Jumat, 24 Juni 2016

Dapatkah SBY Menjadi Wapres?


                                                                             Oleh WARSITO, SH., M.Kn.                                 Dosen: Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta                                                                  Kandidat Doktoral Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta


Tahun 2014 adalah tahun gaduh perpolitikan nasional. Ketika mendengar ocehan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya bersedia menjadi Cawapres, bathin saya tertawa cekikikan. Banyak orang mafhum akan mudah membaca arah usulan ini (baca: "setengah meledek") dari orang yang pernah sakit hati dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.  Tidak ada gunanya menyikapi usulan ini karena tidak berdasar sekali baik secara etika kenegaraan maupun konstitusional. Belum ada sejarah di Republik ini  seorang  Presiden yang mau turun pangkat menjadi wapres. Sehaus-hausnya orang gila jabatan, mana ada orang setelah menjabat  presiden mau turun tahta menjadi  wakil presiden (Wapres), tentu gengsi dan malu untuk menerimanya, meski konstitusi tidak secara tegas melarang presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan untuk mencalonkan menjadi wakil presiden.
Usulan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu bukanlah gagasan yang baik untuk membangun proses demokratisasi di Indonesia,  SBY sebaiknya, tidak perlu merespon ocehan Anas tersebut, jika SBY terpancing emosi untuk mengomentari, maka sesungguhnya SBY sudah terperangkap  dalam jebakan maut manuvernya Anas. Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dibatasi maksimal dua kali masa jabatan sebagaimana ditentukan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya  untuk satu kali masa jabatan”. Presiden yang pernah menjabat selama dua kali masa jabatan secara normatif, tidak dimungkinkan untuk menjadi Cawapres, meski ia belum pernah menjabat sebagai wakil presiden. Publik  mengharap SBY tidak sebaiknya memberikan tanggapan atas ocehan Anas itu,  ternyata akhirnya SBY terpancing juga mengomentari dirinya di Cawapreskan, padahal, baik dari sisi etika dan konstitusional tidak elok dibicarakan.
SBY memberikan komentar, jika saja konstitusi tidak membatasi dirinya memangku jabatan maksimal dua kali masa jabatan, ia pun tidak akan mencalonkan lagi, apalagi menjadi Cawapres,  karena menurutnya semakin lama memimpin akan semakin menyalahgunakan kekuasaannya. Benarkah ucapan SBY tersebut?. Panggung sejarah sudah membuktikan, jika kekuasaan itu tidak dibatasi akan menimbulkan otoriterisme dan totaliterisme, berkaca dari pengalaman sejarah itulah, maka konstitusi Indonesia harus membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sejarah Indonesia juga telah mencatat, tidak ada presiden satu pun di Indonesia yang sepenuhnya memiliki jiwa kenegarawanan bersedia tidak mencalonkan kembali sebagai presiden, jika saja konstitusi tidak membatasinya. Presiden RI pertama, Soekarno dengan TAP MPR NO: III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Sedangkan presiden RI kedua pak Harto, meski tidak pernah menyatakan secara terang-terangan  ingin menjadi presiden seumur hidup, tetapi dengan doktrin orde baru yang akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, ini artinya, orde baru ingin mempertahankan masa jabatan presiden di konstitusi yang multitafsir dengan kalimat “dapat dipilih kembali”. Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, akibat ketentuan yang bersayap ini, Soeharto dapat terpilih  kembali menjadi Presiden Republik Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tujuh kali berturut-turut. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah oleh mahasiswa pada tahun 1998, dan klimaksnya dipaksanya Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, merupakan perjuangan monumental dan heroik, yang ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan tinta emas untuk menuju masyarakat yang demokratis. Tuntutan reformasi pada waktu itu, yakni antara lain, reformasi konstitusi untuk  membatasi jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Pernyataan SBY yang dimuat di (news.detik.com) pada tanggal 25 April 2014, dengan judul: “ Ada yang mengolok-olok saya  meminta menjadi Cawapres saja”, ternyata SBY sudah menyadari ocehan Anas itu yang hanya diniatkan untuk melukai dan melecehkan saja. Pertanyaannya, untuk apa SBY menjawab ocehan yang tidak bermutu ini?. Apakah presiden yang masa bhaktinya tinggal menjelang detik-detik akhir kemarin  kurang pekerjaan?. Masih  membaca judul diatas kita dibuatnya geli, konon ada pihak lain yang serius mendorong SBY menjadi cawapres, tujuannya dengan pengalaman SBY yang luar biasa maka bisa membantu presiden RI berikutnya memajukan bangsa. Jika ada usulan selain ocehan Anas, substansinya sebenarnya sama saja, yaitu untuk menjerumuskan dan melecehkan SBY ke jurang nestapa sekaligus  sebagai sindiran keras, publik menilai selama ini SBY lamban dalam mengambil keputusan terkait kebijakan publik, maka SBY disindir, lebih baik menjadi Cawapres saja yang tidak memutuskan kebijakan yang bersifat strategis. SBY lagi-lagi terpancing dengan menanggapi usulan itu dengan menyatakan  sama sekali tidak tertarik. Satu sisi, SBY mengaku sadar, bahwa pemimpin yang terlalu lama memimpin biasanya menjadi tidak baik. Sisi lain, SBY tidak menyadari bahwa jika SBY benar menjadi Cawapres, sesungguhnya SBY sudah “dilampumerahkan” konstitusi. SBY ada benarnya menyatakan, bahwa pemimpin yang lebih dari 20 tahun berkuasa, cenderung diktator dan menyalahgunakan kewenangan. Pertanyaannya, tuluskah ucapan SBY  tidak mencalonkan lagi jika konstitusi tidak membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan ?. Wallahu ‘alam.
Untuk menjalankan pemerintahan yang baik, dari aspek historis ada dua pendekatan,  personal dan sistem. Pada masa Plato pendekatan secara personal telah dipraktekkan. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahan yang berkuasa idealnya dipraktekkan dengan cara  paternalistik, maksudnya, para penguasa yang bijaksana dapat menempatkan diri selaku ayah yang arif  dan bijaksana dalam setiap tindakannya terhadap anak-anaknya memberikan kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Namun masalahnya, tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, dicarikan pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya merubah gagasannya dari semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum  yang baik.   

