Senin, 19 Agustus 2019

11 TAHUN LALU USULAN ASN DIBERI THR DITERTAWAKAN KINI MENJADI KENYATAAN




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum:
Universitas Satyagama
Universitas Jayabaya
Jabatan Fungsional: LEKTOR
  
          

           

11 tahun yang lalu saya pernah menulis bahwa PNS (Sekarang berubah ASN) perlu diberikan THR oleh pemerintah, banyak sekali teman-teman yang mentertawakan dan mencibir saya, karena dianggap tidak masuk akal. Menurutnya tidak ada anggaran PNS untuk hari raya berbeda dengan bekerja di swasta. Sebab, menurut saya jika PNS tidak diberikan THR secara formal oleh pemerintah, sudah menjadi rahasia umum di bagian masing-masing akan mencari jalannya sendiri-sendiri agar tetap bisa berlebaran di kampung halaman. Hal itu saya rasakan ketika menjadi PNS di Sekretariat Jenderal MPR dan DPD selama 11 tahun saya selalu mendapatkan uang tambahan dari ruangan macam-macamlah istilah uang tambahan tersebut. Pendapat saya tersebut dianggap muskil, alasannya negara tidak menganggarkan pegawainya untuk memberikan tunjangan tambahan berupa pemberian THR. Berbeda dengan argumentasi saya, dengan pemerintah abai memberikan THR kepada aparatur negara, justru dapat membahayakan keuangan negara itu sendiri, karena pada umumnya instansi atau bagian masing-masing bagian yang saya ketahui “akan menerabas mencari jalannya sendiri-sendiri” untuk menggali pundi-pundi rupiah supaya tetap bisa berlebaran. PNS adalah manusia juga yang butuh silaturrahim dengan sanak saudara. PNS utamanya yang berada di Jakarta dianggap tajir duitnya banyak, ketika mudik di kampung halaman sudah terbiasa akan bagi-bagi angpo kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.

 

 

 

 Terlambat Lebih Baik Daripada Tidak

          Usulan saya 11 tahun lalu agar PNS diberikan THR yang menjadi bahan tertawaan, kini menjadi kenyataan PNS sudah dapat tersenyum lebar karena pemerintah telah memberikan gaji ke-14 kepada aparaturnya untuk tunjangan hari raya. Berulang-kali ketika itu saya sampaikan agar pemerintah tidak hypokrit dengan menutup mata sengaja tidak memberikan THR secara resmi karena diduga sudah mengetahui jika PNS ada “Sumber-sumber lain untuk bisa berlebaran”. Usulan saya tentang pemberian THR kepada PNS ini pernah saya sampaikan di website MPR (www.mpr.go.id) dan Blog Hukum saya.

       Selamat kepada ASN yang telah mendapatkan gaji ke-14 untuk tunjangan hari raya.

 

Sabtu, 17 Agustus 2019

HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA ATAUKAH HUKUM WARIS ADAT YANG BERLAKU UNTUK UMAT ISLAM?. ANOMALI UMAT ISLAM MENJALANKAN PERINTAH ALLAH SWT





                                                     Oleh WARSITO
 Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata



Pluralisme hukum kewarisan saat ini dirasa membingungkan masyarakat,  jika belum dipahami  sepenuhnya, sebab,  ada 3 (tiga) macam hukum kewarisan yang berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam yang wajib berlaku bagi umat islam, hukum  kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing  orang tunduk pada hukumnya masing-masing. 
Bagi umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan 176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim menundukkan diri  dengan hukum kewarisan islam.
Sementara hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan tionghoa dan eropa (keturunan), namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an  dan hukum positip yang mewasiatkan umat muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam. Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal (dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal (garis ibu).
Ada sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata, jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852 KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a), meminjam istilah mewaris di jawa sepikul  segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Hal lain perbedaannya antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam ahli waris yang berhak mendapat warisan tidak diperbolehkan menerima wasiat lagi, karena Allah sudah mewasiatkan didalam al quran tentang pembagian ahli waris masing-masing. Namun hukum kewarisan perdata ahli waris yang sudah mendapat warisan masih dapat menerima wasiat sepanjang wasiat itu tidak melanggar LP (Legitime Portie) atau bagian mutlak anak-anak yang lain. Persamaan hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata keduanya sama-sama menganut sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
 

ANOMALI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA

Meski negara Indonesia  mayoritas penduduknya muslim justru terjadi penyimpangan dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata bagiannya dibandingkan  hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak  perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta, sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.

Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan? Islam itu indah dan bijaksana.

Sebelum pembagian warisan para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Namun, setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.

