Senin, 02 September 2019

RELEVANSI MASA JABATAN PRESIDEN DENGAN PILPRES SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT



Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

            Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandement (perubahan) UUD 1945 sejak 1999-2002, perubahan yang dilakukan selama empat kali itu setelah penulis mengamati dan memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh, MPR tidak melakukan perubahan dengan cermat dan hati-hati. Pasalnya, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam UUD 1945 terjadi jonjing (tidak nyambung), hal ini dapat dilihat melalui pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan Presiden yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.  Artinya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dikatup oleh konstitusi dengan nyala lampu merah maksimal dua kali masa jabatan. Mari kita kaitkan dengan Pasa 6A ayat (1) yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Dimana Letak Tidak Nyambungnya?.

            Presiden yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung semestinya konstitusi tidak perlu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan. Bagaimana jika kinerjanya Presiden sangat baik untuk rakyat negara dan bangsa, tetapi konstitusi mengatup sudah memberikan lampu merah tidak dapat dipilih kembali?, Jika saja pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR, maka pasal antar pasal seperti ini nyambung untuk membatasi maksimal dua kali masa jabatan presiden, bersebab  anggota DPR dan DPD yang merangkap menjadi anggota MPR itu dikhawatirkan suaranya dalam pemilihan Presiden tidak sejalan dengan suara rakyat yang diwakilinya.

            MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

          Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.

      Komisi Konstitusi ini lahir karena desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan dan parsial. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipakai  oleh MPR sendiri. MPR nampak sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tentang pembentukan Komisi Konstitusi tetapi tidak digunakan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif.

Hasil MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja seperti DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

          Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan kurang profesional, indikatornya, setiap pergantian periode MPR sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi Konstitusi tandingan waktu itu.  MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara maka dibuatlah TAP MPR tersebut yang berisikan tentang pengkajian secara komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pertanyaannya bagaimana tindaklanjut TAP MPR ini?.

Selasa, 27 Agustus 2019

PINDAHLAH IBUKOTA NEGARA INDONESIA ASAL TIDAK MELANGGAR KONSTITUSI


   Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

                                      Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta                                         Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


   

Gaduh wacana pemindahan ibukota negara dari periode ke periode masa jabatan Presiden Republik Indonesia tak berkesudahan. Saatnya Presiden Joko Widodo memimpin negeri ini, nampaknya niat untuk merealisasikan pemindahan ibukota ke Kalimantan akan diseriusi, wajar  usulan ini  pun menuai  pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

   Sesungguhnya usulan pemindahan ibu kota negara ini sudah digulirkan mulai dari Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, (usulan ibukota di Palangkaraya), Soeharto, (menetapkan ibukota alternatif ke Jonggol melalui Keppres 1 Tahun 1997), BJ. Habibie, ( Mengusulkan ibukota pindah Sidrap, Sulawesi Selatan), Susilo Bambang Yudhoyono (mengusulkan Banyumas, Purwokerto, Jawa-Tengah). https://www.kompasiana.com/babomoggi/5cd26e4295760e6c05055b62/5-presiden-pernah-wacanakan-pemindahan-ibukota-negara-siapa-saja-mereka?page=2,  dan terakhir  ini Joko Widodo (mengusulkan ibukota negara ke Kalimantan). https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan.

   Mengapa wacana pemindahan ibukota negara yang sudah lama ini sulit dikonkretkan?. Pertama, sejak amandemen UUD 1945 dimulai tahun 1999-2002 negeri ini tidak memiliki lagi GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dalam rangka menjalankan haluan negara yang terstuktur dan sistematis untuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan ke depan termasuk didalamnya mengatur pola perpindahan ibukota Negara. Dampak GBHN yang ditiadakan, akibatnya setiap pergantian pemimpin nasional wacana pemindahan ibukota selalu mengemuka oleh Presiden lebih ironisnya lagi, setiap pemimpin negeri ini memilki pemilihan tempat pemindahan ibukota yang berbeda-beda.

   Sebaiknya kepindahan ibukota negara tidak dapat diputuskan hanya melalui pembentukan undang-undang atas persetujuan bersama antara presiden dengan DPR, hal-hal yang menyangkut kebijakan strategis simbol-simbol negara untuk kepentingan rakyat negara-bangsa harus diambil putusan melalui forum musyawarah yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR harus menggelar sidang istimewa untuk menentukan perlu tidaknya nasib ibukota negara pindah dari Jakarta ke kota-kota yang disepakati dalam sidang MPR. Hasil keputusan itu dituangkan dalam bentuk Ketetapan MPR (TAP MPR) yang merupakan bagian tata perundang-undangan dibawah UUD 1945, bentuk TAP MPR ini lebih kuat ketimbang melalui undang-undang.