               
Konstitusi Melarang SBY Menjadi Wapres
Mengapa SBY dilarang menjadi Wapres?. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 8 UUD 1945: “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya”.
Ini artinya, seorang wakil presiden akan tampil menjadi presiden kembali, jika presiden telah berhalangan tetap sebagaimana telah ditentukan oleh konstitusi pasal 8 tersebut. Meski SBY belum pernah menjabat sebagai wakil presiden, dan tiadanya larangan secara eksplisit di dalam UUD 1945 menjadi Wapres, namun secara konstitusional, Presiden SBY yang telah menjabat selama dua kali masa jabatan tidak diperkenankan menjadi wakil presiden. Dikhawatirkan, jika hal ini dipaksakan, maka sewaktu-waktu akan terjadi benturan dan kekacauan konstitusi jika seorang presiden benar-benar  berhalangan tetap.
Maaf pak SBY, urusan rakyat dan negara-bangsa menumpuk, jangan mengomentari ocehan orang  yang tidak bermutu ini.

Rabu, 22 Juni 2016

KEHADIRAN GOJEK DAN DILEMA PEMERINTAHAN JOKOWI




Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen:
                 Fakultas Hukum Universitas Satyagama;
            Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang;
                 Fakultas Hukum Universitas Jakarta.
     

