Oleh
WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen
Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim
Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara
I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003
Hiruk
pikuk wacana perlunya pembentukan Sekretariat Parlemen (gabungan Sekretariat
Jenderal MPR, DPR dan DPD) diatur di dalam UU MD3 (UU MPR, DPR, DPD dan DPRD), gagasan
yang basi, dan menjemukan. Sebab, wacana Sekretariat Parlemen ini tidak
malu-malu terus digulirkan dengan mulut berbusa-busa, dari periode ke periode
anggota DPR, tetapi hasilnya sudah bisa terbaca, hampir pasti mustahil
dilaksanakan. Bersebab, untuk menggabung menjadi Sekretariat Parlemen tidak
semudah membalik telapak tangan, banyak pihak-pihak yang berkepentingan akan
menjegal wacana yang tidak populis ini. Penggabungan Sekretariat Parlemen akan
menuai pro kontra hebat, fraksi-fraksi DPR sendiri tentu berkepentingan menaruh
orang-orangnya duduk di Pimpinan MPR. Begitu pula, Sekretariat Jenderal MPR,
DPR dan DPD pun tak rela, Setjennya akan diobrak-abrik digabung menjadi satu
yang menjadikan jabatan prestisiusnya hilang, dari mulai Sekjen, Wakil Sekjen, Deputi,
Kepala Biro, dan Kepala Bagian.
Sekretariat Jenderal pun tak akan tinggal
diam, tentu akan berjuang mati-matian merapat/melobi anggota DPR yang menangani
Pansus RUU MD3, agar wacana penggabungan Sekretariat Parlemen tidak diteruskan.
Sebab, jika wacana pembentukan Sekretariat Parlemen berhasil terbentuk, ini
menyangkut soal hidup mati pegawai kesekjenan, utamanya yang sudah menduduki
eselon I dan II akan kelimpungan dibuatnya. Sebenarnya penggabungan Sekretariat
Parlemen menjadi penting, selain efisien keuangan Negara, kesekjenan akan lebih
terkoordinasi dan terintegrasi dalam menjalankan tugasnya melayani majelis dan
dewan dalam bidang administratif dan keahlian. Misalnya, Sidang Tahunan MPR
yang dihelat bulan Agustus kemarin, mestinya dilayani oleh Sekretariat Jenderal
DPR dan DPD secara bersama-sama. Jika Sekretariat Parlemen berhasil dibentuk,
konsekuensinya lembaga MPR tidak dipermanenkan seperti sekarang ini, karena
tugas MPR pasca amandemen UUD 1945 rutinitas lima tahun sekali hanya melantik Presiden
dan Wakil Presiden. Hal lain, konsekuensi penggabungan menjadi Sekretariat
Parlemen Pimpinan MPR menjadi akan dihapuskan, kelak tidak akan terdengar lagi kubu-kubuan
yang rebutan paket Pimpinan MPR.
Jangan Mengada-Ada
Sebagai lembaga Negara
yang sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, dalam batas penalaran logis,
MPR tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban kepada organ
Negara yang kedudukannya sederajat
dengan MPR. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara
langsung (Pasal 6A UUD 1945) menjadikan posisi MPR bukan sebagai pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, tidak ada keharusan Presiden
untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Ditambah
penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang
diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang
Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002,
Materi dan Status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan dikelompokkan TAP
MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut,
baik karena bersifat final (einmalig),
telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sidang Tahunan MPR yang
dihelat, selain tidak ada aturannya, juga tidak memiliki gereget. Tata Tertib
MPR yang dijadikan panduan untuk menggelar Sidang Tahunan tidak memiliki
kekuatan hukum. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis tidak
dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana jika menggunakan
dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)?, UU MD3
didalamnya tidak ada tugas MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban
lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menginformasikan tugas MPR diantaranya:
memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang
Tahunan sebagaimana sudah saya jelaskan.
Kedudukan UU itu dibawah Ketetapan MPR
(UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan /UU
P3), harus batal demi hukum atau
dianggap tidak pernah ada (null and void),
jika ada peraturan yang mengatur soal itu. Namun, Presiden juga perlu membangun
kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis (DPR dan DPD), meski Presiden
tahu urgensi tentang ST ini. Hubungan yang harmonis antara Pesiden dan Majelis
penting dijalin dengan erat. Sebab, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah
diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara keputusan
politik, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR tidak diberhentikan.
Dampak
Positip Sekretariat Parlemen
Setiap
Agustusan dan hari jadi MPR/DPR, Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD selalu
mengadakan PORSENI (Pekan Olah Raga dan Seni) yang memperlombakan/mempertandingkan
antara lain: Sepak Bola, Bulu Tangkis, Tenis Lapangan, Gerak Jalan, Tarik
Tambang, Lomba Pidato, Lomba Karaoke Lagu Dangdut dan Pop. Perlombaan dan
pertandingan yang dimaksudkan untuk menjalin persahabatan diantara pegawai,
dalam praktek kerap dilakukan dengan segala cara untuk memperebutkan juara I agar
institusinya menjadi juara umum. Dengan menjadi juara umum, tentu pimpinan
Sekretariat Jenderal akan berbangga.
Jika
Sekretariat Jenderal MPR, DPR dan DPD disatukan menjadi Sekretariat Parlemen
tentu banyak hal positipnya, terjaganya persatuan dan kesatuan yang
terintegrasi antar pegawai di gedung air mancur untuk melayani anggota dewan dan majelis
secara prima. Penting dari itu semua, dengan disatukannya pegawai Sekretariat
Jenderal MPR, DPR dan DPD bernama Sekretariat Parlemen, tidak ada lagi istilah
tunjangan yang berbeda di gedung yang sama. Jika di Sekretariat Jenderal MPR selain
gaji, mendapatkan tunjangan yang benamaUPS (uang pelayanan sidang) dan uang
paket, Sekretariat Jenderal DPR lain lagi namanya, TOP (tunjangan operasional)
dan UPS (uang pelayanan sidang), setelah remunerasi diganti hanya satu, Tunkin
(tunjangan kinerja). Sedangkan untuk Sekretariat Jenderal DPD tunjangannya, namanya
sama dengan Sekretariat Jenderal MPR,
karena pegawai DPD pecahan dari pegawai MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.