Senin, 11 Juli 2016

Dapatkah MK Merubah Konstitusi?



.
Oleh  WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta, 
Alumni S2 Magister Kenotariatan UI
Jabatan Fungsional: LEKTOR



Ajaib Mahkamah Konstitusi (MK) berani memutus  Pilpres satu putaran, menjadikan  saya penasaran membuka-buka kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999-2002 terbitan Sekretariat Jenderal MPR (Cetakan: tahun 2008). Risalah amandemen ini menggunung satu paket yang terdiri dari sebelas buku, dicetak Sekretariat Jenderal MPR dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Mata saya terbelalak, tatkala  membaca tujuan pemberlakuan pasangan calon presiden dan wakil presiden menang satu putaran jika  mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen dan sedikitnya dua puluh persen di lebih setengah propinsi, karena sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata dimaksudkan agar Capres dan Cawapres tidak berkampanye hanya berpusat didaerah padat penduduk di kota-kota maju. Pertanyaannya, mengapa MK nekat merubah isi konstitusi yang bukan merupakan kewenangannya?.
Image result for gambar Gedung MK
Pilpres 9 Juli lalu sudah berakhir. Pandangan kita ketika itu tertuju pada sosok bangunan yang bernama MK sebagai gravitasi atau pusat pusaran organ-organ kelembagaan negara lainnya. MK bermagnet karena memiliki kewenangan yang paling spektakuler yaitu, menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum yang bersifat final dan mengikat. Salah satu substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi yang di lembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 7 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” MK dibentuk secara resmi pada tanggal 13 Agustus 2003, sejak dibentuknya lembaga tersebut sosialisasi gencar dilaksanakan.

Sekelumit Sejarah (Prelude) Terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
Laica Marzuki (2006), dalam bukunya berjalan-jalan di ranah hukum, sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945, telah muncul gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (Balai Agung) menjadi pula badan yang membanding, yakni, “..apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia atau hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariat agama Islam.” Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (guna check and balances antar ketiga cabang kekuasaan). “Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.” (RM.A.B. Kusuma, 2004:229).
Sehubungan hal tersebut, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya Constitutioneelhof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di Zaman Weimar.”Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya,” kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja. Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971:197). “Neither Fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging),” kata Tasrif.
Dengan memerhatikan dan mencermati dengan saksama risalah BPUPKI mengenai perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Soepomo dengan Moh. Yamin tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa, peradilan Mahkamah Konstitusi (peradilan spesial/khusus) pada hakekatnya sudah didambakan oleh para perumus UUD 1945. Namun, mengingat kondisi negara ketika itu dalam keadaan darurat perang, kegiatan mempersiapkan kemerdekaan dan mengesahkan UUD 1945 lebih diprioritaskan, sehingga  badan dimaksud (Mahkamah Konstitusi) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut. Kita dapat membaca pemikiran  para perumus UUD 1945 mengapa ketika itu tidak melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan badan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perumus UUD 1945  optimis dan menaruh harapan besar, kiranya  setelah Indonesia merdeka dalam kondisi negara yang damai dan tentram, akan ada anak-anak bangsa melakukan pengkajian konstitusi membentuk lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud. Kini, 56 tahun yang lalu dambaan itu menjadi kenyataan dengan terwujudnya keberadaan  Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan secara konstitusional melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Sayangnya, MPR yang telah melahirkan MK, kini justru sering mengambil alih kemudi MPR. Padahal untuk menetapkan dan merubah UUD 1945 itu kewenangannya  ada di lembaga negara yang bernama MPR (Pasal 3 dan  37 UUD 1945),  bukan domain MK. Tetapi dalam teori, ternyata MK menambahi kewenangannya sendiri menjadi purbawisesa dapat merubah konstitusi.
MK yang nekat memutuskan Pilpres satu putaran, membikin geger dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. MPR sebaiknya ksatria mengakui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diantisipasi terjadinya dua pasangan calon. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi membuat tafsir sekaligus putusannya yang justru melanggar UUD 1945 itu sendiri. Ini berarti secara teori Mahkamah sudah merubah UUD 1945 yang sesungguhnya kewenangan MPR.
Marilah kita menyimak dan memperhatikan dengan saksama Pasal 6A UUD 1945
Ayat (3): Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Ayat (4): Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Konstitusi yang ditulis didalam bahasa Indonesia itu sudah gamblang sekali, tidak ada penafsiran lain dalam hal pelaksanaan Pilpres. Sekalipun pelaksanaan Pilpres hanya diikuti dua pasang calon, harus melewati ayat (3) terlebih dahulu, agar terpilih satu putaran (first round)  mendapatkan suara lebih dari 50%, sedikitnya 20% suara di setiap propinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah propinsi. Jika ayat (3) tersebut tidak terpenuhi, berikutnya dilaksanakan pemilihan ulang sesuai ayat (4), dimana calon yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Mengenai pasal 159 UU. No. 42 tahun 2008 yang diuji materikan ke MK itu, isinya persis turunan dari konstitusi kalau nggak mau dibilang nyontek, bedanya, cuma  sedikit tambahan antisipasi, jika sewaktu-waktu terjadi pasangan calon  memperoleh suara sama banyak akan dilakukan pemilihan ulang. Sedangkan di konstitusi jika tidak tercapai ayat (3) diwajibkan  dua putaran (scond round). Putusan MK justru melanggar UUD 1945, karena MK telah memutus melebihi kewenangannya. MK yang diberi kewenangan antara lain menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MPR , justru secara substantif  merubah konstitusi sendiri.

