Kamis, 02 Februari 2017

Kisah Mengharukan “Mahasiswi Kaki Bertongkat” Tapi Selebritis Kampus






Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

       Bersyukurlah bagi kita yang bisa mengenyam pendidikan dengan baik, karena dengan pendidikan akan dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik pula, minimal hidup ini tidak akan keblangsak. Namun, tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya dan ketiadaan kesempatan untuk meraihnya. Jangankan untuk biaya sekolah (kuliah), untuk bertahan hidup soal urusan perut saja banyak orang yang tak berdaya dibuatnya. Saya diantara orang yang mengalami nasib tidak beruntung itu, pada tahun 1983 setamat SMP, karena ketidakberdayaan orang tua untuk menyekolahkan SMA, terpaksa saya harus berkelana ke Jakarta untuk mencari peruntungan menenggak manisnya madu ibu kota negara. Kerja serabutan saya jalani, Motto saya yang penting halal, dari mulai pemungut bola lapangan tenis, kuli bangunan dan office boy yang penting bisa bertahan hidup di kehidupan Jakarta yang keras. Ditengah-tengah merasakan penderitaan  kejamnya ibukota, ketika dijalanan saya melihat anak-anak sekolah SMA sedang bercengkerama, batin saya menangis, saya rindu ingin kembali bisa bersekolah. Akhirnya, pada tahun 1984 keinginan itu terwujud di sekolah malam SMA TRI UTAMA, Duren Tiga, Jakarta Selatan yang ujian nasionalnya menggabung di SMA 55 Negeri, jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta-Selatan. Setamat SMA tahun 1987 saya mencolot sana-sini, berkelana bekerja serabutan mulai dari Jakarta-Medan-Palembang-Semarang-Pati sampai balik lagi ke Jakarta, akhirnya pada tahun 1997 saya “terdampar” menjadi PNS Sekretariat Jenderal MPR dengan bermodalkan ijasah SMA bergolongan ruang IIa. Dengan menjadi PNS, setelah terkumpul cukup uang, pada tahun 1998 saya nekat mendaftarkan kuliah di fakultas hukum Universitas Satyagama, Jakarta, dan lulus pada tahun 2002. Setamat S1 maksud hati kuliah tidak munafik jelas untuk memperbaiki taraf hidup, tapi penyesuaian ijasah yang saya harapkan tak kunjung datang, hal ini karena pejabat Sekretariat Jenderal MPR tak memahami (baca: tidak bersih hati), padahal sudah ada PP No 12 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat PNS, dimana dinyatakan dengan terang benderang, PNS yang menamatkan S1 tetapi masih bergolongan ruang IId kebawah dapat disesuaikan menjadi golongan ruang IIIa. Anehnya, kesarjanaan saya belum juga disesuaikan, tetapi ketika ada pembahasan Tata Naskah Dinas DPD-RI saya diikutsertakan sebagai Tim Perumus, saya adalah salah satu TIM PERUMUS TATA NASKAH DINAS DPD-RI TAHUN 2007,  padahal sebenarnya ini adalah tugas pemikir (sarjana), sedangkan gaji saya kalau dikepolisian itu masih “dibintarakan” (golongan IIc terakhir). ANEH TAPI NYATA!. Lama menunggu ijasah S1 tidak segera disesuaikan, setelah terkumpul uang cukup pada tahun 2004 saya kembali melanjutkan kuliah S2 di fakultas hukum Magister Kenotariatan Universitas Indonesia dengan lulus tepat waktu pada tahun 2006.


