Jumat, 04 September 2015

Wasiat Kemerdekaan





Oleh WARSITO

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003



“Saya telah minta Saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun”! Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya (diucapkan: oleh Bung Karno dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI Tanggal 28 Mei s/d 22 Agustus 1945, halaman 407, terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995).
            Setiap menjelang bulan Agustus, rakyat dan bangsa Indonesia akan memiliki gawe besar menyambut dan memperingati HUT Kemerdekaan negaranya. Perayaan kemerdekaan tersebut disambut  suka cita, meski ditengah-tengah kelesuan perekonomian nasional. Wong cilik, tak akan segan-segan mengeluarkan duit untuk patungan membeli umbul-umbul, spanduk, organ tunggal, panggung musik dangdut, campur sari dan wayang kulit, agar kampungnya terasa hingar bingar dan gegap gempita dalam menyambut dan memperingati kemerdekaan negaranya. HUT kemerdekaan RI selalu diperingati meriah di desa-desa, di kota, kantor pemerintahan, bahkan di Istana Merdeka. Meski, cara penyambutan dan peringatan kemerdekaan yang dilakukan sering salah kaprah, tetapi, kita patut berbangga, ternyata nasionalisme bangsa tidak terdegradesi (tergerus), ditengah-tengah kelesuan ekonomi: sembako naik, bensin naik, listrik naik, air PAM naik, dan tarif angkutan naik. Meminjam istilah  Yus Priyadi Usman, melalui  Surat Pembaca Kompas, 31 Juli 2015 kemarin, selama ini rakyat diminta mengencangkan ikat pinggang, atau malah mungkin banyak rakyat yang tak punya ikat pinggang. Namun, militansi kecintaan kepada bangsa dan Negara tetap tak tergoyahkan dibuktikan dengan kerelaan mengorbankan: materi, dan tenaganya untuk ibu pertiwi tercinta.
Perjalanan panjang, berliku, dan melelahkan bangsa ini untuk merebut kemerdekaan tak  semudah membalikkan telapak tangan. Kemerdekaan ditebus dengan ongkos yang mahal: materi, tetesan darah, bahkan nyawa taruhannya untuk republik tersayang. Para pendiri Negara dengan jujur mengakui bahwa kemerdekaan ini atas berkat rahmat Allah, tanpa berkat rahmat-Nya, dalam batas penalaran logis, mustahil peralatan bambu runcing dapat menyiutkan mata dan menggelapkan hati penjajah meski dengan peralatan tempur  tank-tank super canggih dan senjata yang amat mutakhir pada waktu itu. Bedil, peluru, dentuman meriam dan tank-tank super canggih tak menyurutkan langkah patriot bangsa demi merebut kemerdekaan.
Perlu disadari, para pendahulu kita hanya mengantarkan rakyat Indonesia “kedepan pintu gerbang” kemerdekaan Negara Indonesia melalui pembukaan UUD 1945. Anggota Oto Iskandardinata mengusulkan kalimat “pintu gerbang” itu tidak ada  diganti  saja “ ke Negara Indonesia”. Ketua Soekarno mendukung gagasan Wakil Ketua Moh Hatta dengan perkataan “pintu gerbang”, sebab, Negara Indonesia belum ada. Ditambahkan oleh Moh Hatta, jika disebut ke “Negara Indonesia”, kita melangkah kepada grondwet/UUD 1945 (Risalah Sidang BPUPKI- PPKI, 28 Mei 22 Agustus 1945  pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, halaman 409). Menyimak dengan saksama suasana rapat-rapat BPUPKI dan PPKI begitu terlihat demokratis dan memiliki suasana kebatinan yang mendalam, tidak ada pemaksaan mayoritas, tidak ada merasa yang satu dirugikan oleh kelompok yang lain. Tidak ada merasa yang satu dikalahkan oleh kelompok lain. Itulah negarawan sejati, mereka bekerja dan berpikir untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya. Mereka membuang jauh-jauh ego sektoralnya, demi merebut Negara kemerdekaan Indonesia yang akan diwasiatkan oleh generasi penerus.
Pintu gerbang adalah jembatan emas untuk menyeberang dan mengarungi nasib bangsa dipundak sendiri untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.
Sesungguhnya kemerdekaan ini adalah sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial, karena janji sudah dituangkan “di tinta emas” yang luhur dan agung secara tertulis di dalam pembukaan UUD 1945. Kontrak sosial yang luhur dan agung di dalam pembukaan UUD 1945, MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen UUD 1945, sebelum dilakukan perubahan memegang lima kesepakatan dasar, salahsatunya: “tetap tidak mengubah  pembukaan UUD 1945”. Kontrak sosial Negara dengan rakyatnya  sebagaimana tujuan  Negara yang hendak: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontrak sosial itu harus ditaati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab. Berbeda, dengan janji kemerdekaan, karena janji  itu sifatnya bisa tertulis atau  lisan yang gampang di ingkari.
Dengan demikian, tidak tepat opini Anies Baswedan di harian Kompas 15 Agustus 2011, yang menyatakan: “berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Menanti Sekretariat Parlemen