Sabtu, 09 Juli 2016

Belajar Hukum Dari Amien Rais




Oleh WARSITO, SH., M.Kn
                             Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,  Jakarta        Jabatan Fungsional: LEKTOR


          Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Yth Mendiang Prof Emiritus Satjipto Rahardjo artikel-artikel hukum yang ditulisnya diberbagai media sangat renyah dan menarik untuk dibaca dan dinikmati, sehingga rugi besar bagi saya, akademisi dan masyarakat umum jika melewatkan tidak membaca artikel yang bisa membawa kita "dapat berjalan-jalan di ranah hukum" sebagaimana buku karya monumental yth. bpk.  Prof. Dr. Laica Marzuki, SH.

Image result for www.kpk.go.,id
          Tulisan saya ini membahas betapa langkanya orang jujur dan berintegritas di negeri ini, yang ada kita diberi tontonan saban hari melalui media masa, dimana orang yang disangka menerima hasil kejahatan korupsi alih-alih mengakuinya, yang ada justru sebaliknya, bersilat lidah, mungkir dan berbelit-belit untuk mengulur-ulur waktu agar kasusnya perlahan-lahan namun pasti bak menghilang ditelan bumi.
          Hukum ditangan orang-orang yang berhati baik, maka jadilah baik, meski ketidaksempurnaan teks redaksionalnya, sebaliknya hukum ditangan orang-orang jahat akan dapat menjadi malapetaka meski aturannya sudah lengkap. Mengutip artikel Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul: “Amien Rais Untuk Pembelajaran Hukum” (Kompas, 23 Mei 2007), mengingatkan kepada kita semua, bahwa, hukum itu bukan seperti rinso yang bisa mencuci sendiri melainkan perlu mobilisasi dari seluruh komponen bangsa. Di tengah-tengah keributan tentang apa yang dinamakan dengan aliran dana dari Departemen Perikanan dan Kelautan kepada sejumlah pihak, Prof Amien Rais secara terbuka mengaku bahwa dirinya termasuk yang menerima aliran dana nonbudgeter tersebut (Kompas, 16 Mei 2007). Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, disini, pengetahuan kita diperkaya, bahwa mobilisasi hukum ini tidak dilakukan oleh polisi atau jaksa, dapat penulis tambahkan juga tidak dilakukan oleh hakim dan  KPK melainkan dari adresat seorang anak bangsa yang bernama Amien Rais. Gerry Spence, advokat senior Amerika Serikat, masih dalam artikel Satjipto Rahardjo tersebut mengatakan, sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia yang berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster daripada malaikat penolong orang susah.
          Begitu indahnya artikel Prof. Tjip (sapaan Prof. Satjipto Rahardjo), bahwa Prof Amien Rais tanpa sadar telah mengajarkan kepada kita semua bahwa negara hukum itu akan menjadi bangunan yang berkualitas manakala manusia-manusia di dalamnya berbudi pekerti luhur. Biarlah, kalau memang menurut hukum saya harus dipenjara, saya biar dipenjara, begitu kata profesor kita.



