Selasa, 27 Agustus 2019

PINDAHLAH IBUKOTA NEGARA INDONESIA ASAL TIDAK MELANGGAR KONSTITUSI


   Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

                                      Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta                                         Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


   

Gaduh wacana pemindahan ibukota negara dari periode ke periode masa jabatan Presiden Republik Indonesia tak berkesudahan. Saatnya Presiden Joko Widodo memimpin negeri ini, nampaknya niat untuk merealisasikan pemindahan ibukota ke Kalimantan akan diseriusi, wajar  usulan ini  pun menuai  pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

   Sesungguhnya usulan pemindahan ibu kota negara ini sudah digulirkan mulai dari Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, (usulan ibukota di Palangkaraya), Soeharto, (menetapkan ibukota alternatif ke Jonggol melalui Keppres 1 Tahun 1997), BJ. Habibie, ( Mengusulkan ibukota pindah Sidrap, Sulawesi Selatan), Susilo Bambang Yudhoyono (mengusulkan Banyumas, Purwokerto, Jawa-Tengah). https://www.kompasiana.com/babomoggi/5cd26e4295760e6c05055b62/5-presiden-pernah-wacanakan-pemindahan-ibukota-negara-siapa-saja-mereka?page=2,  dan terakhir  ini Joko Widodo (mengusulkan ibukota negara ke Kalimantan). https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan.

   Mengapa wacana pemindahan ibukota negara yang sudah lama ini sulit dikonkretkan?. Pertama, sejak amandemen UUD 1945 dimulai tahun 1999-2002 negeri ini tidak memiliki lagi GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dalam rangka menjalankan haluan negara yang terstuktur dan sistematis untuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan ke depan termasuk didalamnya mengatur pola perpindahan ibukota Negara. Dampak GBHN yang ditiadakan, akibatnya setiap pergantian pemimpin nasional wacana pemindahan ibukota selalu mengemuka oleh Presiden lebih ironisnya lagi, setiap pemimpin negeri ini memilki pemilihan tempat pemindahan ibukota yang berbeda-beda.

   Sebaiknya kepindahan ibukota negara tidak dapat diputuskan hanya melalui pembentukan undang-undang atas persetujuan bersama antara presiden dengan DPR, hal-hal yang menyangkut kebijakan strategis simbol-simbol negara untuk kepentingan rakyat negara-bangsa harus diambil putusan melalui forum musyawarah yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR harus menggelar sidang istimewa untuk menentukan perlu tidaknya nasib ibukota negara pindah dari Jakarta ke kota-kota yang disepakati dalam sidang MPR. Hasil keputusan itu dituangkan dalam bentuk Ketetapan MPR (TAP MPR) yang merupakan bagian tata perundang-undangan dibawah UUD 1945, bentuk TAP MPR ini lebih kuat ketimbang melalui undang-undang.

   Jika pemindahan ibukota dilandasi dengan argumentasi Jakarta sudah sarat dengan beban, terjadi kesenjangan antara jawa dengan luar jawa karena Jakarta selain sebagai ibukota negara juga pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat keuangan, pusat bisnis, dan juga karena alasan Jawa sarat beban penduduk (https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan), maka alasan ini kurang tepat. Begitu pula jika  pemindahan karena alasan untuk pemerataan ekonomi juga kurang berdasar, sebab untuk pemerataan ekonomi selayaknya bukan hanya di Kalimantan saja, tetapi harus dapat menjangkau  ke seluruh pelosok tanah air.

Implikasi Pemindahan Ibukota

    Jika ibukota Negara dipindah ke Kalimantan bagaimana kedudukan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara?. Ini artinya majelis nanti harus bersidang di Ibukota Negara yang baru dipilih, dengan demikian gedung yang megah MPR/DPR RI senayan ini tidak terpakai lagi untuk sidang majelis. Jika kepindahan ibukota negara dilakukan di Kalimantan, tetapi MPR tetap bersidang di Jakarta, sesungguhnya ini pelanggaran berat konstitusi. Konkretnya, dengan pemindahan ibukota negara juga akan berdampak pembangunan gedung baru MPR ke ibukota baru tersebut, karena konstitusi menyatakan MPR harus bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Dengan demikian pemindahan ibukota negara ke Kalimantan ini bakalan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikt. Namun untuk sidang DPR tetap dapat dilakukan di Jakarta karena untuk sidang DPR konstitusi tidak menentukan harus di ibukota negara.

    Jika pemindahan ibukota bertujuan untuk trickle down effect sebenarnya juga sangat baik, sebab segala kegiatan dalam bentuk ekonomi yang dilakukan dalam rangkaian yang lebih besar diharapkan akan dapat memberikan efek (menetes) terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang skala cakupannya lebih kecil. Pada prakteknya, teori ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya. Fakta dilapangan justru sebaliknya, dapat disaksikan dengan terang benderang justru trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya akan cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi, justru lupa untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin tetap miskin. Oleh karena itu, pembagian  pambangunan  tetap saja akan dinikmati oleh kalangan atas saja.

   Jika ditilik Jakarta yang sudah sarat dengan segalanya, ada baiknya pemindahan ibukota ini memang perlu dilakukan, paling tidak pemindahan ibukota ini bakalan mengurangi kemacetan Jakarta yang selama ini sulit diurai. Jakarta saat ini sudah menjadi neraka kemacetan, benar-benar ampun kemacetan Jakarta saat ini. Hal lain pemindahan ibukota di Kalimantan ini akan menggeliatkan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat.

    Inilah dampak baik dan buruknya pemindahan ibukota negara yang diwacanakan memilih tempat ke Kalimantan. Namun dalam tulisan ini saya mengapresiasi bapak Presiden Joko Widodo yang telah berkesungguhan untuk merencanakan pemindahan ibukota sebagaimana argumentasi yang dikemukakan diatas. Saya yakin seyakin-yakinnya pemindahan ibukota yang sudah diwacanakan sejak  lama ini akan terealisasi ketika era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Aamiin. Mengapa? Karena selama ini Presiden Joko Widodo sudah memberikan bukti dalam hal infrastruktur yang selama ini hasilnya kita nikmati bersama.

   Namun pak Presiden juga harus berhati-hati, niat yang baik dan tulus ini harus diberengi regulasi yang baik, tepat dan benar oleh karena itu saran saya pemindahan ibukota ini lebih tepat melalui pintu TAP MPR untuk pemindahan ibukota ketimbang melalui undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Pengalaman Mengunjungi Menara Petronas, Kuala Lumpur Pada tahun 2006

  Pada tahun 2006 di suatu hari yang cerah, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu ikon paling terkenal di Malaysia, apalagi kalau ...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19