   Jika pemindahan ibukota dilandasi dengan argumentasi Jakarta sudah sarat dengan beban, terjadi kesenjangan antara jawa dengan luar jawa karena Jakarta selain sebagai ibukota negara juga pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat keuangan, pusat bisnis, dan juga karena alasan Jawa sarat beban penduduk (https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan), maka alasan ini kurang tepat. Begitu pula jika  pemindahan karena alasan untuk pemerataan ekonomi juga kurang berdasar, sebab untuk pemerataan ekonomi selayaknya bukan hanya di Kalimantan saja, tetapi harus dapat menjangkau  ke seluruh pelosok tanah air.

Implikasi Pemindahan Ibukota

    Jika ibukota Negara dipindah ke Kalimantan bagaimana kedudukan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara?. Ini artinya majelis nanti harus bersidang di Ibukota Negara yang baru dipilih, dengan demikian gedung yang megah MPR/DPR RI senayan ini tidak terpakai lagi untuk sidang majelis. Jika kepindahan ibukota negara dilakukan di Kalimantan, tetapi MPR tetap bersidang di Jakarta, sesungguhnya ini pelanggaran berat konstitusi. Konkretnya, dengan pemindahan ibukota negara juga akan berdampak pembangunan gedung baru MPR ke ibukota baru tersebut, karena konstitusi menyatakan MPR harus bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Dengan demikian pemindahan ibukota negara ke Kalimantan ini bakalan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikt. Namun untuk sidang DPR tetap dapat dilakukan di Jakarta karena untuk sidang DPR konstitusi tidak menentukan harus di ibukota negara.

    Jika pemindahan ibukota bertujuan untuk trickle down effect sebenarnya juga sangat baik, sebab segala kegiatan dalam bentuk ekonomi yang dilakukan dalam rangkaian yang lebih besar diharapkan akan dapat memberikan efek (menetes) terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang skala cakupannya lebih kecil. Pada prakteknya, teori ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya. Fakta dilapangan justru sebaliknya, dapat disaksikan dengan terang benderang justru trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya akan cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi, justru lupa untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin tetap miskin. Oleh karena itu, pembagian  pambangunan  tetap saja akan dinikmati oleh kalangan atas saja.

   Jika ditilik Jakarta yang sudah sarat dengan segalanya, ada baiknya pemindahan ibukota ini memang perlu dilakukan, paling tidak pemindahan ibukota ini bakalan mengurangi kemacetan Jakarta yang selama ini sulit diurai. Jakarta saat ini sudah menjadi neraka kemacetan, benar-benar ampun kemacetan Jakarta saat ini. Hal lain pemindahan ibukota di Kalimantan ini akan menggeliatkan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat.

    Inilah dampak baik dan buruknya pemindahan ibukota negara yang diwacanakan memilih tempat ke Kalimantan. Namun dalam tulisan ini saya mengapresiasi bapak Presiden Joko Widodo yang telah berkesungguhan untuk merencanakan pemindahan ibukota sebagaimana argumentasi yang dikemukakan diatas. Saya yakin seyakin-yakinnya pemindahan ibukota yang sudah diwacanakan sejak  lama ini akan terealisasi ketika era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Aamiin. Mengapa? Karena selama ini Presiden Joko Widodo sudah memberikan bukti dalam hal infrastruktur yang selama ini hasilnya kita nikmati bersama.

   Namun pak Presiden juga harus berhati-hati, niat yang baik dan tulus ini harus diberengi regulasi yang baik, tepat dan benar oleh karena itu saran saya pemindahan ibukota ini lebih tepat melalui pintu TAP MPR untuk pemindahan ibukota ketimbang melalui undang-undang.

Senin, 26 Agustus 2019

KEDUDUKAN ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MELALUI TAP MPR No VI/MPR/2001 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA





Oleh WARSITO
  Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta



            Manakah yang lebih tinggi kedudukannya etika moral ataukah hukum?. Jika seseorang melakukan perbuatan amoral, melanggar etika, kepatutan dan keadaban publik,  konsekuensinya sudah sepatutnya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa pelanggaran kode etik yang akan dijatuhkan oleh kelembagaan atau organisasi profesi. Namun, ketika perbuatan amoral itu dilakukan oleh individu yang tidak terstruktur dengan kelembagaan atau organisasi profesi, konsekuensinya, yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan di tengah-tengah masyarakat.
            Tetapi bagaimana  jika hukum itu yang dilanggar?. Tentu sanksinya dapat berupa pidana atau gugatan ganti bagi atas perbuatan yang dilanggar.  Jika sanksi pidana berupa hukuman badan dapat dijalani beberapa tahun saja  sudah selesai yang bersangkutan sudah akan dapat bernapas lega, tidur nyenyak. Namun tidak bagi seseorang yang melakukan pelanggaran susila ditengah-tengah masyarakat, selamanya masyarakat akan melabeli orang itu tidak baik. Makanya di Jepang banyak pejabat negara yang bunuh diri (hara-kiri) sebelum kasusnya diadili karena dia sudah merasa malu dan bersalah. Berbeda dengan di Indonesia, meski banyak orang sudah salah bahkan sudah tertangkap Operasi Tangkap Tangan (TOT) KPK, tetap saja berkelit tidak bersalah dengan alasan masih ada praduga tidak bersalah yang menunggu mekanisme penjenjangan hukum yang bersifat incrhact (final).
            Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi, dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung, biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma: etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
            Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
            Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.

