Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat sudah digelar 9
Juli 2014 untuk kali ketiga di era reformasi ini. Sebelumnya, dilaksanakan pada
tahun 2004 dan 2009. Dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden: Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa Versus Joko Widodo-Jusuf Kalla, bertarung sengit dan
habis-habisan untuk merebut hati rakyat.
Sebagai
dosen yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, saya memberikan kebebasan kepada
keluarga untuk memilih sekehendak hatinya. Kami, pasangan keluarga terdiri dari
suami-istri, satu anak perempuan yang masih duduk di kelas 9 SMP, dan satu anak laki-laki kelas 6 SD, masing-masing
berbeda pendapat dalam hal menjatuhkan pilihan
hati kepada kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketika saya
bertanya kepada anak perempuan: “Siapakah calon Presiden dan Wakil Presiden yang
akan dipilih”?, dia menjawab: “Prabowo Subianto-Hatta Rajasa”, alasannya, Prabowo
cerdas, tegas dan pemberani, ditambah dapat menjaga keutuhan NKRI. Selanjutnya,
giliran saya bertanya kepada anak laki-laki: “Siapakah gerangan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih”?, dia menjawab: “Joko
Widodo-Jusuf Kalla”, ketika saya bertanya alasannya tidak tahu, tetapi akhirnya
menjawab juga, Jokowi orangnya santun, terlihat sederhana juga pembawaannya
alamiah (apa adanya). Sayang, kepada kedua anak saya yang berbeda pendapat tersebut
belum memiliki hak pilih.
Berbeda,
ketika saya bertanya kepada istri: “Siapakah Presiden dan Wakil Presiden yang
akan ibu pilih”? Dia menjawab: “Prabowo Subianto-Hatta Rajasa”, alasannya,
hampir sama dengan anak perempuan, selain tegas, gagah pemberani juga berjanji akan
mengembalikan aset-aset nasional yang telah dijarah asing. Kini, giliran istri yang
bertanya kepada saya: “Kalau bapak sebenarnya milih yang mana”? Saya katakan
kepada istri: “Untuk saat ini, putra terbaik bangsa adalah Joko Widodo-Jusuf
Kalla”, alasannya, selain sama seperti yang disebutkan anak laki-laki, saya
tambahkan, bahwa Joko Widodo meski badannya kecil, tapi trengginas, kalem,
tegas dan berani menyatakan koalisi tanpa syarat, bebas menentukan menteri-menterinya
dari imbalan partai politik, selain itu bebas dari problem masa lalu. Dalam
hati saya membatin, dalam perspektif ilmu politik dan ilmu pemerintahan, hampir mustahil yang namanya koalisi bebas tanpa
syarat. Istri sempat tidak setuju dengan pendapat saya. Lalu istri bertanya
lagi: “Jadi siapakah yang harus saya pilih pak”?. Saya menjawab: “Terserah hati
nurani ibu, boleh kita berbeda pendapat meski suami istri!”.
Sebelum
berangkat mencoblos ke TPS untuk menjatuhkan pilihan, istri saya pamit tidur
dulu sebentar. Kisah ini nyata: aneh bin ajaib sekali! ketika setengah tidur itu, istri saya
berteriak-teriak memanggil saya, bahwa baru saja bermimpi untuk memilih Jokowi menjadi
presiden. Kontan saja saya dibuatnya kaget perubahan dramatis istri memilih
Presiden. Singkatnya, pada akhirnya saya dan istri bersama-sama ke bilik suara memilih
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama.
Pak
Jokowi, Istri saya adalah seorang PNS, dalam perjalanan pemerintahan pak Jokowi,
gaji ke-13 dan rapel kenaikan gaji tahun kemarin dirasakan lambat cairnya. Pada
awal pokok persoalan itu, istri mulai mengeluh dan komplain kepada saya: “Bapak
sih yang nyuruh-nyuruh saya memilih Jokowi, jadinya ya begini, nyesel aku!”.
Saya jelaskan, tugas presiden itu numpuk dan berat, karena kesibukannya barangkali
PP nya belum bisa menandatangani sebagai dasar hukumnya, sabar ya bu!. Saya
tambahkan: “bahwa ibu sendiri yang berubah pilihan dari memilih Prabowo menjadi
memilih Jokowi, ibu nggak memilih Jokowi, atau satu perumahan ini nggak memilih
Jokowi tetap akan jadi Presiden!”. Begitulah pak Jokowi, saya pernah ribut
kecil-kecilan dengan istri, hanya soal sepele jagoan saya yang sekarang menjadi
presiden dianggap tidak cekatan.
Pak
Jokowi yang berhormat, yang memilih bapak jadi Presiden RI itu tentunya bukan dari
keluarga saya saja, ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia terpana
dan “tersihir” menjatuhkan pilihan hati kepada
bapak dengan harapan, selain bapak perhatian kepada PNS, utamanya perhatian kepada
rakyat kecil dengan cara menstabilkan harga-harga di pasaran yang kian hari
kian meroket harganya. Kini, rakyat sudah banyak lapar, tidak butuh pencitraan
butuh bukti konkret agar pemerintah melaksanakan kewajiban mensejahterakan
rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.