Kamis, 07 Juli 2016

Bedanya Parlemen Malaysia Dengan DPR Indonesia (Jika Parlemen Malaysia Berantam Jika Harga Cabai Naik, Parlemen Indonesia Gontok-gontokan Soal Pasal-Pasal)


Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Jabatan Fungsional: LEKTOR 
         
  
         Ketika saya menginjakkan kaki pada tahun 2006 di Malaysia, saya  dibuatnya tercengang dengan suguhan spanduk yang berseliweran di jalanan bertuliskan: “SAYANGILAH MALAYSIA dan SAYANGILAH KUALA LUMPUR!”. Sepanjang perjalanan saya membathin mengapa rakyat Malaysia begitu membanggakan negaranya dan begitu besar cintanya kepada negaranya? Dalam perjalanan dari Bandara menuju penginapan saya di Hotel Royal Bintang di Kuala lumpur, saya mengamati dengan saksama sepanjang perjalanan dinegara Malaysia dan kota Kuala Lumpur saya tidak menjumpai adanya pak OGAH, tidak adanya pedagang asongan yang berkeliling dijalanan (karena sudah direlokasi di China Town), dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa Malaysia itu adalah negara kemakmuran. Satu lagi pemandangan berseliweran dijalanan yang saya lihat, warga Malaysia begitu membanggakan Produk dalam negerinya dengan mayoritas berkendara memakai mobil Proton. Berbeda dengan di Indonesia khususnya di Jakarta jalanan bagaikan neraka macetnya luar biasa disesaki mayoritas mobil-mobil mewah buatan luar negeri. Melihat gemerlap Jakarta yang berkendaraan mobil mewah seolah mencerminkan rakyat Indonesia itu sudah sejahtera ke tingkat kemakmuran, padahal sebaliknya, mayoritas penduduk Indonesia masih dapat digolongkan miskin jika dibandingkan Malaysia. Berbeda pemandangan di Indonesia, pedagang asongan menjamur diuber-uber dan dirazia oleh Polisi Pamong Praja, meski besoknya ketakutan tidak berjualan, tetapi ke esokan harinya datang lagi menjamur bak pepatah:  "mati satu tumbuh seribu". Kenekatan ini semua akibat rakyat butuh makan dan untuk biaya sekolah anak-anak meski berjualan di jalanan resikonya dapat pentungan ketika dirazia. Hal lain, karena pemerintah Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyatnya.




