Senin, 02 Februari 2009

Lembaga Rechtsverwerking



Oleh Warsito, SH., M.Kn
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Konsultan Pertanahan
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD-RI




      Jika Tap MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan, maka, sengketa Pertanahan Meruya Selatan dapat dicairkan melalui Ketetapan MPR tersebut. Pasalnya Tap MPR tersebut sebagai landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang derajatnya mengalahkan UU. No. 5 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA). Sementara itu di dalam Pasal 2 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
      Sayangnya, Ketetapan MPR yang dibuat manis tersebut, kini bukan lagi bagian dari tata urutan peraturan perundang-undangan, karena berdasarkan UU. No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hierarki TAP MPR tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (dahulu status TAP MPR berdasarkan TAP III/MPR/2000 posisi ke-2 setelah UUD 1945). Sengketa Pertanahan Meruya Selatan antara H. Djuhri dengan PT. Portanigra yang dimenangkan PT Portanigra oleh Mahkamah Agung dengan reasoning girik yang dipegang oleh PT PORTANIGRA yang asli mengejutkan para ilmuwan hukum pertanahan dan sekaligus membuat resah warga Meruya Selatan yang telah memperoleh hak dengan itikad baik. Sebagaimana diketahui asas Hukum Tanah Nasional (HTN) kita, bersumber pada hukum adat. Jual beli tanah dalam hukum adat dikenal dengan istilah: Riil, tunai dan terang. Riil artinya warga Meruya Selatan tersebut nyata-nyata telah membeli tanah tersebut. Sedangkan tunai artinya jual beli tanah tersebut telah dibayar dengan tunai. Sementara yang dimaksud dengan terang adalah pembuatan akta jual beli tanah tersebut telah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebagai tanda bukti haknya diberikan sertipakat yang diterbitkan oleh BPN sebagai organ Negara kepanjangan tangan dari pemerintah.
     Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 32 PP. 24/97 tentang Pendaftaran Tanah: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Publikasi Pertanahan

      Di negara manapun dikenal dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat diganggu gugat, dalam hal publikasi positif ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena diterbitkan sertipikat baru atas nama pembeli yang terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura. Kedua, publikasi negatif, dalam publikasi negatif ini negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak bersengketa yang akan mengadakan research untuk membuktikan kebenarannya. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Menganut Publikasi Pertanahan yang Mana?.

       Sistem hukum Indonesia soft, alias lemah. Kelemahan Hukum Indonesia tidak terbatas pada Hukum Tata Negara Indonesia yang antara lain melahirkan lembaga Negara Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetapi tidak memberikan kewenangan. Pelemahan hukum kita juga terjadi pada Hukum Tanah Nasional (HTN). Pendaftaran Tanah Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif murni. Lantas Indonesia menganut publikasi pertanahan apa?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Negara ambivalensi. Disisi lain negara memberikan sertipikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2 UUPA), sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di Pengadilan. Pasal 19 UUPA mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan yuridis pemerintah agar kasus pertanahan tidak semakin merebak.

         Kelemahan Sistim publikasi negatif adalah, pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga aquisitieve verjaring atau adverse possession.

Lembaga Hukum Adat Rechtsverwerking

        Hukum Tanah Nasional kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga aquisitieve verjaring, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat ada lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu, lembaga Rechtsverwerking.
Rechtsverwerking artinya, dalam hukum adat jika seseorang sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka, hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sejalan dengan lembaga ini.
       Jika para hakim yang mengadili sengketa antara PT. PORTANIGRA dengan H. Djuhri dengan obyek pertanahan Meruya Selatan ini benar-benar memahami Lembaga hukum adat yang bernama Rechtsverwerking, maka, putusan Mahkamah Agung tidaklah memenangkan PT. PORTANIGRA sekalipun alas haknya berupa girik sebagai yang asli. PT. PORTANIGRA harus dianggap sekian tahun telah menelantarkan tanahnya, maka sesuai UUPA tanah tersebut musnah dan jatuh kepada Negara. Selain tidak sejalan dengan UUPA dan Lembaga hukum adat rechtsverwerking, putusan Mahkamah Agung juga bertentangan dengan hukum tanah nasional kita yang bersumber pada hukum adat yang menganut asas jual beli: Riil, tunai dan terang. Lebih dari itu, putusan Mahkamah Agung tidak progressif. Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT. PORTANIGRA benar-benar mengagetkan dunia hukum pertanahan, selain tidak menciptakan asas kemanfaatan hukum (zwechtsmassikheit) bagi masyarakat Meruya Selatan, hakim dianggap telah gagal menjalankan tugas sucinya yang putusannya memuat irah-irah yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kamis, 29 Januari 2009

