Senin, 25 Januari 2016

"Hak Waris Engeline"

                             Oleh WARSITO   
     Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,Jakarta,        
 Alumni Magister Kenotariatan UI  
               Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta


Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati (QS: Ali ‘Imron:185, QS: Al Anbiyaa’:35 dan QS: Al’ankabuut:57). Siapa pun tidak dapat menyangkal kebenaran Firman Allah SWT, senyatanya tidak ada makhluk yang berjiwa dapat hidup kekal Abadi. Ribuan, bahkan jutaan umat manusia telah meninggal dunia mendahului kita, namun, tidak seheboh pemberitaan mengenai meninggalnya seorang anak yang bernama Engeline. Dahsyatnya pemberitaan tragis kematian Engeline mendapat simpati meluas dari publik bersebab gencar-gencarnya media masa cetak maupun elektronik mampu memainkan perannya sebagai fungsi kontrol sosial. Kematian Engeline sampai-sampai dapat mengalihkan isu hebohnya pemberitaan dugaan gelar doktor palsu yang disandang oleh anggota DPR Fraksi Hanura, Frans Agung Mula Putra  sebagaimana dilaporkan mantan stafnya Denti Noviany Sari, Kini, kasusnya perlahan namun pasti hilang bak ditelan bumi. Kematian Engeline tidak saja mendapat perhatian luas masyarakat menengah-bawah, tragedi pilu ini juga mendapat simpati dari anggota DPR, Dua menteri yaitu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) Yuddy Chrisnandi dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise berbondong-bondong telah mengunjungi rumah orang tua angkat Angeline. Kunjungan para pejabat Negara sedikitnya menghibur,  setidaknya elite politik tidak sekadar pandai bersilat lidah yang membosankan rakyat, masih ada terbesit empati dan simpati menyikapi kematian Engeline yang menjadi pusat pusaran perhatian publik. Diharapkan  para pejabat Negara ini tidak berhenti hanya mengunjungi kasus Engeline, lebih diperluas kepada kematian “Engeline-Engeline” lain yang luput dari pemberitaan media masa secara luas. Berkunjungnya pejabat Negara tersebut, paling tidak dapat mendongkrak kinerja menteri-menteri yang sedang dievaluasi oleh presiden, dengan  jantung berdetak tidak beraturan menunggu nasib reshuffle yang tak kunjung pasti. Mengapa pandangan publik kini ke anak yang bernama Engeline?. Bersebab dengan kematiannya melalui cara  sadis tidak berperikemanusiaan, tentu rasa haru biru akan menyelimuti  setiap jiwa yang masih hidup nuraninya. Bagaimana publik tidak termagnet pemberitaan kematian Engeline?. Wajah bocah ini imut, ingatan publik lesung pipinya tersungging manis ketika tersenyum, melihat anak yang masih suci dan polos ini, membuat orang merasa melas dan trenyuh. Barangkali manusia yang sudah dirasuki iblis saja yang tega membunuh anak ini.
Semula Engeline yang dikhabarkan hilang akhirnya ditemukan dirumahnya di dekat kandang ayam sudah terkubur ditelan bumi, kerja keras kepolisian perlu diapresiasi untuk mengungkap kasus ini, kini pelakunya sudah tertangkap tidak lain adalah seorang pembantunya yang bernama Agus Tay Hamba May (Agustinus Tae). Pengakuan Agus mengagetkan publik bahwa sesungguhnya yang menyuruh membunuh adalah ibu angkat Engeline, Margriet, dengan menjanjikan uang sebesar Rp 2 Milyar jika pembunuhan berjalan lancar. Dalam batas penalaran logis, pengakuan Agus dapat diterima akal sehat. Apa kepentingannya jika Agus yang membunuh?.
