Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama, Jakarta
Pemerhati
Ketatanegaraan dan Kajian Konstitusi
Berita miring kelakuan DPR, selalu
menghiasi halaman media (cetak/elektronik). Bukan DPR jika tidak selalu
membikin ulah yang kemudian direaksi negatif oleh rakyat. Dari yang
mulai keserakahan niat membangun gedung baru dengan nilai biaya wah Rp. 1.8 triliun
yang berhasil dipaksa batal oleh rakyat. Disusul biaya finger print absensi
anggota dewan tidak wajar yang menelan biaya Rp. 4 Milyar kemudian dirurunkan
3.7 Milyar. Terakhir ulah DPR akan merenovasi ruangan Badan Anggaran senilai
Rp. 20.7 Milyar yang juga mendapat reaksi dan hujatan keras dari masyarakat.
Untuk ulah terakhir DPR kali ini, Pimpinan
DPR rame-rame menyalahkan Sekretaris Jenderal, Nining Indra Saleh ( yang ketika itu menjabat Sekjen DPR-RI), mereka mengaku terkejut karena tidak
diberitahu atas pengadaan proyek renovasi tersebut. Padahal, menurut keterangan
Sekjen DPR, Nining Indra Saleh, biaya renovasi ruangan Badan Anggaran tersebut
telah mendapat restu dari BURT. Pengakuan Sekjen DPR itu dalam batas penalaran logis masuk akal. Bukankah
Ketua DPR sekaligus menjabat ketua BURT?. Apa mungkin ia tidak tahu, atau pura-pura
tidak tahu?. Hal lain, anggota BURT sudah merepresentasikan fraksi-fraksi yang
ada di DPR. Jadi justru tidak logis jika pimpinan DPR mengaku terkejut dan
tidak tahu menahu soal renovasi ruangan Badan Anggaran tersebut. Menurut hemat
saya, sepanjang bekerja di Sekretariat Jenderal MPR-DPD 1997-2008 yang kini berhenti
atas permintaan sendiri dengan hormat, semua proyek-proyek besar yang digarap
oleh Sekretariat Jenderal tentu sudah mendapatkan restu dari BURT/Pimpinan
Dewan. Sekali lagi, omong kosong jika Pimpinan Dewan itu tidak mengetahuinya.
Politik Pimpinan Dewan
Politik Pimpinan Dewan yang sering
menyalahkan Sekjen dalam pelaksanaan proyek-proyek di DPR itu sudah menjadi
lagu lama. Secara psikologis saja tidak masuk akal. Jabatan Sekjen itu kan
yang mengusulkan Pimpinan Dewan kemudian
presiden yang mengangkatnya. Jangankah urusan proyek yang super mahal, hal-hal
teknis soal sepele Kesekretariatan saja, Sekjen berdiskusi dengan Pimpinan dewan. Kemarahan dan keterkejutan
Pimpinan DPR ini sekali lagi hanyalah politis saja, biar seolah-olah Pimpinan
Dewan membela kepentingan rakyat. Boleh jadi Sekjen DPR, Nining Indra Saleh meski
dimarahin dan digertak justru dia tidak sakit hati, karena sebenarnya dia sudah
tahu ini sandiwara belaka. Gertak sambal yang akan memecat Sekjen DPR
ketika itu saya analisis benar tidak bakalan terjadi karena mekanisme
pemberhentian jabatan Sekjen itu agak rumit, apalagi jika presiden tidak mau
memberhentikannya.
Meski DPR sebagai perwakilan politik (political representatives), seringkali
dihujat dan dicacimaki habis-habisan, ironinya, lembaga negara ini dalam situasi genting
tertentu, rakyat masih sering meirindubutuhkan. Fungsi pengawasan (control) yang dimiliki oleh DPR masih bisa dijalankan, meski seringkali
pelaksanaannya terlihat jalan ditempat, akibat diwarnai berbagai
kepentingan politik. Hal lain, DPR masih memiliki kewenangan nyata memutuskan undang-undang
bersama presiden. Berbeda dari DPR, eksistensi DPD sebagai perwakilan territorial yang menghasilkan
wakil-wakil daerah (regional
representatives atau territorial representatives),
bukan saja terjadi kerancuan, tetapi
kelucuan dalam sistem ketatanegaraan. Bersebab, lembaga negara ini hanya dijadikan
accessoires dalam sistem ketatanegaraan, ketiadaan produk nyata dihasilkan DPD, bersumber
dari pemasungan oleh konstitusi.
