Senin, 26 Agustus 2019

KEDUDUKAN ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MELALUI TAP MPR No VI/MPR/2001 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA





Oleh WARSITO
  Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta



            Manakah yang lebih tinggi kedudukannya etika moral ataukah hukum?. Jika seseorang melakukan perbuatan amoral, melanggar etika, kepatutan dan keadaban publik,  konsekuensinya sudah sepatutnya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa pelanggaran kode etik yang akan dijatuhkan oleh kelembagaan atau organisasi profesi. Namun, ketika perbuatan amoral itu dilakukan oleh individu yang tidak terstruktur dengan kelembagaan atau organisasi profesi, konsekuensinya, yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan di tengah-tengah masyarakat.
            Tetapi bagaimana  jika hukum itu yang dilanggar?. Tentu sanksinya dapat berupa pidana atau gugatan ganti bagi atas perbuatan yang dilanggar.  Jika sanksi pidana berupa hukuman badan dapat dijalani beberapa tahun saja  sudah selesai yang bersangkutan sudah akan dapat bernapas lega, tidur nyenyak. Namun tidak bagi seseorang yang melakukan pelanggaran susila ditengah-tengah masyarakat, selamanya masyarakat akan melabeli orang itu tidak baik. Makanya di Jepang banyak pejabat negara yang bunuh diri (hara-kiri) sebelum kasusnya diadili karena dia sudah merasa malu dan bersalah. Berbeda dengan di Indonesia, meski banyak orang sudah salah bahkan sudah tertangkap Operasi Tangkap Tangan (TOT) KPK, tetap saja berkelit tidak bersalah dengan alasan masih ada praduga tidak bersalah yang menunggu mekanisme penjenjangan hukum yang bersifat incrhact (final).
            Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi, dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung, biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma: etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
            Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
            Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.

Kamis, 22 Agustus 2019

SURAT TERBUKA UNTUK PAK JOKOWI PILIHLAH MENTERI-MENTERI YANG PROFESIONAL DAN JUJUR JANGAN TAKUT TEKANAN POLITIK


Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.


Pak Jokowi presidenku yang saya hormati,
         Saya menulis surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia bapak H. Joko Widodo ini, masih suasana Agustusan disaat bangsa Indonesia sedang gegap gempita memperingati hari kemerdekaannya, sebagai rasa cinta dan bangganya kepada negaranya. Dalam surat terbuka ini, saya coba akan mengingatkan kembali dimana sehari sesudah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 para pendahulu kita telah mengesahkan UUD 1945 sebagai kontitusi hukum dasar negara Indonesia yang didalamnya antara lain menegaskan bahwa pengangkatan menteri-menteri itu adalah hak sepenuhnya (preogratif) Presiden (pasal 17 UUD 1945).
         Namun dalam praktek ketatanegaraan ternyata hak preogratif Presiden ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan untuk mengangkat para pembantunya tersebut dikarenakan koalisi-koalisi pendukung Capres dan Cawapres meski tidak memaksa meminta jatah menteri-menteri, paling tidak menyodorkan nama-nama terbaik kader partai politiknya untuk duduk di Kabinet, hal itu mudah dibaca itu sama saja meminta jatah menteri-menteri. Sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensiil, namun dalam prakteknya sistem presidensiil ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya, Indonesia lebih tepat disebut sistem kuasi (campuran) antara sistem presidensiil dan sistem parlementer, dimana partai-partai politik ikut intervensi kader-kader terbaiknya untuk duduk di kementerian.

          Pak Jokowi yang saya hormati,

   Siapa pun yang menjadi Presiden Republik Indonesia pasti ingin membangun hubungan yang baik dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sebab DPR inilah sebagai supervisi pemerintah. Dalam hal menjalankan roda pemerintahan Presiden memang harus mendengar sungguh-sungguh suara DPR. Relasi antara Presiden dengan DPR memang perlu dibangun dengan baik, agar kebijakan-kebijakan Presiden yang pro rakyat selama ini tidak mendapat gangguan di parlemen.
    Pak Jokowi adalah Presiden yang sangat fenomenal, bapak tidak menjabat ketua umum partai politik, tetapi pak Jokowi bisa menjadi presiden, ini semua karena rakyatlah yang mengantarkan bapak menjadi Presiden, rakyat sudah cerdas bisa melihat dan menilai kinerja pak Jokowi yang selama ini bekerja baik untuk kepentingan rakyat. Oleh karenanya, kepercayaan rakyat ini jangan disia-siakan, termasuk harus mendengar suara rakyat dalam hal mengangkat menteri-menteri yang baik untuk mendampingi pak Presiden. 
        Didalam menentukan menteri-menteri yang disodorkan oleh partai-partai politik jika sekira pak Jokowi menilai tidak profesional bapak harus berani tegas untuk menolak, jangan takut rakyat yang telah memilih pak Jokowi menjadi presiden akan senantisa dibelakang mendukung keputusan bapak yang baik dan bijak.
     Untuk menjadi menteri yang baik di Indonesia sebenarnya sangat sederhana sekali, yaitu harus: jujur (takut kepada Allah SWT), cakap, kapabel, berintegritas dan orangnya bener. Untuk menjadi menteri tidak bisa hanya mengandalkan  intelektualitas saja, soal pengetahuan yang lain-lain itu bisa dipelajari yang paling susah itu mencari orang yang jujur dan bener, karena ini yang lahir dalam hati. Jangan sampai rekrutmen menteri-menteri hasil desakan partai politik nanti justru membelenggu kinerja bapak Presiden sendiri karena dikhawatirkan tidak profesional atau dikemudian hari banyak yang tersangkut kasus hukum.
         