Hak Waris Engeline
      Pengakuan Agus bahwa yang menyuruh membunuh Engeline adalah ibu angkatnya sendiri, sesungguhnya kebenarannya dapat dilacak melalui akta notaris ada atau tidaknya hubungan keperdataan antara Engeline dan ayah angkatnya yang dikhabarkan meninggalkan harta warisan milyaran rupiah. Jika Engeline statusnya menjadi anak angkat (adopsi) yang telah disahkan pengadilan melalui akta notaris, tentu Engeline memiliki hubungan keperdataan, dengan sendirinya memiliki hak mewaris yang bagiannya sama dengan  anak sah (stblt No:1917 No. 129).
     Engeline Tidak Memenuhi Prosedur Pengangkatan Anak
     Prosedur pengangkatan anak sudah diatur PP No 54 Tahun 2007, Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam Pasal 13 PP tersebut dijelaskan calon orang tua angkat harus memenuhi syarat antara lain: memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial, calon orang tua angkat harus beragama sama dengan agama calon anak angkat, berstatus menikah paling singkat (5) lima tahun, tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak. Jika ditilik dari mekanisme pengangkatan anak tersebut maka jelas tidak memenuhi persyaratan, karena orang tua angkat sudah memiliki dua orang anak, begitu juga calon anak angkat harus seagama dengan calon orang tua angkat. Sedangkan yang saya ketahui Engeline tidak seagama dengan orang tua angkat. (http://forum.detik.com/jenasah-angeline-akan-dimakamkan-dengan-tata-cara-agama-apa-t1216572.html)
Tidak dikenal Anak Angkat (Adopsi)
 Berbeda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), kedudukan anak angkat (adopsi) tidak dikenal, sehingga dipersamakan dengan anak luar kawin yang diakui, bagiannya bergantung dengan golongan berapa anak luar kawin tersebut mewaris. Dalam kasus Engeline, mewaris bersama ibu angkatnya, Margriet dan anak-anaknya: Christine dan Yvonne Caroline Megawe, itu adalah golongan satu, maka bagian Engeline adalah sepertiga dikalikan seperempat yaitu seperduabelas harta yang ditinggalkan bapaknya (Pasal 863 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Baik menurut hukum kewarisan Islam maupun kewarisan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah anak angkat (adopsi). Dalam kewarisan Islam anak angkat tidak mendapatkan warisan tetapi dapat diberikan wasiat berupa wasiat wajibah, besarannya maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Untuk anak angkat ini marilah kita menyimak dengan saksama Firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4). Dari perspektif hukum Islam, menisbahkan anak angkat kepada orang tua angkat menjadi ayah kandungnya dilarang, sebagaimana firman Allah SWT: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Ahzaab: 5). Masih menurut hukum waris Islam, meski memiliki hubungan darah atau tali perkawinan, jika ahli waris dan pewaris berlainan agama tidak memiliki hak mewaris, tetapi dapat diberikan wasiat wajibah. 

