Senin, 11 Januari 2010

Mengapa MPR Mendistorsi Kewenangan DPD”?.


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
-Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI

            Angin segar kini kembali berhembus memberikan harapan kepada Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Menanggapi disertasi dari teman saya Saldi Isra yang menyatakan presiden terbelenggu oleh legislasi, ada baiknya kita merenungkan dan mengkalkulasi seberapa besar pembelengguan konstitusi tersebut terhadap presiden. Sebab sebelum perubahan UUD 1945 terjadi eksekutive heavy, pasca amendemen terjadi pergeseran parlemen heavy. Apabila keposisian kedua lembaga Negara ini masih diotak-atik lagi, itu namanya kita melangkah mundur. Hal lain seringnya konstitusi diamendemen menjadi tidak baik, karena akan menggganggu keberlangsungan dinamika konstitusi dimasa mendatang. Untuk mensejajarkan DPR dengan presiden, kedua lembaga Negara baik presiden maupun DPR harus sama-sama diberi hak veto untuk menyetujui atau menolak undang-undang. Hak veto tidak boleh hanya diberikan kepada presiden saja, keliru besar pemikiran demikian.
Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini.
Dampak Pembelengguan Presiden
           Dampak dari pembelengguan presiden DPD lah yang akan menangguk untung besar, sebab jika amendemen UUD 1945 dilaksanakan, DPD akan nimbrung agar kelembagaannnya disejajarkan dengan DPR. Jadi dalam konteks ini DPR akan “dikeroyok” oleh kedua lembaga Negara yaitu, presiden dan DPD yang sama-sama meminta kewenangannya disejajarkan.
Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. DPD dipertahankan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. Juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?. Ibarat jenis kelamin, DPD bukan laki-laki bukan juga perempuan. Lantas apa jenis kelamin DPD ini?. Apakah mau DPD disebut khuntsa (banci)?.
Referendum Untuk DPD
            MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960-2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
           Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Ada adagium hukum, lex superior derogat legi inferiori, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi.
DPD kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen.
           Marilah memerhatikan dengan saksama tugas dan fungsi DPD sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 22D UUD 1945, sbb: DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaan DPD hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD yang dilahirkan dari amendemen kini protes meminta amendemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan, meskipun anaknya nglunjak tidak marah. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “Sabar anakku, jangan meminta amendemen sekarang, tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kemungkinan akan memberi wejangan lebih manis lagi: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, tunggu di 2014” susun dulu perubahan secara komprehensif.
Dibutuhkan keberanian sikap DPR memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant terhadap politik, ataukah sebaliknya politik yang determinant terhadap hukum. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka keberadaan konstitusi dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia senantiasa akan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
          DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD.
Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945 diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak konstitusional setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 1338 BW dan pasal 37 UUD 1945). Hal ini perlu dipahami oleh seluruh anggota majelis jika ingin memiliki sifat kenegarawanan.Dibutuhkan kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sedemikian sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 230 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 sebagai pembelengguan DPD yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amendemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, memilih DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amendemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD,dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat DPD tersebut. Sebab ketika membuat perjanjian, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amendemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amendemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Rabu, 21 Oktober 2009

DPD Perlu Belajar Hukum Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Master Hukum UI

        Sikap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) benar-benar sangat memalukan. Pasalnya baru-baru saja terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR unsur DPD dipermasalahkan karena dianggap tidak mewakili lembaga DPD. Pada hakekatnya Farhan Hamid itu bukan bertindak untuk dan atas nama kelembagaan DPD, tetapi ia adalah dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama dirinya sebagai anggota MPR. Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, anggota MPR itu terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Jadi terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR secara hukum itu sudah sah, karena sudah sesuai ketentuan konstitusi, UU maupun peraturan Tata Tertib MPR.
DPD Perlu belajar hukum ketatanegaraan dengan baik, sebab sikap yang diperagakan oleh DPD ini benar-benar sangat memalukan. Apalagi yang dipermasalahkan tidak bersifat mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan Negara. Permasalahannya hanya sepele soal ketiadaan “pembagian permen secara seimbang antara DPR dengan DPD” di Pimpinan MPR.
Jika DPD ngambeg hal itu wajar-wajar saja karena sakit hati tidak diberikan jatah 2 anggotanya duduk di Pimpinan MPR. Namun, DPD perlu menahan amarahnya kepada DPR, sebab, selain tidak seimbang melawan DPR baik mengenai kewenangannya maupun jumlah anggotanya, bisa-bisa jika DPR sudah geram kepada DPD malah memasuki ruang sidang paripurna majelis menjelma menjadi anggota MPR membubarkan DPD.

