Jumat, 04 September 2015

Menanti Sekretariat Parlemen




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003


Hiruk pikuk wacana perlunya pembentukan Sekretariat Parlemen (gabungan Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD) diatur di dalam UU MD3 (UU MPR, DPR, DPD dan DPRD), gagasan yang basi, dan menjemukan. Sebab, wacana Sekretariat Parlemen ini tidak malu-malu terus digulirkan dengan mulut berbusa-busa, dari periode ke periode anggota DPR, tetapi hasilnya sudah bisa terbaca, hampir pasti mustahil dilaksanakan. Bersebab, untuk menggabung menjadi Sekretariat Parlemen tidak semudah membalik telapak tangan, banyak pihak-pihak yang berkepentingan akan menjegal wacana yang tidak populis ini. Penggabungan Sekretariat Parlemen akan menuai pro kontra hebat, fraksi-fraksi DPR sendiri tentu berkepentingan menaruh orang-orangnya duduk di Pimpinan MPR. Begitu pula, Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD pun tak rela, Setjennya akan diobrak-abrik digabung menjadi satu yang menjadikan jabatan prestisiusnya hilang, dari mulai Sekjen, Wakil Sekjen, Deputi, Kepala Biro, dan Kepala Bagian.
 Sekretariat Jenderal pun tak akan tinggal diam, tentu akan berjuang mati-matian merapat/melobi anggota DPR yang menangani Pansus RUU MD3, agar wacana penggabungan Sekretariat Parlemen tidak diteruskan. Sebab, jika wacana pembentukan Sekretariat Parlemen berhasil terbentuk, ini menyangkut soal hidup mati pegawai kesekjenan, utamanya yang sudah menduduki eselon I dan II akan kelimpungan dibuatnya. Sebenarnya penggabungan Sekretariat Parlemen menjadi penting, selain efisien keuangan Negara, kesekjenan akan lebih terkoordinasi dan terintegrasi dalam menjalankan tugasnya melayani majelis dan dewan dalam bidang administratif dan keahlian. Misalnya, Sidang Tahunan MPR yang dihelat bulan Agustus kemarin, mestinya dilayani oleh Sekretariat Jenderal DPR dan DPD secara bersama-sama. Jika Sekretariat Parlemen berhasil dibentuk, konsekuensinya lembaga MPR tidak dipermanenkan seperti sekarang ini, karena tugas MPR pasca amandemen UUD 1945 rutinitas lima tahun sekali hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden. Hal lain, konsekuensi penggabungan menjadi Sekretariat Parlemen Pimpinan MPR menjadi akan dihapuskan, kelak tidak akan terdengar lagi kubu-kubuan yang  rebutan paket Pimpinan MPR.
Jangan Mengada-Ada
Sebagai lembaga Negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, dalam batas penalaran logis, MPR tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban kepada organ Negara yang kedudukannya sederajat  dengan MPR. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945) menjadikan posisi MPR bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Ditambah penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan dikelompokkan TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sidang Tahunan MPR yang dihelat, selain tidak ada aturannya, juga tidak memiliki gereget. Tata Tertib MPR yang dijadikan panduan untuk menggelar Sidang Tahunan tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)?, UU MD3 didalamnya tidak ada tugas MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menginformasikan tugas MPR diantaranya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan sebagaimana sudah saya  jelaskan. Kedudukan  UU itu dibawah Ketetapan MPR (UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan /UU P3),  harus batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (null and void), jika ada peraturan yang mengatur soal itu. Namun, Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis (DPR dan DPD), meski Presiden tahu urgensi tentang ST ini. Hubungan yang harmonis antara Pesiden dan Majelis penting dijalin dengan erat. Sebab, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara keputusan politik, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR tidak diberhentikan.
Dampak Positip Sekretariat Parlemen
Setiap Agustusan dan hari jadi MPR/DPR, Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD selalu mengadakan PORSENI (Pekan Olah Raga dan Seni) yang memperlombakan/mempertandingkan antara lain: Sepak Bola, Bulu Tangkis, Tenis Lapangan, Gerak Jalan, Tarik Tambang, Lomba Pidato, Lomba Karaoke Lagu Dangdut dan Pop. Perlombaan dan pertandingan yang dimaksudkan untuk menjalin persahabatan diantara pegawai, dalam praktek kerap dilakukan dengan segala cara untuk memperebutkan juara I agar institusinya menjadi juara umum. Dengan menjadi juara umum, tentu pimpinan Sekretariat Jenderal akan berbangga.
Jika Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD disatukan menjadi Sekretariat Parlemen tentu banyak hal positipnya, terjaganya persatuan dan kesatuan yang terintegrasi antar pegawai di gedung air mancur  untuk melayani anggota dewan dan majelis secara prima. Penting dari itu semua, dengan disatukannya pegawai Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD bernama Sekretariat Parlemen, tidak ada lagi istilah tunjangan yang berbeda di gedung yang sama. Jika di Sekretariat Jenderal MPR selain gaji, mendapatkan tunjangan yang benamaUPS (uang pelayanan sidang) dan uang paket, Sekretariat Jenderal DPR lain lagi namanya, TOP (tunjangan operasional) dan UPS (uang pelayanan sidang), setelah remunerasi diganti hanya satu, Tunkin (tunjangan kinerja). Sedangkan untuk Sekretariat Jenderal DPD tunjangannya, namanya  sama dengan Sekretariat Jenderal MPR, karena pegawai DPD pecahan dari pegawai MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Bangga Anak Saya Diterima di IPB Jurusan Kimia

  Siapa orang tua yang tidak bangga dan terharu anaknya dapat diterima di PTN ternama. Hari yang membanggakan pada tahun 2016 itu akhirnya t...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19