Rabu, 14 Agustus 2019

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO




                                 Oleh 
        WARSITO  

PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI sangat berkesan bagi saya. Siapa yang tidak kenal Soeharto?. Beliau + 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia selain dikenal sebagai bapak pembangunan juga dikenal sebagai pemerintahan yang otoritarianisme. Pada waktu pemerintahan orde baru demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai aturan konstitusi. Kini beliau telah pergi untuk selama-lamanya kita doakan agar almarhum Husnul Khatimah prinsipnya kita harus bisa mikul dhuwur mendem jero kepada semua pemimpin kita. PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO artinya kita harus memaafkan kesalahan atau kekhilafan pemimpin kita dengan menjunjung tinggi dan menghormati segala pengabdiannya kepada bangsa dan negara dengan menutupi kesalahannya.
 
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MENYAKSIKaN TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO
Soal runtuhnya kerajaan Presiden Soeharto pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 sudah banyak diketahui publik, dari mulai dipicu krisis ekonomi di penghujung tahun 1997, hingga pertengahan 1998 yang memporak-porandakan perekonomian nasional. Krisis ekonomi tersebut berkembang liar menjadi krisis hukum, politik, yang bermuara pada krisis kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyebab lainnya, juga sudah diketahui publik, ihwal adanya tanda-tanda alam, tatkala Ketua MPR/DPR, Harmoko,  mengetukkan palu  saat  melantik  pak Harto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya pada 10 Maret 1998, tetapi, palunya mencelat, copot dan patah kepalanya. Lantas, rahasia apa lagi yang sesungguhnya belum diketahui oleh publik?, Baiklah, akan saya bongkar melalui blog hukum saya ini, agar masyarakat mengetahui secara komprehensif, sisi lain, sebab musabab tumbangnya pak Harto dari jabatan Presiden.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Tidak banyak orang yang beruntung bisa dekat dengan  seorang penguasa ketika itu, apalagi seorang Ketua MPR/DPR yang merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki wewenang purbawisesa mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saya mengenal  Ketua MPR/DPR, Harmoko, sejak tahun 1998-sekarang, bukan lantaran memiliki jabatan eselon I, apalagi menjadi Sekjen di Sekretariat Jenderal MPR tempat saya bekerja ketika itu,  bukan pula karena  staf ahlinya atau staf Sekretariat Pimpinan MPR. Tetapi, saya adalah seorang pegawai bergolongan rendahan yang diperkenalkan dengan Harmoko karena berkah dan Rahmat  Allah Yang Maha Kuasa lantaran bisa sedikit bermain tenis lapangan. Sebagai  pegawai rendahan siap melaksanakan tugas, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR menugaskan kepada saya untuk melayani Harmoko bermain tenis dengan sebaik-baiknya. Pesan politis pimpinan Setjen MPR saya paham, sebab, untuk menjadi Sekjen dan Wakil Sekjen MPR adalah usulan ketua MPR/DPR kepada Presiden, maka sudah barang tentu harus diservis dengan baik.  Ketika Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR, setiap hari Minggu pagi-pagi rutin  bermain tenis di lapangan Tenis Sekretariat Jenderal MPR, Widya Chandra, Komplek Menteri, Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Luar biasa berjubelnya manusia pagi-pagi yang mengerumuni Harmoko ikut-ikutan bermain tenis, dari mulai anggota DPR, pengusaha yang mendekat dengan tujuan  projet, dan masih banyak  lagi orang-orang dengan modus kepentingan lainnya. Harmoko benar-benar bak gula yang dikerubungi semut. Sehabis sholat subuh, saya harus menyiapkan kebersihan lapangan tenis, termasuk menyiapkan ball boy (pemungut bola) untuk melayani Harmoko. Harmoko, selain rutin  hari Minggu bermain Tenis  di lapangan tenis Setjen MPR, Widya Chandra, dua minggu sekali juga bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR-RI, Cisarua, Bogor. Yang membuat miris bathin saya, tatkala Harmoko lengser dari jabatan Ketua MPR/DPR, manusia-manusia yang berjubel, menyemut dan berduyun-duyun tadi, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Itulah sifat kebanyakan manusia Indonesia, ketika orang lagi menjabat dikerubuti, begitu Purnabakti langsung dijauhi.
Sering Diajak Bareng HARMOKO Satu Mobil
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Hati saya bergetar ketika pertama kali diajak bareng satu mobil dengan Harmoko duduk berdampingan untuk  bermain tenis di lapangan Tenis Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor. Jika ke puncak bermain tenis, Harmoko selalu  mengendarai mobil kesayangannya, Toyota Fortuner, warna hijau. Sepanjang perjalanan saya berdiam diri, kalau tidak ditanya, saya tidak berbicara, saya tahu diri, ewuh berhadapan dengan Ketua MPR/DPR  yang memiliki jabatan super power dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden. Saking senang dan bahagianya berjejer dengan Harmoko, saya terlena dan tidak menyadari, bahwa sesungguhnya diri saya terancam marabahaya, sebab era reformasi, Harmoko dikejar-kejar oleh mahasiswa, jika hal buruk sampai menimpa Harmoko, tentu, saya juga akan terkena imbasnya. Setiap selesai bermain tenis dilanjut makan siang, kesukaan Harmoko selalu makan sate dan gulai kambing dari pak Kadir yang selalu disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI. Kami berkumpul mendengarkan wejangan Harmoko, atau menunggu cerita politik yang sedang aktual. Kalau Harmoko pasif tidak berbicara mengenai politik, maka, kamilah yang memancing, agar Harmoko bercerita sejujurnya mengenai isu-isu hangat politik seputaran gelombang reformasi.