Jika di Inggris memiliki parlemen dua kamar, yaitu, House of Lords dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan
tokoh-tokoh yang mempunyai ciri sebagai kelompok fungsional (mirip Utusan
Golongan) sebelum konstitusi kita dilakukan perubahan. Sedangkan The House of Commons beranggotakan
mereka yang berasal dari partai politik, yang dipilih melalui pemilihan umum (political representatives). Dari model
parlemen tersebut Inggris dapat digolongkan memiliki sistem perwakilan
fungsional dan sistem perwakilan politik. Berbeda dari Inggris, Amerika Serikat
memiliki parlemen dua kamar, atau bicameral
parliament, yaitu, The House of Representatives
dan The Senate yang secara
bersama-sama disebut The Congress The
United States of America. The House
of Representatives mirip dengan The
House of Commons di Inggris, yaitu sama-sama wakil partai politik yang
dipilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senat Amerika Serikat beranggotakan
wakil-wakil rakyat di negara bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum
setempat (Pengantar lmu Hukum Tata Negara, terbitan Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006).
Kelatahan sistem parlemen kita, yang
mencoba meniru-niru model parlemen di Inggris dan Amerika Serikat, pada tahap implementasinya
justru menjadi lelucon belaka. Hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimajaspersonifikasikan
serpihan-serpihan bangunan gedung yang sudah ambruk. Kini, anggota DPD dengan
sisa-sisa kekuatannya, mencoba kembali membangun serpihan-serpihan reruntuhan itu
setelah dihempas badai (gagalnya) amendemen konstitusi di 2007 lalu. Ibarat
pertandingan tarik tambang, regu DPD sangat tidak berimbang melawan regu DPR. Pasang
surut usulan amendemen konstitusi yang digagas DPD, dapat dianalogikan
demikian. Amsal lain, dapat diibaratkan pertandingan tim kesebelasan sepakbola,
132 dari anggota DPD bertarung sangat jomplang, melawan tim DPR berkekuatan 560
anggota. Jangankan DPD dapat menjebol gawang DPR, menyerang di 1/3 lini
pertahanan lapangan saja tidak bakalan mampu.
Soal urusan gagas menggagas usulan
amendemen konstitusi, DPD giat dan
jagonya pintar. Sayangnya, DPD cuma pintar, tetapi tidak
meng-arti membaca gerak langkah DPR,
yang cuma menghibur dengan persetujuan lipstik dibibirnya.
Ibarat bertempur, DPD ini bernafsu besar, tetapi tenaga
kurang. DPD tidak menyadari lemahnya
kekuatan
pertahanan anggotanya yang cuma 132, dibanding DPR yang memiliki kekuatan
penuh berjumlah 560 anggota. Hampir
mustahil, usulan amendemen dapat menembus jantung pertahanan DPR, sebagaimana
mekanisme perubahan konstitusi Pasal 37 UUD 1945, yang mengharuskan 1/3 usulan
perubahan, 2/3 kourum kehadiran dan limapuluh persen ditambah satu anggota MPR
untuk pengambilan putusan. Menurut anggota DPD dari Maluku John Pieris, bahwa
usulan amendemen UUD 1945 secara substansi
telah disetujui oleh mayoritas fraksi (Media Indonesia, 26/12). Lebih
lanjut John Pieris mengklaim bahwa fraksi-fraksi besar di MPR seperti Demokrat,
Golkar dan PDIP secara personal sudah setuju dari isi amendemen yang diajukan
DPD. Benarkah demikian?.
Persetujuan dalam bentuk lisan
usulan amendemen oleh mayoritas
fraksi-fraksi di MPR perlu
diwaspadai dan disangsikan. Pasalnya, hal itu sudah menjadi lagu lama DPR sekedar
berbasabasi politik merasa tidak enak kepada DPD, yang kerap kali mengundang pertemuan DPR. Berkaca dari pengalaman
2007 lalu, sudah 110 anggota
DPR memberikan dukungan
usulan amendemen konstitusi secara tertulis, dari jumlah keseluruhan 550 anggota. Tetapi
sayangnya, sebagian
anggota DPR mencabut dan mengingkari
tanpa rasa malu, ibarat sudah meludah ditelan kembali.
