Jumat, 04 September 2015

Wasiat Kemerdekaan





Oleh WARSITO

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003



“Saya telah minta Saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun”! Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya (diucapkan: oleh Bung Karno dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI Tanggal 28 Mei s/d 22 Agustus 1945, halaman 407, terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995).
            Setiap menjelang bulan Agustus, rakyat dan bangsa Indonesia akan memiliki gawe besar menyambut dan memperingati HUT Kemerdekaan negaranya. Perayaan kemerdekaan tersebut disambut  suka cita, meski ditengah-tengah kelesuan perekonomian nasional. Wong cilik, tak akan segan-segan mengeluarkan duit untuk patungan membeli umbul-umbul, spanduk, organ tunggal, panggung musik dangdut, campur sari dan wayang kulit, agar kampungnya terasa hingar bingar dan gegap gempita dalam menyambut dan memperingati kemerdekaan negaranya. HUT kemerdekaan RI selalu diperingati meriah di desa-desa, di kota, kantor pemerintahan, bahkan di Istana Merdeka. Meski, cara penyambutan dan peringatan kemerdekaan yang dilakukan sering salah kaprah, tetapi, kita patut berbangga, ternyata nasionalisme bangsa tidak terdegradesi (tergerus), ditengah-tengah kelesuan ekonomi: sembako naik, bensin naik, listrik naik, air PAM naik, dan tarif angkutan naik. Meminjam istilah  Yus Priyadi Usman, melalui  Surat Pembaca Kompas, 31 Juli 2015 kemarin, selama ini rakyat diminta mengencangkan ikat pinggang, atau malah mungkin banyak rakyat yang tak punya ikat pinggang. Namun, militansi kecintaan kepada bangsa dan Negara tetap tak tergoyahkan dibuktikan dengan kerelaan mengorbankan: materi, dan tenaganya untuk ibu pertiwi tercinta.
Perjalanan panjang, berliku, dan melelahkan bangsa ini untuk merebut kemerdekaan tak  semudah membalikkan telapak tangan. Kemerdekaan ditebus dengan ongkos yang mahal: materi, tetesan darah, bahkan nyawa taruhannya untuk republik tersayang. Para pendiri Negara dengan jujur mengakui bahwa kemerdekaan ini atas berkat rahmat Allah, tanpa berkat rahmat-Nya, dalam batas penalaran logis, mustahil peralatan bambu runcing dapat menyiutkan mata dan menggelapkan hati penjajah meski dengan peralatan tempur  tank-tank super canggih dan senjata yang amat mutakhir pada waktu itu. Bedil, peluru, dentuman meriam dan tank-tank super canggih tak menyurutkan langkah patriot bangsa demi merebut kemerdekaan.
Perlu disadari, para pendahulu kita hanya mengantarkan rakyat Indonesia “kedepan pintu gerbang” kemerdekaan Negara Indonesia melalui pembukaan UUD 1945. Anggota Oto Iskandardinata mengusulkan kalimat “pintu gerbang” itu tidak ada  diganti  saja “ ke Negara Indonesia”. Ketua Soekarno mendukung gagasan Wakil Ketua Moh Hatta dengan perkataan “pintu gerbang”, sebab, Negara Indonesia belum ada. Ditambahkan oleh Moh Hatta, jika disebut ke “Negara Indonesia”, kita melangkah kepada grondwet/UUD 1945 (Risalah Sidang BPUPKI- PPKI, 28 Mei 22 Agustus 1945  pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, halaman 409). Menyimak dengan saksama suasana rapat-rapat BPUPKI dan PPKI begitu terlihat demokratis dan memiliki suasana kebatinan yang mendalam, tidak ada pemaksaan mayoritas, tidak ada merasa yang satu dirugikan oleh kelompok yang lain. Tidak ada merasa yang satu dikalahkan oleh kelompok lain. Itulah negarawan sejati, mereka bekerja dan berpikir untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya. Mereka membuang jauh-jauh ego sektoralnya, demi merebut Negara kemerdekaan Indonesia yang akan diwasiatkan oleh generasi penerus.
Pintu gerbang adalah jembatan emas untuk menyeberang dan mengarungi nasib bangsa dipundak sendiri untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.
Sesungguhnya kemerdekaan ini adalah sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial, karena janji sudah dituangkan “di tinta emas” yang luhur dan agung secara tertulis di dalam pembukaan UUD 1945. Kontrak sosial yang luhur dan agung di dalam pembukaan UUD 1945, MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen UUD 1945, sebelum dilakukan perubahan memegang lima kesepakatan dasar, salahsatunya: “tetap tidak mengubah  pembukaan UUD 1945”. Kontrak sosial Negara dengan rakyatnya  sebagaimana tujuan  Negara yang hendak: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontrak sosial itu harus ditaati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab. Berbeda, dengan janji kemerdekaan, karena janji  itu sifatnya bisa tertulis atau  lisan yang gampang di ingkari.
Dengan demikian, tidak tepat opini Anies Baswedan di harian Kompas 15 Agustus 2011, yang menyatakan: “berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Bangga Anak Saya Diterima di IPB Jurusan Kimia

  Siapa orang tua yang tidak bangga dan terharu anaknya dapat diterima di PTN ternama. Hari yang membanggakan pada tahun 2016 itu akhirnya t...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19