Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum,
Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu
Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata
Naskah DPD-RI Tahun 2007
Tanggal 14 Agustus
kemarin, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menggelar Sidang Tahunan
MPR. Sidang Tahunan yang dijadwalkan dua hari, dalam rapat konsultasi antara
Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya di Istana Bogor, pada
hari Rabu 5/8/2015 diringkas menjadi satu hari (Kompas.com). Menurut Ketua MPR, Sidang Tahunan diringkas, biar efisien
dan tidak bertele-tele. Sebelumnya, Sidang Tahunan MPR kali pertama dilaksanakan
tahun 2000 s/d 2003, sempat ada kevakuman Sidang Tahunan dari tahun 2004 s/d
2014.
Selain
itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk
dalam bentuk pengaturan (regelling).
MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan
Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan
Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersama-sama. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah
menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga
negara lain (Undang-Undang No. 17 Tahun
2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD {MD3}). Perubahan UUD 1945 telah
mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal
antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling
mengontrol.
Penting bagi MPR, memahami
dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No
III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003.
Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukumnya dikelompokkan menjadi enam
bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8
ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
(3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 ketetapan). Ke empat, TAP
MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu
2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104
ketetapan).
TAP MPR No
III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003, status
hukumnya termasuk TAP MPRS/MPR
yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena
bersifat final (einmalig), telah
dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR
yang digelar terkesan diada-adakan, karena tidak ada aturannya. Jangan mencari
alasan untuk membangun tradisi menghidupkan keharmonisan hubungan antar lembaga
Negara, tetapi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Tata Tertib MPR yang dijadikan
sandaran untuk menggelar Sidang Tahunan juga tidak tepat. Sebab, Tata Tertib
MPR hanya berlaku untuk internal Majelis dan tidak dikenal dalam hierarki
Peraturan Perundang-Undangan. Hal lain, juga keliru jika menggunakan dasar
hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3), yang
didalamnya tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga
negara. Pasal 5 UU MD3 menyatakan tugas MPR salah satunya: memasyarakatkan
Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan, sebagaimana
penulis jelaskan diatas hanya berlaku
sekali pakai. Jika pun ada tugas MPR menggelar Sidang Tahunan dicantumkan di UU
MD3, karena kedudukan UU dibawah Ketetapan MPR, maka ketentuan itu
dengan sendirinya batal demi hukum, atau dianggap tidak pernah ada (null and void).
MPR Bukan Lembaga Tertinggi Negara
Pasca amandemen UUD 1945, kedudukan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan sederajat
dengan lembaga-lembaga Negara: DPR, DPD, MK, KY, MA, dan BPK. Dalam batas
penalaran logis, jika MPR yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, tentu tidak
elok meminta pertanggungjawaban organ Negara yang kedudukannya sederajat. Posisi
MPR sekarang juga bukan sebagai pemegang
dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR tidak berwenang lagi mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih oleh
rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945). Jadi, tidak ada kewenangan MPR
untuk meminta pertanggungjawaban atau laporan kinerja kepada Presiden dan
lembaga-lembaga Negara. Sidang Tahunan MPR dipastikan akan sia-sia, cuma menghambur-hamburkan
duit rakyat. Justru, kepada rakyat lah Presiden memberikan laporan kinerjanya yang telah memilihnya, bukan kepada MPR. Posisi
Presiden sekarang bukan untergeordnet
(bawahan) Majelis, tetapi sudah neben
(sejajar), kebalikan, ketika posisi Presiden masih dipilih oleh MPR, kedudukan
Presiden untergeordnet kepada Majelis.
Jadi tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan
MPR yang tak berdasar ini. Dalam posisi seperti ini, Presiden tentu dilematis, tak
enak hati jika tidak menghadiri Sidang Tahunan MPR, karena Presiden juga perlu
membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis yang didalamnya ada
anggota DPR dan DPD. Bagaimana pun kemitraan Presiden dan Majelis harus dijalin
dengan erat. Sebab, pada akhirnya, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah
diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara politis,
Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR untuk tidak diberhentikan.
