Rabu, 14 Agustus 2019

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO




                                 Oleh 
        WARSITO  

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI sangat berkesan bagi saya. Siapa yang tidak kenal Soeharto?. Beliau + 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia selain dikenal sebagai bapak pembangunan juga dikenal sebagai pemerintahan yang otoritarianisme. Pada waktu pemerintahan orde baru demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai aturan konstitusi. Kini beliau telah pergi untuk selama-lamanya kita doakan agar almarhum Husnul Khatimah prinsipnya kita harus bisa mikul dhuwur mendem jero kepada semua pemimpin kita. PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO artinya kita harus memaafkan kesalahan atau kekhilafan pemimpin kita dengan menjunjung tinggi dan menghormati segala pengabdiannya kepada bangsa dan negara dengan menutupi kesalahannya.
 
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MENYAKSIKaN TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO
Soal runtuhnya kerajaan Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah banyak diketahui publik, dari mulai dipicu krisis ekonomi di penghujung tahun 1997, hingga pertengahan 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Krisis ekonomi tersebut berkembang liar menjadi krisis hukum, politik, yang bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyebab lainnya, juga sudah diketahui publik, ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua MPR/DPR, Harmoko,  mengetukkan palu  saat  melantik  pak Harto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya pada 10 Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot dan patah kepalanya. Lantas, rahasia apa lagi yang sesungguhnya belum diketahui oleh publik?, Baiklah, akan saya bongkar melalui blog hukum saya ini, agar masyarakat mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab tumbangnya pak Harto dari jabatan Presiden.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Tidak banyak orang yang beruntung bisa dekat dengan  seorang penguasa ketika itu, apalagi seorang Ketua MPR/DPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki wewenang purbawisesa mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya mengenal  Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun 1998-sekarang, bukan lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen di Sekretariat Jenderal MPR tempat saya bekerja ketika itu,  bukan pula karena  staf ahlinya atau staf Sekretariat Pimpinan MPR. Tetapi, saya adalah seorang pegawai bergolongan rendahan yang diperkenalkan dengan Harmoko karena berkah dan Rahmat  Allah Yang Maha Kuasa lantaran bisa sedikit bermain tenis lapangan. Sebagai  pegawai rendahan siap melaksanakan tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan kepada saya untuk melayani Harmoko bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan politis pimpinan Setjen MPR saya paham, sebab, untuk menjadi Sekjen dan Wakil Sekjen MPR adalah usulan ketua MPR/DPR kepada Presiden, maka sudah barang tentu harus diservis dengan baik.  Ketika Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu pagi-pagi rutin  bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat Jenderal MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar biasa berjubelnya manusia pagi-pagi yang mengerumuni Harmoko ikut-ikutan bermain tenis, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan  projet, dan masih banyak  lagi orang-orang dengan modus kepentingan lainnya. Harmoko benar-benar bak gula yang dikerubungi semut. Sehabis sholat subuh, saya harus menyiapkan kebersihan lapangan tenis, termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk melayani Harmoko. Harmoko, selain rutin  hari Minggu bermain Tenis  di lapangan tenis Setjen MPR, Widya Chandra, dua minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat miris bathin saya, tatkala Harmoko lengser dari jabatan Ketua MPR/DPR, manusia-manusia yang berjubel, menyemut dan berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Itulah sifat kebanyakan manusia Indonesia, ketika orang lagi menjabat dikerubuti, begitu Purnabakti langsung dijauhi.
Sering Diajak Bareng HARMOKO Satu Mobil
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Hati saya bergetar ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk berdampingan untuk  bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor. Jika ke puncak bermain tenis, Harmoko selalu  mengendarai mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya berdiam diri, kalau tidak ditanya, saya tidak berbicara, saya tahu diri, ewuh berhadapan dengan Ketua MPR/DPR  yang memiliki jabatan super power dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saking senang dan bahagianya berjejer dengan Harmoko, saya terlena dan tidak menyadari, bahwa sesungguhnya diri saya terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu, saya juga akan terkena imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan Harmoko selalu makan sate dan gulai kambing dari pak Kadir yang selalu disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan wejangan Harmoko, atau menunggu cerita politik yang sedang aktual. Kalau Harmoko pasif tidak berbicara mengenai politik, maka, kamilah yang memancing, agar Harmoko bercerita sejujurnya mengenai isu-isu hangat politik seputaran gelombang reformasi.
