Selasa, 20 Agustus 2019

JANGAN GEMETARAN TANDA TANGAN DIATAS MATERAI


Oleh Warsito
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Benda yang namanya Materai ini kita tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah melihat dan bahkan mengalami sendiri untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum baik yang bersifat keperdataan, misalnya, untuk perjanjian/kontrak, kenyataan-kenyataan atau penandatanganan kwitansi untuk  pencairan uang.
            Namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak dijumpai orang yang gemetaran ketika akan melakukan tanda tangan berkas-berkas diatas materai, padahal materai itu tidaklah memiliki pembuktian apa-apa dan tidak sekuat apa yang mereka kira. Materai bukanlah alat pembuktian yang sah anggapan selama ini sangat keliru dan perlu diluruskan.
            Di instansi pemerintah, swasta, atau perorangan jika orang sudah tanda tangan dalam perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat dan sah, lagi-lagi ini anggapan yang salah besar.  
      Lalu, apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang kuat maka harus memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu: d. Oleh sebab yang halal. Itulah syarat sahnya suatu perjanjian tidak ada klausul yang mencantumkan materai.
            Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika suatu perbuatan hukum ingin memiliki pembuktian yang sempurna dan otentik harus memenuhi syarat-syarat akta otentik yang telah ditentukan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang; c. jurisdiksi wilayah kewenangan pejabat tersebut.
              Sekali lagi materai itu bukanlah merupakan alat pembuktian apa-apa, kecuali fungsinya hanya untuk membayar pajak kepada negara, jadi mulai saat ini kita tidak perlu gemetaran ketika menandatangani suatu perjanjian diatas materai.
            Bagaimana jika suatu perjanjian tidak ada meterainya lalu masuk pengadilan?.
Jika suatu perjanjian atau perbuatan hukum tidak ada materainya, tetapi di kemudian hari terjadi sengketa di pengadilan, maka hakim akan memerintahkan untuk pemateraian terlebih dahulu sebelum kasusnya disidangkan, artinya hakim memerintahkan untuk membayar pajak kepada negara melalui pemateraian tersebut.

PERJANJIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
            Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah SWT. Dasar wajib kita menepati  janji sebagaimana Firman Allah SWT:
      Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  (QS. An-Nahl: 91)
      Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (An-Nahl : 94)

Senin, 19 Agustus 2019

11 TAHUN LALU USULAN ASN DIBERI THR DITERTAWAKAN KINI MENJADI KENYATAAN




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum:
Universitas Satyagama
Universitas Jayabaya
Jabatan Fungsional: LEKTOR
  
          

           

11 tahun yang lalu saya pernah menulis bahwa PNS (Sekarang berubah ASN) perlu diberikan THR oleh pemerintah, banyak sekali teman-teman yang mentertawakan dan mencibir saya, karena dianggap tidak masuk akal. Menurutnya tidak ada anggaran PNS untuk hari raya berbeda dengan bekerja di swasta. Sebab, menurut saya jika PNS tidak diberikan THR secara formal oleh pemerintah, sudah menjadi rahasia umum di bagian masing-masing akan mencari jalannya sendiri-sendiri agar tetap bisa berlebaran di kampung halaman. Hal itu saya rasakan ketika menjadi PNS di Sekretariat Jenderal MPR dan DPD selama 11 tahun saya selalu mendapatkan uang tambahan dari ruangan macam-macamlah istilah uang tambahan tersebut. Pendapat saya tersebut dianggap muskil, alasannya negara tidak menganggarkan pegawainya untuk memberikan tunjangan tambahan berupa pemberian THR. Berbeda dengan argumentasi saya, dengan pemerintah abai memberikan THR kepada aparatur negara, justru dapat membahayakan keuangan negara itu sendiri, karena pada umumnya instansi atau bagian masing-masing bagian yang saya ketahui “akan menerabas mencari jalannya sendiri-sendiri” untuk menggali pundi-pundi rupiah supaya tetap bisa berlebaran. PNS adalah manusia juga yang butuh silaturrahim dengan sanak saudara. PNS utamanya yang berada di Jakarta dianggap tajir duitnya banyak, ketika mudik di kampung halaman sudah terbiasa akan bagi-bagi angpo kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.

 

 

 

 Terlambat Lebih Baik Daripada Tidak

          Usulan saya 11 tahun lalu agar PNS diberikan THR yang menjadi bahan tertawaan, kini menjadi kenyataan PNS sudah dapat tersenyum lebar karena pemerintah telah memberikan gaji ke-14 kepada aparaturnya untuk tunjangan hari raya. Berulang-kali ketika itu saya sampaikan agar pemerintah tidak hypokrit dengan menutup mata sengaja tidak memberikan THR secara resmi karena diduga sudah mengetahui jika PNS ada “Sumber-sumber lain untuk bisa berlebaran”. Usulan saya tentang pemberian THR kepada PNS ini pernah saya sampaikan di website MPR (www.mpr.go.id) dan Blog Hukum saya.

       Selamat kepada ASN yang telah mendapatkan gaji ke-14 untuk tunjangan hari raya.