Kuliah di UI Bagaikan Kawah Candradimuka
       Mahasiswa kakinya cacat tetapi karena cerdas menjadi selebritis kampus. Perjalanan kuliah di UI dari tahun 2004-2006 sangat berat saya rasakan. Kaki cuma dua, tetapi harus berpijak kesana-kemari sudah di masyarakat mendapat beban berat sebagai Ketua RT, belum menjadi kepala keluarga, ditambah pekerjaan menumpuk di bagian Persidangan MPR, mau berangkat kuliah meninggalkan ruangan saja susahnya bukan main, benar-benar dibuat pusing tujuh keliling belum tugas seabrek-abrek yang dibebankan dosen, baik tugas individual maupun tugas secara kolegial. Masih diperparah lagi dengan kelompok belajar yang krangkring-krangkring ribut mengajak belajar kelompok. Untuk mendapatkan nilai C saja susahnya minta ampun dan bersyukur karena tidak akan mengulang lagi yang akan dapat menguras pikiran, tenaga dan konsekuensinya akan menambah biaya, sungguh berat rasanya perjuangan mahasiswa untuk memperoleh nilai yang kampusnya terkenal MASUK SUSAH KELUAR SUSAH ini. Disini tidak ada istilah dosen memberikan belas kasih nilai kepada mahasiswanya, dosen umumnya angker, tinggal mahasiswa bisa atau tidak. Bahkan ada dosen yang sadis, sehabis UTS atau UAS rumahnya ditulisi “TIDAK MENERIMA TAMU MAHASISWA”, mahasiswa yang membawa bingkisan ke rumahnya, oleh-oleh itu disuruh membawa pulang. Yang lebih tidak bisa diterima dalam batas penalaran logis, ketika dosen sedang mengajar ada mahasiswa yang membelikan juice, tetapi dosen tersebut tidak mau, dengan alasan tidak terbiasa minum juice, tersiar khabar luas pemberian juice ini dikhawatirkan berdampak memengaruhi penilaian mahasiswa. Bagaimana jika selama ini saya menjadi dosen di kelas disuguhi air mineral oleh mahasiswa?. Jujur saja, saya menerima dan saya minum, pemberian mahasiswa itu masih dalam batas-batas yang dibenarkan sesuai kaidah akademis. Dibalik mayoritas keangkeran dosen, ada satu-satunya dosen yang terlalu baik hati, selain tidak pelit nilai juga setiap UTS atau UAS dari 175 mahasiswa selalu memberikan suguhan kue kotak, dosen ini selalu dielu-elukan mahasiswa dan senantiasa didoakan oleh mahasiswa semoga sehat dan panjang umur serta murah rezeki.

