Rabu, 14 Agustus 2019

REFLEKSI 15 TAHUN KELAHIRAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA



Warsito[1]
ABSTRACT
                The uproar of discourse on the fifth amendment of the constitution sparked public attention. Proposed amendments to the constitution are always intensively initiated by the Regional Representative Council (DPD). Because, this state institution was born, but was not given the slightest authority by the 1945 Constitution. The three functions owned by the DPD, both the legislative function, the consideration function and the oversight function if not followed up by the DPR do not have juridical implications. Within the limits of logical reasoning, for what the People's Consultative Assembly (MPR) gave birth to the DPD state institutions, but the product has no meaning (meaningless).
Keywords: Amendments to the 1945 Constitution, DPD meaningless, checks and balances.
A.    PENDAHULUAN
 Latar Belakang Masalah

           
            Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti (meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain, MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini, DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun 2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara yang dihasilkan dari reformasi melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Refleksi 15 tahun kelahiran DPD penulis akan mengkaji hal-hal apa saja yang sudah dikerjakan oleh DPD dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakan.
            Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.

            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: 

            “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
            Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR.

 Rumusan      Masalah
            Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling) sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.

B. Pembahasan
            Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550 anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

            Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
            Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945).
            Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
            Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

C. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD 1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 dimaksud.




DAFTAR         PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.

(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf). 



[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Sejarah Pati Kota Bumi Mina Tani Dimana Saya Dilahirkan

  Pati adalah kota kelahiran saya, namun saya tidak lahir di Tengah-tengah kota Pati melainkan Pati Selatan tepatnya di desa Kayen dekat mak...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19