          Pak Jokowi, kalau bisa perbanyaklah Menteri-menteri yang dari unsur profesional biar benar-benar bekerja untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Jangan perbanyak menteri-menteri dari kalangan Parpol meski ini juga sulit untuk tidak bapak lakukan, bersebab bapak diusung oleh koalisi-koalisi partai politik untuk dicalonkan menjadi Presiden. Inilah buah simalakamanya!. Maksud saya, bukan berarti orang Parpol tidak boleh menjadi Menteri, kalau mau merekrut dari Parpol, ambillah Kader-Kader partai politik yang benar-benar profesional dan jujur untuk membantu bapak dalam menjalankan roda Pemerintahan. Saya tidak bermaksud mengusulkan untuk membatasi menteri-menteri dari kalangan Parpol, siapa pun kader Parpol yang ukurannya Profesional dan jujur layak dipilih menjadi menteri pak Presiden.
        
       Pak   Jokowi Presidenku, kami dari akademisi, ketika nama-nama menteri akan diumumkan oleh Presiden kami semua biasanya berkumpul didepan televisi melihat dan mengamati dengan saksama sambil geguyonan, berharap-harap cemas mana tahu ada nama-nama menteri yang nyasar di akademisi ini dipilih pak Presiden menjadi menteri, bahkan ada yang bercanda tapi serius sudah dapat telpon dari Sekretaris Negara belum? (maksudnya utusan Presiden) untuk menghubungi sang calon menteri. Yang lain menimpali: jangan harap anda jadi menteri meski anda Profesor atau Doktor jika anda tidak dekat dengan penguasa atau menjadi pengurus partai politik. Dosen yang lain masih tak kalah menyahut: Buktinya sia Anu dan si X menjadi menteri meski bukan dari partai politik atau dekat penguasa, di pojok diskusi ada yang menyahut: oh..kalau iu dia benar-benar profesional. Mudah-mudahan bapak Presiden nanti mau merubah rekrutmen menteri-menteri, karena pak Presiden diberikan wewenang penuh oleh UUD 1945 memiliki hak preogratif untuk menentukan dan mengangkat menteri-menteri, tidak boleh ada tekanan-tekanan atau tawar menawar dari pihak mana pun termasuk sekalipun dari partai politik yang mengusung bapak menjadi calon Presiden.

Selasa, 20 Agustus 2019

JANGAN GEMETARAN TANDA TANGAN DIATAS MATERAI


Oleh Warsito
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Benda yang namanya Materai ini kita tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah melihat dan bahkan mengalami sendiri untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum baik yang bersifat keperdataan, misalnya, untuk perjanjian/kontrak, kenyataan-kenyataan atau penandatanganan kwitansi untuk  pencairan uang.
            Namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak dijumpai orang yang gemetaran ketika akan melakukan tanda tangan berkas-berkas diatas materai, padahal materai itu tidaklah memiliki pembuktian apa-apa dan tidak sekuat apa yang mereka kira. Materai bukanlah alat pembuktian yang sah anggapan selama ini sangat keliru dan perlu diluruskan.
            Di instansi pemerintah, swasta, atau perorangan jika orang sudah tanda tangan dalam perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat dan sah, lagi-lagi ini anggapan yang salah besar.  
      Lalu, apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang kuat maka harus memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu: d. Oleh sebab yang halal. Itulah syarat sahnya suatu perjanjian tidak ada klausul yang mencantumkan materai.
            Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika suatu perbuatan hukum ingin memiliki pembuktian yang sempurna dan otentik harus memenuhi syarat-syarat akta otentik yang telah ditentukan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang; c. jurisdiksi wilayah kewenangan pejabat tersebut.
              Sekali lagi materai itu bukanlah merupakan alat pembuktian apa-apa, kecuali fungsinya hanya untuk membayar pajak kepada negara, jadi mulai saat ini kita tidak perlu gemetaran ketika menandatangani suatu perjanjian diatas materai.
            Bagaimana jika suatu perjanjian tidak ada meterainya lalu masuk pengadilan?.
Jika suatu perjanjian atau perbuatan hukum tidak ada materainya, tetapi di kemudian hari terjadi sengketa di pengadilan, maka hakim akan memerintahkan untuk pemateraian terlebih dahulu sebelum kasusnya disidangkan, artinya hakim memerintahkan untuk membayar pajak kepada negara melalui pemateraian tersebut.

PERJANJIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
            Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah SWT. Dasar wajib kita menepati  janji sebagaimana Firman Allah SWT:
      Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  (QS. An-Nahl: 91)
      Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (An-Nahl : 94)

Senin, 19 Agustus 2019

11 TAHUN LALU USULAN ASN DIBERI THR DITERTAWAKAN KINI MENJADI KENYATAAN




Oleh WARSITO, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum:
Universitas Satyagama
Universitas Jayabaya
Jabatan Fungsional: LEKTOR
  
          

           

11 tahun yang lalu saya pernah menulis bahwa PNS (Sekarang berubah ASN) perlu diberikan THR oleh pemerintah, banyak sekali teman-teman yang mentertawakan dan mencibir saya, karena dianggap tidak masuk akal. Menurutnya tidak ada anggaran PNS untuk hari raya berbeda dengan bekerja di swasta. Sebab, menurut saya jika PNS tidak diberikan THR secara formal oleh pemerintah, sudah menjadi rahasia umum di bagian masing-masing akan mencari jalannya sendiri-sendiri agar tetap bisa berlebaran di kampung halaman. Hal itu saya rasakan ketika menjadi PNS di Sekretariat Jenderal MPR dan DPD selama 11 tahun saya selalu mendapatkan uang tambahan dari ruangan macam-macamlah istilah uang tambahan tersebut. Pendapat saya tersebut dianggap muskil, alasannya negara tidak menganggarkan pegawainya untuk memberikan tunjangan tambahan berupa pemberian THR. Berbeda dengan argumentasi saya, dengan pemerintah abai memberikan THR kepada aparatur negara, justru dapat membahayakan keuangan negara itu sendiri, karena pada umumnya instansi atau bagian masing-masing bagian yang saya ketahui “akan menerabas mencari jalannya sendiri-sendiri” untuk menggali pundi-pundi rupiah supaya tetap bisa berlebaran. PNS adalah manusia juga yang butuh silaturrahim dengan sanak saudara. PNS utamanya yang berada di Jakarta dianggap tajir duitnya banyak, ketika mudik di kampung halaman sudah terbiasa akan bagi-bagi angpo kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.

 

 

 

 Terlambat Lebih Baik Daripada Tidak

          Usulan saya 11 tahun lalu agar PNS diberikan THR yang menjadi bahan tertawaan, kini menjadi kenyataan PNS sudah dapat tersenyum lebar karena pemerintah telah memberikan gaji ke-14 kepada aparaturnya untuk tunjangan hari raya. Berulang-kali ketika itu saya sampaikan agar pemerintah tidak hypokrit dengan menutup mata sengaja tidak memberikan THR secara resmi karena diduga sudah mengetahui jika PNS ada “Sumber-sumber lain untuk bisa berlebaran”. Usulan saya tentang pemberian THR kepada PNS ini pernah saya sampaikan di website MPR (www.mpr.go.id) dan Blog Hukum saya.

       Selamat kepada ASN yang telah mendapatkan gaji ke-14 untuk tunjangan hari raya.

 

Sabtu, 17 Agustus 2019

HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA ATAUKAH HUKUM WARIS ADAT YANG BERLAKU UNTUK UMAT ISLAM?. ANOMALI UMAT ISLAM MENJALANKAN PERINTAH ALLAH SWT