Setelah rehat selesai bermain tenis, dibarengi  makan siang, kebiasaan Harmoko selalu  bercerita ngalor ngidul, terkadang cerita lelucon yang membuat ger-geran kami semua, terkadang juga cerita diselingi seputaran tentang  makna hakekat kehidupan. Akhirnya, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu, Harmoko berbicara jujur tentang gerakan reformasi yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden, kata Harmoko: “Gimana, Wong pak Harto masih pengen jadi Presiden lagi” (Gimana, orang Pak Harto masih ingin menjadi Presiden lagi”). Masih kata Harmoko, tidak seperti biasanya, pak Harto sebelum dilantik menjadi  Presiden   menghubungi calon pembantunya terlebih dahulu.  Namun kali itu, sebelum pelantikan menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, jauh-jauh hari pak Harto sudah menghubungi para pembantunya, agar bersedia memperkuat pemerintahannya. Inilah yang dikatakan bung Harmoko, bahwa pak Harto itu sudah ndisikki kerso (mendahului kehendak Tuhan), jadinya keweleh.
PENGALAMAN  3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JERO Dalam batas penalaran logis pengakuan Harmoko, masuk akal, siapakah orangnya yang tidak ingin menjadi Presiden seumur hidup?. Karena  sistemnya yang memungkinkan untuk itu, akibat tafsir bersayap Pasal 7 UUD 1945 redaksi lama: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pertanyaannya, dimana letak kesalahan pak Harto jika masih mau menjadi Presiden ketujuh kalinya?. Jawabannya, secara normatif tidak ada yang salah, hanya saja Pak Harto lihai mengemas agar pencalonannya kembali menjadi Presiden ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat, dan Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR yang mewakili aspirasi rakyat  sudah melaporkan bahwa rakyat masih menghendaki pak Harto menjadi Presiden kembali. Oleh karena itu, sudah tepat, melalui amandemen UUD 1945 Pasal 7 dikoreksi menjadi sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Harmoko Dianggap Brutus
Gerakan reformasi  Mei 1998 yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menumbangkan Soeharto sudah tidak dapat dibendung lagi. Posisi Harmoko ketika itu dilematis, bahkan terjepit. Satu sisi, sebagai ketua MPR/DPR harus menyuarakan aspirasi rakyat menyikapi permintaan berhentinya pak Harto dari jabatan Presiden, sisi lain, tentu, Harmoko bingung tujuh keliling, apakah setega itu memundurkan pak Harto, orang yang telah  berjasa membesarkan dirinya. Namun, pilihan apa pun harus diambil Harmoko, meski pahit dampaknya. Akhirnya, Harmoko bersama Pimpinan DPR memberikan pernyataan pers dengan lantang berani menyatakan bahwa: “Demi kepentingan bangsa dan negara, agar Soeharto dengan arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatan Presiden”. Genderang pernyataan Harmoko tentu saja membuat istana marah besar, publik pun menyikapi pernyataan Harmoko berbeda-beda. Ada yang memuji  keberanian Harmoko, tidak sedikit pula yang menilai Harmoko Brutus (pengkhianat). Nama Harmoko yang diplesetkan (Hari-Hari Omong Kosong) menjadi bulan-bulanan publik. Masyarakat awam tidak habis pikir, sebagai ketua MPR/DPR Harmoko lah yang mengangkat Presiden, dan Harmoko pula yang meminta Soeharto berhenti dari jabatan Presiden. Dari perspektif politis dan hukum, baik pak Harto maupun bung Harmoko tidak bisa dikatakan salah, yang keliru adalah sistem ketatanegaraannya yang harus diperbaiki.  Sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko berkewajiban menyuarakan aspirasi rakyat yang menghendaki turunnya pak Harto dari jabatan Presiden, meski berhadapan dengan orang yang pernah menyayanginya.
Kini, Harmoko sudah sepuh, usianya  sudah  80 an tahun, dan sakit-sakitan, mari kita doakan semoga Harmoko diberikan kesehatan, bagaimana pun beliau adalah orang yang memiliki kelebihan saat menjabat Menteri Penerangan. Meski ia hanya tamatan SLTA, setahu penulis, pemikiran dan ingatannya sangat cemerlang. Ketika kami Jum’atan di Masjid komplek Wisma Griya Sabha, Kopo DPR RI, Cisarua, Bogor, Harmoko selalu mendapat sapaan dan simpati dari masyarakat, terutama ibu-ibu berbaris dengan sebutan “si Ganteng”. Ingatan kita masih segar tatkala program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa/Siaran Pedesaan RRI) yang digagas oleh Harmoko mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Berbicara kekurangan orde baru secara filosofis tentu banyak, antara lain, tidak berkembangnya pers, jika ada pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sudah menjadi rahasia umum akan terkena pembredelan. Jika ditilik dari sistem pemerintahan orde baru, lagi-lagi ini bukan semata-mata kesalahan Harmoko, sistem bangunan demokrasi lah yang perlu dibenahi. Begitu juga pak Harto, menurut penulis adalah seorang Presiden yang luar biasa, kinerjanya nyata dirasakan oleh rakyat, keamanan yang terkendali  dan Harga-harga di pasaran yang murah, hal ini yang selalu diingat oleh rakyat. Sebagai manusia, tentu ada kekurangannya.
Ketika tahun 2008, Harmoko mendirikan PKN (Partai Kerakyatan Nasional), sayangnya, tidak lolos Verifikasi, beliau memanggil saya kerumahnya, jalan Patra Kuningan XII, Jakarta. Sesampai dirumahnya sambil ngobrol-ngobrol Harmoko bertanya: “Kamu tahu SARS nggak?. Saya jawab, tahu pak!, Apa itu?, kata Harmoko, saya jawab: Severe Acute Respiratory Syndrome atau gangguan pernapasan, yaitu batuk, napas pendek dan kesulitan bernafas. Kata Harmoko, salah!. Yang  benar, “Saya Amat Rindu Soeharto”. Saya tertawa terpingkal-pingkal, dalam hati saya, ada-ada saja Harmoko ini orangnya.
  PENGALAMAN 3 TAHUN BERSAMA HARMOKO MEMBUKA TABIR DETIK-DETIK RUNTUHNYA SOEHARTO MEMAKZULKAN DIRINYA SENDIRI KITA HARUS MIKUL DUWUR MENDEM JEROB Begitulah warna warni pemimpin yang pernah kita miliki, dari zaman ke zaman masing-masing memiliki corak, kehebatan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak pernah akan menemukan pemimpin yang sejati dan sempurna. Falsafah jawa mengatakan mikul dhuwur mendem jero, cocok sekali diterapkan dan diamalkan kepada semua pemimpin kita yang telah mendarmabaktikan pikiran dan tenaganya untuk pengabdian kepada ibu pertiwi, agar kita menjadi kesejatian bangsa yang berbudaya dan berkeadaban tinggi. Indonesia pernah memiliki presiden-presiden yang hebat: Pak Soekarno, pak Harto, pak Habibie, GusDur, bu Mega, Pak Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang pak Joko Widodo.