          Keberadaan gojek selama ini sedang populer di masyarakat dan sudah menjadi pemandangan umum berseliweran dijalanan. Kehadiran Gojek disambut suka cita sekaligus duka. Suka cita karena pengemudi rata-rata sehari-hari dapat membawa pulang uang sebesar Rp. 300. 000,- (tigaratus ribu rupiah), jumlah uang yang tidak sedikit untuk ukuran orang yang bekerja di standard gaji UMR. Sementara bagi gojek konvensional merasa berduka bahkan menganggapnya sebagai "kiamat kecil" karena pendapatannya terkoreksi akibat beroperasinya aplikasi gojek dadakan ini. Eksistensi pengemudi yang mengenakan jacket dan helm serba hijau ini memantik pro kontra perdebatan diruang publik. 

 Image result for gambar Gojek
Animo masyarakat untuk menjadi pengemudi Gojek kian hari kian meningkat demi mengejar pundi-pundi rupiah yang dikabarkan penghasilannya cukup menggiurkan. Driver Gojek diminati dari mulai pengangguran, ibu rumah tangga yang cekak mengatur dapurnya, bahkan mahasiswa pun ikut berbondong-bondong turut menyambi menjadi pengemudi Gojek alih-alih mencoba peruntungan untuk tambahan biaya kuliah. Layanan Gojek menyediakan fasilitas aplikasi online selain dapat digunakan masyarakat untuk moda transportasi juga untuk keperluan pemesanan makanan sehari-hari yang ditalangi terlebih dahulu managemen Gojek, setelah barang diantar ke tempat tujuan, barulah nasabah mengganti sejumlah belanja yang telah dikeluarkan, ditambah dengan biaya ongkos jasa pengiriman.  
Masyarakat banyak yang jatuh hati dengan adanya aplikasi Gojek Online ini, selain berbiaya murah, tepat waktu, dari sisi kenyamanan Gojek online lebih unggul dibandingkan Gojek konvensional, selain itu pengemudinya relatif lebih taat asas rambu-rambu lalu lintas. Bagi yang kontra, keberadaan Gojek dicari alasan melanggar UU. No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Gojek tidak memiliki perizinan sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal lain, Gojek dipandang sebagai saingan dan dapat menggerus rezeki ojek konvensional. Berbeda yang pro keberadaan Gojek, meski secara normatif gojek melanggar undang-undang, tetapi dilihat dari aspek kemanfaatan, gojek jauh lebih membantu masyarakat luas, terutama kalangan menengah-bawah dapat menggeliatkan ekonomi kerakyatan.
Ribut-ribut soal Gojek online, mengapa kita tidak pernah mempermasalahkan Gojek konvensional yang sudah lama beroperasi?. Padahal ojek konvensional juga tidak memiliki ijin sebagai angkutan jalan raya.
Apabila ditelisik lebih jauh keberadaan Gojek memiliki manfaat sebagai berikut:
1.     Dapat mengurangi pengangguran;
2.    Menambah penghasilan bagi yang freelance;
3.    Membantu pemerintah mengurangi kemiskinan;
4.    Stabilitas nasional akan kondusif.