Setelah rehat selesai bermain tenis, dibarengi  makan siang, kebiasaan Harmoko selalu  bercerita ngalor ngidul, terkadang cerita lelucon yang membuat ger-geran kami semua, terkadang juga cerita diselingi seputaran tentang  makna hakekat kehidupan. Akhirnya, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang gerakan reformasi yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata Harmoko: “Gimana, Wong pak Harto masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana, orang Pak Harto masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko, tidak seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi  Presiden   menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu.  Namun kali itu, sebelum pelantikan menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, jauh-jauh hari pak Harto sudah menghubungi para pembantunya, agar bersedia memperkuat pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung Harmoko, bahwa pak Harto itu sudah ndisikki kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya keweleh.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Dalam batas penalaran logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang tidak ingin menjadi Presiden seumur hidup?. Karena  sistemnya yang memungkinkan untuk itu, akibat tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi Presiden ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah, hanya saja Pak Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR yang mewakili aspirasi rakyat  sudah melaporkan bahwa rakyat masih menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah tepat, melalui amandemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Harmoko Dianggap Brutus
Gerakan reformasi  Mei 1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika itu dilematis, bahkan terjepit. Satu sisi, sebagai ketua MPR/DPR harus menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi permintaan berhentinya pak Harto dari jabatan Presiden, sisi lain, tentu, Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega itu memundurkan pak Harto, orang yang telah  berjasa membesarkan dirinya. Namun, pilihan apa pun harus diambil Harmoko, meski pahit dampaknya. Akhirnya, Harmoko bersama Pimpinan DPR memberikan pernyataan pers dengan lantang berani menyatakan bahwa: “Demi kepentingan bangsa dan negara, agar Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatan Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu saja membuat istana marah besar, publik pun menyikapi pernyataan Harmoko berbeda-beda. Ada yang memuji  keberanian Harmoko, tidak sedikit pula yang menilai Harmoko Brutus (pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan (Hari-Hari Omong Kosong) menjadi bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak habis pikir, sebagai ketua MPR/DPR Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan Harmoko pula yang meminta Soeharto berhenti dari jabatan Presiden. Dari perspektif politis dan hukum, baik pak Harto maupun bung Harmoko tidak bisa dikatakan salah, yang keliru adalah sistem ketatanegaraannya yang harus diperbaiki.  Sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak Harto dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.
Kini, Harmoko sudah sepuh, usianya  sudah  80 an tahun, dan sakit-sakitan, mari kita doakan semoga Harmoko diberikan kesehatan, bagaimana pun beliau adalah orang yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya tamatan SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika kami Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor, Harmoko selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu berbaris dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang digagas oleh Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara kekurangan orde baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak berkembangnya pers, jika ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sudah menjadi rahasia umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem pemerintahan orde baru, lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko, sistem bangunan demokrasi lah yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto, menurut penulis adalah seorang Presiden yang luar biasa, kinerjanya nyata dirasakan oleh rakyat, keamanan yang terkendali  dan Harga-harga di pasaran yang murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia, tentu ada kekurangannya.
Ketika tahun 2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya, tidak lolos Verifikasi, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra Kuningan XII, Jakarta. Sesampai dirumahnya sambil ngobrol-ngobrol Harmoko bertanya: “Kamu tahu SARS nggak?. Saya jawab, tahu pak!, Apa itu?, kata Harmoko, saya jawab: Severe Acute Respiratory Syndrome atau gangguan pernapasan, yaitu batuk, napas pendek dan kesulitan bernafas. Kata Harmoko, salah!. Yang  benar, “Saya Amat Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal, dalam hati saya, ada-ada saja Harmoko ini orangnya.
  PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JEROB Begitulah warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak pernah akan menemukan pemimpin yang sejati dan sempurna. Falsafah jawa mengatakan mikul dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua pemimpin kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk pengabdian kepada ibu pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang berbudaya dan berkeadaban tinggi. Indonesia pernah memiliki presiden-presiden yang hebat: Pak Soekarno, pak Harto, pak Habibie, GusDur, bu Mega, Pak Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang pak Joko Widodo.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Sejarah Pati Kota Bumi Mina Tani Dimana Saya Dilahirkan

  Pati adalah kota kelahiran saya, namun saya tidak lahir di Tengah-tengah kota Pati melainkan Pati Selatan tepatnya di desa Kayen dekat mak...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19