Oleh
WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,
Jakarta
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Manakah yang lebih tinggi kedudukannya etika moral ataukah
hukum?. Jika seseorang melakukan perbuatan amoral, melanggar etika, kepatutan
dan keadaban publik, konsekuensinya sudah
sepatutnya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa pelanggaran kode
etik yang akan dijatuhkan oleh kelembagaan atau organisasi profesi. Namun,
ketika perbuatan amoral itu dilakukan oleh individu yang tidak terstruktur
dengan kelembagaan atau organisasi profesi, konsekuensinya, yang bersangkutan akan
mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi bagaimana jika
hukum itu yang dilanggar?. Tentu sanksinya dapat berupa pidana atau gugatan
ganti bagi atas perbuatan yang dilanggar.
Jika sanksi pidana berupa hukuman badan dapat dijalani beberapa tahun
saja sudah selesai yang bersangkutan sudah
akan dapat bernapas lega, tidur nyenyak. Namun tidak bagi seseorang yang melakukan
pelanggaran susila ditengah-tengah masyarakat, selamanya masyarakat akan melabeli
orang itu tidak baik. Makanya di Jepang banyak pejabat negara yang bunuh diri (hara-kiri)
sebelum kasusnya diadili karena dia sudah merasa malu dan bersalah. Berbeda
dengan di Indonesia, meski banyak orang sudah salah bahkan sudah tertangkap Operasi
Tangkap Tangan (TOT) KPK, tetap saja berkelit tidak bersalah dengan alasan masih
ada praduga tidak bersalah yang menunggu mekanisme penjenjangan hukum yang
bersifat incrhact (final).
Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang
bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam
berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No
VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang
seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh
menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi,
dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang
mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung,
biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma:
etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke
titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa
bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika
dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan
kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta
berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan
pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai
politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan
bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan
hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan
hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan
hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan
hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat
diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak
kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara
adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri
ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai
alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para
menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika
kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir
ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan
pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport
lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu
menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
(incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan
Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur
dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski
melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah
gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.