WARSITO
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI sangat berkesan bagi saya. Siapa yang tidak kenal Soeharto?. Beliau + 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia selain dikenal sebagai bapak pembangunan juga dikenal sebagai pemerintahan yang otoritarianisme. Pada waktu pemerintahan orde baru demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai aturan konstitusi. Kini beliau telah pergi untuk selama-lamanya kita doakan agar almarhum Husnul Khatimah prinsipnya kita harus bisa mikul dhuwur mendem jero kepada semua pemimpin kita. PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO artinya kita harus memaafkan kesalahan atau kekhilafan pemimpin kita dengan menjunjung tinggi dan menghormati segala pengabdiannya kepada bangsa dan negara dengan menutupi kesalahannya.
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MENYAKSIKaN TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO
Soal
runtuhnya kerajaan Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah
banyak diketahui publik, dari mulai dipicu krisis ekonomi di penghujung tahun
1997, hingga pertengahan 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional.
Krisis ekonomi tersebut berkembang liar menjadi krisis hukum, politik, yang
bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyebab
lainnya, juga sudah diketahui publik, ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua
MPR/DPR, Harmoko, mengetukkan palu saat
melantik pak Harto menjadi Presiden
untuk ketujuh kalinya pada 10 Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot dan patah
kepalanya. Lantas, rahasia apa lagi yang sesungguhnya belum diketahui oleh publik?,
Baiklah, akan saya bongkar melalui blog hukum saya ini, agar masyarakat
mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab tumbangnya pak Harto
dari jabatan Presiden.
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Tidak
banyak orang yang beruntung bisa dekat dengan
seorang penguasa ketika itu, apalagi seorang Ketua MPR/DPR yang
merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki wewenang purbawisesa
mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya mengenal Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun
1998-sekarang, bukan lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen
di Sekretariat Jenderal MPR tempat saya bekerja ketika itu, bukan pula karena staf ahlinya atau staf Sekretariat Pimpinan
MPR. Tetapi, saya adalah seorang pegawai bergolongan rendahan yang
diperkenalkan dengan Harmoko karena berkah dan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa lantaran bisa sedikit
bermain tenis lapangan. Sebagai pegawai
rendahan siap melaksanakan tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan
kepada saya untuk melayani Harmoko bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan
politis pimpinan Setjen MPR saya paham, sebab, untuk menjadi Sekjen dan Wakil
Sekjen MPR adalah usulan ketua MPR/DPR kepada Presiden, maka sudah barang tentu
harus diservis dengan baik. Ketika
Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu pagi-pagi rutin bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat
Jenderal MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar
biasa berjubelnya manusia pagi-pagi yang mengerumuni Harmoko ikut-ikutan bermain
tenis, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan projet, dan masih banyak lagi orang-orang dengan modus kepentingan
lainnya. Harmoko benar-benar bak gula yang dikerubungi semut. Sehabis sholat
subuh, saya harus menyiapkan kebersihan lapangan tenis, termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk melayani
Harmoko. Harmoko, selain rutin hari Minggu
bermain Tenis di lapangan tenis Setjen
MPR, Widya Chandra, dua minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma
Griya Sabha, Kopo DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat miris bathin saya,
tatkala Harmoko lengser dari jabatan Ketua MPR/DPR, manusia-manusia yang
berjubel, menyemut dan berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan
bumi. Itulah sifat kebanyakan manusia Indonesia, ketika orang lagi menjabat dikerubuti,
begitu Purnabakti langsung dijauhi.
Sering
Diajak Bareng HARMOKO Satu Mobil
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Hati
saya bergetar ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk
berdampingan untuk bermain tenis di
lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor. Jika ke puncak
bermain tenis, Harmoko selalu mengendarai
mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya
berdiam diri, kalau tidak ditanya, saya tidak berbicara, saya tahu diri, ewuh berhadapan
dengan Ketua MPR/DPR yang memiliki
jabatan super power dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saking senang
dan bahagianya berjejer dengan Harmoko, saya terlena dan tidak menyadari, bahwa
sesungguhnya diri saya terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar
oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu, saya juga akan terkena
imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan Harmoko selalu
makan sate dan gulai kambing dari pak Kadir yang selalu disuguhkan oleh Sekretariat
Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan wejangan Harmoko, atau menunggu
cerita politik yang sedang aktual. Kalau Harmoko pasif tidak berbicara mengenai
politik, maka, kamilah yang memancing, agar Harmoko bercerita sejujurnya
mengenai isu-isu hangat politik seputaran gelombang reformasi.