Minggu, 24 Januari 2016

Santet, “Antara Ada Memang Ada”




Oleh                                                                                                                                                                Dr. (c)  WARSITO, SH., M.Kn.                                                                                                   Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,                           Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,


            Kejahatan ilmu sihir/ilmu hitam (santet) pernah heboh diperbincangkan dan diusulkan melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi, nasib RUU tersebut perlahan namun pasti  menghilang bak ditelan bumi. Nampaknya, perumus undang-undang kebingungan bukti materiil yang akan dibawa ke persidangan untuk membuktikan seseorang melakukan santet atau tidak, dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan penghakiman massa.
            RUU KUHP Pasal 293 menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
 Keberadaan santet, selama ini masih banyak yang menganggapnya sebagai sebuah mistis. Banyak orang yang semula menggunakan pendekatan ilmiah semata, tidak mempercayai adanya santet, tetapi, setelah terkena dan merasakan sakitnya sendiri, baru percaya bahwa santet itu memang ada. Santet, teluh, tenung, guna-guna sudah sejak lama dikenal masyarakat, umumnya masyarakat pedesaan yang masih kental nuansa mistis, karena: iri hati, dengki, sakit hati, atau bisa juga karena ditolak cintanya.
            RUU KUHP yang akan memberlakukan santet terjadi pro kontra mengenai bukti materiilnya di persidangan. Hal ini menandakan, perumus undang-undang belum paham hekekat santet itu sendiri. Santet adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penanganannya harus dengan tindakan luar biasa pula. Santet tidak bisa dilakukan dengan pengadilan konvensional, harus menggunakan pengadilan khusus. Pengadilan Khusus, karena hakim dan saksi-sakinya harus didatangkan dari orang-orang yang ahli bidang ini. Tidak sembarangan, hanya orang-orang yang punya derajat kewalian atau aulia yang bisa membuktikan kena tidaknya santet. Jika orang yang mengirim ilmu hitam (santet) tersebut mungkir di persidangan, sedangkan saksi-saksi yang mempunyai tingkat kewalian mengatakan benar bahwa dia yang menyantet, tetapi tetap saja tidak  mengakui, maka orang yang memiliki tingkat kewalian tersebut tentu geram, mengajukan pertanyaan sekali lagi, guna memberikan kesempatan untuk berbicara jujur. Jika masih tetap tidak mengakui bahwa dia yang menyantet, puncaknya, waliyullah akan geram sambil berujar: “Jika benar kamu bukan yang menyantet, maka insya allah umurmu panjang, tetapi jika kamu yang menyantet tetapi mungkir, maka pendeklah umurmu. Kisah itu pernah terjadi orang yang mungkir tapi bukan di persidangan, dirumah waliyullah, karena tidak mengakui menyantet, terbukti selang tiga hari orang tersebut benar-benar meninggal dunia. Wallahu ‘alam.
            Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi setiap anak negeri ini, sudah seharusnya segera mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang untuk melindungi warganya dari kejahatan ilmu hitam. Pro kontra selama ini hanya terjebak soal saksi dan hakim, dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Tetapi jangan khawatir, di negeri ini ada orang-orang saleh yang memiliki derajat kewalian, hanya saja tidak mau menampakkan diri dipermukaan. Umumnya, waliyullah sembunyi dalam hingar bingar dunia yang penuh sandiwara. Tetapi, jika dibutuhkan untuk kesaksian perbuatan santet, demi untuk menyelamatkan umat manusia, tentu mereka akan siap sedia. Masalahnya sekarang tergantung kepada kita, mau atau tidak untuk membuat aturan tentang santet.
            Di Arab Saudi  saja yang bukan Negara Islam terbesar bisa memiliki Undang-Undang tentang sihir (santet). Apa kita tidak malu, mengapa kita sebagai Negara Islam terbesar di dunia tidak bisa menerapkan undang-undang santet? Itu sama saja, bahwa kita masih tidak yakin adanya santet, terlebih tidak yakin adanya keghoiban. Padahal, bagi umat Islam yang disembah sehari-hari adalah rajanya ghoib, yaitu, Allah SWT.

Selasa, 20 Oktober 2015

MENGGAGAS AMANDEMEN KELIMA DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA





Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
ABSTRAK
Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti (meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain, MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini, DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun 2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
Kata Kunci: Amandemen UUD 1945, DPD meaningless, cheks and balances.













1.1. Pendahuluan

Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.
Gerakan reformasi pada tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan Memasyarakatkan UUD 1945 , era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, bertujuan antara lain:
a. amandemen UUD 1945;
b. penghapusan dwi fungsi ABRI;
c. penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e. mewujudkan kebebasan pers;
f. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut:
“DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR. Kelahiran DPD selain dipersepsikan publik “antara ada dan tiada” produknya juga tidak memiliki arti menjadikan problematika isi konstitusi.
Hasil reformasi konstitusi menghasilkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945). Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia sebagai pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 dirubah terakhir UU. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kelemahan hasil amandemen UUD 1945 selain melahirkan DPD tidak bermanfaat, juga dapat mengacaukan konstitusi, antara lain rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang mekanisme Pilkada yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam pelaksanaannya menjadi masalah. Usulan amandemen konstitusi yang diajukan oleh DPD selain untuk memperkuat kelembagaannya, juga ingin memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden agar dapat bertarung dalam arena Pilpres seperti halnya, pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang membolehkan calon perseorangan ikut berlaga di Pilkada.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi? .
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
3. Langkah-langkah apakah yang harus ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi?.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah, juga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3. Langkah-langkah yang ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi.

Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Konstitusi
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda menyatakan , secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Menurutnya, dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri;
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Ke empat prinsip atau ajaran diatas merupakan “maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak di implementasikan dalam praktek penyelenggaraan negara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional. Sedangkan Wirjono Projodikoro (1989:10) masih di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:7) istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sementara itu, Sri Soemantri (1987:1), di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:9) dalam mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar), diatas, L.J. Van Apeldoorn membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.

Metodologi
3.1. Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari epistemologi amandemen konstitusi yang menjadi fokus penelitian mengapa gagasan DPD untuk mengusung amandemen kelima UUD 1945 tidak mudah menembus benteng keperkasaan DPR. Dalam penelitian tentang amandemen konstitusi ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan amandemen konstitusi yaitu: UUD 1945; Risalah Sidang BPUPKI; Risalah Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002.

Hasil Dan Pembahasan
4.1. Pembahasan
Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550 anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945).
Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

4.2. Hasil
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD selama ini sudah sebelas tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga negara ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Lembaga DPD selama ini bekerjanya hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, sedangkan produknya tidak bernilai. Jangan biarkan DPD diposisikan hanya sebagai lembaga negara assessories dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik dibubarkan saja. Jika ingin mempertahankan DPD, konsekuensi logisnya harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Masih ada kesempatan bagi DPD untuk meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang akan diusung bukan semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi sebagai bentuk pengabdian dalam rangka mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD 1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 dimaksud.
5.2. Saran
1. Yang menyebabkan selama ini DPD kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR mengamandemen konstitusi, bersebab, jumlah anggota DPD hanya 132 orang, tidak ada 1/3 jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Keniscayaan mengamandemen UUD 1945 memposisikan jumlah anggota DPR dan DPD menjadi berimbang.
2. DPD tidak dapat membuat produk dalam bentuk undang-undang disebabkan tidak memiliki kewenangan ikut memutuskan undang-undang. Selama ini fungsi DPD terbatas hanya mengajukan rancangan undang-undang kepada dan muaranya ditangan DPR. Merupakan keniscayaan MPR memberikan kewenangan kepada DPD ikut memutuskan undang-undang jika lembaga negara ini ingin dipertahankan.
3. MPR selama ini tidak terkesan serius merubah UUD 1945 terkait penguatan kelembagaan DPD. Sebab, didalam MPR mayoritas anggota DPR ada dugaan kuat akan menghadang amandemen UUD 1945. Dampak amandemen konstitusi kewenangan DPR menjadi dimadu bersama DPD. Namun, jika MPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi, atas kuasa Pasal 7C UUD 1945, sesungguhnya presiden dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Presiden tidak dapat membekukan/membubarkan DPR.
4. Amandemen UUD 1945 agar dapat menyeimbangkan antara kekuasaan presiden dengan kekuatan DPR. Pasca amandemen UUD 1945 pendulum kekuatan dipindahkan ke DPR, sebelumnya kepada kuasa presiden. Pasca amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden terbelenggu dalam memilih pejabat negara yang menjadi hak prerogratifnya justru memerlukan persetujuan DPR.







DAFTAR PUSTAKA



Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

















Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.

(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf).




Kamis, 10 September 2015

DPD diperkuat Atau Dibubarkan?



DPD diperkuat Atau Dibubarkan?
Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