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003


Hiruk pikuk wacana perlunya pembentukan Sekretariat Parlemen (gabungan Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD) diatur di dalam UU MD3 (UU MPR, DPR, DPD dan DPRD), gagasan yang basi, dan menjemukan. Sebab, wacana Sekretariat Parlemen ini tidak malu-malu terus digulirkan dengan mulut berbusa-busa, dari periode ke periode anggota DPR, tetapi hasilnya sudah bisa terbaca, hampir pasti mustahil dilaksanakan. Bersebab, untuk menggabung menjadi Sekretariat Parlemen tidak semudah membalik telapak tangan, banyak pihak-pihak yang berkepentingan akan menjegal wacana yang tidak populis ini. Penggabungan Sekretariat Parlemen akan menuai pro kontra hebat, fraksi-fraksi DPR sendiri tentu berkepentingan menaruh orang-orangnya duduk di Pimpinan MPR. Begitu pula, Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD pun tak rela, Setjennya akan diobrak-abrik digabung menjadi satu yang menjadikan jabatan prestisiusnya hilang, dari mulai Sekjen, Wakil Sekjen, Deputi, Kepala Biro, dan Kepala Bagian.
 Sekretariat Jenderal pun tak akan tinggal diam, tentu akan berjuang mati-matian merapat/melobi anggota DPR yang menangani Pansus RUU MD3, agar wacana penggabungan Sekretariat Parlemen tidak diteruskan. Sebab, jika wacana pembentukan Sekretariat Parlemen berhasil terbentuk, ini menyangkut soal hidup mati pegawai kesekjenan, utamanya yang sudah menduduki eselon I dan II akan kelimpungan dibuatnya. Sebenarnya penggabungan Sekretariat Parlemen menjadi penting, selain efisien keuangan Negara, kesekjenan akan lebih terkoordinasi dan terintegrasi dalam menjalankan tugasnya melayani majelis dan dewan dalam bidang administratif dan keahlian. Misalnya, Sidang Tahunan MPR yang dihelat bulan Agustus kemarin, mestinya dilayani oleh Sekretariat Jenderal DPR dan DPD secara bersama-sama. Jika Sekretariat Parlemen berhasil dibentuk, konsekuensinya lembaga MPR tidak dipermanenkan seperti sekarang ini, karena tugas MPR pasca amandemen UUD 1945 rutinitas lima tahun sekali hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden. Hal lain, konsekuensi penggabungan menjadi Sekretariat Parlemen Pimpinan MPR menjadi akan dihapuskan, kelak tidak akan terdengar lagi kubu-kubuan yang  rebutan paket Pimpinan MPR.
Jangan Mengada-Ada
Sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, dalam batas penalaran logis, MPR tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban kepada organ Negara yang kedudukannya sederajat  dengan MPR. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945) menjadikan posisi MPR bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Ditambah penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan dikelompokkan TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sidang Tahunan MPR yang dihelat, selain tidak ada aturannya, juga tidak memiliki gereget. Tata Tertib MPR yang dijadikan panduan untuk menggelar Sidang Tahunan tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)?, UU MD3 didalamnya tidak ada tugas MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menginformasikan tugas MPR diantaranya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan sebagaimana sudah saya  jelaskan. Kedudukan  UU itu dibawah Ketetapan MPR (UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan /UU P3),  harus batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (null and void), jika ada peraturan yang mengatur soal itu. Namun, Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis (DPR dan DPD), meski Presiden tahu urgensi tentang ST ini. Hubungan yang harmonis antara Pesiden dan Majelis penting dijalin dengan erat. Sebab, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara keputusan politik, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR tidak diberhentikan.
Dampak Positip Sekretariat Parlemen
Setiap Agustusan dan hari jadi MPR/DPR, Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD selalu mengadakan PORSENI (Pekan Olah Raga dan Seni) yang memperlombakan/mempertandingkan antara lain: Sepak Bola, Bulu Tangkis, Tenis Lapangan, Gerak Jalan, Tarik Tambang, Lomba Pidato, Lomba Karaoke Lagu Dangdut dan Pop. Perlombaan dan pertandingan yang dimaksudkan untuk menjalin persahabatan diantara pegawai, dalam praktek kerap dilakukan dengan segala cara untuk memperebutkan juara I agar institusinya menjadi juara umum. Dengan menjadi juara umum, tentu pimpinan Sekretariat Jenderal akan berbangga.
Jika Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD disatukan menjadi Sekretariat Parlemen tentu banyak hal positipnya, terjaganya persatuan dan kesatuan yang terintegrasi antar pegawai di gedung air mancur  untuk melayani anggota dewan dan majelis secara prima. Penting dari itu semua, dengan disatukannya pegawai Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD bernama Sekretariat Parlemen, tidak ada lagi istilah tunjangan yang berbeda di gedung yang sama. Jika di Sekretariat Jenderal MPR selain gaji, mendapatkan tunjangan yang benamaUPS (uang pelayanan sidang) dan uang paket, Sekretariat Jenderal DPR lain lagi namanya, TOP (tunjangan operasional) dan UPS (uang pelayanan sidang), setelah remunerasi diganti hanya satu, Tunkin (tunjangan kinerja). Sedangkan untuk Sekretariat Jenderal DPD tunjangannya, namanya  sama dengan Sekretariat Jenderal MPR, karena pegawai DPD pecahan dari pegawai MPR.