 Parlemen Malaysia Memperjuangkan Rakyat Soal Cabai Naik.
          Ketika saya di Malaysia melihat Parlemen sedang bersidang ribut besar  hanya masalah soal cabai naik. Kami bersama rombongan Anggota DPD-RI studi banding ke Malaysia untuk RUU DKI Jakarta. Ketika kami berkunjung ke Parlemen Malaysia di Putra Jaya, saya dibuatnya terperanjat kaget ketika melihat jalannya persidangan parlemen Malaysia dalam suasana ribut dan berantam hanya soal sepele mengenai harga cabe yang sedang meroket. Melihat jalannya sidang parlemen di Malaysia ini saya teringat DPR kita yang justru antagonis kerjanya, ributnya DPR Indonesia bukan karena harga cabe naik, bensin naik, beras naik, gula naik, kopi naik atau KPR-BTN naik yang bisa membuat sempoyongan rakyat, malah yang diributkan soal cetek tentang pasal-pasal dan paket Pimpinan MPR, Paket Pimpinan DPR dan paket Pimpinan DPD yang sama sekali justru tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat-negara bangsa.  ANOMALI!. Ketika memasuki ruang sidang Parlemen Malaysia kami rombongan ada yang ketinggalan jas sehingga sebagian ada yang nggak bisa masuk melihat jalannya persidangan, akhirnya kami mencari akal agar bisa masuk ruangan sidang maka kami gantian memakai jas. Satu pemandangan yang menarik dan agak lucu saya menyaksikan persidangan parlemen Malaysia, ketika gontok-gontokan dan ribut soal harga cabe naik bahkan kain sarung yang dikenakan oleh anggota parlemen laki-laki sempat ada yang melorot, untung bisa dikencengi lagi dengan ikat pinggang. Selesai menghadiri persidangan kami dipresentasikan oleh bagian persidangan parlemen Malayisa bahwa ada diskon KPR besarnya tergantung kepada urut-urutan penduduk asli Malaysia. Jika Penduduk Asli Malaysia Melayu besaran diskon 5% berbeda dengan India dan Tionghoa.
Berkunjung ke Kementerian Pendidikan Malaysia (Menteri Pelajaran Malaysia)
          Kami rombongan DPD-RI juga mengunjungi Departemen Pendidikan Malaysia (Kementerian Pelajaran Malaysia) dari sini dipresentasikan oleh atase pendidikan Malaysia bahwa Pendidikan di Malaysia itu percume (gratis) dari mulai SD-Perguruan Tinggi, bahkan tidak segan-segan negaranya membiayai warga negaranya yang ingin studi melanjutkan S3 keluar negeri. Dari sinilah saya bisa tahu mengapa rakyat Malaysia begitu cinta kepada negaranya, sebab negaranya memang benar-benar hadir dihadapan rakyatnya.
Terakhir Berkunjung Ke Duta Besar Malaysia
          Sebelum kembali ketanah air kami rombongan DPD-RI berkunjung ke Duta Besar Indonesia untuk Malaysia yang pada waktu itu dijabat oleh Rusdihardjo (mantan Kapolri). Saat itu sedang panas-dingin hubungan antara Malaysia dengan Indonesia apalagi kita telah dipermalukan di dunia Internasional melalui IJC (International Justice Court) yang pusat peradilannya di Den Haag Belanda kita kalah telak dengan Malaysia 16:1 untuk kemenangan Malayisa sehingga kita kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan.  Dari Kedutaan Besar dan informasi dari atase keamanan kita disinilah saya bisa tahu mengapa Indonesia tidak memutuskan perang dengan Malaysia, selain mempertimbangkan jumlah korban kepada rakyat yang tidak berdosa juga ada rahasia negara soal taktik pertahanan kita yang tidak saya ungkap disini. Pak Rusdihardjo pun ketika memberikan sambutannya ketika itu tidak memakai alat pengeras suara takut ada pihak-pihak yang menyadapnya. Soal SDM: tentara, Polisi dan Sukarelawan kita jauh lebih unggul dan hebat ketimbang Malaysia, dengan kata lain Indonesia bukan tandingannya Malaysia, sekali lagi ada rahasia pertahanan negara kita yang tidak elok saya ungkap disini.
Bagaimana Kecintaan Rakyat Indonesia Kepada Negaranya?
          Soal jiwa militansi, rela berkorban jiwa dan raga Rakyat Indonesia kepada negara-bangsanya jangan diragukan lagi, untuk urusan yang satu ini rakyat Indonesia tidak ada tandingannya di seluruh dunia. Rakyat Indonesia siap bertempur rela jiwa raganya berkalang tanah untuk negara bangsanya jika marwah bangsa sudah dihina, diledek, dikoyak-koyak, dilecehkan dan di injak-injak habis oleh negara lain. Sejarah telah membuktikan jaman revolusi kemerdekaan meski memiliki alat tempur super canggih Belanda dan Jepang dibuat kocar-kacir oleh pejuang pro kemerdekaan yang hanya bersenjatakan pertempuran sederhana bambu runcing. Tengoklah bagaimana reaksi rakyat Indonesia ketika Malaysia sering meledek dan memprovokasi kita, rakyat Indonesia dimana pun berada siap memanggul senjata, jiwa dan raganya  siap dipertaruhkan untuk ibu pertiwi.
          Tapi sayangnya jiwa militansi rakyat Indonesia kepada negara bangsanya tidak dilakukan secara kontinyu, dalam kondisi negara normal tidak genting seperti ini jarang terlihat gerakan mencintai Indonesia dibuktikan dengan memakai produk-produk Indonesia seperti kendaraan, pakaian, alat rumah tangga, dll.  Dada kita semua baru sesak napas ketika marwah bangsa sudah dihina. Kecintaan rakyat kita kepada negara-bangsanya belum sepenuhnya terpatri, disebabkan negara Indonesia belum sepenuhnya hadir di tengah-tengah rakyatnya. Berbeda, jika negara melalui pemerintah sudah benar-benar memperhatikan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, masih banyak rakyat kita yang belum bisa mengenyam pendidikan dengan baik karena ketiadaan biaya. Coba Pemerintah  menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok yang sekarang membuat klenger rakyat karena harganya tidak beraturan semakin meroket. Terakhir, coba Pemerintah mengontrol harga-harga rumah KPR-BTN atau memberikan diskon kepada warga negaranya, dan kebijakan-kebijakan pro rakyat lainnya. Betapa bangganya rakyat kita kepada negaranya jika pemerintah dapat melakukan langkah-langkah terobosan untuk kesejahteraan rakyatnya. Rakyat sudah muak dengan gonjang-ganjing  perpolitikan nasional, RAKYAT BUTUH MAKAN, BUKAN SUGUHAN GADUH POLITK!.
          Jika semua itu sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, maka kita semua akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Maka slogan: Sayangilah Malaysia!, Sayangilah Kuala Lumpur akan keok dengan Slogan kita: “CINTAILAH INDONESIA, TUMPAH DARAHKU ADALAH INDONESIA!.