Seperti halnya 2007, ketika itu DPR berkelit, DPD dianjurkan mengusulkan amendemen hasil pemilu
2009 saja. Kini, DPR hasil pemilu 2009 pun berkelit lagi, nanti
saja hasil pemilu 2014. Pada
akhirnya, hasil pemilu 2014, anggota DPR terpilih akan memiliki watak yang sama
dengan pendahulunya selalu ngepingpong DPD. Hal ini dilakukan, karena DPRlah yang merasa
menghadirkan DPD “dimuka
bumi ini”, dan bisa “menghabisinya”
kapan pun jika DPR mau. DPR justru
tidak rela, DPD sekarang tidak tahu diri dan semakin ngelunjak.
Dari
sudut pandang filosofis, sosiologis, politis maupun yuridis secara teoritis UUD
dapat diubah. Oleh karena itu, kita
perlu terus mendorong MPR mengupayakan perubahan
konstitusi yang lebih baik, demi
kepentingan negara-bangsa.
Kesalahan besar (blunder) MPR ketika melakukan perubahan UUD 1945, satu sisi, MPR sudah tepat
membubarkan lembaga tinggi negara (sebutan waktu itu) Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, ironinya MPR menukargantikan
(melahirkan) lembaga negara bernama DPD, padahal
kedua-duanya lembaga negara tersebut tidak memiliki implikasi yuridis, jika
sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti.
DPD kini sedang gencar-gencarnya menggalang
dukungan usulan perubahan kelima konstitusi, meski 2007 lalu, usulan dukungan sudah
mencapai 238 Anggota MPR terjungkal dibantai DPR dipertigaan simpang jalan. Padahal sudah memenuhi
persyaratan 1/3 usulan perubahan konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) telah melakukan
perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, untuk kali kedua di akhir tahun 2011 ini, DPD kembali menggugat
konstitusi (baca mengusulkan amendemen). Saat ini DPD telah merampungkan naskah
usulan perubahan kelima UUD 1945, pembahasan naskah itu melibatkan ahli dari 75
perguruan tinggi dan pemangku kepentingan, serta komponen masyarakat (Media
Indonesia, 24/12).
Dalam hal ihwal amendemen konstitusi, penulis
pernah memaparkan
secara rinci penyebab kegagalan DPD menembus benteng keperkasaan DPR di harian
Media ini pada 29 Mei dan 11 September 2007. Jika kita memerhatikan secara
saksama draft naskah usulan amendemen konstitusi sebelumnya, poin
usulan amendemen
Jilid II kali ini, tidak ada terlihat perubahan yang
signifikan, cuma sedikit saja semiran seolah terlihat
mengkilap memperjuangkan
aspirasi rakyat. Polesannya, dengan cara mengusulkan calon presiden perseorangan
di dalam konstitusi, biar mendapat simpati rakyat, meski ide ini bakalan sulit direalisasikan. Dibanding 2007
lalu, usulan amendemen yang digagas DPD
kali ini, memang cukup cemerlang dan realistis. Bungkus
indahnya, agar calon
presiden tidak hanya dimonopoli partai-partai politik. Namun, dibalik getolnya usulan
amendemen konstitusi itu, sejatinya DPD memiliki kepentingan yang utama, yaitu
isinya, agar kelembagaan
DPD kuat sejajar dengan DPR dalam bidang legislasi. Sebab, selama
ini kedudukan DPD sekedar boneka legislatif.
Anggota DPD secara resmi sudah dilantik pada 1 Oktober 2004. Namun, prestasi
dan karya agung yang dijanjikan DPD kepada rakyat tidak kunjung dipersembahkan.
Alias, DPD bekerjanya jalan di tempat. Ekspektasi rakyat cukup besar ditujukan kepada
DPD untuk memperjuangkan aspirasi
kepentingan daerah (regional representation)
sekaligus menjadi penyeimbang DPR yang memiliki kekuatan purbawisesa di parlemen.
Namun, lagi-lagi harapan besar rakyat kepada DPD, bak kerupuk mengkeret ketika terkena terik
matahari, dan melempem ketika terguyur air hujan. Penyebabnya, DPD tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, justru DPD sendiri merengek-rengek bagaikan anak kecil menangis siang dan malam hari, menghiba kepada DPR mendukung memperkuat kelembagaannya. DPR tentu tidak menginginkan DPD kuat secara kelembagaan. Sebab, jika DPD diberikan kewenangan ikut memutuskan UU, selain kewenangan DPR menjadi dimadu, hal lain,
keberadaan pimpinan MPR terancam dihapuskan. Fraksi-fraksi di DPR berkepentingan sekali menempatkan orang-orang yang
belum kebagian posisi di DPR, untuk duduk di Pimpinan MPR yang memiliki peran strategis.
