Jumat, 04 September 2015

Urgensi Sidang Tahunan MPR



Oleh WARSITO
 Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,

Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007


Tanggal 14  Agustus kemarin, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menggelar Sidang Tahunan MPR. Sidang Tahunan yang dijadwalkan dua hari, dalam rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya di Istana Bogor, pada hari Rabu 5/8/2015 diringkas menjadi satu hari (Kompas.com). Menurut Ketua MPR, Sidang Tahunan diringkas, biar efisien dan tidak bertele-tele. Sebelumnya, Sidang Tahunan MPR kali pertama dilaksanakan tahun 2000 s/d 2003, sempat ada kevakuman Sidang Tahunan dari tahun 2004 s/d 2014.
Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD {MD3}). Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukumnya dikelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003, status hukumnya termasuk TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR yang digelar terkesan diada-adakan, karena tidak ada aturannya. Jangan mencari alasan untuk membangun tradisi menghidupkan keharmonisan hubungan antar lembaga Negara, tetapi hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Tata Tertib MPR yang dijadikan sandaran untuk menggelar Sidang Tahunan juga tidak tepat. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis dan tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Hal lain, juga keliru jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3), yang didalamnya tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi)  MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menyatakan tugas MPR salah satunya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan, sebagaimana penulis jelaskan diatas hanya  berlaku sekali pakai. Jika pun ada tugas MPR menggelar Sidang Tahunan dicantumkan di UU MD3, karena  kedudukan  UU dibawah Ketetapan MPR, maka ketentuan itu dengan sendirinya batal demi hukum, atau dianggap tidak pernah ada (null and void).
MPR Bukan Lembaga Tertinggi Negara
Pasca amandemen UUD 1945, kedudukan MPR bukan sebagai  lembaga tertinggi Negara melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga Negara: DPR, DPD, MK, KY, MA, dan BPK. Dalam batas penalaran logis, jika MPR yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, tentu tidak elok meminta pertanggungjawaban organ Negara yang kedudukannya sederajat. Posisi MPR sekarang juga  bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR tidak berwenang lagi mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945). Jadi, tidak ada kewenangan MPR untuk meminta pertanggungjawaban atau laporan kinerja kepada Presiden dan lembaga-lembaga Negara. Sidang Tahunan MPR dipastikan akan sia-sia, cuma menghambur-hamburkan duit rakyat. Justru, kepada rakyat lah Presiden memberikan laporan kinerjanya  yang telah memilihnya, bukan kepada MPR. Posisi Presiden sekarang bukan untergeordnet (bawahan) Majelis, tetapi sudah neben (sejajar), kebalikan, ketika posisi Presiden masih dipilih oleh MPR, kedudukan Presiden untergeordnet kepada Majelis. Jadi tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Dalam posisi seperti ini, Presiden tentu dilematis, tak enak hati jika tidak menghadiri Sidang Tahunan MPR, karena Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis yang didalamnya ada anggota DPR dan DPD. Bagaimana pun kemitraan Presiden dan Majelis harus dijalin dengan erat. Sebab, pada akhirnya, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara politis, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR untuk tidak diberhentikan.
Jangan Buat Bancakan
Dari pengalaman Sidang Tahunan MPR sebelumnya, MPR hanya menerbitkan beberapa TAP MPR yang sifatnya cuma berisi rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara untuk dilaksanakan. Jika dilacak dan disimak dengan saksama, substansi TAP-TAP MPR yang berisi rekomendasi tersebut hanya bersifat  semantik belaka. Pasalnya, tidak ada keharusan untuk dilaksanakan, sehingga jika ada lembaga Negara membandal tidak mengindahkan rekomendasi TAP MPR, maka tidak ada konsekuensi dampak yuridis yang ditimbulkan. Ironinya, rekomendasi yang diamanatkan TAP MPR belum dilaksanakan, keberlakuannya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi, selama ini hasil  Sidang Tahunan MPR sekadar obral Ketetapan MPR, wajar  hasilnya mubadzir. Apakah MPR periode 2014-2019 ingin mengulangi kesalahan yang sama?. Padahal, Negara telah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk kemeriahan Sidang Tahunan MPR. Kerja keras telah dilakukan, mulai dari persiapan dan pelaksanaan Sidang Tahunan, utamanya, Sekretariat Jenderal MPR dikerahkan penuh agar jalannya Sidang Tahunan berjalan lancar dan sukses. Pasukan Sekretariat Jenderal MPR yang terdiri dari pegawai inti: PNS, dan biasanya tenaga perbantuan, sebelum pelaksanaan sidang, ada yang “pindah rumah” menginap sementara di kantor dengan membawa ganti pakaian: sarung, celana, baju dan sajadah, agar tidak mengalami keterlambatan ketika pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Inilah fakta nyata, kesiapan luar biasa Sekretariat Jenderal MPR menghadapi Sidang Tahunan yang selama ini belum terkuak oleh khalayak ramai. Sayangnya, antara kerja keras dengan hasil Sidang Tahunan MPR, tak berbanding lurus. Dari hasil kerja keras Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, dan anggota Majelis yang terdiri anggota DPR dan DPD, wajar jika mendapatkan uang Sidang. Sidang Tahunan, juga dipandang  berkah bagi tenaga perbantuan, dari hasil kerja kerasnya turut membantu pelaksanaan Sidang Tahunan mendapatkan honorarium. Sidang Tahunan sementara dapat mengatasi masalah pengangguran. Khusus untuk pegawai MPR, selain mendapatkan uang paket, uang sidang, uang cuci jas, juga beberapa vitamin penguat tubuh agar prima dalam menyiapkan pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Penyelenggaraan Sidang Tahunan, jangan diada-adakan dengan maksud terselubung untuk memperbanyak kegiatan MPR, apalagi bertujuan untuk mencairkan dana buat bancakan ramai-ramai mengeruk pundi-pundi rupiah. MPR jangan bingung, mentang-mentang pasca amandemen UUD 1945 tugas rutinitas konstitusionalnya hanya lima tahunan sekali melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, mencari-cari akal menciptakan kerjaan. Sidang Tahunan harus dimaknai, apakah, hasilnya ada kepentingan untuk kesejahteraan rakyat atau tidak?
Kesimpulannya, Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan, selain tidak ada dasar hukum yang membenarkan, juga tidak relevan jika dilihat dari ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernology), dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana mungkin MPR berkedudukan sebagai lembaga Negara meminta laporan pertanggungjawaban kepada lembaga-lembaga negara yang kedudukannya juga sederajat?  Ini namanya, jeruk makan jeruk!

1 komentar:

  1. sebagai penolakan anda atas sidang tahunan majelis permusyawaratan rakyat lalu dengan cara apa dan dimana lembaga negara akan melaporkan ertanggung jawabanya dan kinerja mereka disetiap tahunya ???

    BalasHapus

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19