Sabtu, 25 Juni 2016

POSISI PRESIDEN NEBEN BUKAN UNTERGEORDNET




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003

Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan dari tahun 2000 s/d 2003 dengan kerja keras dan gedubrak-gedubrug, hasilnya sama sekali tidak terlihat dirasakan oleh  rakyat, negara-bangsa. Peliputan media masa cetak maupun elektronik baik dari dalam maupun luar negeri berjubel dan antusias meliput jalannya Sidang Tahunan MPR agar tidak ketinggalan momen penting. Sayangnya, hasil Sidang Tahunan dalam bentuk TAP MPR selama ini hanya menjadi tumpukan-tumpukan kertas belaka. Sidang Tahunan dari tahun ke tahun yang paling diuber-uber oleh wartawan, anggota Majelis  dan pegawai MPR adalah kemunculan sosok presiden dan wakil presiden memasuki ruang Sidang Paripurna Majelis. Bukan main riuh-rendahnya wartawan ketika sang pesiden muncul berebut jeprat-jepret gambar orang nomor satu di Republik ini, begitu juga tak kalah  ketinggalan pegawai MPR yang ditugaskan di posnya masing-masing ikut-ikutan lari berhamburan mendekat-dekat sang Presiden, biar terlihat di  televisi dianggap orang hebat di kampungnya. 
 
