Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen
Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat
Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim
Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007,
Juara
I Lomba Pidato MPR/DPR Tahun 2003
Penulis opini di Kompas, Sdr Roch Basoeki Mangoenpoerojo, pada 29 Juli
2015 dengan Judul: “Manajemen Gerudugan”, menggambarkan fenomena gegernya
pemberitaan Budi Gunawan, digeser kehebohan dugaan gelar doktor palsu anggota
DPR Fraksi Hanura, Frans Agung Mula Putra, berikutnya, dugaan gelar doktor
palsu hilang ditindih berita teranyar yang lebih menggemparkan khalayak, ditandai
hilangnya rasa kemanusiaan tentang kematian bocah imut bernama Engeline.
Penulis opini menganalogikan hal-hal seperti itu sebagai pertandingan
sepakbola, yang tim kesebelasan semua berlarian menuju arah bola, menurut sang
penulis inilah yang disebut dengan manajemen gerudukan.
Sebenarnya tidak pas fenomena
kutu loncat penanganan masalah tersebut menggambarkan manajemen gerudugan sebagai
anak bangsa yang ikut arus dalam menyelesaikan setiap persoalan teranyar. Yang
tepat, situasi tersebut menggambarkan betapa rapuhnya Negara ini tidak fokus
mengelola manajemen pemerintahan dengan baik dengan ilmu pemerintahan
berparadigma baru (kybernology), sehingga
yang terjadi lahirlah Negara dengan “manajemen latah”. Kata “latah” menurut (artikata.com) bermakna menderita sakit saraf, dengan
meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Sifat latah sebagai tanda anak
bangsa tidak memiliki inovasi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara
terstruktur dan terintegrasi. Sehingga ketika ada pemberitaan baru yang
menghebohkan masyarakat, semuanya nyontek beramai-ramai ingin menyelesaikan,
tidak peduli wilayah kewenangannya atau bukan. Sementara, tujuan utama bernegara
untuk mensejahterakan rakyat, justru abai dilaksanakan.
Tak Ada Lagi GBHN
Penulis opini tidak lengkap dalam memberikan argumentasi tulisannya,
terlebih soal belum pahamnya status hukum GBHN. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS
dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status
Hukumnya dikelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu
2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang
dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru
oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan
tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final
(einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
TAP MPR No IV/MPR/199, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) termasuk kelompok bagian ketiga yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN
tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Kedudukan MPR Pasca Amandemen UUD 1945
Kewenangan MPR pasca
perubahan UUD 1945, yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat
mengeluarkan Ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden;
memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan
Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Dahsyatnya pemberitaan
tragis kematian Engeline saban hari, didiskusikan melalui obrolan di warung
kopi, dunia akademis bahkan mendapat simpati meluas dari pejabat negara, itu
semua akibat peran media masa, baik cetak maupun elektronik dengan
gencar-gencarnya mampu memainkan fungsinya sebagai kontrol sosial. Meski
sama-sama memiliki bobot pemberitaan menghebohkan, tetapi ketiganya direaksi
publik dengan sikap kontras. Bedanya, jika
kasus Budi Gunawan masyarakat skeptis, maka untuk dugaan gelar doktor palsu
anggota DPR, mendapatkan cibiran, cercaan dan hinaan dari masyarakat luas, jika
benar menggunakan gelar doktor palsu. Berbeda dengan kematian bocah bernama Angeline,
mendapatkan simpati meluas dari publik.
Sidang Bareng Saya
Membaca
berita pada hari Selasa 26 Mei lalu, ihwal anggota DPR Fraksi Hanura, Frans
Agung Mula Putra dilaporkan mantan stafnya Denti Noviany Sari dengan tuduhan memakai
gelar Doktor palsu, mendapati informasi dari gedung bulat itu, kontan saya terperanjat, hampir-hampir tidak
percaya dibuatnya. Pasalnya, sebelumnya, pada hari Rabu tanggal 8 April lalu saya
berlima termasuk anggota DPR yang sedang dihebohkan itu menunggu antrian ujian sidang
dihadapan para Profesor, kami menempuh Program Doktor Ilmu Pemerintahan di
Universitas Satyagama, Jakarta.