REFLEKSI 15 TAHUN KELAHIRAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA



Warsito[1]
ABSTRACT
                The uproar of discourse on the fifth amendment of the constitution sparked public attention. Proposed amendments to the constitution are always intensively initiated by the Regional Representative Council (DPD). Because, this state institution was born, but was not given the slightest authority by the 1945 Constitution. The three functions owned by the DPD, both the legislative function, the consideration function and the oversight function if not followed up by the DPR do not have juridical implications. Within the limits of logical reasoning, for what the People's Consultative Assembly (MPR) gave birth to the DPD state institutions, but the product has no meaning (meaningless).
Keywords: Amendments to the 1945 Constitution, DPD meaningless, checks and balances.
A.    PENDAHULUAN
 Latar Belakang Masalah

           
            Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti (meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain, MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini, DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun 2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara yang dihasilkan dari reformasi melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Refleksi 15 tahun kelahiran DPD penulis akan mengkaji hal-hal apa saja yang sudah dikerjakan oleh DPD dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakan.
            Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.

            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: 

            “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
            Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR.

 Rumusan      Masalah
            Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling) sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.

B. Pembahasan
            Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550 anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

            Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
            Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945).
            Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
            Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

C. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD 1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 dimaksud.




DAFTAR         PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.

(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf). 



[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19