Para pakar ketatanegaraan, peneliti, dan akademisi, nampaknya sudah mulai redup, atau bahkan sudah bosan menyuarakan agar keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ditinjau ulang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, selama ini, kedudukan DPD sebagai lembaga Negara “antara ada dan tiada” dalam batas penalaran logis untuk apa dilahirkan, jika produknya tidak memiliki arti (meaningless).
DPD adalah lembaga negara yang dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain . MPR yang jumlah anggotanya 692 (560 dari anggota DPR) merasa kapan pun bisa membubarkan DPD. Pelemahan DPD juga dapat disimak dengan saksama mengenai jumlah anggota DPD yang tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi adalah 1/3 jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132. Darimana DPD dapat menggenapi syarat 1/3 dari 692 anggota MPR jika sewaktu-waktu ingin mengusulkan perubahan UUD 1945?. Tentu DPD harus berjuang keras dan "Merayu DPR" untuk memberikan dukungan usulan amandemen yang digagas oleh DPD. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini akan membuat pontang-panting DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, hasil amandemen UUD 1945 MPR melahirkan lembaga Negara bernama DPD yang secara substansial fungsinya sama saja dengan DPA sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan atau pendapat itu tidak ditindaklanjuti.
Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
Selain itu, pasca amandemen UUD 1945, MPR tidak berwenang lagi mengeluarkan produk dalam bentuk pengaturan (regelling). Melalui UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), TAP MPR kembali sebagai hierarki peraturan perundang-undangan. Pasca amandemen UUD 1945, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), yaitu: a. menetapkan Wapres menjadi Presiden; b. memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; c. memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Pada 1 Oktober 2015 usia DPD genap menginjak sebelas tahun. Mari berkontemplatif sejenak tentang keberadaan DPD. Apakah sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga Negara ini untuk rakyat, dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya?. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab isu-isu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD hanya menjalankan tugas konstitusionalnya tetapi tidak melakukan terobosan-terobosan baru yang progresif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan selama ini?.
Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD akan dikenal luas oleh masyarakat.
Menurut Sri Soemantri, salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasr 1945 ialah dibentuknya badan baru yang bernama DPD. Dalam ketentuan lama (sebelum diubah), tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam undang-undang yang kemudian ditetapkan yang dimaksud dengan utusan-utusan dari daerah-daerah ialah wakil dari provinsi-provinsi yang jumlahnya antara 4 (empat) sampai dengan 8 (delapan) orang, tergantung dari jumlah penduduk warga Negara di masing-masing provinsi. Hal ini dituangkan dalam undang-undang.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan prinsip yang mendasari bangunan parlemen Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 berkembang dari anutan prinsip supremasi parlemen dan pembagian kekuasaan (distribution of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power) dan “check and balances”. Sejak perubahan pertama UUD 1945 MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi Negara yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga lainnya. Di bidang legislatif terdapat tiga institusi, yaitu MPR, DPR, dan DPD, ditambah dengan BPK yang juga berfungsi sebagai instrumen kontrol di bidang keuangan Negara. Di bidang yudikatif, terdapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung disertai Komisi Yudisial yang berfungsi dalam rangka rekruitmen hakim dan kontrol atas integritas dan kehormatan para hakim dengan kemungkinan mengusulkan pemberhentian mereka. Sedangkan dibidang eksekutif, terdapat jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Lembaga-lembaga yang menyandang ketiga cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif tersebut diatas, diletakkan diatas basis pengaturan yang sederajat satu sama lain, dan mempunyai hubungan yang saling mengandalkan satu sama lain dalam rangka menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan demokrasi.
Masih menurut Jimly, MPR sebelumnya dianggap merupakan penjelamaan seluruh rakyat, dan karena itu sistem rekruitmen anggotanya ditentukan berlapis-lapis dengan mengendalikan tiga pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (Political representation), utusan daerah (perwakilan daerah= regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional=functional representation). Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakekat perwakilan daerah pada DPD dan hakekat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakekat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmenya. Calon DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik. (3) Karena hakekat DPD terkait erat dengan kepentingan daerah, maka fungsi-fungsi yang dimilikinya seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan dikaitkan secara khusus dengan kepentingan daerah atau berkenaan dengan hal-hal yang mempunyai sangkut paut langsung dengan kepentingan daerah.
Saat ini DPD menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama parlemen di konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amandemen UUD 1945 menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya.
Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memilik arti (meaningless), itulah kajian penulis tentang keberadaan DPD yang anaomali dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan layaknya lembaga-lembaga Negara lain. .
Penulis pernah mengemukakan dalam artikel di Harian Media Indonesia (11/5-2007), bahwa usulan perubahan kelima UUD 1945 pada tahun 2007 sebenarnya inisiator dari DPD, namun dalam perjalanannya dihambat oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya. Tujuan penghambatan tersebut dapat terbaca dengan jelas, DPR tentu tidak ingin DPD menjadi lembaga Negara kuat dan sejajar kelembagaannya, yang akan menjadi rivalnya dalam pertarungan legislasi. Padahal usulan perubahan UUD 1945 ketika itu telah mencapai 238 anggota MPR, dari jumlah anggota MPR 678. Dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR 678. Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga kesempatan bagi MPR unsur DPR untuk menyatakan usulan amandemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan keluar, apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amandemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi disalahgunakan oleh pimpinan MPR memberikan keputusan untuk menarik atau memberikan dukungan amandamen?.
Sebenarnya jika anggota MPR unsur DPR patuh hukum, meski perjanjian usulan amandemen sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR. Setelah DPD gagal mengamandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya di dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD tidak kurang akal, sejurus kemudian berpendapat dan mendesak agar calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 lalu tanpa harus melalui perubahan UUD 1945, menurutnya aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. Usulan dari Dewan Perwakilan Daerah agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan diperbolehkan untuk berkompetisi jelas mudah dimentahkan. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/9-2007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undang-undang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang juga tidak dianjurkan, dengan demikian DPD mengambil kesimpulan bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut dilontarkan dengan pedas oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD “Tolong UUD 1945 dibaca secara komprehensif, jangan dipotong-potong, kalau kami katakan DPD enggak mengerti UUD kami kan tidak enak”. (Kompas, 7/9-2007).