PEMBAHASAN
          Namun keberadaan Gojek itu dilematis bagi pemerintahan Joko Widodo. Presiden ketika dilantik oleh MPR mengucapkan sumpah akan memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Ini artinya, Gojek yang belum memiliki izin transportasi, secara normatif presiden dilarang mendukungnya. Apabila presiden membolehkan beroperasinya Gojek dapat dikwalifisir Presiden melanggar sumpah jabatan, akibatnya dapat di impeachment (dimakzulkan/diturunkan/disidang istimewakan). Sisi lain, jika presiden latah melarang beroperasinya Gojek maka “tamatlah Jokowi di Pemilu 2019”. Inilah dilemanya Presiden Jokowi. Menteri Perhubungan, Jonan secara spontan sempat melarang Gojek online, namun buru-buru diralatnya karena tahu dampak sosial yang akan ditimbulkan. Larangan Gojek online oleh menteri perhubungan telah terjadi big mistake atau keseleo lidah menteri terkesan dalam membaca undang-undang menggunakan kaca mata kuda, padahal keberadaan Gojek manfaatnya kentara dirasakan oleh rakyat.
      Belajar ilmu hukum tidak hanya teks redaksional semata, hukum harus terintegrasi, holistik dan komprehensif dengan realitas kehidupan yang ada di masyarakat. Ada 3 (tiga) aspek penegakan hukum: kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Hukum secara kontekstual harus mengikuti perkembangan jaman, hukum harus dapat mengikuti gerak nadi masyarakat (aspek sosiologis), hukum harus pula mengikuti kecanggihan teknologi, agar hukum tidak kedodoran kalah cepat dan lekas  usang dimakan zaman (verourded).
Seharusnya pemimpin kita berterima kasih kepada anak-anak negeri ini  yang telah berinovasi menciptakan kreativitas ekonomi kerakyatan yang dapat menggairahkan daya beli masyarakat. Gojek dilihat dari sisi untung ruginya, jauh lebih besar manfaatnya, ketimbang mudharatnya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan justru banyak keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat, lalu kenapa kita harus meributkan bahkan melarang keberadaan Gojek?. Bukankah pemerintah belum mampu sepenuhnya melaksanakan amanat konstitusi untuk mensejahterakan  rakyatnya?.
      Sudah tepat sikap Presiden Joko Widodo tetap membolehkan beroperasinya Gojek online meski secara normatif tidak patut dilakukan  sebagai seorang presiden. Presiden Joko Widodo tentu paham jika ikut-ikutan melarang beroperasinya Gojek taruhannya mahal bagi dirinya, sebab, ketika mencalonkan kembali Presiden di 2019 hampir pasti kepercayaan masyarakat akan tergerus untuk memilihnya  kembali.

Jumat, 12 Februari 2016

Konstitusionalitas Pemilihan Pilkada dan Berbagai Permasalahannya

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.                                                                                                                        Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                                                          Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta-Barat
Warsitopati1967@gmail.com

ABSTRAK
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung yang dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, dalam prakteknya selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, juga rentan adanya konflik. Jika diteruskan, Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak pihak yang mengkhawatirkan akan terjadi benturan fisik secara masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman itu, terjadi pro kontra dari berbagai kalangan perlunya mengevaluasi kelemahan dan kelebihan Pilkada secara langsung oleh rakyat. Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, adalah rumusan yang bersifat multitafsir. Dalam amandemen kelima UUD 1945, MPR diharapkan melakukakan perubahan secara komprehensif untuk menata ulang kelembagaan Negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances), termasuk didalamnya mempertegas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD. Hal ini penting, guna memberikan kepastian hukum, agar tidak ada lagi anggota DPR yang menafsirkan rumusan konstitusi sesuai selera: kelompok, golongan dan/atau partai politiknya.
Kata Kunci: Legitimasi, pemilihan langsung rakyat, kepastian hukum, amandemen UUD 1945.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar belakang Masalah
Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan memasyarakatkan UUD 1945[1], era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, bertujuan  antara lain:
a.    amandemen UUD 1945;
b.    penghapusan dwi fungsi ABRI;
c.    penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d.    desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e.    mewujudkan kebebasan pers;
f.     mewujudkan kehidupan demokrasi.
            Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita untuk pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi ini. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005. Pilkada dipilih secara demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.[2] Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam  pelaksanaannya menjadi masalah.
            Dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada pemilihan tidak langsung oleh DPRD.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menyatakan bahwa[3], untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi. [4]

1.  2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1.   Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan seberapa penting amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait Pilkada dilakukan? .
2.   Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya Undang-Undang yang terkait dengan kepentingan daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
3.  Apakah tepat, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, jika dikaitkan dengan Pilkada serentak 9 Desember 2015?