Setelah
rehat selesai bermain tenis, dibarengi makan
siang, kebiasaan Harmoko selalu bercerita ngalor ngidul, terkadang cerita lelucon
yang membuat ger-geran kami semua, terkadang juga cerita diselingi seputaran
tentang makna hakekat kehidupan.
Akhirnya, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang
gerakan reformasi yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata
Harmoko: “Gimana, Wong pak Harto masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana,
orang Pak Harto masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko, tidak
seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi Presiden menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu. Namun kali itu, sebelum pelantikan menjadi
Presiden untuk ketujuh kalinya, jauh-jauh hari pak Harto sudah menghubungi para
pembantunya, agar bersedia memperkuat pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung
Harmoko, bahwa pak Harto itu sudah ndisikki
kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya keweleh.
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Dalam
batas penalaran logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang
tidak ingin menjadi Presiden seumur hidup?. Karena sistemnya yang memungkinkan untuk itu, akibat
tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi Presiden
ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah, hanya saja Pak
Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden ditanyakan terlebih
dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR yang mewakili aspirasi
rakyat sudah melaporkan bahwa rakyat
masih menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah
tepat, melalui amandemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa
jabatan”.
Harmoko
Dianggap Brutus
Gerakan
reformasi Mei 1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa
untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika
itu dilematis, bahkan terjepit. Satu sisi, sebagai ketua MPR/DPR harus
menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi permintaan berhentinya pak Harto dari
jabatan Presiden, sisi lain, tentu, Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega
itu memundurkan pak Harto, orang yang telah berjasa membesarkan dirinya. Namun, pilihan apa
pun harus diambil Harmoko, meski pahit dampaknya. Akhirnya, Harmoko bersama
Pimpinan DPR memberikan pernyataan pers dengan lantang berani menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan bangsa dan negara, agar Soeharto dengan arif dan bijaksana
mengundurkan diri dari jabatan Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu
saja membuat istana marah besar, publik pun menyikapi pernyataan Harmoko berbeda-beda.
Ada yang memuji keberanian Harmoko, tidak
sedikit pula yang menilai Harmoko Brutus (pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan
(Hari-Hari Omong Kosong) menjadi bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak
habis pikir, sebagai ketua MPR/DPR Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan
Harmoko pula yang meminta Soeharto berhenti dari jabatan Presiden. Dari
perspektif politis dan hukum, baik pak Harto maupun bung Harmoko tidak bisa
dikatakan salah, yang keliru adalah sistem ketatanegaraannya yang harus
diperbaiki. Sebagai ketua MPR/DPR,
Harmoko berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak
Harto dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.
Kini,
Harmoko sudah sepuh, usianya sudah 80 an tahun, dan sakit-sakitan, mari kita
doakan semoga Harmoko diberikan kesehatan, bagaimana pun beliau adalah orang
yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya tamatan
SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika kami
Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor, Harmoko
selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu berbaris
dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program Kelompencapir
(Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang digagas oleh
Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara kekurangan orde
baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak berkembangnya pers, jika
ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sudah menjadi rahasia
umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem pemerintahan orde baru,
lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko, sistem bangunan demokrasi lah
yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto, menurut penulis adalah seorang Presiden
yang luar biasa, kinerjanya nyata dirasakan oleh rakyat, keamanan yang
terkendali dan Harga-harga di pasaran yang
murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia, tentu ada
kekurangannya.
Ketika
tahun 2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya,
tidak lolos Verifikasi, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra Kuningan
XII, Jakarta. Sesampai dirumahnya sambil ngobrol-ngobrol Harmoko bertanya:
“Kamu tahu SARS nggak?. Saya jawab, tahu pak!, Apa itu?, kata Harmoko, saya
jawab: Severe Acute Respiratory Syndrome
atau gangguan pernapasan, yaitu batuk, napas pendek dan kesulitan bernafas. Kata
Harmoko, salah!. Yang benar, “Saya Amat
Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal, dalam hati saya, ada-ada saja
Harmoko ini orangnya.
PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JEROB Begitulah
warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing
memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak pernah
akan menemukan pemimpin yang sejati dan sempurna. Falsafah jawa mengatakan mikul
dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua pemimpin
kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk pengabdian kepada ibu
pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang berbudaya dan berkeadaban
tinggi. Indonesia pernah memiliki presiden-presiden yang hebat: Pak Soekarno, pak Harto, pak
Habibie, GusDur, bu Mega, Pak Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang pak Joko
Widodo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.