Oleh WARSITO
Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata
Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata
Pluralisme
hukum kewarisan saat ini dirasa membingungkan masyarakat, jika belum dipahami sepenuhnya, sebab, ada 3 (tiga) macam hukum kewarisan yang
berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam yang wajib berlaku bagi umat islam, hukum
kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing orang tunduk
pada hukumnya masing-masing.
Bagi
umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana
diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan
176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim
menundukkan diri dengan hukum kewarisan islam.
Sementara
hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan tionghoa dan eropa (keturunan),
namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum positip yang mewasiatkan umat
muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan
keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam.
Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara
partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal
(dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal
(garis ibu).
Ada
sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata,
jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak
memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852
KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan
bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak
laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a),
meminjam istilah mewaris di jawa sepikul segendongan, sepikul untuk anak
laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan
perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang
dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh
Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU
kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris
dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara
hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata
maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam
domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Hal lain perbedaannya antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam ahli waris yang berhak mendapat warisan tidak diperbolehkan menerima wasiat lagi, karena Allah sudah mewasiatkan didalam al quran tentang pembagian ahli waris masing-masing. Namun hukum kewarisan perdata ahli waris yang sudah mendapat warisan masih dapat menerima wasiat sepanjang wasiat itu tidak melanggar LP (Legitime Portie) atau bagian mutlak anak-anak yang lain. Persamaan hukum kewarisan islam dengan hukum
kewarisan perdata keduanya sama-sama menganut
sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
ANOMALI
HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
Meski
negara Indonesia mayoritas penduduknya muslim justru terjadi penyimpangan
dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim
untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih
memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata
bagiannya dibandingkan hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding
satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan
manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika
dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur
kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah
dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam
batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka
konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak
laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak
perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga
sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki
dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta,
sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK
harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin
berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan
terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat
derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami
bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang
tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.
Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan? Islam itu indah dan bijaksana.
Sebelum pembagian warisan para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Namun, setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.