MPR dan Politik Pertanahan



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Master Kenotariatan UI
- Konsultan Pertanahan
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



        Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah menerbitkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayang TAP MPR tersebut tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003. Tap MPR tersebut tidak perlu dicabut, dengan sendirinya sudah tidak berlaku karena ia bukan hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.
       Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hal lain negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

        Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam artian kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Politik Pertanahan

       Politik Pertanahan diatur didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Politik Pertanahan juga diatur di dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Negara adalah sebagai organisasi pemegang tertinggi kekuasaan negara dibidang pertanahan, oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme
      Salah satu prinsip utama dari UUPA adalah mengenai nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUPA berbunyi: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Demikian pula Pasal 1 ayat (2): "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Ini artinya bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu kita sebagai keseluruhan, dan menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. Menurut Prof. Boedi Harsono tanah berfungsi sebagai komunalistis reigius. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan, tetapi menjadi tanah hak Bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan yang bersifat pribadi.
Adapun antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
       Pada masa Orde Baru-reformasi permasalahan agraria ditandai semakin banyaknya aksi-aksi protes oleh korban ke kantor pertanahan, DPR dan Komnas HAM. Permaslahan agraria itu tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah pertanahan.
Sebagai contoh ketidakpastian hukum dibidang pertanahan, kasus sengketa PT Portanigra dengan Warga Meruya Selatan yang diperoleh dari H. Djuhri. Seseorang yang sudah memiliki sertipikat yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang (BPN) selama bertahun- tahun telah menguasai secara fisik digugat, dan anehnya dapat dikalahkan di pengadilan, karena dapat dibuktikan sebaliknya.
Kelemahan Publikasi Pertanahan
        Di negara manapun ada dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat digugat, dalam hal ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena sertipikat tertulis atas nama pembeli terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura.
Kedua, publikasi negatif, artinya negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak yang bersengketa mengadakan research sendiri. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Masuk Publikasi Pertanahan yang Mana?.
        Sistem hukum Indonesia selalu soft, alias tidak jelas. Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif. Lantas apa publikasi pertanahan Indonesia?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Ini artinya negara bersifat ambivalensi. Sebab, disisi lain negara memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak kepemilikannya, sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi konflik di Pengadilan. Publikasi Pertanahan Indonesia yang ambivalen ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 PP. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan juridis pemerintah agar kasus pertanahan yang selama ini terjadi tidak semakin merebak.

Selasa, 27 Januari 2009

Makna Dibalik Angka 128 Anggota DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