Saya bersyukur, selama menjadi abdi negara sejak 1997 s/d 2008 kini namanya ASN (Aparatur Sipil Negara) saya dapat melihat secara langsung orang nomor satu di republik ini, mulai dari Presiden kedua, Soeharto; ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie); ke empat, Abdurrahman Wahid; kelima, Megawati Soekarnoputri, dan ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono. Di gedung yang konon megah ini hati saya justru tidak merasa indah, dalam hati terus bergelayut dan bertanya-tanya untuk apa sesungguhnya ST (Sidang Tahunan) ini dilaksanakan jika hasilnya tidak bermanfaat untuk rakyat. Dalam tulisan ini saya akan fokus membahas mengenai urgensi Sidang Tahunan MPR dari aspek legal formal yang dihelat di bulan Agustus kemarin.
Posisi Presiden
Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung posisinya sekarang bukan untergeordnet (bawahan) Majelis, tetapi sudah neben (sejajar). Berbeda ketika UUD 1945 belum dilakukan perubahan, Presiden yang dipilih oleh MPR menjadikan kedudukan Presiden untergeordnet kepada Majelis. Sidang Tahunan MPR tidak memiliki produk yang bermanfaat sehingga hasilnya sia-sia belaka yang terjadi cuma menghambur-hamburkan duit rakyat. Kepada rakyat lah Presiden memberikan pertanggungjawaban dan laporan kinerjanya, bukan kepada MPR karena rakyat yang telah memilihnya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada tanggal 14 Agustus kemarin  menghelat Sidang Tahunan kembali. Penyelenggaraan rencana Sidang Tahunan semula dijadwalkan dua hari, tetapi dalam rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya di Istana Bogor, pada hari Rabu 5/8/2015 (Kompas.com), diringkas menjadi satu hari. Menurut Ketua MPR, Sidang Tahunan diringkas, biar efisien dan tidak bertele-tele. Sebelumnya, Sidang Tahunan MPR kali pertama dilaksanakan pada  tahun 2000 s/d 2003. Sidang Tahunan MPR sempat  beberapa tahun mengalami kevakuman dari tahun 2004 s/d 2014, disebabkan setelah amandemen UUD 1945 kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi Negara menjadi lembaga Negara sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lain, agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengonrol (cheks and balances).
Penting bagi MPR, memahami dasar hukum penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR yang diatur melalui TAP MPR No III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960-2002, Materi dan Status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan dikelompokkan TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sidang Tahunan MPR yang dihelat, selain tidak ada aturannya, juga tidak memiliki gereget. Tata Tertib MPR yang dijadikan panduan untuk menggelar Sidang Tahunan tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, Tata Tertib MPR hanya berlaku untuk internal Majelis tidak dikenal dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Bagaimana jika menggunakan dasar hukum UU No 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3)?, UU MD3 didalamnya tidak ada tugas MPR untuk meminta laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga negara. Pasal 5 UU MD3 menginformasikan tugas MPR diantaranya: memasyarakatkan Ketetapan MPR, sedangkan status Hukum TAP MPR tentang Sidang Tahunan sebagaimana sudah saya  jelaskan. Kedudukan  UU itu dibawah Ketetapan MPR (UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan /UU P3),  demi hukum harus batal dengan sendirinya (null and void). Itu pun jika UU MD3 memberikan tugas kepada MPR untuk menyelenggarakan SidangTahunan.
Jangan Mengada-Ada
Kedudukan MPR sebagai lembaga Negara sederajat dengan lembaga-lembaga Negara: DPR, DPD, MK, KY, MA, dan BPK. Dalam batas penalaran logis, MPR yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban organ Negara yang kedudukannya sederajat  dengannya. Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD 1945) menjadikan posisi MPR bukan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Jadi, tidak ada keharusan Presiden untuk nunduk-nunduk mendatangi Sidang Tahunan MPR yang tak berdasar ini. Dari Tahun ke tahun penyelenggaraan Sidang Tahunan Presiden selalu hadir. Hal ini, Presiden juga perlu membangun kemitraan hubungan yang harmonis dengan Majelis (DPR dan DPD), meski Presiden tahu urgensi ST ini. Hubungan yang harmonis antara Pesiden dan Majelis penting dijalin dengan erat. Sebab, jika sewaktu-waktu Presiden di makzulkan (impeachment), yang secara hukum sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi melanggar UUD 1945, secara keputusan politik, Presiden masih bisa berlindung dibalik voting MPR berharap tidak diberhentikan.
