Rabu, 21 Oktober 2009

DPD Perlu Belajar Hukum Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Master Hukum UI

        Sikap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) benar-benar sangat memalukan. Pasalnya baru-baru saja terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR unsur DPD dipermasalahkan karena dianggap tidak mewakili lembaga DPD. Pada hakekatnya Farhan Hamid itu bukan bertindak untuk dan atas nama kelembagaan DPD, tetapi ia adalah dalam kedudukannya bertindak untuk dan atas nama dirinya sebagai anggota MPR. Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, anggota MPR itu terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Jadi terpilihnya Farhan Hamid menjadi wakil ketua MPR secara hukum itu sudah sah, karena sudah sesuai ketentuan konstitusi, UU maupun peraturan Tata Tertib MPR.
DPD Perlu belajar hukum ketatanegaraan dengan baik, sebab sikap yang diperagakan oleh DPD ini benar-benar sangat memalukan. Apalagi yang dipermasalahkan tidak bersifat mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan Negara. Permasalahannya hanya sepele soal ketiadaan “pembagian permen secara seimbang antara DPR dengan DPD” di Pimpinan MPR.
Jika DPD ngambeg hal itu wajar-wajar saja karena sakit hati tidak diberikan jatah 2 anggotanya duduk di Pimpinan MPR. Namun, DPD perlu menahan amarahnya kepada DPR, sebab, selain tidak seimbang melawan DPR baik mengenai kewenangannya maupun jumlah anggotanya, bisa-bisa jika DPR sudah geram kepada DPD malah memasuki ruang sidang paripurna majelis menjelma menjadi anggota MPR membubarkan DPD.

Kamis, 24 September 2009

Idul Fitri Hubungannya dengan Kehidupan Ketatanegaraan


Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen-Pati


            Lebaran dan Idul Fitri memang sudah berlalu, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh berlalu begitu saja. Bagi umat muslim, sebulan penuh telah melaksanakan ibadah puasa dan dilanjutkan dengan kegiatan ibadah tarawih dan tadarusan. Kegiatan itu semata-mata dilakukan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, karena kegiatan ibadah di Bulan Ramadhan nilainya dilipatgandakan ketimbang bulan-bulan yang lain.
           Namun sangat disayangkan, banyak yang belum memahami nilai-nilai semangat Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Pasca Ramadhan kita kenal dengan sebutan hari raya Idul Fitri atau lebaran, momentum tersebut digunakan untuk salam-salaman memohon maaf dan bathin. Saya tidak tahu apakah permohonan maaf tersebut dilakukan dengan tulus atau tidak. Atau bahkan sebaliknya, hanya dilakukan sekedar basa-basi belaka. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh imbalan pahalanya tidak lain adalah kita menjadi suci kembali, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Pada hari itu Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa hambanya, tetapi untuk urusan dosa dengan umat manusia (hablumminnas), maka antar sesama manusia sendiri yang wajib saling memafkan. Jangan sampai permohonan maaf lahir dan bathin ini hanya jadikan sebuah tradisi yang tidak bermakna.       Konkretnya hanya sekedar sebuah seremonial belaka.
Jika kita melaksanakan puasa dengan benar, maka bulan-bulan berikutnya ahlak dan moral kita akan menjadi lebih baik lagi, akan tercermin baik di Lingkungan bekerja, kehidupan masyarakat, berbangsa dan Bernegara. Karena Bulan puasa adalah ruh untuk bulan-bulan berikutnya.
Indikatornya seseorang yang berpuasa dengan benar, maka jika menjadi pemimpin pasti ia akan menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana, dan bagi karyawan atau pegawai akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggungjawab karena bekerja pada hakekatnya adalah merupakan ibadah.

Rabu, 25 Maret 2009

Apakah Sesungguhnya Fungsi Materai Itu ?.



Oleh Warsito, SH., M.Kn
-Dosen Universitas Satyagama Jakarta


         Siapakah yang dipersalahkan jika banyak orang yang tidak mengetahui kegunaan materai dalam pembuatan kontrak atau perjanjian?. Anggapan selama ini, di instansi pemerintah atau swasta, jika orang sudah tanda tangan di perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat. Padahal sebenarnya fungsi materai tidak sekuat apa yang mereka kira.Materai itu tidak memilki pembuktian apa-apa.
        Lalu apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang otentik maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: Bentuk perjanjian/kontrak ditentukan oleh UU; dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum/notaris; dibuat di wilayah pembuatan kontrak tersebut (pasal 1868 BW). Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya.
Sekali lagi materai itu tidak memiliki pembuktian apa-apa, kecuali hanya untuk membayar pajak kepada negara.

Jumat, 13 Maret 2009

Lembaga Negara Manakah Inisiator Membubarkan DPD?.


Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-Master Kenotariatan UI
- PNS DPD-RI digolongkan II/c Berhenti Atas Permintaan Sendiri


            Lembaga Negara manakah yang harus menjadi inisiator amendemen konstiusi membubarkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?. Jawabnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Meskipun secara formalistis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berhak dan berwenang mengusulkan amendemen UUD 1945, tetapi dalam praktek ketatanegaraannya DPR-lah sesungguhnya yang berwenang mengubah dan mengusulkan amendemen konstitusi. Sebab 550 anggota DPR merangkap MPR kekuatannya luar biasa dahsyat sudah dapat membubarkan DPD.
Menunggu inisiator dari DPD untuk membubarkan kelembagaannya sendiri tidaklah mungkin. Sampai kiamat tiba, tidak mungkin DPD mau menjelma MPR mengusulkan membubarkan kelembagaannya. Meskipun anggota DPD merangkap juga MPR berwenang mengusulkan konstitusi, sekali lagi tidak mungkin sebagai lembaga Negara yang terlibat memutuskan akan bunuh diri mengusulkan kelembagaannya dibubarkan.
      Dalam sistem ketatanegaraan, Negara yang menganut kesatuan tidak mengenal istilah bicameral,apalagi bicameralnya Indonesi ini adalah bicameral pura-pura.
Tuan-tuan anggota MPR apakah tidak malu jika konstitusi kita dikaji oleh akademisi dunia internasional, khususnya menyangkut keberadaan DPD yang tidak mendatangkan manfaat ini. Selain itu produk DPD juga tidak memiliki arti (meaningless). Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, dari aspek kemanfaatan hukum (zwechtmassikheit), lebih baik DPD itu dibubarka saja. Terkecuali tuan-tuan anggota DPR merangkap MPR mengambangkan DPD itu sengaja untuk tujuan beristirahat di hari tua ketika sudah tidak laku lagi di partai politik.

Rabu, 11 Maret 2009

Interpreter Konstitusi Itu MPR, Ataukah MK ?.

 
Warsito, SH M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Satyagama Jakarta
Mantan Tim Perumus Tata Naskah
DPD-RI
Master Kenotariatan UI
PNS DPD-RI Digolongkan II/c Berhenti Dengan
Hormat



     Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK jika dikaji secara mendalam, maka akan terjadi kontradiktif dengan UU. No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan, sebab putusan MK itu bukan merupakan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.OLeh karena itu, jika putusan MK diabaikan,tidak ada dampak konsekuensi yang ditimbulkan.
       Pertanyaannya,apakah benar MK itu guardian constitution (penjaga gawang konstitusi)?.Menurut hemat saya anggapan itu sangat berlebihan.Dan apakah benar MK itu sebagai interpreter konstitusi?.Dua-duanya anggapan itu keliru besar.Lembaga negara manakah sesungguhnya yang menjaga gawang konstitusi itu?.Jawabnya adalah MPR,sebagai lembaga negara yang telah merumuskan konstitusi,MPR tentu berkewajiban pula untuk memelihara dan menjaganya.Dan lembaga negara manakah sesungguhnya sebagai penerjemah atau interpreter konstitusi?.Jawabnya juga MPR,bukan MK.MPR yang telah merumuskan dengan susah payah konstitusi,tentu MPR pula yang mengetahui isi kandungan konstitusi yang masih bersifat abstraksi(remang-remang). Sekali lagi bukan MK.
Jumlah hakim MK 9 (sembilan) orang, terdiri dari: 3 unsur legislatif,3 unsur eksekutif dan 3 unsur yudikatif.Putusan MK sering diwarnai pemaksaan mayoritas dengan disertai dissenting opinion (pendapat hukum berbeda) diantara para hakim konstitusi.
Meskipun putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap(incraht van gewijsde),namun putusan MK bukan merupakan produk perundang-undangan sebagaimana ditetapkan oleh UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bahkan ada yang lebih aneh diantara kewenangan yang dimiliki MK, yaitu,memutus sengketa kewenangan lembaga negara.Pertanyaannya,bagaimana jika MK yang berkedudukan sebagai lembaga negara sering mensosialisasikan UUD 1945,MPR yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara memperkarakan MK?.Lembaga negara manakah yang akan mengadili?.jawabnya MK.Bagaimana mungkin MK dapat memutus perkara dengan obyektif mengingat ia sebagai lembaga negara berperkara sekaligus sebabagai lembaga negara penghakim?.Meskipun secara legalistis pimpinan MPR yang mempunyai tugas untuk mensosialisasikan konstitusi sebagaimana diperintahkan oleh UU Susduk,sulit bagi MPR memenangi pertarungan ini,jika sewaktu-waktu kasus ini bergulir.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19