Rabu, 06 Juli 2016

Gagasan THR Untuk PNS Yang Ditertawakan 8 Tahun Lalu Kini Direalisasikan Pemerintah


Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama
Jabatan Fungsional: LEKTOR
 
          

            Melalui Blog Hukum ini, 8 tahun lalu saya pernah menulis bahwa PNS (Sekarang namanya ASN) perlu diberikan THR oleh pemerintah. Karuan saja usulan saya ini banyak ditertawakan oleh banyak orang, pendapat ini dianggap muskil, alasannya negara tidak menganggarkan pegawainya untuk memberikan tunjangan tambahan berupa pemberian THR. Berbeda alasan yang mentertawakan, berbeda pula dengan argumentasi saya, dengan pemerintah abai memberikan THR kepada aparatur negara, justru dapat membahayakan keuangan negara itu sendiri, karena pada umumnya instansi atau bagian masing-masing yang saya ketahui “akan menerabas mencari jalannya sendiri-sendiri” untuk menggali pundi-pundi rupiah bagaimana supaya bisa berlebaran di kampung halaman, sebab lebaran memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, antara lain PNS utamanya yang berada di Jakarta dianggap duitnya banyak, ketika mudik di kampung halaman ditodong oleh saudara-saudaranya minta duit dan bagi-bagi angpo kepada sanak saudaranya.

 Image result for gambar PNS

Saya Apresiasi Pemerintah Meski Terlambat
          Usulan saya 8 tahun lalu tentang THR yang harus diberikan pemerintah kepada PNS menjadi bahan tertawaan kawan-kawan, kini benar-benar direalisasikan pemerintah dengan memberikan gaji ke-14 kepada pegawainya untuk tunjangan hari raya. Tentu saja Aparatur Sipil Negara (ASN) selain dapat bernapas lega juga berteriak histeris menyambut khabar gembira itu. Berulang-kali ketika itu saya sampaikan agar pemerintah tidak hypokrit (munafik) dengan menutup mata sengaja tidak memberikan THR resmi karena sudah mengetahui jika PNS ada “Sumber lain”. Usulan saya tentang pemberian THR kepada PNS ini pernah saya sampaikan di website MPR (www.mpr.go.id) dan Blog Hukum saya.
       Selamat kepada ASN yang telah mendapatkan gaji ke-14 untuk tunjangan hari raya.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19