Marilah kita menyimak dengan saksama kutipan Ir. Soekarno berikut ini:
Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang Undang-Undang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman.
Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga1 15 Juli 1945).
Kutipan Ir.Soekarno diatas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan karena hanya buatan manusia biasa, sehingga di dalam Pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law). Jadi masih ada ruang untuk amandemen UUD 1945, apakah DPD dibubarkan atau dipertahankan dengan diberi wewenang.
Dewan Perwakilan Daerah yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika sendiri di dalam konstitusi. Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah analoginya anak lahir kondisi sudah “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.
Sikap Kenegarawanan
MPR tidak perlu ragu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. Hasil amandemen, UUD 1945 juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi disisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang secara substansi mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembaga-lembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD menjadi tidak bernilai (meaningless).
Selain melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang benar adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan pasal 7C UUD 1945 itu sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah membekukan MPR/DPR 21 juli 2001 sehingga dia diturunkan MPR melalui sidang istimewa pada 23 Juli 2001. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur didalam penjelasan.
Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’
Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lemah ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Untuk Apa DPD?.
Editorial Media Indonesia 29/12/2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?.
Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007).
Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asalkan kegiatan itu tidak melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD kembali agar sesuai dengan paham demokrasi.

Dapatkah Presiden Membubarkan DPD?
Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Pemasungan kewenangan kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan konsensus atau lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amendemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya.
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir limabelas tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU. MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah hati atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa tuan-tuan mudah membuat UUD ketinggalan zaman dan cepat usang (verourded)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuan-tuan melahirkan lembaga Negara DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?.
Pasca amandemen UUD 1945, dipastikan tidak ada satupun anak bangsa yang hafal konstitusi. Hal ini disebabkan, disamping amandemen UUD 1945 hampir menambahkan 300% ayat, hal lain ketidakhafalan pelajar dan mahasiswa diakibatkan oleh kandungan konstitusi yang sudah tercerabut akarnya dari nilai-nilai estetika, sehingga kebanyakan orang segan untuk membacanya apalagi menghafalnya. Berapa jumlah ayat UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan?. Jawabnya 71 ayat. Setelah dilakukan perubahan menjadi 199 ayat, dengan demikian penambahannya 128 ayat.
Dewan Perwakilan Daerah kini mulai sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga Negara lain. Singkatnya DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi, karena yang memutuskan undang-undang adalah DPR bersama presiden..
Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (baca: bukan kewenangan) di dalam Pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Tugas DPD tersebut jika kita mengkaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat bermuara ditangan DPR. Mengapa tidak menyampaikan aspirasi langsung ke DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari ameandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar sejajar dengan DPR memiliki tugas fungsi saling mengontrol.
Adapun Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi.

Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah 692 anggota MPR (DPR 560, DPD 132). Jadi 1/3 nya 692 anggota MPR adalah 230 sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR.
Ayat (2) untuk mengubah Pasal-Pasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (692x2/3)= 461 anggota MPR. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disni pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (692:2+1) dibutuhkan jumlah 347 anggota MPR untuk amandemen konstitusi..
Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amendemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amandemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu antara lain adalah menetapkan dan merubah UUD 1945. Seperti itulah gambarannya jika MPR memperkuat kelembagaan DPD akan berdampak kepada konstitusi yang mengatur kewenangan MPR.
Sebenarnya MPR ketika 2007 lalu sudah harus menindaklanjuti dengan saksama
usulan perubahan UUD 1945 yang digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Usulan dukungan amandemen tersebut ternyata fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan,sehingga dukungan amandemen tersebut menjadi berkurang, namun demikian masih dalam batas ambang memenuhi persyaratan minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan malah menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnysa MPR melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian tersebut mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya dukungan amendemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini juga agar DPD dapat berkonsentrasi untuk tahap berikutnya mencapai kourum 2/3 kehadiran jumlah anggota MPR. Dan tahap berikutnya mencapai lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis, putusan untuk merubah UUD 1945 agar kelembagaan DPD dapat kuat sejajar dengan lembaga DPR.
Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (baca: pasal 37 UUD 1945 dengan saksama).
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Lex superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR. DPD perlu memahami bahwa yurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden. Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD. Asas kehati-hatian ini penting dimiliki DPD, agar tidak terperosok ke dalam lubang untuk kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD itu hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari seluruh jumlah 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya adalah persyaratan kourum kehadiran rapat 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Kegagalan amandemen UUD 1945 dan kegagalan menggagas Capres dari unsur perseorangan untuk diwadahi dalam undang-undang, bukan duka terakhir untuk DPD. Usulan DPR agar judul undang-undang pemilu memberi pemisahan antara lembaga legislatif dan DPD, menambah lengkap duka DPD. Usulan DPR itu mendapat reaksi keras dari pimpinan dan anggota DPD (Media Indonesia 21/9-2007). Pemisahan lembaga DPD dengan legislatif, membuat berang sebagian anggota DPD yang merasa kelembagaannya itu dilecehkan. Tanggapan itu dilontarkan oleh Ketua DPD 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita, “kalau DPD dianggap bukan bagian dari legislatif, lantas lembaga apa?. Eksekutif pasti bukan, yudikatif? Apalagi pasti bukan. Audit jelas juga bukan itu tugas BPK. Pertimbangan?. Tentu bukan sudah ada Dewan Pertimbangan Presiden. Penasehat seperti DPA? Jelas bukan karena penasehat tidak dipilih oleh rakyat. Menurut Ginanjar penasehat itu diangkat oleh yang dinasehati” tanya Ginandjar (Media Indonesia 21/9-2007). Senada dengan itu anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yang juga Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud kala itu mempertanyakan motivasi dibalik usulan tersebut, Aksa Mahmud meminta “kalau bukan legislatif bubarkan saja”. Masak DPD lembaga eksekutif. Ini ada apa?. Tegasnya di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta ( Media Indonesia 2/9-2007). Tanpa upaya pendelegitimasian DPD, pada hakekatnya peran dan fungsi DPD itu sudah dipasung oleh konstitusi, DPR tidak perlu menambahi pelengkap derita DPD dengan mengusulkan pemisahan DPD dari lembaga legislatif.
Keteledoran melahirkan lembaga DPD dampaknya luar biasa dahsyat, yaitu, uang rakyat akan terkuras untuk kegiatan operasional dewan dan Sekretariat Jenderalnya sedangkan produknya tidak bernilai (meaningless).
MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai kekuatan penuh di parlemen. Tugas dan fungsi DPD dirumuskan dalam Pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis. Begitulah idealnya jika MPR ingin merubah UUD 1945.

Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: Pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Mari kita simak Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan amandemen kelima UUD tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, apakah DPD dipertahankan diberi kewenangan ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.


HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19