Meski
saya tidak seangkatan dengan anggota DPR tersebut, sebelum memasuki ruangan
sidang ujian, kami berkumpul di suatu ruangan untuk diskusi mengenai kisi-kisi
ujian yang akan ditanyakan oleh profesor. Meminjam istilah Aristoteles bahwa
manusia adalah makhluk sosial (zoon
politicon), kami berlima saling berkenalan
satu sama lain. Peserta ujian sidang diwajibkan memakai pakaian rapi berjas dan
berdasi. Namun, dalam suasana ujian tersebut nampaknya ada pemandangan yang agak
berbeda dari biasanya. Meski, kami berlima sama-sama memakai jas dan berdasi, terlihat
ada salah satu peserta ujian yang memakai jas berlogo pin DPR sebelum memasuki
ruangan sidang didampingi beberapa Aspri (asisten pribadi) yang diluaran hilir
mudik. Dalam hati saya, ini anggota DPR, tetapi, mengapa kegiatan akademik dicampuradukkan
dengan membawa-bawa Aspri segala. Demikian saya membatin. Saya tahu betul arti logo
lambang anggota DPR karena saya pernah bekerja di Sekretariat Jenderal MPR menjadi
PNS selama sebelas tahun, jadi saya tidak asing dengan logo itu. Hanya saja saya
pura-pura tidak tahu akan arti logo yang disematkan di jas. Terlihat raut wajah
anggota DPR itu masih muda sekali, saya bertanya: ”Mas anggota DPR-RI atau
DPRD?. Dia menjawab “anggota DPR” lantas anggota DPR itu merogoh dompetnya memberikan
kartu nama kepada saya. Pemberitaan heboh anggota DPR yang diduga memakai gelar
Doktor palsu membuat saya penasaran, saya cari-cari kartu nama yang pernah dibagikan
kepada saya, sempat terselip di dompet, akhirnya ketemu juga. Setelah saya baca
dengan saksama, di kartu nama itu, sejujurnya tidak mencantumkan gelar Doktor,
bahkan tidak mencantumkan gelar apa pun. Di kartu nama lengkapnya tertulis:
“Frans Agung MP Natamenggala”, Anggota DPR/MPR-RI No. A-549 Komisi II, periode
2014-2019. Bisa jadi, memang tidak mencantumkan gelar doktor, sebab, kartu nama
dibagikan kepada rekan-rekan yang sama-sama masih menempuh program doktoral.
Tetapi, diluaran sana tentu saya tidak tahu, benar atau tidaknya dugaan
stafnya, bahwa bosnya telah menggunakan gelar doktor palsu.
Kami berlima menunggu panggilan memasuki ruangan
sidang ujian dihadapan profesor, saya mendapatkan urutan paling buncit diantara
kelima peserta untuk ujian babak pertama
pra kualifikasi. Sedangkan, anggota DPR itu sudah memasuki tahap kedua ujian
SUP (Seminar Usulan Penelitian) dengan mendapatkan antrian ketiga. Untuk
memperoleh gelar doktor ini memang luar biasa berat perjuangannya, tahapan yang
harus dilalui selain teori sudah lulus semua, masih ada lima tahapan tembok
raksasa yang harus ditembus yaitu, pertama, ujian pra kualifikasi, kedua, SUP (Seminar
Usulan Penelitian), ketiga, SHP (Seminar Hasil Penelitian), keempat, Ujian
Disertasi Tertutup, kelima, ujian Disertasi Terbuka. Di ujian terbuka inilah
jika promovendus dalam Yudisium dinyatakan lulus, baru secara sah berhak
menyandang gelar doktor. Namun demikian, pada umumnya universitas yang membuka
program S3 (doktoral), jika mahasiswanya sudah lulus ujian pra kualifikasi,
akan diberikan sertifikat dengan Gelar Dr (c), atau kandidat doktor. Oleh
karena itu, jika anggota DPR tersebut di kartu nama atau kegiatan-kegiatan
persidangan hanya mencantumkan kandidat doktor, dalam batas penalaran logis dapat
dibenarkan. Namun sebaliknya, jika anggota DPR tersebut benar sudah mencantumkan
gelar Doktor, baik di kartu nama atau di acara-acara ketatanegaraan resmi, maka
itu pelanggaran berat karena yang
bersangkutan belum lulus tahapan-tahapan memperoleh gelar doktor.
Kerapuhan
Administrasi Setjen DPR-RI
Jika benar anggota DPR
tersebut dalam absensi persidangan, baik
di rapat komisi-komisi atau rapat paripurna sudah mencantumkan gelar Doktor, yang
harus dipersalahkan dan dinilai amburadul tata kelola administrasinya adalah Bagian
Keanggotaan Dewan dan Fraksi Biro Keanggotaan dan Kepegawaian Sekretariat
Jenderal DPR-RI. Mestinya, ketika anggota DPR terpilih gelarnya mengalami perubahan tidak sesuai data di KPU (Komisi
Pemilihan Umum), maka anggota DPR yang bersangkutan wajib melampirkan ijasah yang
baru diperolehnya, tidak bisa hanya mengutus Aspri (asisten pribadi) atau TA
(tenaga ahli) mengirim memberikan memo
kepada bagian Keanggotaan dan Kepegawaian untuk menambahkan gelar tanpa
melampirkan ijasah. Ini fatal sekali.
Semoga
dugaan tidak memakai gelar Doktor palsu, dapat dibuktikan dihadapan MKD (Mahkamah
Kehormatan Dewan). Sebab, dugaan kuat latar belakang asisten pribadinya
melaporkan bosnya memakai gelar doktor palsu, hanyalah sebagai tumpangan kasus,
yang konflik utamanya diberhentikan bekerja
secara sepihak.
Agar
Negara-bangsa tidak dicap memiliki manajemen latah, maka pemerintah harus fokus
pada penyelesaian tujuan bernegara, utamanya upaya mensejahterakan rakyat
Indonesia. Jangan sampai Negara memiliki manajemen warteg dan latah, seperti, adanya
berita Budi Gunawan yang lenyap menghilang bak ditelan bumi, lalu beralih ke
dugaan gelar doktor palsu anggota DPR, kemudian tergerus kehebohan berita
kematian bocah bernama Engeline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.