Kamis, 22 Agustus 2019

SURAT TERBUKA UNTUK PAK JOKOWI PILIHLAH MENTERI-MENTERI YANG PROFESIONAL DAN JUJUR JANGAN TAKUT TEKANAN POLITIK


Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.


Pak Jokowi presidenku yang saya hormati,
         Saya menulis surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia bapak H. Joko Widodo ini, masih suasana Agustusan disaat bangsa Indonesia sedang gegap gempita memperingati hari kemerdekaannya, sebagai rasa cinta dan bangganya kepada negaranya. Dalam surat terbuka ini, saya coba akan mengingatkan kembali dimana sehari sesudah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 para pendahulu kita telah mengesahkan UUD 1945 sebagai kontitusi hukum dasar negara Indonesia yang didalamnya antara lain menegaskan bahwa pengangkatan menteri-menteri itu adalah hak sepenuhnya (preogratif) Presiden (pasal 17 UUD 1945).
         Namun dalam praktek ketatanegaraan ternyata hak preogratif Presiden ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan untuk mengangkat para pembantunya tersebut dikarenakan koalisi-koalisi pendukung Capres dan Cawapres meski tidak memaksa meminta jatah menteri-menteri, paling tidak menyodorkan nama-nama terbaik kader partai politiknya untuk duduk di Kabinet, hal itu mudah dibaca itu sama saja meminta jatah menteri-menteri. Sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensiil, namun dalam prakteknya sistem presidensiil ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya, Indonesia lebih tepat disebut sistem kuasi (campuran) antara sistem presidensiil dan sistem parlementer, dimana partai-partai politik ikut intervensi kader-kader terbaiknya untuk duduk di kementerian.

          Pak Jokowi yang saya hormati,

   Siapa pun yang menjadi Presiden Republik Indonesia pasti ingin membangun hubungan yang baik dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sebab DPR inilah sebagai supervisi pemerintah. Dalam hal menjalankan roda pemerintahan Presiden memang harus mendengar sungguh-sungguh suara DPR. Relasi antara Presiden dengan DPR memang perlu dibangun dengan baik, agar kebijakan-kebijakan Presiden yang pro rakyat selama ini tidak mendapat gangguan di parlemen.
    Pak Jokowi adalah Presiden yang sangat fenomenal, bapak tidak menjabat ketua umum partai politik, tetapi pak Jokowi bisa menjadi presiden, ini semua karena rakyatlah yang mengantarkan bapak menjadi Presiden, rakyat sudah cerdas bisa melihat dan menilai kinerja pak Jokowi yang selama ini bekerja baik untuk kepentingan rakyat. Oleh karenanya, kepercayaan rakyat ini jangan disia-siakan, termasuk harus mendengar suara rakyat dalam hal mengangkat menteri-menteri yang baik untuk mendampingi pak Presiden. 
        Didalam menentukan menteri-menteri yang disodorkan oleh partai-partai politik jika sekira pak Jokowi menilai tidak profesional bapak harus berani tegas untuk menolak, jangan takut rakyat yang telah memilih pak Jokowi menjadi presiden akan senantisa dibelakang mendukung keputusan bapak yang baik dan bijak.
     Untuk menjadi menteri yang baik di Indonesia sebenarnya sangat sederhana sekali, yaitu harus: jujur (takut kepada Allah SWT), cakap, kapabel, berintegritas dan orangnya bener. Untuk menjadi menteri tidak bisa hanya mengandalkan  intelektualitas saja, soal pengetahuan yang lain-lain itu bisa dipelajari yang paling susah itu mencari orang yang jujur dan bener, karena ini yang lahir dalam hati. Jangan sampai rekrutmen menteri-menteri hasil desakan partai politik nanti justru membelenggu kinerja bapak Presiden sendiri karena dikhawatirkan tidak profesional atau dikemudian hari banyak yang tersangkut kasus hukum.
         