Selebritis Kampus
        Awal-awal masuk kuliah pada semester pertama saya dibuat shock, dari 8 mata kuliah yang saya ambil saya cuma lulus 2 mata kuliah, tetapi ada yang lebih tragis lagi nasibnya ketimbang saya, salahsatu teman saya cuma lulus 1 mata kuliah, padahal selain kuliah dia juga pegawai UI di bagian Fakultas Kesehatan masyarakat, tinggal melangkahkan kaki ketika kuliah. Ketika di kelas dosen sedang menerangkan saya plonga-plongo, saya merasa asing sekali hitung-hitungan waris perdata dan waris islam yang disampaikan oleh dosen ditambah istilah-istilah waris yang jelimet, sementara pada umumnya mahasiswa lancar untuk mengikutinya. Dosen sering mengacak mahasiswa untuk maju ke depan mengerjakan hitungan waris, jika mahasiswa tidak bisa mengerjakan, sekali pun mahasiswa S2 kami dibego’-bego’in. Alhamdulillah, saya termasuk orang yang beruntung tidak pernah ditunjuk secara acak maju ke depan. Menghadapi mata kuliah yang keramat ini saya introspeksi diri, seingat saya ketika kuliah S1 tidak mendapati hitungan-hitungan seperti ini, tapi kenapa sebagian teman saya dari berbagai universitas pada paham, pikiran  yang sempat mampir di benak saya pada waktu itu, tapi saya tidak mau mencari kambing hitam apalagi menyalahkan orang lain, saya kontemplatif lagi, barangkali saya saja  yang tidak bisa, maka saya bertekad akan meningkatkan belajar. Karuan saja saya dan teman yang nilainya jeblok  tadi menjadi selebritis di kampus (selebritis dalam arti negatif), sedangkan sahabat saya yang nilai ujiannya bagus ditambah rajin setiap kuliah membawa tape recorder juga membuat notulen kuliah menjadi selebritis yang sesungguhnya di kampus (selebritis positif), padahal kakinya pincang sebelah memakai tongkat. Ada kejadian menarik ketika kuliah, disini mahasiswa yang menjadi selebritis bukannya mahasiswa/mahasiswi yang bergonta-ganti mobil mewah, bukan yang berparas ganteng bukan pula yang cantik, tetapi mahasiswa yang rajin dan pandai, pasti dia akan menjadi bintang dan dikejar-kejar temannya di kelas meski ia cacat fisik. Itu semua karena yang mengejar-ngejar jelas ada maunya ingin resume catatan hariannya. Mahasiswa jika ada bahan kuliah foto kopian pasti berebut, lebih lucunya lagi foto kopian yang materinya sama hanya beda judulnya saja mereka masih tetap berebutan untuk foto kopi, terkadang ada mahasiswa yang memiliki tabiat seperti anak kecil punya bahan kuliah tetapi disembunyikan, hanya diberikan kepada kelompoknya (ada kelompok eksklusif). Lebih riuh rendahnya lagi ketika pengumuman hasil ujian, di Sekretariat TU Fakultas Hukum gaduhnya bukan main ketika mahasiswa berebut melihat hasil ujian, tentu ada yang senang dan berbahagia karena nilai ujiannya dapat A, B atau C , tetapi tak jarang yang tertunduk lesu merenungi nasib karena hasil nilainya dinyatakan C- atau D alias tidak lulus, masih beruntung yang dapat nilai i (incomplete) mahasiswa tersebut masih bisa mengikuti ujian susulan.
      Mahasiswa selalu berebut ingin duduk di depan untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh materi yang disampaikan oleh dosen, saya pun ikut-ikutan ingin duduk di depan apalagi kalau Prof Jimly Assiddiqie (ketika itu ketua MK) dan Prof Harun Al Rasid Pakar Hukum Tata Negara Indonesia juga Prof. Hikmahanto Juwana.
       Menghadapi kuliah yang berat ini, malam hari menjelang tidur ketika semester II saya menyampaikan niat kepada keluarga untuk berhenti kuliah, saya sudah merasa nggak kuat lagi, sebab, selain sibuk bekerja di persidangan MPR, untuk lulus setiap mata kuliah juga susah. Istri menolak keras seraya bilang: Lanjutkan!, soalnya biaya sudah habis banyak!. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga akhirnya saya bertekad bulat untuk tetap meneruskan kuliah dengan syarat harus merubah pola belajar. Di Pikiran saya hanya ada dua pilihan: “Berhenti kuliah, atau lanjut dengan syarat giat belajar”!. Tidak ada pilihan lain!. Setelah saya putuskan lanjut kuliah, dimana-mana saya membawa buku untuk belajar, di kendaraan pun saya taruh buku-buku, ketika sedang di lampu merah sambil menunggu lampu hijau saya sempatkan untuk membaca buku, terkadang saking keasyikan membaca buku sampai lampu lalu lintas sudah hijau saya masih belum juga jalan, tak ayal dari belakang banyak kendaraan yang berisik bersaut-sautan mengebel. Nyaris hanya di kamar mandi saja saya tidak membawa buku, bahkan diruangan dinding kamar tidur, saya tempelin ringkasan pelajaran yang sudah saya photo kopi dan perbesar, filosofinya meski saya tidak niat belajar ketika saya di kamar tidur pasti memandangi tulisan di dinding yang saya tempel itu. Begitu materi kuliah itu sudah lulus, ringkasan yang saya tempel di dinding kamar tidur tsb langsung saya klotok. Selamat tinggal, Wassalam!, begitu seterusnya. Setiap hari Sabtu, saya juga mengikuti tentir dari kakak kelas yang sudah jago hitung-hitungan waris, saya patungan 300ribuan untuk sewa tempat, honor bimbel dan untuk makan siang. Mengapa banyak mahasiswa yang mengikuti bimbingan waris perdata dan waris islam?. Karena kedua mata kuliah ini menjadi momok bagi mahasiswa, dosen sampai tutup mata pun tidak bakalan mau merubah nilai jika memang mahasiswanya tidak bisa mengerjakan, makanya banyak mahasiswa yang di DO karena dua mata kuliah yang angker ini.  Saking “dimana-mana saya gila membawa buku-buku untuk belajar”, hampir saja saya menyesal, nyaris anak saya ke cemplung kolam renang karena saya keasyikan membaca buku di kursi kolam renang, bersyukur sebelum masuk tubir jurang kolam renang, anak saya sudah ada yang menolong.
     Dari belajar tekun dan sungguh-sungguh, dari jumlah mahasiswa 175 yang diparalel beberapa kelas, HASILNYA: SUNGGUH MENAKJUBKAN!, saya termasuk diantara 75 mahasiswa yang lulus tepat waktu. Melihat kenyataan ini teman-teman saya pada heboh, tidak percaya bagaimana mungkin semula saya terseok-seok di semester I-III banyak mata kuliah yang tidak lulus, semester IV bisa mengejar dan lulus semua bahkan bisa lulus tepat waktu?. Sementara banyak teman yang nilainya bagus di semester I-III menginjak semester IV “kesleo” alias nilainya jeblok tidak bisa lulus tepat waktu. Dibalik kebahagiaan itu, saya merasa berduka karena sahabat saya yang baik hati yang menjadi selebritis kampus dalam arti negatif tersebut benar-benar di DO karena sudah diberikan perpanjangan waktu 2 semester masih nggak lulus-lulus juga. Sahabat saya yang di DO ini meski  “agak lambat pentiumnya”, tetapi orangnya baik dan tulus hati, dari dialah saya banyak mendapatkan bahan-bahan perkuliahan, dia juga yang menjadi “BEMPER” ketika saya nggak masuk kuliah minta tolong nitip absen, tapi kena apes ketangkap karena dosen memanggil mahasiswa satu-persatu, akhirnya kami berdua diminta menghadap dosen tsb  untuk membuat pernyataan tidak akan mengulangi lagi, sekali lagi diulang tidak bakalan lulus mata kuliah hukum agraria. Beliau yang memanggil dan menasehati keculasan kami adalah pakar hukum pertanahan nasional, Prof Boedi Harsono, pengampu mata kuliah Hukum Agraria yang bukunya menjadi rujukan fakultas hukum di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dengan judul: “Sejarah Agraria dan Himpunan Pertanahan”. Satu lagi pengalaman yang tak terlupakan ketika sedang menghadapi UAS, sahabat saya yang di DO tersebut dengan setianya menemani saya menginap tidur di kampus masjid dengan badan berbalut autan anti nyamuk. Hal ini terpaksa saya lakukan, karena sedang menemui apes jam 19.00 WIB ketika saya hendak pulang ke Tangerang, kendaraan saya tiba-tiba mogok tidak bisa di stater, padahal besok paginya masih ada UAS mata kuliah Hukum Agraria yang soalnya beranak-pianak, karuan saja saya menginap di Masjid kampus samping fakultas hukum dekat auditorium Joko Soetono. Semalaman saya bilang sama teman yang ikut menginap, bahwa mata kuliah hukum agraria ini juga momok berat, maka malam ini kita sebaiknya harus begadang untuk belajar, malam ini menentukan lulus atau tidaknya kuliah kita ke depan. Kira-kira jam 2 malam saya melihat teman saya sudah tidur mendengkur dan ngorok, sementara saya menginap di masjid ini benar-benar begadang tidak tidur sama sekali untuk belajar. Alhamdulillah, hasilnya hukum agraria saya dinyatakan lulus dapat nilai B+.