Hanya Obral Ketetapan MPR
Dari pengalaman Sidang Tahunan MPR sebelumnya, MPR hanya menerbitkan beberapa TAP MPR yang sifatnya cuma berisi rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara untuk dilaksanakan. Kecuali, hasil Sidang Tahunan MPR, untuk memutuskan perubahan UUD 1945, yang hasilnya sangat bermanfaat untuk menata ulang organ-organ kelembagaan Negara agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Jika dilacak dan disimak dengan saksama, substansi TAP-TAP MPR yang berisi rekomendasi tersebut hanya bersifat  semantik belaka. Pasalnya, tidak ada keharusan untuk dilaksanakan, sehingga jika ada lembaga Negara membandal tidak mengindahkan rekomendasi TAP MPR, maka tidak ada konsekuensi dampak yuridis yang ditimbulkan. Ironinya, rekomendasi yang diamanatkan TAP MPR belum dilaksanakan, keberlakuannya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi, selama ini hasil  Sidang Tahunan MPR sekadar obral Ketetapan MPR, wajar, hasilnya mubadzir. Apakah MPR periode 2014-2019 ingin mengulangi kesalahan yang sama?. Padahal, Negara telah mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk kemeriahan setiap Sidang Tahunan MPR. Persiapan dan pelaksanaan Sidang Tahunan dilakukan dengan prima utamanya, pasukan Sekretariat Jenderal MPR dikerahkan penuh agar jalannya Sidang Tahunan dapat berjalan lancar dan sukses. Sekretariat Jenderal MPR yang terdiri dari pegawai inti: PNS, tenaga perbantuan, terkadang meminta bantuan tetangga sebelah (Setjen DPR-RI) sebelum pelaksanaan sidang, sering “pindah rumah” menginap sementara di kantor dengan membawa pakaian: sarung, celana, baju dan sajadah, agar tidak terlambat ketika pelaksanaan Sidang Tahunan dimulai. Inilah fakta nyata, kesiapan Sekretariat Jenderal MPR menghadapi Sidang Tahunan yang belum terkuak oleh khalayak ramai. Tetapi, sayangnya, antara kerja keras dengan hasil Sidang Tahunan MPR tak berbanding lurus. Dari hasil kerja keras Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, dan anggota Majelis yang terdiri anggota DPR dan DPD yang hadir di persidangan, wajar jika mendapatkan uang Sidang. Sidang Tahunan, juga dipandang  berkah bagi tenaga perbantuan, dari hasil kerja kerasnya mendapatkan honorarium. Sidang Tahunan sedikit berdampak positip membantu kementerian tenaga kerja dan transmigrasi karena sementara dapat mengatasi masalah pengangguran. Untuk pegawai MPR, ada tambahan khusus, selain mendapatkan uang paket, uang sidang, uang cuci jas, dan beberapa vitamin penguat tubuh agar prima dalam menyiapkan pelaksanaan Sidang Tahunan MPR. Penyelenggaraan Sidang Tahunan, jangan diada-adakan hanya untuk memperbanyak kegiatan MPR, apalagi bertujuan untuk mencairkan dana buat bancakan ramai-ramai mendapatkan pundi-pundi rupiah. MPR jangan bingung, mentang-mentang pasca amandemen UUD 1945 tugas konstitusionalnya hanya lima tahunan sekali melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, lalu mencari-cari kerjaan. Sidang Tahunan harus dimaknai: “apakah, hasilnya ada kepentingan untuk kesejahteraan rakyat atau tidak”?
Kesimpulannya, Presiden sudah neben/sejajar dengan majelis, jadi, Sidang Tahunan MPR tidak diperlukan lagi untuk meminta laporan atau pertanggungjawaban kepada Presiden. Apa pun namanya, yang dilaporkan Presiden kepada Majelis tidak relevan lagi. Dalam batas penalaran logis, sebutan MPR itu  baru ada, ketika  sidang joint session dilaksanakan (sidang gabungan bertemunya anggota DPR dan anggota DPD (membentuk cluster MPR) yang pimpinan MPR nya dijabat oleh DPR dan DPD, ketika melantik Presiden dan Wakil Presiden. Lembaga MPR tidak layak dipermanenkan. Dipermanenkannya lembaga MPR, ujung dari semua itu, sekalipun orang awam akan bisa membaca, MPR itu memiliki kepentingan. Sebab, jika MPR tidak dipermanenkan, dampaknya,  selain Pimpinan MPR dihapuskan, juga ketiadaan Sekretariat Jenderal MPR yang memboroskan duit Negara untuk  gaji dan tunjangan Sekjen, wakil sekjen, Deputi, kepala biro, kepala bagian dan pegawai Sekretariat Jenderal. Berikutnya, jika MPR tidak dipermanenkan, kita tidak dibisingkan lagi istilah rebutan paket Pimpinan MPR.                           
    Jadi untuk apa Sidang Tahunan MPR digelar?