Hanya ada dua opsi
untuk MPR, mempertahankan DPD memberi kewenangan, ataukah menghapuskan. Tidak boleh ada opsi samar-samar mengkonstruksikan
DPD, memandulkan peran dan fungsinya. MPR unsur DPR, diharamkan membiarkan DPD berkelana dan
terpasung di konstitusi. Indikasi kuat, memeranakan
DPD dipertontonkan dengan telanjang oleh DPR, dengan sikapnya yang pasif merespon isu-isu amendemen UUD
1945 tentang
penguatan kelembagaan DPD. DPR perlu
belajar politik santun (fatsun) dan sikap
kenegarawanan sebagaimana dicontohkan para pendahulu kita (the founding fathers). Keberadaan DPD yang dilahirkan sudah cacat
bawaan, mestinya MPR segera sadar merekonstruksi dan merevitalisasi lembaga negara berboneka tersebut. Eksistensi DPD jangan terus ditelantarkan (diambangkan), sekedar untuk mainan politik, yang mengakibatkan organ kelembagaan ini bekerjanya menjadi liar.
Jangan biarkan energi anggota DPD berkuras mengerjakan hal-hal yang tidak substansial dan manfaatnya tidak ada sama sekali untuk kepentingan
rakyat, negara-bangsa.
Jika DPD dibubarkan,
sesungguhnya DPR ataukah DPD yang murung?. Bisa kedua-duanya.
Pasalnya, DPR sendiri menginginkan DPD tetap survive, meski DPD nihil
kewenangan. Udang dibalik batunya, jika sewaktu-waktu anggota DPR sudah tidak
laku di partai politik, dapat loncat ke DPD. Pihak yang paling kelojotan dengan
bubarnya DPD, sesungguhnya adalah anggota
DPD itu sendiri, bagaimana pun, DPD tidak mau lembaga negaranya dibubarkan secara dramatis, meski senyatanya tidak
memiliki kewenangan apa pun. Bagi anggota DPD, tentu tak mau kehilangan sawah subur
yang dipaneninya setiap bulan. Fenomena itu sekedar menggambarkan permainan kepentingan
elite politik, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan
rakyat. Dibalik kemubadziran DPD, pada hakekatnya yang sengsara adalah rakyat. Bersebab, pajak dari uang rakyat yang
disetor ke kas negara, sebagian dipergunakan untuk membiayai mahal kegiatan
DPD, tetapi tidak memiliki arti sama sekali (meaningless).
Sejak
DPD dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal
22C jo. Pasal 22D UUD 1945, yang diputuskan dalam rapat
paripurna MPR ke- 7 (lanjutan 2) pada tanggal 9 Nopember 2001, kini, para anggotanya
baru sadar, kelembagaannya hanya
dijadikan assessories dalam sistem
ketatanegaraan.
DPD dilahirkan, tetapi hanya
dipasangi napas buatan oleh MPR tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh
konstitusi dalam bentuk pengaturan
(regelling). Ketidakberdayaan DPD dapat diteliti di
dalam Pasal 22D UUD 1945, hanya ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Selama ini, DPD terlalu asyik berpolitik kepura-puraan (komunikasi
prior ethos). Sebagai
lembaga negara berdasarkan UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD (MD3), DPD adalah salahsatu rumpun legislatif. Tetapi anehnya, DPD yang dirumpunkan legislatif itu, tidak ikut memutuskan UU bersama DPR dan pemerintah. Keterpasungan DPD oleh konstitusi, diperparah lagi dengan
sikap para anggotanya yang masa bodoh tidak berakselerasi gebrakan-gebrakan
politik untuk kepentingan rakyat, negara-bangsa. Selama ini, DPD terpaku hanya menjalankan tugas
rutinitas sebagaimana teks redaksional semantik konstitusi. Keringat DPD yang dikucurkan deras, dipastikan tidak memiliki makna apa-apa (meaningless). Produk DPD, hanyalah tumpukan-tumpukan
kertas menggunung. Ia hanyalah lembaga negara penghias, jika pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti, tidaklah memiliki implikasi yuridis. Sesungguhnya, DPD adalah
lembaga negara yang ditempatkan bagian terkecil (genre) dari bagian ketatanegaraan trikameral (genus), yaitu MPR dan DPR. Jika DPR
diberikan kewenangan bersama pemerintah memutuskan UU, maka MPR diberikan kewenangan untuk mengubah dan
menetapkan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah kewenangan DPD?. Cuma pertimbangan?.
