Jumat, 04 September 2015

Manajemen Gerudugan, atau Latah?





                                                                                  

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003
  

                 
Penulis opini di Kompas, Sdr Roch Basoeki Mangoenpoerojo, pada 29 Juli 2015 dengan Judul: “Manajemen Gerudugan”, menggambarkan fenomena gegernya pemberitaan Budi Gunawan, digeser kehebohan dugaan gelar doktor palsu anggota DPR Fraksi Hanura, Frans Agung Mula Putra, berikutnya, dugaan gelar doktor palsu hilang ditindih berita teranyar yang lebih menggemparkan khalayak, ditandai hilangnya rasa kemanusiaan tentang kematian bocah imut bernama Engeline. Penulis opini menganalogikan hal-hal seperti itu sebagai pertandingan sepakbola, yang tim kesebelasan semua berlarian menuju arah bola, menurut sang penulis inilah yang disebut dengan manajemen gerudukan.
 Sebenarnya tidak pas fenomena kutu loncat penanganan masalah tersebut menggambarkan manajemen gerudugan sebagai anak bangsa yang ikut arus dalam menyelesaikan setiap persoalan teranyar. Yang tepat, situasi tersebut menggambarkan betapa rapuhnya Negara ini tidak fokus mengelola manajemen pemerintahan dengan baik dengan ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernology), sehingga yang terjadi lahirlah Negara dengan “manajemen latah”. Kata “latah” menurut (artikata.com)  bermakna menderita sakit saraf, dengan meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Sifat latah sebagai tanda anak bangsa tidak memiliki inovasi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara terstruktur dan terintegrasi. Sehingga ketika ada pemberitaan baru yang menghebohkan masyarakat, semuanya nyontek beramai-ramai ingin menyelesaikan, tidak peduli wilayah kewenangannya atau bukan. Sementara, tujuan utama bernegara untuk mensejahterakan rakyat, justru abai dilaksanakan.
Tak Ada Lagi GBHN
Penulis opini tidak lengkap dalam memberikan argumentasi tulisannya, terlebih soal belum pahamnya status hukum GBHN. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya dikelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)  termasuk kelompok bagian ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Kedudukan MPR Pasca Amandemen UUD 1945
Kewenangan MPR pasca perubahan UUD 1945, yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan Ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Dahsyatnya pemberitaan tragis kematian Engeline saban hari, didiskusikan melalui obrolan di warung kopi, dunia akademis bahkan mendapat simpati meluas dari pejabat negara, itu semua akibat peran media masa, baik cetak maupun elektronik dengan gencar-gencarnya mampu memainkan fungsinya sebagai kontrol sosial. Meski sama-sama memiliki bobot pemberitaan menghebohkan, tetapi ketiganya direaksi publik dengan sikap kontras.  Bedanya, jika kasus Budi Gunawan masyarakat skeptis, maka untuk dugaan gelar doktor palsu anggota DPR, mendapatkan cibiran, cercaan dan hinaan dari masyarakat luas, jika benar menggunakan gelar doktor palsu. Berbeda dengan kematian bocah bernama Angeline, mendapatkan simpati  meluas dari publik.
Sidang Bareng Saya
Membaca berita pada hari Selasa 26 Mei lalu, ihwal anggota DPR Fraksi Hanura, Frans Agung Mula Putra dilaporkan mantan stafnya Denti Noviany Sari dengan tuduhan memakai gelar Doktor palsu, mendapati informasi dari gedung bulat  itu, kontan saya terperanjat, hampir-hampir tidak percaya dibuatnya. Pasalnya, sebelumnya, pada hari Rabu tanggal 8 April lalu saya berlima termasuk anggota DPR yang sedang dihebohkan itu menunggu antrian ujian sidang dihadapan para Profesor, kami menempuh Program Doktor Ilmu Pemerintahan di Universitas Satyagama, Jakarta.
Meski saya tidak seangkatan dengan anggota DPR tersebut, sebelum memasuki ruangan sidang ujian, kami berkumpul di suatu ruangan untuk diskusi mengenai kisi-kisi ujian yang akan ditanyakan oleh profesor. Meminjam istilah Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), kami berlima  saling berkenalan satu sama lain. Peserta ujian sidang diwajibkan memakai pakaian rapi berjas dan berdasi. Namun, dalam suasana ujian tersebut nampaknya ada pemandangan yang agak berbeda dari biasanya. Meski, kami berlima sama-sama memakai jas dan berdasi, terlihat ada salah satu peserta ujian yang memakai jas berlogo pin DPR sebelum memasuki ruangan sidang didampingi beberapa Aspri (asisten pribadi) yang diluaran hilir mudik. Dalam hati saya, ini anggota DPR, tetapi, mengapa kegiatan akademik dicampuradukkan dengan membawa-bawa