Kuliah Mengelilingi 3 Propinsi
     Selain berat perjuangan untuk lulus setiap mata kuliah di UI, juga menyita waktu, pikiran dan tenaga. Saya bertempat tinggal di Sari Bumi Indah, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten, sementara saya bekerja di Sekretariat Jenderal MPR/DPR di Senayan Jakarta, dalam waktu yang bersamaan setiap hari jam 15.00 WIB saya harus berangkat kuliah ke Depok, Jawa-Barat perkuliahan dimulai pukul 16.30 WIB, nyaris setiap hari saya kuliah mengelilingi 3 propinsi yaitu, Banten-Jakarta-Jawa-Barat. Hasilnya, pada 2 September 2006 saya termasuk ribuan wisudawan di Balairung UI Depok. Selesai S1 tahun 2002 di Universitas Satyagama sampai lulus S2 tahun 2006 menunggu penyesuaian ijasah belum juga dilakukan, seangkatan saya jumlahnya 13 orang yang juga menunggu penyesuaian ijasah nasibnya digantung hanya karena pimpinan Sekretariat Jenderal MPR yang tidak punya hati dan tidak amanah, maka dengan mengucap: “Bismillahirrahmanirrahin” pada bulan Februari Tahun 2008 saya memutuskan untuk berhenti menjadi PNS dengan beralih profesi menjadi jasa hukum dan dosen. Saya berketetapan hati, bagi saya yang memberikan pensiun itu bukan negara, tetapi Allah SWT. Rezeki Allah SWT itu benar-benar maha luas, terbukti setelah saya mengambil keputusan nekat resign dari PNS, ternyata yang bisa makan itu  tidak cuma orang yang berpenghuni di gedung MPR/DPR saja.
 

