitusi untuk kepentingan sesaat. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan dengan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa berharap DPR periode 2009-2014 memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap belum memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Seorang kenegarawanan itu pasti akan bertanya, apa manfaatnya DPD?. Kenegarawanan sejati akan dihadapkan dua pilihan untuk diambil satu putusan. DPD dipertahankan akan diberikan kewenangan jika ia bermanfaat, atau dibubarkan karena hanya ternyata lembaga negara tiada guna. Singkatnya, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang hasilnya tidak memiliki arti (meaningless).

MPR Perlu Segera Menggelar Sidang Amendemen



Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



          Hukum alam pastilah akan berlaku untuk setiap lembaga negara yang tiada guna. Hukum alam itu pula terbukti pernah telah merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
        Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang.
Inisiator dari DPR
        Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, terkecuali MPR menggelar sidang majelis dengan agenda amendemen UUD 1945. Inisiator menggelar sidang amendemen harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna. Namun demikian, karena DPD itu mendatangkan keuntungan materi besar bagi para anggotanya, dugaan kuat itulah, yang menyebabkan DPD tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika DPR sudah jompo sambil berkipas-kipas mendapatkan gaji dan tunjangan yang memuaskan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat kenegarawanan yang tidak memiliki intrik-intrik di konstitusi untuk kepentingan sesaat. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
          Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan dengan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa berharap DPR periode 2009-2014 memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap belum memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Seorang kenegarawanan itu pasti akan bertanya, apa manfaatnya DPD?. Kenegarawanan sejati akan dihadapkan dua pilihan untuk diambil satu putusan. DPD dipertahankan akan diberikan kewenangan jika ia bermanfaat, atau dibubarkan karena hanya ternyata lembaga negara tiada guna. Singkatnya, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang hasilnya tidak memiliki arti (meaningless).

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19