                                                     Oleh WARSITO
 Alumni Magister Kenotariatan UI Spesialis Hukum Perdata



Pluralisme hukum kewarisan saat ini dirasa membingungkan masyarakat,  jika belum dipahami  sepenuhnya, sebab,  ada 3 (tiga) macam hukum kewarisan yang berlaku di negara kita, yang pertama, hukum kewarisan islam yang wajib berlaku bagi umat islam, hukum  kewarisan adat dan hukum kewarisan perdata. Masing-masing  orang tunduk pada hukumnya masing-masing. 
Bagi umat muslim wajib menundukkan diri dengan kewarisan islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Annisa ayat 11, 12 dan 176. Sejak terbitnya UU. No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan UU. No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama juga mewajibkan bagi umat muslim menundukkan diri  dengan hukum kewarisan islam.
Sementara hukum kewarisan perdata berlaku bagi golongan tionghoa dan eropa (keturunan), namun mengacu ayat-ayat Al-Qur’an  dan hukum positip yang mewasiatkan umat muslim tunduk pada kewarisn islam, maka sekali pun bagi golongan tionghoa dan keturunan eropa jika beragama muslim wajib taat pada hukum kewarisan islam. Berbeda dengan hukum adat, masing-nasing di setiap daerah berlaku secara partikulatif, misalnya di daerah sumatera-utara mewaris berdasarkan patrilineal (dari garis ayah), sementara di Minangkabau mewaris dari garis matrilineal (garis ibu).
Ada sedikit perbedaan antara hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata, jika kewarisan perdata bagian suami/istri dan anak-anak sama besar tidak memperdulikan apakah dilahirkan dari lain-lain perkawinan (pasal 852 KUHPerdata), pun tidak memperdulikan apakah anak laki-laki atau anak perempuan bagiannya sama, satu berbanding satu. Sementara hukum kewarisan islam anak laki-laki bagiannya dua berbanding satu dengan anak perempuan (QS: 4: 11a), meminjam istilah mewaris di jawa sepikul  segendongan, sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Perbedaan hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam juga terletak pada keterangan mewaris yang dikeluarkan, jika golongan tionghoa keterangan mewaris dikeluarkan oleh Notaris, sementara bagi penduduk pribumi (seharusnya terbitnya UU kewarganegaraan mengakhiri istilah pribumi dan non pribumi), keterangan waris dikeluarkan oleh kelurahan diketahui oleh camat. Satu lagi perbedaan antara hukum kewarisan perdata dengan kewarisan islam, jika konflik kewarisan perdata maka domisili hukumnya di pengadilan negeri, sementara konflik kewarisan islam domisili hukumnya diselesaikan di pengadilan agama. Hal lain perbedaannya antara hukum kewarisan perdata dengan hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam ahli waris yang berhak mendapat warisan tidak diperbolehkan menerima wasiat lagi, karena Allah sudah mewasiatkan didalam al quran tentang pembagian ahli waris masing-masing. Namun hukum kewarisan perdata ahli waris yang sudah mendapat warisan masih dapat menerima wasiat sepanjang wasiat itu tidak melanggar LP (Legitime Portie) atau bagian mutlak anak-anak yang lain. Persamaan hukum kewarisan islam dengan hukum kewarisan perdata keduanya sama-sama menganut sistem bilateral dapat mewaris dari bapak maupun dari ibunya.
 

ANOMALI HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA

Meski negara Indonesia  mayoritas penduduknya muslim justru terjadi penyimpangan dalam hal pembagian kewarisan. Al-Qur'an sudah mewajibkan bagi umat muslim untuk melaksanakan wasiat kewarisan islam, namun kebanyakan muslim lebih memilih pembagian kewarisan secara perdata yang dianggapnya lebih adil samarata bagiannya dibandingkan  hukum kewarisan islam anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Secara filosofi hukum kewarisan perdata buatan manusia tidaklah akan lengkap apalagi mencapai ke tingkat kesempurnaan jika dibandingkan dalil naqli buatan Allah SWT tentunya hukum yang mengatur kewarisan islam jauh lebih unggul dan sempurna karena yang menciptakan adalah dzat yang maha kuasa yang mengetahui segala-galanya. Secara filosofi dan dalam batas penalaran logis, siapa yang memiliki tanggungjawab lebih besar, maka konsekuensi logisnya dialah yang akan memperoleh bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki jelas memikul tanggungjawab lebih besar daripada anak  perempuan, dimana wajib memberikan nafkah lahir dan bathin kepada keluarga sementara anak perempuan tidak. Contoh terang benderang, bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan, APRIELA PETERPANIK 60 juta, sedangkan bagiannya TJIUT MENARI 30 Juta. Karena mau kawin APRIELA PETERPANIK harus memberikan mahar dan nafkah kepada istri maka uang 60 jutanya semakin berkurang bahkan bisa habis, sementara TJIUT MENARI akan mendapatkan tambahan terus dari suaminya. Disinilah letaknya, justru kewarisan islam itu mengangkat derajat bagi seorang wanita, tetapi kebanyakan dari masyarakat belum memahami bagian perempuan separoh dari laki-laki dianggapnya sebagai pembagian yang tidak adil, padahal secara filosofi tidak demikian.

Bagaimana jika hukum Kewarisan saling berbenturan? Islam itu indah dan bijaksana.

Sebelum pembagian warisan para ahli waris dapat bersepakat mengadakan perdamaian dalam pembagian warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI/Kompilasi Hukum Islam). Namun, setelah ditempuh dengan jalan musyawarah tidak mencapai kata sepakat, masing-masing dapat melakukan gugatan kewarisan di pengadilan, bagi muslim di pengadilan agama, sedangkan bagi yang menundukkan diri hukum kewarisan perdata penyelesaiannya di pengadilan negeri.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19