Selasa, 31 Januari 2017

Antara Percaya Sumpah Patrialis Akbar Atau KPK?




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta 



                Pasca ditangkapnya OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK, Patrialis Akbar dengan percaya diri memberikan keterangan pers dengan suara lantang sambil  bersumpah demi Allah untuk meyakinkan publik, bahwa dirinya merasa dizalimi. Sumpah yang diucapkan ini  tidak main-main karena mengatasnamakan Tuhan dapat menarik simpati masyarakat sehingga dapat mengaburkan pandangan publik, apakah sesungguhnya yang bersangkutan melakukan korupsi atau tidak. Dampaknya, ada sebagian minoritas masyarakat yang dihadapkan dua pilihan antara percaya kepada Patrialis, atau kepada KPK. Namun, melihat rekam jejak KPK selama ini ketika menangkap OTT tidak pernah ada satupun yang gagal dikurung atau bebas diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka dalam batas penalaran logis sulit rasanya untuk tidak mempercayai  kinerja KPK yang  profesional dan memiliki akuntabilitas tinggi. Kerja KPK yang profesional selama ini dapat dijadikan referensi publik, bandul timbangan masyarakat akan bergeser lebih percaya kepada KPK ketimbang sumpah yang diucapkan nekat oleh Patrialis Akbar.
KPK Itu Hebat
Ketika saya mendapat tugas dari Bapak Rektor Universitas Satyagama, Jakarta, untuk mengikuti undangan Training of Trainers (ToT) Pendidikan Anti Korupsi, bagi dosen PTS Kopertis Wilayah III DKI Jakarta,  Kopertis Wilayah I Medan, Kopertis Wilayah IX Makasar, dan Kopertis Wilayah XII Ambon, yang diselenggarakan pada tanggal 9 s/d 11 Desember 2013 di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, saya  sungguh merasa bangga, dan salut memiliki komisi antirasuah di negeri ini yang sistem bekerjanya selain profesional, independen, adil juga  akuntabel. Penyidik KPK, Ganjar, ketika di kelas pernah memberitahukan kepada kami, bahwa KPK memiliki alat super canggih barangnya kecil  mirip balpaint tapi  harganya super mahal sekitar 400jutaan. Alat itu berfungsi untuk menyadap percakapan hingga 400m, hebatnya pula ketika percakapan orang yang diduga korupsi itu belok masuk ke kamar tidur atau kamar mandi alat itu pun bisa di stel masuk mengikuti ke ruangan tsb, bahkan ketika sang koruptor sedang berbisik-bisik dengan membawa seorang perempuan di hotel akan terdengar semua percakapan itu. Makanya penyidik KPK senyum-senyum saja ketika ada koruptor yang mungkir, padahal alat bukti sadapannya sudah berada digenggamannya. Hebat perangkat milik KPK itu, lebih lanjut pak Ganjar sempat menerangkan dihadapan dosen-dosen, jika ada koruptor yang mungkir padahal rekamannya sudah ditangan KPK, maka KPK tambah geregetan, berbeda jika sang koruptor langsung mengakui. Sebelum penutupan ToT tsb, pak Ganjar penyidik KPK banyak dikerubuti para peserta untuk mengajak berfoto bersama, saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berfoto bersama sambil kenalan dan minta No. HPnya.  Selain penyidik KPK beliau juga dosen fakultas hukum Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu saya pernah bilang dengan pak Ganjar, jika sewaktu-waktu saya membutuhkan beliau untuk memberikan seminar kepada mahasiswa kami di Universitas Satyagama, beliau menyatakan kesiapannya. Sayang, niatan saya sampai sekarang belum pernah kesampaian, padahal orangnya baik dan mempersilahkan saya datang ke UI jika membutuhkan sebagai narasumber.

Taruhan Makan di Restaurant Pulau Dua Senayan.
Dengan melihat rekam jejak KPK yang bekerja secara apik dan marwahnya selama ini terjaga dengan baik, saya sempat taruhan kecil-kecilan dengan teman, saya memilih lebih percaya KPK ketimbang sumpah Patrialis Akbar meski membawa-bawa nama Allah segala, sementara teman saya lebih percaya sumpah Patrialis Akbar yang merasa di zalimi. Jika ternyata hasilnya sumpah Patrialis Akbar yang benar alias dinyatakan tidak bersalah, berarti saya yang kalah akan mentraktir teman saya di rumah makan Pulau Dua, Senayan. Kebalikannya, jika KPK yang benar dan Patrialis diputus bersalah oleh pengadilan TIPIKOR maka teman saya akan mentraktir saya di rumah makan lesehan sunda. Marilah kita saksikan bersama, apakah yang benar sumpah Patrialis Akbar, ataukah KPK yang profesional?. Dari melihat wajah ketika sedang mengucapkan sumpah, gerak tubuh maupun suasana kebatinan saya lebih percaya 99% kepada KPK.