Kamis, 24 September 2009

Idul Fitri Hubungannya dengan Kehidupan Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen-Pati


            Lebaran dan Idul Fitri memang sudah berlalu, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh berlalu begitu saja. Bagi umat muslim, sebulan penuh telah melaksanakan ibadah puasa dan dilanjutkan dengan kegiatan ibadah tarawih dan tadarusan. Kegiatan itu semata-mata dilakukan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, karena kegiatan ibadah di Bulan Ramadhan nilainya dilipatgandakan ketimbang bulan-bulan yang lain.
           Namun sangat disayangkan, banyak yang belum memahami nilai-nilai semangat Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Pasca Ramadhan kita kenal dengan sebutan hari raya Idul Fitri atau lebaran, momentum tersebut digunakan untuk salam-salaman memohon maaf dan bathin. Saya tidak tahu apakah permohonan maaf tersebut dilakukan dengan tulus atau tidak. Atau bahkan sebaliknya, hanya dilakukan sekedar basa-basi belaka. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh imbalan pahalanya tidak lain adalah kita menjadi suci kembali, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Pada hari itu Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa hambanya, tetapi untuk urusan dosa dengan umat manusia (hablumminnas), maka antar sesama manusia sendiri yang wajib saling memafkan. Jangan sampai permohonan maaf lahir dan bathin ini hanya jadikan sebuah tradisi yang tidak bermakna.       Konkretnya hanya sekedar sebuah seremonial belaka.
Jika kita melaksanakan puasa dengan benar, maka bulan-bulan berikutnya ahlak dan moral kita akan menjadi lebih baik lagi, akan tercermin baik di Lingkungan bekerja, kehidupan masyarakat, berbangsa dan Bernegara. Karena Bulan puasa adalah ruh untuk bulan-bulan berikutnya.
Indikatornya seseorang yang berpuasa dengan benar, maka jika menjadi pemimpin pasti ia akan menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana, dan bagi karyawan atau pegawai akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggungjawab karena bekerja pada hakekatnya adalah merupakan ibadah.

Rabu, 25 Maret 2009

Apakah Sesungguhnya Fungsi Materai Itu ?.



Oleh Warsito, SH., M.Kn
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta


         Siapakah yang dipersalahkan jika banyak orang yang tidak mengetahui kegunaan materai dalam pembuatan kontrak atau perjanjian?. Anggapan selama ini, di instansi pemerintah atau swasta, jika orang sudah tanda tangan di perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat. Padahal sebenarnya fungsi materai tidak sekuat apa yang mereka kira.Materai itu tidak memilki pembuktian apa-apa.
        Lalu apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang otentik maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: Bentuk perjanjian/kontrak ditentukan oleh UU; dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum/notaris; dibuat di wilayah pembuatan kontrak tersebut (pasal 1868 BW). Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya.
Sekali lagi materai itu tidak memiliki pembuktian apa-apa, kecuali hanya untuk membayar pajak kepada negara.

Jumat, 13 Maret 2009

Lembaga Negara Manakah Inisiator Membubarkan DPD?.


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-Master Kenotariatan UI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri


            Lembaga Negara manakah yang harus menjadi inisiator amendemen konstiusi membubarkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?. Jawabnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Meskipun secara formalistis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berhak dan berwenang mengusulkan amendemen UUD 1945, tetapi dalam praktek ketatanegaraannya DPR-lah sesungguhnya yang berwenang mengubah dan mengusulkan amendemen konstitusi. Sebab 550 anggota DPR merangkap MPR kekuatannya luar biasa dahsyat sudah dapat membubarkan DPD.
Menunggu inisiator dari DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sampai kiamat tiba, tidak mungkin DPD mau menjelma MPR mengusulkan membubarkan kelembagaannya. Meskipun anggota DPD merangkap juga MPR berwenang mengusulkan konstitusi, sekali lagi tidak mungkin sebagai lembaga Negara yang terlibat memutuskan akan bunuh diri mengusulkan kelembagaannya dibubarkan.
      Dalam sistem ketatanegaraan, Negara yang menganut kesatuan tidak mengenal istilah bicameral,apalagi bicameralnya Indonesi ini adalah bicameral pura-pura.
Tuan-tuan anggota MPR apakah tidak malu jika konstitusi kita dikaji oleh akademisi dunia internasional, khususnya menyangkut keberadaan DPD yang tidak mendatangkan manfaat ini. Selain itu produk DPD juga tidak memiliki arti (meaningless). Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit), lebih baik DPD itu dibubarka saja. Terkecuali tuan-tuan anggota DPR merangkap MPR mengambangkan DPD itu sengaja untuk tujuan beristirahat di hari tua ketika sudah tidak laku lagi di partai politik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19