Oleh WARSITO
Dosen
Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim
Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara
I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003
“Saya telah minta Saudara-saudara hadir disini untuk
menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita.
Bahkan telah beratus-ratus tahun”! Hanya bangsa yang berani mengambil nasib
dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya (diucapkan: oleh Bung
Karno dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia/BPUPKI, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI Tanggal 28
Mei s/d 22 Agustus 1945, halaman 407, terbitan Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995).
Setiap
menjelang bulan Agustus, rakyat dan bangsa Indonesia akan memiliki gawe besar
menyambut dan memperingati HUT Kemerdekaan negaranya. Perayaan kemerdekaan
tersebut disambut suka cita, meski
ditengah-tengah kelesuan perekonomian nasional. Wong cilik, tak akan segan-segan
mengeluarkan duit untuk patungan membeli umbul-umbul, spanduk, organ tunggal,
panggung musik dangdut, campur sari dan wayang kulit, agar kampungnya terasa hingar
bingar dan gegap gempita dalam menyambut dan memperingati kemerdekaan negaranya.
HUT kemerdekaan RI selalu diperingati meriah di desa-desa, di kota, kantor
pemerintahan, bahkan di Istana Merdeka. Meski, cara penyambutan dan peringatan
kemerdekaan yang dilakukan sering salah kaprah, tetapi, kita patut berbangga, ternyata
nasionalisme bangsa tidak terdegradesi (tergerus), ditengah-tengah kelesuan ekonomi:
sembako naik, bensin naik, listrik naik, air PAM naik, dan tarif angkutan naik.
Meminjam istilah Yus Priyadi Usman, melalui
Surat Pembaca Kompas, 31 Juli 2015
kemarin, selama ini rakyat diminta mengencangkan ikat pinggang, atau malah
mungkin banyak rakyat yang tak punya ikat pinggang. Namun, militansi kecintaan
kepada bangsa dan Negara tetap tak tergoyahkan dibuktikan dengan kerelaan mengorbankan:
materi, dan tenaganya untuk ibu pertiwi tercinta.
Perjalanan panjang,
berliku, dan melelahkan bangsa ini untuk merebut kemerdekaan tak semudah membalikkan telapak tangan.
Kemerdekaan ditebus dengan ongkos yang mahal: materi, tetesan darah, bahkan
nyawa taruhannya untuk republik tersayang. Para pendiri Negara dengan jujur
mengakui bahwa kemerdekaan ini atas berkat rahmat Allah, tanpa berkat rahmat-Nya,
dalam batas penalaran logis, mustahil peralatan bambu runcing dapat menyiutkan
mata dan menggelapkan hati penjajah meski dengan peralatan tempur tank-tank super canggih dan senjata yang amat
mutakhir pada waktu itu. Bedil, peluru, dentuman meriam dan tank-tank super
canggih tak menyurutkan langkah patriot bangsa demi merebut kemerdekaan.
Perlu disadari, para
pendahulu kita hanya mengantarkan rakyat Indonesia “kedepan pintu gerbang”
kemerdekaan Negara Indonesia melalui pembukaan UUD 1945. Anggota Oto
Iskandardinata mengusulkan kalimat “pintu gerbang” itu tidak ada diganti
saja “ ke Negara Indonesia”. Ketua Soekarno mendukung gagasan Wakil
Ketua Moh Hatta dengan perkataan “pintu gerbang”, sebab, Negara Indonesia belum
ada. Ditambahkan oleh Moh Hatta, jika disebut ke “Negara Indonesia”, kita
melangkah kepada grondwet/UUD 1945 (Risalah
Sidang BPUPKI- PPKI, 28 Mei 22 Agustus 1945
pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, halaman 409). Menyimak dengan saksama suasana
rapat-rapat BPUPKI dan PPKI begitu terlihat demokratis dan memiliki suasana
kebatinan yang mendalam, tidak ada pemaksaan mayoritas, tidak ada merasa yang
satu dirugikan oleh kelompok yang lain. Tidak ada merasa yang satu dikalahkan
oleh kelompok lain. Itulah negarawan sejati, mereka bekerja dan berpikir untuk
kepentingan rakyat, bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok atau
golongannya. Mereka membuang jauh-jauh ego sektoralnya, demi merebut Negara kemerdekaan
Indonesia yang akan diwasiatkan oleh generasi penerus.
Pintu gerbang adalah
jembatan emas untuk menyeberang dan mengarungi nasib bangsa dipundak sendiri
untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.
Sesungguhnya kemerdekaan
ini adalah sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial, karena janji sudah dituangkan
“di tinta emas” yang luhur dan agung secara tertulis di dalam pembukaan UUD
1945. Kontrak sosial yang luhur dan agung di dalam pembukaan UUD 1945, MPR
melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen UUD 1945, sebelum dilakukan
perubahan memegang lima kesepakatan dasar, salahsatunya: “tetap tidak mengubah pembukaan UUD 1945”. Kontrak sosial Negara
dengan rakyatnya sebagaimana tujuan Negara yang hendak: melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontrak sosial itu harus ditaati, dan
dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab. Berbeda, dengan janji
kemerdekaan, karena janji itu sifatnya
bisa tertulis atau lisan yang gampang di
ingkari.
Dengan demikian, tidak
tepat opini Anies Baswedan di harian Kompas 15 Agustus 2011, yang menyatakan: “berbeda dengan cita-cita, sebuah janji
adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai.
Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian.
Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain.
Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan
mencerdaskan tiap anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.