 

Sabtu, 17 Agustus 2019

HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA ATAUKAH HUKUM WARIS ADAT YANG BERLAKU UNTUK UMAT ISLAM?. ANOMALI UMAT ISLAM MENJALANKAN PERINTAH ALLAH SWT





                                                     Oleh WARSITO
 Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata



Pluralisme hukum kewarisan saat ini dirasa membingungkan masyarakat,  jika belum dipahami  sepenuhnya, sebab,  ada 3 (tiga) macam hukum kewarisan yang berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam yang wajib berlaku bagi umat islam, hukum  kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing  orang tunduk pada hukumnya masing-masing. 
Bagi umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan 176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim menundukkan diri  dengan hukum kewarisan islam.
Sementara hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan tionghoa dan eropa (keturunan), namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an  dan hukum positip yang mewasiatkan umat muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam. Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal (dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal (garis ibu).
Ada sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata, jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852 KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a), meminjam istilah mewaris di jawa sepikul  segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Hal lain perbedaannya antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam ahli waris yang berhak mendapat warisan tidak diperbolehkan menerima wasiat lagi, karena Allah sudah mewasiatkan didalam al quran tentang pembagian ahli waris masing-masing. Namun hukum kewarisan perdata ahli waris yang sudah mendapat warisan masih dapat menerima wasiat sepanjang wasiat itu tidak melanggar LP (Legitime Portie) atau bagian mutlak anak-anak yang lain. Persamaan hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata keduanya sama-sama menganut sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
 

ANOMALI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA

Meski negara Indonesia  mayoritas penduduknya muslim justru terjadi penyimpangan dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata bagiannya dibandingkan  hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak  perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta, sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.

Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan? Islam itu indah dan bijaksana.

Sebelum pembagian warisan para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Namun, setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.

Rabu, 14 Agustus 2019

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO




                                 Oleh 
        WARSITO  

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI sangat berkesan bagi saya. Siapa yang tidak kenal Soeharto?. Beliau + 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia selain dikenal sebagai bapak pembangunan juga dikenal sebagai pemerintahan yang otoritarianisme. Pada waktu pemerintahan orde baru demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai aturan konstitusi. Kini beliau telah pergi untuk selama-lamanya kita doakan agar almarhum Husnul Khatimah prinsipnya kita harus bisa mikul dhuwur mendem jero kepada semua pemimpin kita. PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO artinya kita harus memaafkan kesalahan atau kekhilafan pemimpin kita dengan menjunjung tinggi dan menghormati segala pengabdiannya kepada bangsa dan negara dengan menutupi kesalahannya.
 