Urgensi Sidang Tahunan MPR



Oleh WARSITO
 Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,

Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007


Tanggal 14  Agustus kemarin, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menggelar Sidang Tahunan MPR. Sidang Tahunan yang dijadwalkan dua hari, dalam rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya di Istana Bogor, pada hari Rabu 5/8/2015 diringkas menjadi satu hari (Kompas.com). Menurut Ketua MPR, Sidang Tahunan diringkas, biar efisien dan tidak bertele-tele. Sebelumnya, Sidang Tahunan MPR kali pertama dilaksanakan tahun 2000 s/d 2003, sempat ada kevakuman Sidang Tahunan dari tahun 2004 s/d 2014.
Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD {MD3}). Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukumnya dikelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003, status hukumnya termasuk TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR yang digelar terkesan diada-adakan, karena tidak ada aturannya. Jangan mencari alasan untuk membangun tradisi menghidupkan keharmonisan hubungan antar lembaga Negara, tetapi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Tata Tertib MPR yang dijadikan sandaran untuk menggelar Sidang Tahunan juga tidak tepat. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis dan tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Hal lain, juga keliru jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3), yang didalamnya tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi)  MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menyatakan tugas MPR salah satunya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan, sebagaimana penulis jelaskan diatas hanya  berlaku sekali pakai. Jika pun ada tugas MPR menggelar Sidang Tahunan dicantumkan di UU MD3, karena  kedudukan  UU dibawah Ketetapan MPR, maka ketentuan itu dengan sendirinya batal demi hukum, atau dianggap tidak pernah ada (null and void).
MPR Bukan Lembaga Tertinggi Negara
Pasca amandemen UUD 1945, kedudukan MPR bukan sebagai  lembaga tertinggi Negara melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga Negara: DPR, DPD, MK, KY, MA, dan BPK. Dalam batas penalaran logis, jika MPR yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, tentu tidak elok meminta pertanggungjawaban organ Negara yang kedudukannya sederajat. Posisi MPR sekarang juga  bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR tidak berwenang lagi mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945). Jadi, tidak ada kewenangan MPR untuk meminta pertanggungjawaban atau laporan kinerja kepada Presiden dan lembaga-lembaga Negara. Sidang Tahunan MPR dipastikan akan sia-sia, cuma menghambur-hamburkan duit rakyat. Justru, kepada rakyat lah Presiden memberikan laporan kinerjanya  yang telah memilihnya, bukan kepada MPR. Posisi Presiden sekarang bukan untergeordnet (bawahan) Majelis, tetapi sudah neben (sejajar), kebalikan, ketika posisi Presiden masih dipilih oleh MPR, kedudukan Presiden untergeordnet kepada Majelis. Jadi tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Dalam posisi seperti ini, Presiden tentu dilematis, tak enak hati jika tidak menghadiri Sidang Tahunan MPR, karena Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis yang didalamnya ada anggota DPR dan DPD. Bagaimana pun kemitraan Presiden dan Majelis harus dijalin dengan erat. Sebab, pada akhirnya, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara politis, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR untuk tidak diberhentikan.