Sabtu, 28 Januari 2017

Bukan PNS Tapi Bisa Pensiun Bagaimana Caranya?

Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta

 
                Siapa pun yang membaca judul tulisan diatas, dalam batas penalaran logis tak percaya, bahkan  bagi orang yang belum bersih hati nurani bisa dianggap tulisan saya tersebut hanya membual sebelum menyimak dengan saksama tulisan ini secara komprehensif.
                Perbedaan status PNS dengan swasta bersumber dari segala intinya adalah soal pemberian  pensiun kepada PNS dihari tua, sedangkan bagi karyawan swasta tidak. Di tahun 1980-an banyak orang yang ogah untuk menjadi PNS lantaran gajinya sangat kecil sekali, sekarang status PNS menjadi seksi dan banyak diuber-uber orang karena gaji dan remunerasinya yang sudah wah, maka tak heran dan sudah menjadi rahasia umum banyak PNS yang diterima karena menyuap bukan karena kompetensinya, tak tanggung-tanggung bahkan ada yang hingga ratusan juta untuk memuluskan menjadi golongan IIIa. Seiring dengan perkembangan zaman sekarang roda berputar, di tahun 1980an PNS yang dihindari kini menjadi dikejar bak seperti gadis seksi meski terkadang dengan menghalalkan segala cara. Reformasi birokrasi era Pemerintahan Jokowi ini sekarang sudah sangat baik dapat merubah paradigma sistem perekrutan PNS melalui CAT (Computer Asisted Test) yang dibuat oleh BKN yang hasilnya langsung diumumkan seketika, dampaknya memberikan ruang gerak sempit untuk praktek sogok-menyogok, namun peluang suap masih bisa sedikit terbuka jika peserta sudah penentuan akhir di tingkat user (pengguna tempat bekerja PNS) masih bisa dimainkan dengan cara suap atau nepotisme.
                Anggapan masyarakat bahwa PNS itu dijamin oleh pemerintah dihari tua sebagai pandangan yang sangat keliru, semua tergantung kepada manusianya bisa memanajemen perekonomian dengan baik atau tidak. Sebagai bukti nyata di perkampungan saya di pedalaman Pati, Jawa-Tengah, banyak pensiunan Pemda, guru dll yang hidupnya justru kelibet utang rentenir bank keliling (bank plecet) yang setiap hari harus mengangsur utang dengan mata mencicil. Hal ini dilakukan karena merasa tiap bulan dapat sisa pensiunan dari negara setelah SK pensiunannya terlebih dahulu digadaikan di BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Swasta Bisa Pensiun
                Pada tahun 2012 saya memulai membuka tabungan PENSIUN SIMPONI di Bank BNI. Menabung tersebut saya niatkan untuk tidak saya ambil, ketentuannya dalam jangka waktu 15 tahun baru bisa dicairkan, tetapi pembagian hasilnya setiap bulan sudah  bisa di print dan diketahui banyaknya. Saya berkomitmen dengan niat sungguh-sungguh jika ada rezeki 100ribu atau 500ribu saya cemplungkan di tabungan ini, saya ibaratkan sedang  membuang hajat besar atau kecil biar saya tidak mengingat-ingat lagi. Cuma yang mencengangkan, bagi hasil Tabungan Pensiun SIMPONI ini lebih besar ketimbang dengan bunga tabungan konvensional hal ini karena belum dilakukan pemotongan pajak. Setelah dicairkan 15 tahun nanti baru hitung-hitungan pajak dilakukan. Namun jika sewaktu-waktu kita membutuhkan darurat, tabungan Pensiun SIMPONI ini bisa kita cairkan dengan konsekuensi terkena pinalti. Untuk memulai menabung PENSIUN SIMPONI  ini harus memiliki kemauan kuat dengan kata lain harus dipaksa untuk menyisihkan sebagian pengahasilan kita. Bayangkan terkadang kita membeli hal-hal konsumtif yang harganya puluhan juta, namun jangka panjang tidak bermanfaat, sedangkan untuk masa depan kita sendiri menyisihkan 100ribu atau 200rb kok teramat pelit?. Jika punya tabungan jangan dibuatkan ATM semua, pengalaman saya karena mudah geseknya berapa pun ATM kita akan mudah terkuras.
                Ayo kita bisa pensiun tanpa harus jadi PNS seperti yang saya sebutkan diatas, buatlah TABUNGAN PENSIUN SIMPONI di Bank BNI, jika kita ada rezeki bisa menyisihkan 100rb, 500rb syukur-syukur 1juta, Insya Allah hasilnya akan menakjubkan dan dapat menolong perekonomian kita jika sewaktu-waktu kita terjepit. Siapa bilang swasta itu tidak bisa pensiun?.
Semoga bermanfaat.