1.3.    Tujuan Penelitian
             Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1.   Faktor-faktor yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan  pentingnya amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada agar memiliki kepastian hukum.
2.   Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya yang berkepentingan dengan daerah, DPD juga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3.   Faktor-faktor yang menyebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tidak relevan lagi ketika pemilu digelar serentak pada 9 Desember 2015.
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Negara
2.1.1. Pengertian Pemerintahan
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146) dalam Nasution[5] bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara, membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat. Menurut Natsir masih dalam Nasution[6] negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi. Natsir beranggapan bahwa negara merupakan lembaga, sebuah organisasi yang mempunyai tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga: Pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga, perdagangan, dan sebagainya. Negara mencakup keseluruhan masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini didalam sistem hukum, mengatur bagian-bagian masyarakat yang berbeda-beda itu. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya; tujuannya ialah untuk membimbing dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik[7]. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi[8].
Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan[9]: Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
            Ilmu pemerintahan menurut Ndraha[10] dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
            Sedangkan pemerintahan menurut Suradinata[11] berasal dari kata pemerintah, yang artinya bertujuan menyuruh melakukan sesuatu. Pemerintah, sebagai kata benda, berarti suatu kekuasaan untuk memerintah suatu Negara, sedangkan pemerintahan adalah suatu kegiatan, proses atau juga suatu prosdur bagaimana menjalankan perbuatan pemerintah suatu Negara. Utrech, sehubungan dengan pengertian pemerintah dalam Suradinata (1998:16) menguraikan lebih lanjut pengertian pemerintah sebagai berikut:
a.      Pemerintah merupakan gabungan penyelenggaraan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam arti kata yang luas, semua badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum. Ini berarti mencakup badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b.      Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu Negara, misalnya, Raja, Presiden dan yang Dipertuan agung.
c.      Pemerintah dalam arti kepala Negara (Presiden) bersama dengan para menterinya, sebagai organ eksekutif, yang disebut dewan menteri atau cabinet, di Inggris disebut Privacy Council.
           
            Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
            Syarat dan Pelaku Good Governance dikemukakan oleh Santosa (2001), didalam Sedarmayanti[12], secara teoritis, keberadaan Good Governance yang kokoh membutuhkan berbagai persyaratan yaitu:
a.   Lembaga perwakilan rakyat memiliki legitimasi politik dan mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif.
b.   Pengadilan independent (mandiri, bersih dan profesional).
c.   Aparatur pemerintah (birokrasi) profesional dan memiliki integritas kokoh.
d.   Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol publik.
e.   Desentralisasi dan lembaga perwakilan di daerah yang kuat.

2.1.2. Otonomi Daerah
            Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota  dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.


BAB III
METODOLOGI
3.1.    Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi[13] adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Salah satu metode yang harus ditentukan dalam metode peneitian ini adalah metode penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari epistemologi ilmu pemerintahan yang menjadi fokus penelitian tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan berbagai permasalahannya dalam sistem pemerintahan daerah dan ketatanegaraan di Indonesia. Sementara itu, salah satu realitas (bagian ontologi) tentang Pilkada menarik untuk diteliti,  dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, tetapi pada frasa “dipilih secara demokratis”, mengandung rumusan multitafsir, apakah dipilih secara langsung oleh rakyat, atau melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD.
Dalam penelitian tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong[14] mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mekanisme Pilkada yaitu: UUD 1945; Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, dan; UU No 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015. UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang Mahkamah Konstitusi.

3.2.     Pengertian Metode Penelitian
Metode Penelitian menurut Noeng Muhadjir[15] merupakan ilmu yang mempelajari tentang metode-metode penelitian, ilmu tentang alat-alat penelitian. Di lingkup filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran, bila ditata dalam sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian dari logika.
3.3.     Sarana Berpikir Ilmiah
Untuk melakukan kegiatan ilmiah masih menurut Jujun S. Suriasumantri[16] secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.                                   Pembahasan
            Tujuan Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945  untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.
            Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan[17] konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
4.1.1. TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003[18], tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
4.1.2. TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998[19], tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy)[20]. Dalam konsideran Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4.1.3. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4)  UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
 Penegasan mekanisme Pilkada ini penting dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya.  Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan[21], bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk memperoleh kekuasaan.