Jumat, 24 Juni 2016

Dapatkah SBY Menjadi Wapres?


                                                                             Oleh WARSITO, SH., M.Kn.                                 Dosen: Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta                                                                  Kandidat Doktoral Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta


Tahun 2014 adalah tahun gaduh perpolitikan nasional. Ketika mendengar ocehan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya bersedia menjadi Cawapres, bathin saya tertawa cekikikan. Banyak orang mafhum akan mudah membaca arah usulan ini (baca: "setengah meledek") dari orang yang pernah sakit hati dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.  Tidak ada gunanya menyikapi usulan ini karena tidak berdasar sekali baik secara etika kenegaraan maupun konstitusional. Belum ada sejarah di Republik ini  seorang  Presiden yang mau turun pangkat menjadi wapres. Sehaus-hausnya orang gila jabatan, mana ada orang setelah menjabat  presiden mau turun tahta menjadi  wakil presiden (Wapres), tentu gengsi dan malu untuk menerimanya, meski konstitusi tidak secara tegas melarang presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan untuk mencalonkan menjadi wakil presiden.
Usulan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu bukanlah gagasan yang baik untuk membangun proses demokratisasi di Indonesia,  SBY sebaiknya, tidak perlu merespon ocehan Anas tersebut, jika SBY terpancing emosi untuk mengomentari, maka sesungguhnya SBY sudah terperangkap  dalam jebakan maut manuvernya Anas. Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dibatasi maksimal dua kali masa jabatan sebagaimana ditentukan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya  untuk satu kali masa jabatan”. Presiden yang pernah menjabat selama dua kali masa jabatan secara normatif, tidak dimungkinkan untuk menjadi Cawapres, meski ia belum pernah menjabat sebagai wakil presiden. Publik  mengharap SBY tidak sebaiknya memberikan tanggapan atas ocehan Anas itu,  ternyata akhirnya SBY terpancing juga mengomentari dirinya di Cawapreskan, padahal, baik dari sisi etika dan konstitusional tidak elok dibicarakan.
SBY memberikan komentar, jika saja konstitusi tidak membatasi dirinya memangku jabatan maksimal dua kali masa jabatan, ia pun tidak akan mencalonkan lagi, apalagi menjadi Cawapres,  karena menurutnya semakin lama memimpin akan semakin menyalahgunakan kekuasaannya. Benarkah ucapan SBY tersebut?. Panggung sejarah sudah membuktikan, jika kekuasaan itu tidak dibatasi akan menimbulkan otoriterisme dan totaliterisme, berkaca dari pengalaman sejarah itulah, maka konstitusi Indonesia harus membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sejarah Indonesia juga telah mencatat, tidak ada presiden satu pun di Indonesia yang sepenuhnya memiliki jiwa kenegarawanan bersedia tidak mencalonkan kembali sebagai presiden, jika saja konstitusi tidak membatasinya. Presiden RI pertama, Soekarno dengan TAP MPR NO: III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Sedangkan presiden RI kedua pak Harto, meski tidak pernah menyatakan secara terang-terangan  ingin menjadi presiden seumur hidup, tetapi dengan doktrin orde baru yang akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, ini artinya, orde baru ingin mempertahankan masa jabatan presiden di konstitusi yang multitafsir dengan kalimat “dapat dipilih kembali”. Marilah kita menyimak dengan saksama rumusan pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, akibat ketentuan yang bersayap ini, Soeharto dapat terpilih  kembali menjadi Presiden Republik Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selama tujuh kali berturut-turut. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah oleh mahasiswa pada tahun 1998, dan klimaksnya dipaksanya Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, merupakan perjuangan monumental dan heroik, yang ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dengan tinta emas untuk menuju masyarakat yang demokratis. Tuntutan reformasi pada waktu itu, yakni antara lain, reformasi konstitusi untuk  membatasi jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Pernyataan SBY yang dimuat di (news.detik.com) pada tanggal 25 April 2014, dengan judul: “ Ada yang mengolok-olok saya  meminta menjadi Cawapres saja”, ternyata SBY sudah menyadari ocehan Anas itu yang hanya diniatkan untuk melukai dan melecehkan saja. Pertanyaannya, untuk apa SBY menjawab ocehan yang tidak bermutu ini?. Apakah presiden yang masa bhaktinya tinggal menjelang detik-detik akhir kemarin  kurang pekerjaan?. Masih  membaca judul diatas kita dibuatnya geli, konon ada pihak lain yang serius mendorong SBY menjadi cawapres, tujuannya dengan pengalaman SBY yang luar biasa maka bisa membantu presiden RI berikutnya memajukan bangsa. Jika ada usulan selain ocehan Anas, substansinya sebenarnya sama saja, yaitu untuk menjerumuskan dan melecehkan SBY ke jurang nestapa sekaligus  sebagai sindiran keras, publik menilai selama ini SBY lamban dalam mengambil keputusan terkait kebijakan publik, maka SBY disindir, lebih baik menjadi Cawapres saja yang tidak memutuskan kebijakan yang bersifat strategis. SBY lagi-lagi terpancing dengan menanggapi usulan itu dengan menyatakan  sama sekali tidak tertarik. Satu sisi, SBY mengaku sadar, bahwa pemimpin yang terlalu lama memimpin biasanya menjadi tidak baik. Sisi lain, SBY tidak menyadari bahwa jika SBY benar menjadi Cawapres, sesungguhnya SBY sudah “dilampumerahkan” konstitusi. SBY ada benarnya menyatakan, bahwa pemimpin yang lebih dari 20 tahun berkuasa, cenderung diktator dan menyalahgunakan kewenangan. Pertanyaannya, tuluskah ucapan SBY  tidak mencalonkan lagi jika konstitusi tidak membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua kali masa jabatan ?. Wallahu ‘alam.
Untuk menjalankan pemerintahan yang baik, dari aspek historis ada dua pendekatan,  personal dan sistem. Pada masa Plato pendekatan secara personal telah dipraktekkan. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahan yang berkuasa idealnya dipraktekkan dengan cara  paternalistik, maksudnya, para penguasa yang bijaksana dapat menempatkan diri selaku ayah yang arif  dan bijaksana dalam setiap tindakannya terhadap anak-anaknya memberikan kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Namun masalahnya, tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, dicarikan pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya merubah gagasannya dari semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum  yang baik.   