Aspri segala. Demikian saya membatin. Saya tahu betul arti logo lambang anggota DPR karena saya pernah bekerja di Sekretariat Jenderal MPR menjadi PNS selama sebelas tahun, jadi saya tidak asing dengan logo itu. Hanya saja saya pura-pura tidak tahu akan arti logo yang disematkan di jas. Terlihat raut wajah anggota DPR itu masih muda sekali, saya bertanya: ”Mas anggota DPR-RI atau DPRD?. Dia menjawab “anggota DPR” lantas anggota DPR itu merogoh dompetnya memberikan kartu nama kepada saya. Pemberitaan heboh anggota DPR yang diduga memakai gelar Doktor palsu membuat saya penasaran, saya cari-cari kartu nama yang pernah dibagikan kepada saya, sempat terselip di dompet, akhirnya ketemu juga. Setelah saya baca dengan saksama, di kartu nama itu, sejujurnya tidak mencantumkan gelar Doktor, bahkan tidak mencantumkan gelar apa pun. Di kartu nama lengkapnya tertulis: “Frans Agung MP Natamenggala”, Anggota DPR/MPR-RI No. A-549 Komisi II, periode 2014-2019. Bisa jadi, memang tidak mencantumkan gelar doktor, sebab, kartu nama dibagikan kepada rekan-rekan yang sama-sama masih menempuh program doktoral. Tetapi, diluaran sana tentu saya tidak tahu, benar atau tidaknya dugaan stafnya, bahwa bosnya telah menggunakan gelar doktor palsu.
 Kami berlima menunggu panggilan memasuki ruangan sidang ujian dihadapan profesor, saya mendapatkan urutan paling buncit diantara kelima peserta untuk  ujian babak pertama pra kualifikasi. Sedangkan, anggota DPR itu sudah memasuki tahap kedua ujian SUP (Seminar Usulan Penelitian) dengan mendapatkan antrian ketiga. Untuk memperoleh gelar doktor ini memang luar biasa berat perjuangannya, tahapan yang harus dilalui selain teori sudah lulus semua, masih ada lima tahapan tembok raksasa yang harus ditembus yaitu, pertama, ujian pra kualifikasi, kedua, SUP (Seminar Usulan Penelitian), ketiga, SHP (Seminar Hasil Penelitian), keempat, Ujian Disertasi Tertutup, kelima, ujian Disertasi Terbuka. Di ujian terbuka inilah jika promovendus dalam Yudisium dinyatakan lulus, baru secara sah berhak menyandang gelar doktor. Namun demikian, pada umumnya universitas yang membuka program S3 (doktoral), jika mahasiswanya sudah lulus ujian pra kualifikasi, akan diberikan sertifikat dengan Gelar Dr (c), atau kandidat doktor. Oleh karena itu, jika anggota DPR tersebut di kartu nama atau kegiatan-kegiatan persidangan hanya mencantumkan kandidat doktor, dalam batas penalaran logis dapat dibenarkan. Namun sebaliknya, jika anggota DPR tersebut benar sudah mencantumkan gelar Doktor, baik di kartu nama atau di acara-acara ketatanegaraan resmi, maka itu  pelanggaran berat karena yang bersangkutan belum lulus tahapan-tahapan memperoleh gelar  doktor.
Kerapuhan Administrasi Setjen DPR-RI
Jika benar anggota DPR tersebut  dalam absensi persidangan, baik di rapat komisi-komisi atau rapat paripurna sudah mencantumkan gelar Doktor, yang harus dipersalahkan dan dinilai amburadul tata kelola administrasinya adalah Bagian Keanggotaan Dewan dan Fraksi Biro Keanggotaan dan Kepegawaian Sekretariat Jenderal DPR-RI. Mestinya, ketika anggota DPR  terpilih gelarnya mengalami  perubahan tidak sesuai data di KPU (Komisi Pemilihan Umum), maka anggota DPR yang bersangkutan wajib melampirkan ijasah yang baru diperolehnya, tidak bisa hanya mengutus Aspri (asisten pribadi) atau TA (tenaga ahli) mengirim  memberikan memo kepada bagian Keanggotaan dan Kepegawaian untuk menambahkan gelar tanpa melampirkan ijasah. Ini fatal sekali.
Semoga dugaan tidak memakai gelar Doktor palsu, dapat dibuktikan dihadapan MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Sebab, dugaan kuat latar belakang asisten pribadinya melaporkan bosnya memakai gelar doktor palsu, hanyalah sebagai tumpangan kasus, yang  konflik utamanya diberhentikan bekerja secara sepihak.
Agar Negara-bangsa tidak dicap memiliki manajemen latah, maka pemerintah harus fokus pada penyelesaian tujuan bernegara, utamanya upaya mensejahterakan rakyat Indonesia. Jangan sampai Negara memiliki manajemen warteg dan latah, seperti, adanya berita Budi Gunawan yang lenyap menghilang bak ditelan bumi, lalu beralih ke dugaan gelar doktor palsu anggota DPR, kemudian tergerus kehebohan berita kematian bocah bernama Engeline.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Bangga Anak Saya Diterima di IPB Jurusan Kimia

  Siapa orang tua yang tidak bangga dan terharu anaknya dapat diterima di PTN ternama. Hari yang membanggakan pada tahun 2016 itu akhirnya t...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19