Lantas, apa beda DPA
dengan DPD?.
Amendemen Konstitusi Berhasil Jika DPR
Ikhlas
Andai DPD dapat menembus
amendemen konstitusi, lembaga ini memiliki kewenangan
nyata ikut memutuskan UU bersama DPR. Tetapi, penguatan DPD berdampak kepada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal lain, penguatan DPD, berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dimana, ketika DPD
bergabung dengan DPR membuat UU,
sejatinya, dalam sidang tersebut telah berbentuk
cluster bernama MPR sebagai sidang joint session (gabungan DPR dengan DPD). Padahal kewenangan MPR itu bukan membentuk UU (Pasal 3 UUD 1945). Namun, kebalikannya,
jika MPR tetap menelikung peran
DPD, lembaga negara tersebut selamanya tetap menjadi duri dalam daging konstitusi. Inilah buah simalakama. Jika DPD
diperkuat, berdampak di konstitusi,
kebalikannya, jika hanya dijadikan keassessorisan, lembaga negara ini dipastikan mubadzir. Perubahan yang paling tepat dilakukan oleh MPR adalah membubarkan
DPD, karena keberadaan DPD selama ini tidak berguna sama sekali. Sesungguhnya, jikalau mau, anggota DPR berjumlah 560 menjelma MPR, “memasuki ruang
sidang majelis”, sudah bisa membuat DPD “terkapar” (bubar), sekalipun tanpa kehadiran
seluruh anggota DPD yang juga anggota MPR.
Usulan perubahan kelima konstitusi jilid I, yang digagas DPD telah mendapatkan dukungan 238 anggota MPR. Usulan amendemen tersebut telah diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007 untuk
ditindaklanjuti. Dalam
perkembangannya, usulan
dukungan amendemen terjadi tarik ulur kepentingan (fluktuatif). Ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amendemen kempes tinggal
204 anggota. Pendek kata, secara sepihak Pimpinan MPR menghentikan langkah usulan perubahan konstitusi yang diusung DPD. DPD akhirnya tak
berdaya mendapati serangan mematikan tiba-tiba ini. Halusinasi amendemen gagal total dan DPD gigit jari. Sikap yang dipertontonkan Pimpinan MPR ketika itu jelas tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Hal ini, bermula
dari hasil rapat Gabungan Pimpinan MPR yang ngacau pada tanggal 22 Mei 2007, memberikan tenggat waktu penarikan atau
menambah dukungan usulan amendemen sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB. Tenggat waktu akal-akalan itu, sebenarnya DPD lah yang dirugikan. Ada indikasi kuat, MPR sengaja
mengulur-ulur waktu untuk menggagalkan usulan perubahan konstitusi terkait penguatan DPD. DPR (mayoritas di Pimpinan
MPR), memiliki kepentingan politik dibalik penjegalan amendemen itu. Cara berpikir MPR ketika itu ngacau,
sebab, batas waktu penarikan/penambahan dukungan usulan perubahan konstitusi itu
tidak diatur di konstitusi maupun di mekanisme Peraturan Tata Tertib MPR. Anehnya, pihak DPD yang dirugikan itu, diam seribu
bahasa. Dengan dukungan klimaks 238 anggota MPR ketika itu, semestinya Pimpinan MPR sudah dapat menyelenggarakan sidang majelis dengan agenda perubahan konstitusi, karena syarat 1/3 usulan perubahan telah terpenuhi,
soal kourum, atau tidak, itu urusan berikutnya. Kesimpulannya, kunci keberhasilan usulan amendemen
konstitusi, ditentukan keikhlasan hati 560 anggota DPR yang juga merangkap MPR.
Pada hakekatnya, setiap anggota DPR itu bukan mewakili, atau bertindak untuk dan
atas nama fraksinya, atau partainya. Jadi, anggota DPR tidak perlu takut mendukung
amendemen meski berseberangan
kepentingan dengan partainya. Kedudukan
anggota Majelis melakukan perubahan UUD, bersifat individual yang dijamin UU, maupun UUD 1945
(teliti KUHPerdata Pasal
1338 jo. Pasal 1320 dan Pasal 37 UUD 1945).
Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?.
Pasal 7C UUD 1945
menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan
dan/membubarkan DPR”. Rumusan pasal tersebut suatu kekhilafan, keteledoran,
ataukah kesengajaan?. Bunyi teks redaksional tafsir bersayap konstitusi ini sangat
membahayakan eksistensi DPD. Pertanyaannya, dapatkah secara hukum Presiden
membubarkan DPD?. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, bergantung lembaga negara
manakah yang menafsirkan dibalik kepentingan politik didalamnya. Jika Pasal 7C
UUD 1945 tersebut ditafsir oleh pihak
DPD, sudah barang tentu, disengajamaknai Presiden selain tak boleh membubarkan
DPR, juga diharamkan membubarkan DPD. Bukankah DPD tak mau bunuh diri?. Namun, jika
rumusan tersebut dikaji, ditelaah hati-hati, teliti, saksama dan
sungguh-sungguh oleh peneliti konstitusi dan ketatanegaraan, akan ketemu penafsiran
teleologis, yang mendekatkan kepada
tujuan dan maksud sesungguhnya perumus konstitusi, yakni tidak adanya pelarangan pembubaran DPD
oleh Presiden. Namun, jika Presiden bernyali membubarkan DPD, akan terjadi kontroversi seru mengenai legal tidaknya
aksi nekat Presiden tersebut. Selain itu, dipastikan akan berdampak krisis
konstitusi. Kebalikannya, jika rumusan tersebut dimaknai Presiden tidak dapat membubarkan DPD, jawaban itu terlalu naif, kita tidak belajar dari kasus Presiden
Abdurrahman Wahid yang gagah berani membubarkan MPR/DPR pada tahun 2001.
Pertimbangan Gusdur, aksi nekatnya
membubarkan parlemen karena tidak ada larangan dalam pasal-pasal, melainkan cuma di penjelasan
UUD 1945. Sempat terjadi perdebatan sengit, apakah penjelasan itu bagian dari
hukum, atau bukan. Meski secara sporadis, akhirnya Gusdur bernasib tragis
dipaksa turun dari jabatan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR, namun, kehebatan
dan keberanian Gusdur patut diacungi jempol, terlepas akrobatik hukum yang
dilakukannya. Konstitusi adalah staats
fundamental norm, berisi dokumen
hukum dan politik resmi dari suatu Negara, berisi kesepakatan-kesepakatan pokok
tentang Negara, mengatur mengenai organisasi Negara, kekuasaan lembaga Negara,
hubungan antar lembaga Negara. Pasca amendemen, UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan
dan pasal-pasal, sedangkan penjelasan yang memuat hal-hal yang bersifat
normatif telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
Kesimpulannya, sepanjang pasal-pasal tidak mengatur larangan pembubaran DPD, maka
Presiden dengan pemikiran progressif, jika berkehendak dapat membubarkan DPD.
Tuan-tuan anggota MPR yang terhormat. Cobalah Tuan-tuan berhati dan memahami hukum
ketatanegaraan. Periksa dan teliti ulang keberadaan DPD dengan cermat. Agar keberadaan DPD tidak menjadi beban
anggaran negara terus-menerus, karyanya tidak dinistakan dan dimubadzirkan, janganlah tuan-tuan mengotori menuliskan tinta keberadaan
DPD di konstitusi. Sayangilah undang-undang dasar Tuan-tuan sendiri, ukirlah
cairan penamu yang indah di konstitusi untuk anak-anak bangsa.
Untuk Tuan Presiden yang bermulia.
Melihat DPD yang tiada berdaya dan tiada berguna ini, bagaimanakah hati dan
perasaan Tuan?. Apakah Tuan Presiden hanya ingin menjadi penonton
setia?. Dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang tidak mencantumkan secara
eksplisit larangan Presiden membubarkan DPD, demi untuk menyelamatkan kepentingan
negara-bangsa, serta dalam rangka menghemat anggaran negara, beranikah Tuan Presiden
dengan pemikiran progressif membubarkan DPD?. Hanya Tuan Presiden yang bisa
diharap membubarkan DPD. Menunggu MPR membubarkan DPD hampir mustahil dilakukan,
meski kewenangan pembubaran DPD secara normatif ada pada lembaga negara
tersebut. Tersebab, di dalam tubuh MPR ada mayoritas anggota DPR yang memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu dibalik keberadaan DPD.