Kamis, 26 Januari 2017

Negara (wan) Ditangkap KPK?

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
                                              Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama                                                         Pengamat Konstitusi
 
                Berita heboh Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ditangkap KPK Oktober 2013 lalu, tak menyurutkan bagi penegak hukum lainnya untuk tidak berkorupsi.  Alih-alih MK membenahi institusinya, justru Rabu kemarin sore institusi sebagai penjaga gawang konstitusi itu kembali dipermalukan untuk kali kedua dengan ulah hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh komisi anti rasywah.
                Jika di jajaran eksekutif seperti kasus bupati Klaten yang tertangkap KPK dengan dugaan memperdagangkan promosi jabatan, publik menyikapinya masih biasa-biasa saja. Biasa-biasa karena selama ini publik mafhum untuk promosi jabatan di instansi dan kelembagaan negara sudah umum diketahui ada yang menggunakan cara-cara yang nista seperti menyuap atau melalui pendekatan nepotisme. Publik juga tak heran ketika dari kalangan legislatif baik level anggota DPR RI-DPRD yang tertangkap tangan KPK. Banyaknya hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan hakim MA yang ditangkap KPK, publik juga masih tidak begitu kaget karena dari hal-hal yang sepele saja seperti penebusan pelanggaran lalu lintas di pengadilan sudah dicegat calo.
                Tetapi pandangan publik kali ini berbeda dan geleng-geleng kepala tatkala Hakim MK yang ditangkap KPK, tentu akan menjadi berita heboh di seantero negeri ini, sebab hakim MK adalah penjaga gawang konstitusi yang satu-satunya pejabat yang dipersyaratkan harus memiliki jiwa negarawan. Negarawan adalah orang yang menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan/atau partai politiknya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat-negara-bangsa. Maka rekruitmen hakim MK perlu ditinjau ulang jangan asal comot orang yang kredibiltas dan kejujurannya masih diragukan.
Negarawan Tidak Terukur
                Selama ini pencalonan hakim MK yang dipersyaratkan orang yang negarawan tidak terukur, hakim MK yang berasal dari kader partai politik hampir mustahil bisa independen putusannya, apalagi berharap bisa negarawan. Jumlah 9 hakim MK yang komposisinya 3 diajukan oleh Presiden, 3 oleh DPR dan 3 oleh Mahkamah Agung sangat tidak tepat, sebab setelah menjadi hakim konstitusi akan tunduk kepada yang mengajukan. Akibatnya, jika sewaktu-waktu Presiden di impeachment oleh DPR dengan menggunakan hak menyatakan pendapat, dugaan DPR bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 jika dilakukan voting di MK, maka posisi presiden masih bisa aman 6:3 atau minimal 5:4 untuk menggagalkan impeachment.
Tamparan Keras Bagi SBY
                Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi yang secara resmi mengucapkan sumpah jabatan pada 13 Agustus 2013 adalah diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Sebagai presiden yang mengajukan setidak-tidaknya SBY memiliki beban moral karena ternyata yang diajukan jauh dari negarawan, apalagi pengajuannnya pada saat itu banyak mendapat kritikan dan terjadi pro kontra. Bahkan, yang saya kutip dibawah ini dari (http://www.suratkabar.id/29488/politik/jadi-hakim-mk-atas-usulan-sby-patrialis-akbar-berakhir-sebagai-tahanan-kpk) menyatakan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menilai penunjukannya ini tidak transparan dan partisipatif.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19