          Pak Jokowi, kalau bisa perbanyaklah Menteri-menteri yang dari unsur profesional biar benar-benar bekerja untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Jangan perbanyak menteri-menteri dari kalangan Parpol meski ini juga sulit untuk tidak bapak lakukan, bersebab bapak diusung oleh koalisi-koalisi partai politik untuk dicalonkan menjadi Presiden. Inilah buah simalakamanya!. Maksud saya, bukan berarti orang Parpol tidak boleh menjadi Menteri, kalau mau merekrut dari Parpol, ambillah Kader-Kader partai politik yang benar-benar profesional dan jujur untuk membantu bapak dalam menjalankan roda Pemerintahan. Saya tidak bermaksud mengusulkan untuk membatasi menteri-menteri dari kalangan Parpol, siapa pun kader Parpol yang ukurannya Profesional dan jujur layak dipilih menjadi menteri pak Presiden.
        
       Pak   Jokowi Presidenku, kami dari akademisi, ketika nama-nama menteri akan diumumkan oleh Presiden kami semua biasanya berkumpul didepan televisi melihat dan mengamati dengan saksama sambil geguyonan, berharap-harap cemas mana tahu ada nama-nama menteri yang nyasar di akademisi ini dipilih pak Presiden menjadi menteri, bahkan ada yang bercanda tapi serius sudah dapat telpon dari Sekretaris Negara belum? (maksudnya utusan Presiden) untuk menghubungi sang calon menteri. Yang lain menimpali: jangan harap anda jadi menteri meski anda Profesor atau Doktor jika anda tidak dekat dengan penguasa atau menjadi pengurus partai politik. Dosen yang lain masih tak kalah menyahut: Buktinya sia Anu dan si X menjadi menteri meski bukan dari partai politik atau dekat penguasa, di pojok diskusi ada yang menyahut: oh..kalau iu dia benar-benar profesional. Mudah-mudahan bapak Presiden nanti mau merubah rekrutmen menteri-menteri, karena pak Presiden diberikan wewenang penuh oleh UUD 1945 memiliki hak preogratif untuk menentukan dan mengangkat menteri-menteri, tidak boleh ada tekanan-tekanan atau tawar menawar dari pihak mana pun termasuk sekalipun dari partai politik yang mengusung bapak menjadi calon Presiden.

Selasa, 20 Agustus 2019

JANGAN GEMETARAN TANDA TANGAN DIATAS MATERAI


Oleh Warsito
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Benda yang namanya Materai ini kita tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah melihat dan bahkan mengalami sendiri untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum baik yang bersifat keperdataan, misalnya, untuk perjanjian/kontrak, kenyataan-kenyataan atau penandatanganan kwitansi untuk  pencairan uang.
            Namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak dijumpai orang yang gemetaran ketika akan melakukan tanda tangan berkas-berkas diatas materai, padahal materai itu tidaklah memiliki pembuktian apa-apa dan tidak sekuat apa yang mereka kira. Materai bukanlah alat pembuktian yang sah anggapan selama ini sangat keliru dan perlu diluruskan.
            Di instansi pemerintah, swasta, atau perorangan jika orang sudah tanda tangan dalam perjanjian/kontrak dengan dibubuhi materai sudah dianggap mempunyai pembuktian yang kuat dan sah, lagi-lagi ini anggapan yang salah besar.  
      Lalu, apakah fungsi materai itu?. Berdasarkan UU. No.13/85 tentang Bea Materai, fungsi materai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak lebih dari itu. Agar kontrak atau perjanjian baik di instansi pemerintah ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang kuat maka harus memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu: d. Oleh sebab yang halal. Itulah syarat sahnya suatu perjanjian tidak ada klausul yang mencantumkan materai.
            Apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika suatu perbuatan hukum ingin memiliki pembuktian yang sempurna dan otentik harus memenuhi syarat-syarat akta otentik yang telah ditentukan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berikut: a. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang; c. jurisdiksi wilayah kewenangan pejabat tersebut.
              Sekali lagi materai itu bukanlah merupakan alat pembuktian apa-apa, kecuali fungsinya hanya untuk membayar pajak kepada negara, jadi mulai saat ini kita tidak perlu gemetaran ketika menandatangani suatu perjanjian diatas materai.
            Bagaimana jika suatu perjanjian tidak ada meterainya lalu masuk pengadilan?.
Jika suatu perjanjian atau perbuatan hukum tidak ada materainya, tetapi di kemudian hari terjadi sengketa di pengadilan, maka hakim akan memerintahkan untuk pemateraian terlebih dahulu sebelum kasusnya disidangkan, artinya hakim memerintahkan untuk membayar pajak kepada negara melalui pemateraian tersebut.

PERJANJIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
            Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah SWT. Dasar wajib kita menepati  janji sebagaimana Firman Allah SWT:
      Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  (QS. An-Nahl: 91)
      Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (An-Nahl : 94)

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19