               
Konstitusi Melarang SBY Menjadi Wapres
Mengapa SBY dilarang menjadi Wapres?. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 8 UUD 1945: “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya”.
Ini artinya, seorang wakil presiden akan tampil menjadi presiden kembali, jika presiden telah berhalangan tetap sebagaimana telah ditentukan oleh konstitusi pasal 8 tersebut. Meski SBY belum pernah menjabat sebagai wakil presiden, dan tiadanya larangan secara eksplisit di dalam UUD 1945 menjadi Wapres, namun secara konstitusional, Presiden SBY yang telah menjabat selama dua kali masa jabatan tidak diperkenankan menjadi wakil presiden. Dikhawatirkan, jika hal ini dipaksakan, maka sewaktu-waktu akan terjadi benturan dan kekacauan konstitusi jika seorang presiden benar-benar  berhalangan tetap.
Maaf pak SBY, urusan rakyat dan negara-bangsa menumpuk, jangan mengomentari ocehan orang  yang tidak bermutu ini.

Rabu, 22 Juni 2016

KEHADIRAN GOJEK DAN DILEMA PEMERINTAHAN JOKOWI




Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen:
                 Fakultas Hukum Universitas Satyagama;
            Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang;
                 Fakultas Hukum Universitas Jakarta.
     

          Keberadaan gojek selama ini sedang populer di masyarakat dan sudah menjadi pemandangan umum berseliweran dijalanan. Kehadiran Gojek disambut suka cita sekaligus duka. Suka cita karena pengemudi rata-rata sehari-hari dapat membawa pulang uang sebesar Rp. 300. 000,- (tigaratus ribu rupiah), jumlah uang yang tidak sedikit untuk ukuran orang yang bekerja di standard gaji UMR. Sementara bagi gojek konvensional merasa berduka bahkan menganggapnya sebagai "kiamat kecil" karena pendapatannya terkoreksi akibat beroperasinya aplikasi gojek dadakan ini. Eksistensi pengemudi yang mengenakan jacket dan helm serba hijau ini memantik pro kontra perdebatan diruang publik. 