          Apakah sebenarnya makna dibalik jumlah 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD itu?. Suatu kebetulan, ataukah sudah diatur secara sistemik oleh MPR unsur DPR?. Untuk menjawab kebetulan atau sudah diatur secara sistemik,terlebih dahulu marilah kita mengkaji secara mendalam muatan konstitusi baik secara substantif maupun secara kwantitatif.
Dari segi kwalitatif, jelas DPD itu adalah lembaga Negara yang tidak memiliki makna(meaningless).Sebab ia hanyalah lembaga Negara pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak berimplikasi juridis. Namun jika kita mengkaji lebih mendalam dari segi kwantitatif, ada yang menarik dari keberadaan jumlah anggota DPD yang 128 itu. Mengapa harus berjumlah 128?. Marilah kita merefleksi sejenak hal ihwal ayat UUD 1945 pra amendemen yang berjumlah 71 ayat, sedangkan pasca amendemen UUD 1945 menjadi 199 ayat,dengan demikian penambahannya 128 ayat. Jumlah penambahan 128 ayat ini sama persis dengan jumlah anggota DPD. Apakah hal ini masih dianggap suatu kebetulan ataukah ada maksud tertentu agar amendemen UUD 1945 itu cukup ditambahkan 128 ayat saja?. Apakah berarti hal ini bisa dibaca tidak akan terjadi amendemen kelima UUD 1945?. Inilah kenyataannya, mau tidak mau harus diakui bahwa angka 128 anggota DPD itu menyimpan misterius. Padahal konstitusi menyatakan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih sepertiga dari jumlah anggota DPR, semestinya jumlah ideal anggota DPD adalah 224,jumlah yang masih diperbolehkan karena belum melebihi sepertiga jumlah DPR, dengan asumsi masing-masing tujuh anggota setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jumlah itu apabila dipandang terlalu banyak masih bisa diturunkan menjadi seratus sembilan puluh dua dengan asumsi enam anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jika jumlah itu masih dianggap terlalu banyak masih dapat diturunkan lagi menjadi seratus enam puluh dengan asumsi lima anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Akhirnya keputusan DPR di UU Susduk memutuskan 128 untuk anggota DPD, yaitu, empat anggota untuk setiap masing-masing provinsi dari jumlah tiga puluh dua provinsi. Ada apa dengan jumlah 128 anggota DPD ini?.
Jika diadakan semacam perlombaan untuk menemukan bentuk hukum (rechtvinding) lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, maka, dipastikan peserta lomba akan kesulitan menjawab bentuk hukumnya. Pasalnya jika DPD sebagai lembaga legislatif, keberadaannya tidak ikut memutuskan undang-undang yang bersifat mengatur (regelling).Sebaliknya, jika bukan lembaga legislatif keberadaannya termasuk rumpun lembaga legislatif sebagaimana dimaksud oleh UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
         Sayang sekali lembaga DPD ini, dari tahun ketahun hanya bekerja berputar-putar tidak karuan, sedangkan produknya tidak memiliki arti (meaningless). Apabila DPD tidak segera diperkuat melalui amendemen UUD 1945, maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bernasib sama seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jangan biarkan lembaga negara ini mengalum, dan mubadzir karena hanya akan memboroskan keuangan Negara.

Minggu, 25 Januari 2009

Perlukah Kaji Ulang Keberadaan DPD Melalui Sidang Majelis?


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



      Jika keberadaan setiap organisasi baik menyangkut hubungan orang-perorang, kelompok, komunitas tertentu, tatakelola pemerintahan maupun kelembagaan negara tidak memiliki arti, cepat atau lambat pasti akan musnah. Hukum alam itu pasti akan berlaku. Keperkasaan hukum alam itu pernah terbukti merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
      Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin dilakukan. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Siapa mau?.
Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, inisiator menggelar sidang amendemen UUD 1945 harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Dugaan kuat selama ini karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, hal itu terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna., ada dugaan kuat DPD akan tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Di sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika tidak laku di partai politik.. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa bersandar DPR periode 2009-2014 dapat memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap tidak memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Jiwa kenegarawanan pasti bersedia mengkaji ulang keberadaan DPD. Sebab posisi DPD selama ini antara ada dan tiada. Baik secara normatif, maupun data fisik DPD itu memang ada, tetapi dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit) DPD itu produknya tidak memiliki arti apa-apa, sebab keberadaannya hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak memiliki implikasi juridis. Kenegarawanan sejati akan berani mengambil satu putusan diantara dua pilihan. Yaitu, DPD dipertahankan dengan diberikan kewenangan sejajar dengan DPR, ataukah dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara tiada guna. MPR tidak boleh terus-menerus menutup mata membiarkan DPD menjadi bulan-bulanan DPR. Berapa ratusan milyar uang rakyat yang dihambur-hamburkan mubadzir, jika MPR terlambat mikir (telmi) tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD. Singkatnya, MPR perlu segera menggelar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).