Hasil
 4.2.      
Akibat perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh  pemerintahan daerah yang akan memilih calon pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
            Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014[22] tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
            Berdasarkan penjelasan umum UU. No. 8 tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan, MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Putusan ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

4.2.1.    Wewenang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu sejalan dengan Pasal 24C UUD 1945 Juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut:
a.      Menguji UU terhadap UUD 1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara;
c.      Pembubaran Partai Politik;
d.      Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Dan Kewajiban MK untuk memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
           
 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
          Bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal  ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan ketidakpastian hukum di negeri ini.
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan  melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan sedikit pun  oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan daerah.
                Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
            
5.1.1.   Saran
1.    Meski Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD;
2.    Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah (regional representation). Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
3.    Pemilihan kepala Daerah secara serentak pada 9 Desember 2015, menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, menjadi tidak relevan lagi. Ketika Pilkada serentak dilakukan 9 Desember 2015 yang berskala nasional, justru kewenangan MK untuk memutus perselisihan tentang hasil Pilkada.
DAFTAR PUSTAKA

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif.  Bandung: Rosdakarya.

Nasution, Adnan Buyung. (2001). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio- Legal atas  
                 Konstituante 1956-1959). Jakarta: Temprint.

Ndraha, Taliziduhu. (2003). Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru).
                 Jakarta: Rineka Cipta.

Sedarmayanti. (2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan                                     Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima  dan Kepemrintahan  yang baik). Bandung: Refika Aditama.

Suradinata, Ermaya. (1999). Filsafat dan Metodologi Ilmu Pemerintahan. Bandung: Ramadan Citra Grafika.


Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

TAP MPR No. IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
            Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS          dan MPR-RI Tahun 1960-2002.

Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,      Pembagian, dan  Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU. No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 1 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 8 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemerintahan Daerah.

UU. No. 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi.

UU. No. 8 Tahun 2011, Tentang Mahkamah Konstitusi.

UU. No. 4 tahun 2014, Tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur,  Bupati dan Walikota.

Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, Tentang Mahkamah Konstitusi

           Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat  
                Jenderal MPR-RI, 2014)  hal. 69.



[1] Panduan  Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945, 2004,   (Jakarta: Sekretariat Jenderal  MPR RI,
  2004), hal xi, xii 5,6, 16, 25
[2] Indonesia, Undang Undang  Dasar 1945, ps. 18 ayat (4).
[3] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota UU No. 1, LN  No.
  2015  Tahun 2015, TLN. No. 5588.
[4] Ibid.
[5] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,  (Studi Sosio-  Legal atas  
  Konstituante 1956-1959), (Jakarta: Temprint, 2001), hal. 85.

[6] Ibid, hal. 107.

[7] Indonesia, Undang Undang  Dasar 1945, ps. 1 ayat (1).
[8] Ibid, ps. 37 ayat (5).
[9] Ibid, ps. 18A.
[10] Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.7

[11] Ermaya Suradinata, Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Cet. 1, (Bandung: Ramadan, 1999), hal.  
   99.

[12] Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan
   (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan  yang  baik), (Bandung: Refika Aditama,  2009), hal. 302.


[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal.
    328.

   [14] Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hal.3.

[15] Noeng Muhadjir, Metode Riset, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 4.

[16] Ibid, hal. 165.
[17] Penjelasan Umum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999, Tentang Garis-Garis Besar
   Haluan Negara.
[18] Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum  Ketetapan
   MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002.
[19] Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
   Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
   Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[20] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta:
   Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2014)  hal. 69
[21] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23, LN  No. 244  Tahun 2014,
   TLN. No.5587.
[22] Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30, LN  No. 292  Tahun 2014, TLN.
    No. 5601, ps. 10.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19