Jangan Buat Bancakan
Dari pengalaman Sidang Tahunan MPR sebelumnya, MPR hanya menerbitkan beberapa TAP MPR yang sifatnya cuma berisi rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara untuk dilaksanakan. Jika dilacak dan disimak dengan saksama, substansi TAP-TAP MPR yang berisi rekomendasi tersebut hanya bersifat  semantik belaka. Pasalnya, tidak ada keharusan untuk dilaksanakan, sehingga jika ada lembaga Negara membandal tidak mengindahkan rekomendasi TAP MPR, maka tidak ada konsekuensi dampak yuridis yang ditimbulkan. Ironinya, rekomendasi yang diamanatkan TAP MPR belum dilaksanakan, keberlakuannya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi, selama ini hasil  Sidang Tahunan MPR sekadar obral Ketetapan MPR, wajar  hasilnya mubadzir. Apakah MPR periode 2014-2019 ingin mengulangi kesalahan yang sama?. Padahal, Negara telah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk kemeriahan Sidang Tahunan MPR. Kerja keras telah dilakukan, mulai dari persiapan dan pelaksanaan Sidang Tahunan, utamanya, Sekretariat Jenderal MPR dikerahkan penuh agar jalannya Sidang Tahunan berjalan lancar dan sukses. Pasukan Sekretariat Jenderal MPR yang terdiri dari pegawai inti: PNS, dan biasanya tenaga perbantuan, sebelum pelaksanaan sidang, ada yang “pindah rumah” menginap sementara di kantor dengan membawa ganti pakaian: sarung, celana, baju dan sajadah, agar tidak mengalami keterlambatan ketika pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Inilah fakta nyata, kesiapan luar biasa Sekretariat Jenderal MPR menghadapi Sidang Tahunan yang selama ini belum terkuak oleh khalayak ramai. Sayangnya, antara kerja keras dengan hasil Sidang Tahunan MPR, tak berbanding lurus. Dari hasil kerja keras Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, dan anggota Majelis yang terdiri anggota DPR dan DPD, wajar jika mendapatkan uang Sidang. Sidang Tahunan, juga dipandang  berkah bagi tenaga perbantuan, dari hasil kerja kerasnya turut membantu pelaksanaan Sidang Tahunan mendapatkan honorarium. Sidang Tahunan sementara dapat mengatasi masalah pengangguran. Khusus untuk pegawai MPR, selain mendapatkan uang paket, uang sidang, uang cuci jas, juga beberapa vitamin penguat tubuh agar prima dalam menyiapkan pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Penyelenggaraan Sidang Tahunan, jangan diada-adakan dengan maksud terselubung untuk memperbanyak kegiatan MPR, apalagi bertujuan untuk mencairkan dana buat bancakan ramai-ramai mengeruk pundi-pundi rupiah. MPR jangan bingung, mentang-mentang pasca amandemen UUD 1945 tugas rutinitas konstitusionalnya hanya lima tahunan sekali melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, mencari-cari akal menciptakan kerjaan. Sidang Tahunan harus dimaknai, apakah, hasilnya ada kepentingan untuk kesejahteraan rakyat atau tidak?
Kesimpulannya, Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan, selain tidak ada dasar hukum yang membenarkan, juga tidak relevan jika dilihat dari ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernology), dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana mungkin MPR berkedudukan sebagai lembaga Negara meminta laporan pertanggungjawaban kepada lembaga-lembaga negara yang kedudukannya juga sederajat?  Ini namanya, jeruk makan jeruk!

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19