Kamis, 22 Januari 2009

DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan


Oleh Warsito, SH M.Kn.
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Master Kenotariatan Universitas Indonesia (UI)
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD



         Hukum alam pastilah akan berlaku, begitu juga terhadap lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini. DPD Cepat Atau Lambat Sesuai Hukum Alam Akan Dapat Dibubarkan karena keberadaannya tidak memiliki makna. Hukum alam itu terbukti pernah merontokkan lembaga negara (dahulu lembaga tinggi negara) yaitu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Hukum alam itu pula, cepat atau lambat pasti akan menjemput ”kematian” Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, jika lembaga ini tidak segera diperkuat sejajar dengan DPR. Setiap lembaga negara yang keberadaannya hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat (meaningless), maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bubar atau dipaksa dibubarkan.
        Menunggu inisiator DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sebab jika ia nekat ”bunuh diri” dengan cara semua anggota DPD menyatakan mundur dari jabatannya karena kelembagaannya tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi, konsekuensinya, penghasilan yang diterimanya juga akan hilang. Inisiator dari DPR. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, terkecuali MPR menggelar sidang majelis dengan agenda amendemen UUD 1945. Inisiator menggelar sidang amendemen harus dimulai dari MPR unsur DPR. DPR merangkap MPR, kapanpun bisa mencabut ”pernapasan buatan DPD”. Boleh jadi, mengapa MPR selama ini enggan menggelar sidang majelis?. Karena di dalam MPR ada 550 anggota DPR sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing, terbaca dengan gerak-gerik DPR yang jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang menjadi kutu loncat DPD ketika ia tidak laku lagi di partai politik. Inilah sebenarnya yang membuat MPR unsur DPR enggan untuk mengkaji ulang keberadaan DPD, meskipun secara juridis ia tahu keberadaan DPD itu sama sekali tidak bermakna. Namun demikian, karena DPD itu mendatangkan keuntungan materi besar bagi para anggotanya, dugaan kuat itulah, yang menyebabkan DPD tetap dipertahankan meskipun dengan cara diambangkan. Khawatir melunjak, DPR sudah pasti enggan memberikan kewenangan kepada DPD sejajar dengan DPR. Sisi lain, DPR juga segan membubarkan DPD, karena DPD itu dapat dijadikan peristirahatan terakhir ketika DPR sudah jompo sambil berkipas-kipas mendapatkan gaji dan tunjangan yang memuaskan. Hanya orang-orang yang memiliki sifat kenegarawanan yang tidak memiliki intrik-intrik di konstitusi untuk kepentingan sesaat. Seseorang yang memiliki sifat kenegarawanan itu akan tulus, pemikirannya akan senantiasa mengedepankan isi kandungan konstitusi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara bukan untuk kepentingan politik jangka pendek.
         Kembali kapada hukum alam, jika anggota DPR periode 2004-2009 ternyata tidak memiliki sifat kenegarawanan dengan tidak segera mengkaji ulang keberadaan DPD, kita masih bisa berharap DPR periode 2009-2014 memiliki sifat kenegarawanan. Jika ternyata DPR pada periode tersebut masih tetap belum memiliki sifat kenegarawanan, percayalah, suatu masa, pasti akan datang anak-anak negeri ini yang memiliki sifat kenegarawanan. Itulah makna hukum alam sebenarnya, ia pasti akan datang meskipun waktunya jauh dari yang kita harapkan. Seorang kenegarawanan itu pasti akan bertanya, apa manfaatnya DPD?. Kenegarawanan sejati akan dihadapkan dua pilihan untuk diambil satu putusan. DPD dipertahankan akan diberikan kewenangan jika ia bermanfaat, atau dibubarkan karena hanya ternyata lembaga negara tiada guna. Singkatnya, semakin cepat membubarkan DPD semakin baik, sebab uang rakyat dapat dihemat tidak dikeluarkan untuk membiayai lembaga negara yang hasilnya tidak memiliki arti (meaningless).

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19