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MENYAKSIKaN TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO
Soal runtuhnya kerajaan Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah banyak diketahui publik, dari mulai dipicu krisis ekonomi di penghujung tahun 1997, hingga pertengahan 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Krisis ekonomi tersebut berkembang liar menjadi krisis hukum, politik, yang bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyebab lainnya, juga sudah diketahui publik, ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua MPR/DPR, Harmoko,  mengetukkan palu  saat  melantik  pak Harto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya pada 10 Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot dan patah kepalanya. Lantas, rahasia apa lagi yang sesungguhnya belum diketahui oleh publik?, Baiklah, akan saya bongkar melalui blog hukum saya ini, agar masyarakat mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab tumbangnya pak Harto dari jabatan Presiden.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Tidak banyak orang yang beruntung bisa dekat dengan  seorang penguasa ketika itu, apalagi seorang Ketua MPR/DPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki wewenang purbawisesa mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya mengenal  Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun 1998-sekarang, bukan lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen di Sekretariat Jenderal MPR tempat saya bekerja ketika itu,  bukan pula karena  staf ahlinya atau staf Sekretariat Pimpinan MPR. Tetapi, saya adalah seorang pegawai bergolongan rendahan yang diperkenalkan dengan Harmoko karena berkah dan Rahmat  Allah Yang Maha Kuasa lantaran bisa sedikit bermain tenis lapangan. Sebagai  pegawai rendahan siap melaksanakan tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan kepada saya untuk melayani Harmoko bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan politis pimpinan Setjen MPR saya paham, sebab, untuk menjadi Sekjen dan Wakil Sekjen MPR adalah usulan ketua MPR/DPR kepada Presiden, maka sudah barang tentu harus diservis dengan baik.  Ketika Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu pagi-pagi rutin  bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat Jenderal MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar biasa berjubelnya manusia pagi-pagi yang mengerumuni Harmoko ikut-ikutan bermain tenis, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan  projet, dan masih banyak  lagi orang-orang dengan modus kepentingan lainnya. Harmoko benar-benar bak gula yang dikerubungi semut. Sehabis sholat subuh, saya harus menyiapkan kebersihan lapangan tenis, termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk melayani Harmoko. Harmoko, selain rutin  hari Minggu bermain Tenis  di lapangan tenis Setjen MPR, Widya Chandra, dua minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat miris bathin saya, tatkala Harmoko lengser dari jabatan Ketua MPR/DPR, manusia-manusia yang berjubel, menyemut dan berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Itulah sifat kebanyakan manusia Indonesia, ketika orang lagi menjabat dikerubuti, begitu Purnabakti langsung dijauhi.
Sering Diajak Bareng HARMOKO Satu Mobil
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Hati saya bergetar ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk berdampingan untuk  bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor. Jika ke puncak bermain tenis, Harmoko selalu  mengendarai mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya berdiam diri, kalau tidak ditanya, saya tidak berbicara, saya tahu diri, ewuh berhadapan dengan Ketua MPR/DPR  yang memiliki jabatan super power dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saking senang dan bahagianya berjejer dengan Harmoko, saya terlena dan tidak menyadari, bahwa sesungguhnya diri saya terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu, saya juga akan terkena imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan Harmoko selalu makan sate dan gulai kambing dari pak Kadir yang selalu disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan wejangan Harmoko, atau menunggu cerita politik yang sedang aktual. Kalau Harmoko pasif tidak berbicara mengenai politik, maka, kamilah yang memancing, agar Harmoko bercerita sejujurnya mengenai isu-isu hangat politik seputaran gelombang reformasi.
Setelah rehat selesai bermain tenis, dibarengi  makan siang, kebiasaan Harmoko selalu  bercerita ngalor ngidul, terkadang cerita lelucon yang membuat ger-geran kami semua, terkadang juga cerita diselingi seputaran tentang  makna hakekat kehidupan. Akhirnya, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang gerakan reformasi yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata Harmoko: “Gimana, Wong pak Harto masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana, orang Pak Harto masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko, tidak seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi  Presiden   menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu.  Namun kali itu, sebelum pelantikan menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, jauh-jauh hari pak Harto sudah menghubungi para pembantunya, agar bersedia memperkuat pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung Harmoko, bahwa pak Harto itu sudah ndisikki kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya keweleh.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Dalam batas penalaran logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang tidak ingin menjadi Presiden seumur hidup?. Karena  sistemnya yang memungkinkan untuk itu, akibat tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi Presiden ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah, hanya saja Pak Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR yang mewakili aspirasi rakyat  sudah melaporkan bahwa rakyat masih menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah tepat, melalui amandemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Harmoko Dianggap Brutus
Gerakan reformasi  Mei 1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika itu dilematis, bahkan terjepit. Satu sisi, sebagai ketua MPR/DPR harus menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi permintaan berhentinya pak Harto dari jabatan Presiden, sisi lain, tentu, Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega itu memundurkan pak Harto, orang yang telah  berjasa membesarkan dirinya. Namun, pilihan apa pun harus diambil Harmoko, meski pahit dampaknya. Akhirnya, Harmoko bersama Pimpinan DPR memberikan pernyataan pers dengan lantang berani menyatakan bahwa: “Demi kepentingan bangsa dan negara, agar Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatan Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu saja membuat istana marah besar, publik pun menyikapi pernyataan Harmoko berbeda-beda. Ada yang memuji  keberanian Harmoko, tidak sedikit pula yang menilai Harmoko Brutus (pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan (Hari-Hari Omong Kosong) menjadi bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak habis pikir, sebagai ketua MPR/DPR Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan Harmoko pula yang meminta Soeharto berhenti dari jabatan Presiden. Dari perspektif politis dan hukum, baik pak Harto maupun bung Harmoko tidak bisa dikatakan salah, yang keliru adalah sistem ketatanegaraannya yang harus diperbaiki.  Sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak Harto dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.
Kini, Harmoko sudah sepuh, usianya  sudah  80 an tahun, dan sakit-sakitan, mari kita doakan semoga Harmoko diberikan kesehatan, bagaimana pun beliau adalah orang yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya tamatan SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika kami Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor, Harmoko selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu berbaris dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang digagas oleh Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara kekurangan orde baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak berkembangnya pers, jika ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sudah menjadi rahasia umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem pemerintahan orde baru, lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko, sistem bangunan demokrasi lah yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto, menurut penulis adalah seorang Presiden yang luar biasa, kinerjanya nyata dirasakan oleh rakyat, keamanan yang terkendali  dan Harga-harga di pasaran yang murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia, tentu ada kekurangannya.
Ketika tahun 2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya, tidak lolos Verifikasi, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra Kuningan XII, Jakarta. Sesampai dirumahnya sambil ngobrol-ngobrol Harmoko bertanya: “Kamu tahu SARS nggak?. Saya jawab, tahu pak!, Apa itu?, kata Harmoko, saya jawab: Severe Acute Respiratory Syndrome atau gangguan pernapasan, yaitu batuk, napas pendek dan kesulitan bernafas. Kata Harmoko, salah!. Yang  benar, “Saya Amat Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal, dalam hati saya, ada-ada saja Harmoko ini orangnya.
  PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JEROB Begitulah warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak pernah akan menemukan pemimpin yang sejati dan sempurna. Falsafah jawa mengatakan mikul dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua pemimpin kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk pengabdian kepada ibu pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang berbudaya dan berkeadaban tinggi. Indonesia pernah memiliki presiden-presiden yang hebat: Pak Soekarno, pak Harto, pak Habibie, GusDur, bu Mega, Pak Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang pak Joko Widodo.



HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19