Warsito[1]
ABSTRACT
The uproar of discourse on the
fifth amendment of the constitution sparked public attention. Proposed
amendments to the constitution are always intensively initiated by the Regional
Representative Council (DPD). Because, this state institution was born, but was
not given the slightest authority by the 1945 Constitution. The three functions
owned by the DPD, both the legislative function, the consideration function and
the oversight function if not followed up by the DPR do not have juridical
implications. Within the limits of logical reasoning, for what the People's
Consultative Assembly (MPR) gave birth to the DPD state institutions, but the
product has no meaning (meaningless).
Keywords:
Amendments to the 1945 Constitution, DPD meaningless, checks and balances.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik
perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi
tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang
dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan
apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam
batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti
(meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil
amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain,
MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika
pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan
kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika
sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode
DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat
kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini,
DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun
2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial
terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif
termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat
melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and
balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke
masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara yang
dihasilkan dari reformasi melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Refleksi 15 tahun kelahiran DPD penulis akan mengkaji hal-hal apa saja yang
sudah dikerjakan oleh DPD dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakan.
Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika
melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan
presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan
UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara
(concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai
pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara
konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada
perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama
ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak
diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga
negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah
tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di
tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi
sebagai berikut:
“DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling) sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
B. Pembahasan
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling) sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
B. Pembahasan
Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada
tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada
pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550
anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3
usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan
amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan
amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi
Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka
restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak
memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi
restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang
dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah
anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan
dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam
pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial
representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan
sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan
oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah
ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk
menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut
justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik
untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan
"mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam
artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat
waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204
anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945.
Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan
amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus
2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR
seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas
konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah
ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib
ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak
boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen
tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis
digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei
2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7
Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota
MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau
partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian
persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota
Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal
37 UUD 1945).
Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk
amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini
hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota
MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah
anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima
puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme
perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota
DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap,
perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila
hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan
menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat
mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan
terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah
lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah
terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C
yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah
anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945
harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan
jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota
DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal
7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka
peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya
rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR dan DPD”.
C. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam
mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD
1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan
oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi
Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD
1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan
UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah
Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945
dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan
Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.
(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.