 Image result for gambar Gojek
Animo masyarakat untuk menjadi pengemudi Gojek kian hari kian meningkat demi mengejar pundi-pundi rupiah yang dikabarkan penghasilannya cukup menggiurkan. Driver Gojek diminati dari mulai pengangguran, ibu rumah tangga yang cekak mengatur dapurnya, bahkan mahasiswa pun ikut berbondong-bondong turut menyambi menjadi pengemudi Gojek alih-alih mencoba peruntungan untuk tambahan biaya kuliah. Layanan Gojek menyediakan fasilitas aplikasi online selain dapat digunakan masyarakat untuk moda transportasi juga untuk keperluan pemesanan makanan sehari-hari yang ditalangi terlebih dahulu managemen Gojek, setelah barang diantar ke tempat tujuan, barulah nasabah mengganti sejumlah belanja yang telah dikeluarkan, ditambah dengan biaya ongkos jasa pengiriman.  
Masyarakat banyak yang jatuh hati dengan adanya aplikasi Gojek Online ini, selain berbiaya murah, tepat waktu, dari sisi kenyamanan Gojek online lebih unggul dibandingkan Gojek konvensional, selain itu pengemudinya relatif lebih taat asas rambu-rambu lalu lintas. Bagi yang kontra, keberadaan Gojek dicari alasan melanggar UU. No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Gojek tidak memiliki perizinan sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal lain, Gojek dipandang sebagai saingan dan dapat menggerus rezeki ojek konvensional. Berbeda yang pro keberadaan Gojek, meski secara normatif gojek melanggar undang-undang, tetapi dilihat dari aspek kemanfaatan, gojek jauh lebih membantu masyarakat luas, terutama kalangan menengah-bawah dapat menggeliatkan ekonomi kerakyatan.
Ribut-ribut soal Gojek online, mengapa kita tidak pernah mempermasalahkan Gojek konvensional yang sudah lama beroperasi?. Padahal ojek konvensional juga tidak memiliki ijin sebagai angkutan jalan raya.
Apabila ditelisik lebih jauh keberadaan Gojek memiliki manfaat sebagai berikut:
1.     Dapat mengurangi pengangguran;
2.    Menambah penghasilan bagi yang freelance;
3.    Membantu pemerintah mengurangi kemiskinan;
4.    Stabilitas nasional akan kondusif.

PEMBAHASAN
          Namun keberadaan Gojek itu dilematis bagi pemerintahan Joko Widodo. Presiden ketika dilantik oleh MPR mengucapkan sumpah akan memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Ini artinya, Gojek yang belum memiliki izin transportasi, secara normatif presiden dilarang mendukungnya. Apabila presiden membolehkan beroperasinya Gojek dapat dikwalifisir Presiden melanggar sumpah jabatan, akibatnya dapat di impeachment (dimakzulkan/diturunkan/disidang istimewakan). Sisi lain, jika presiden latah melarang beroperasinya Gojek maka “tamatlah Jokowi di Pemilu 2019”. Inilah dilemanya Presiden Jokowi. Menteri Perhubungan, Jonan secara spontan sempat melarang Gojek online, namun buru-buru diralatnya karena tahu dampak sosial yang akan ditimbulkan. Larangan Gojek online oleh menteri perhubungan telah terjadi big mistake atau keseleo lidah menteri terkesan dalam membaca undang-undang menggunakan kaca mata kuda, padahal keberadaan Gojek manfaatnya kentara dirasakan oleh rakyat.
      Belajar ilmu hukum tidak hanya teks redaksional semata, hukum harus terintegrasi, holistik dan komprehensif dengan realitas kehidupan yang ada di masyarakat. Ada 3 (tiga) aspek penegakan hukum: kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Hukum secara kontekstual harus mengikuti perkembangan jaman, hukum harus dapat mengikuti gerak nadi masyarakat (aspek sosiologis), hukum harus pula mengikuti kecanggihan teknologi, agar hukum tidak kedodoran kalah cepat dan lekas  usang dimakan zaman (verourded).
Seharusnya pemimpin kita berterima kasih kepada anak-anak negeri ini  yang telah berinovasi menciptakan kreativitas ekonomi kerakyatan yang dapat menggairahkan daya beli masyarakat. Gojek dilihat dari sisi untung ruginya, jauh lebih besar manfaatnya, ketimbang mudharatnya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan justru banyak keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat, lalu kenapa kita harus meributkan bahkan melarang keberadaan Gojek?. Bukankah pemerintah belum mampu sepenuhnya melaksanakan amanat konstitusi untuk mensejahterakan  rakyatnya?.
      Sudah tepat sikap Presiden Joko Widodo tetap membolehkan beroperasinya Gojek online meski secara normatif tidak patut dilakukan  sebagai seorang presiden. Presiden Joko Widodo tentu paham jika ikut-ikutan melarang beroperasinya Gojek taruhannya mahal bagi dirinya, sebab, ketika mencalonkan kembali Presiden di 2019 hampir pasti kepercayaan masyarakat akan tergerus untuk memilihnya  kembali.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19