Jangan Buat Bancakan
Dari pengalaman Sidang Tahunan MPR sebelumnya, MPR hanya menerbitkan
beberapa TAP MPR yang sifatnya cuma berisi rekomendasi kepada lembaga-lembaga
negara untuk dilaksanakan. Jika dilacak dan disimak dengan saksama, substansi TAP-TAP
MPR yang berisi rekomendasi tersebut hanya bersifat semantik belaka. Pasalnya, tidak ada
keharusan untuk dilaksanakan, sehingga jika ada lembaga Negara membandal tidak
mengindahkan rekomendasi TAP MPR, maka tidak ada konsekuensi dampak yuridis
yang ditimbulkan. Ironinya, rekomendasi yang diamanatkan TAP MPR belum
dilaksanakan, keberlakuannya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi, selama ini hasil Sidang Tahunan
MPR sekadar obral Ketetapan MPR, wajar hasilnya
mubadzir. Apakah MPR periode 2014-2019 ingin mengulangi kesalahan yang sama?. Padahal,
Negara telah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk kemeriahan Sidang Tahunan
MPR. Kerja keras telah dilakukan, mulai dari persiapan dan pelaksanaan Sidang
Tahunan, utamanya, Sekretariat Jenderal MPR dikerahkan penuh agar jalannya Sidang
Tahunan berjalan lancar dan sukses. Pasukan Sekretariat Jenderal MPR yang
terdiri dari pegawai inti: PNS, dan biasanya tenaga perbantuan, sebelum
pelaksanaan sidang, ada yang “pindah rumah” menginap sementara di kantor dengan
membawa ganti pakaian: sarung, celana, baju dan sajadah, agar tidak mengalami
keterlambatan ketika pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Inilah fakta nyata, kesiapan
luar biasa Sekretariat Jenderal MPR menghadapi Sidang Tahunan yang selama ini belum
terkuak oleh khalayak ramai. Sayangnya, antara kerja keras dengan hasil Sidang
Tahunan MPR, tak berbanding lurus. Dari hasil kerja keras Pegawai Sekretariat
Jenderal MPR, dan anggota Majelis yang terdiri anggota DPR dan DPD, wajar jika mendapatkan
uang Sidang. Sidang Tahunan, juga dipandang
berkah bagi tenaga perbantuan, dari hasil kerja kerasnya turut membantu
pelaksanaan Sidang Tahunan mendapatkan honorarium. Sidang Tahunan sementara dapat
mengatasi masalah pengangguran. Khusus untuk pegawai MPR, selain mendapatkan
uang paket, uang sidang, uang cuci jas, juga beberapa vitamin penguat tubuh agar
prima dalam menyiapkan pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Penyelenggaraan Sidang
Tahunan, jangan diada-adakan dengan maksud terselubung untuk memperbanyak kegiatan
MPR, apalagi bertujuan untuk mencairkan dana buat bancakan ramai-ramai mengeruk
pundi-pundi rupiah. MPR jangan bingung, mentang-mentang pasca amandemen UUD
1945 tugas rutinitas konstitusionalnya hanya lima tahunan sekali melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden, mencari-cari akal menciptakan kerjaan. Sidang
Tahunan harus dimaknai, apakah, hasilnya ada kepentingan untuk kesejahteraan
rakyat atau tidak?
Kesimpulannya, Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan, selain tidak ada
dasar hukum yang membenarkan, juga tidak relevan jika dilihat dari ilmu pemerintahan
berparadigma baru (kybernology), dan
hukum ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana mungkin MPR berkedudukan sebagai
lembaga Negara meminta laporan pertanggungjawaban kepada lembaga-lembaga negara
yang kedudukannya juga sederajat? Ini
namanya, jeruk makan jeruk!
sebagai penolakan anda atas sidang tahunan majelis permusyawaratan rakyat lalu dengan cara apa dan dimana lembaga negara akan melaporkan ertanggung jawabanya dan kinerja mereka disetiap tahunya ???
BalasHapus