Jumat, 06 Februari 2009

Menuju Parlemen DPD “Bernama”



Oleh Warsito, S.H., M.Kn.
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta. Master Kenotariatan UI
-Pegiat DPD-RI


          Sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sistem ketatanegaraan yang baik, saya akan senantiasa meluangkan waktu, tidak akan henti-hentinya untuk terus berjuang menyuarakan, memberikan pemahaman, pemikiran dan pencerahan terhadap sistem ketatanegaraan di negeri ini. Saya akan terus menyuarakan posisi kelembagaan DPD, agar keberadaannya pada posisi yang benar. Harus bersikap ksatria, pilih dipertahankan dengan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja karena selama ini ternyata DPD hanya sebagai lembaga negara tidak bernilai (meaningless). DPD bukan sebuah lembaga negara yang dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling). DPD juga tidak dapat membuat produk dalam bentuk penetapan (beschikking). Beleid (kebijakan)?. DPD juga tak bisa. Lalau untuk apa lembaga ini dihadirkan?. Logika hukum mana yang dapat menerima kehadiran DPD mubadzir ini?.
Referendum Untuk DPD
            MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah Undang-Undang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan perilaku MPR gede rasa, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD.
Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi status Ketetapan MPR sekarang berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan merupakan produk hukum lagi. Istilah Ketetapan MPR ini sudah tidak dikenal lagi.
Dewan Perwakilan Daerah kini sadar, kelembagaannya hanya dijadikan accessories/mengekor di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai purbawisesa di parlemen. Tugas dan fungsi DPD disimpulkan dalam pasal 22D UUD 1945, yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keberadaannya hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. DPD yang dilahirkan dari amandemen kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Bapaknya DPD (baca: DPR) yang telah melahirkan tidak marah, meskipun anaknya nglunjak. Nasehat bapaknya (DPR) cukup bijak, “sabar anakku jangan meminta amandemen sekarang tunggu saja 2009” (baca: setelah bapakmu tidak terpilih kembali). DPR periode 2009-2014 kembali akan bilang: “Sabar nak jangan minta amendemen 2009 belum waktunya, nanti saja di 2014”. Yang menjadi permasalahan sekarang, beranikah DPR dengan sikap kesatria memberikan persetujuan amendemen kelima UUD 1945 dengan akta otentik tidak boleh ditarik kembali?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinant, ataukah sebaliknya politik yang dikedepankan. Apabila jawabannya hukum yang determinant terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya apabila politik yang determinant terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek yuridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis.
         DPD adalah ibarat anak yang dilahirkan didunia tetapi kedua kakinya telah teramputasi, menginjak dewasa anak tersebut sadar, menanyakan kepada orang tuanya, untuk apa sesungguhnya saya dilahirkan di dunia ini,jikalau kelahiranku cacat fisik tidak berdaya?. Kira-kira begitu gerutuan DPD. Dengan realitas fungsi politik DPD yang sengaja dipasung itu, semua pihak yang terkait pelaku perubahan UUD 1945, diminta sadar, negeri ini butuh jiwa-jiwa kenegarawanan yang bertindak amanah, jujur, saksama, dan mandiri dalam arti setiap anggota DPR tidak bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian anggota dapat menggunakan hak konstitusionalnya, dan senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (baca: pasal 37 UUD 1945). Ini perlu dipahami seluruh anggota majelis. Dibutuhkan sikap kejujuran, bahwa Pasal 22D UUD 1945 tersebut, sengaja dibuat untuk menelikung kelembagaan DPD. Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur dan sistemik. Lihat pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Berarti dibutuhkan 226 anggota, sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128 anggota, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota MPR, apakah muatan konstitusi seperti ini tepat?. Contoh lain, pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” apakah muatan konstitusi tersebut tepat? Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum yang bersayap. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.
Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang sampai “titik darah penghabisan” untuk melakukan amandemen kelima UUD tapi dikempesi. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, DPD dipertahankan diberi kewenangan atau dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa berdoa, berdo’a agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

Selasa, 03 Februari 2009

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Pendekar "Parlemen Bermata Satu"

Oleh Warsito, SH., M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
-PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri


          Model apakah sesungguhnya sistem ketatanegaraan yang diterapkan parlemen ala Indonesia ini?. Orang yang memahami sistem ketatanegaraan dengan baik, tentu tidak akan bisa menjawab model ketatanegaraan Indonesia yang confuse ini. Pasalnya, jika Dewan Perwakilan Daerah atau DPD disebut pengimbang DPR kenyataannya keberadaan DPD lemah lunglai tidak berdaya jika sewaktu-waktu berhadapan dengan DPR. Sebab amendemen UUD 1945 tidak menjadikan lembaga DPD strong bicameralisme setara dengan DPR. DPD hanya soft bicameralisme. Jika ada yang menyebut sistem parlemen kita unikameral, hal ini keliru besar, karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD menjadikan parlemen tetap bermata satu alias menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan penuh di MPR. Peran DPD mandul di MPR.
         DPD adalah lembaga negara hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2001. Ironis keberadaan DPD, dilahirkan tetapi hanya dipasangi nafas buatan oleh MPR melalui konstitusi. Pernafasan buatan itu sengaja dipasang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui rumusan konstitusi. MPR (baca: 550 anggota DPR di MPR) merasa kapan pun bisa mencabut pernafasan buatan itu. Pemasangan nafas buatan itu berupa tidak memberikan kewenangan yang memadai kepada DPD layaknya lembaga-lembaga negara yang lain. Nafas buatan itu juga dapat diterjemahkan jumlah anggota DPD tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi itu adalah 1/3 jumlah anggota MPR.Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 128. Darimana DPD menggenapi syarat 1/3 (226 anggota) MPR?. Tentu DPD harus "Merayu DPR" agar bersedia memberikan dukungannya. Jumlah anggota DPR dan DPD yang tidak proporsional ini jelas akan membuat susahpayah DPD jika sewaktu-waktu ingin kembali mengusulkan amendemen UUD 1945.
         Pada 1 Oktober 2009 mendatang masa bhakti keanggotaan DPD-RI periode 2004-2009 akan tamat sudah. Berkontemplatiflah sejenak tentang keberadaan DPD ini. Apa sesungguhnya yang telah diperbuat oleh lembaga ini?. Dan hal-hal apa saja yang belum dikerjakannya. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping keterbatasan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan langkah-langkah terobosan baru yang tidak dapat dilaksanakan oleh DPR guna memperjuangkan aspirasi daerahnya. Hal itu, jika DPD masih ingin memperoleh simpati pemilihnya di pemilu 2009. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini monoton sekali. DPD menjalankan tugas konstitusionalnya hanya memakai "kaca mata kuda", sehingga tidak dapat membuat terobosan-terobosan baru yang bersifat progressif. Ia hanya menjalankan tugas rutinitasnya sehari-hari, kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna DPD harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh kepada urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna selama ini tidak mendasar dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat bangsa dan negara. Pertanyaan yang wajib dijawab oleh DPD, untuk kepentingan siapa DPD melakukan persidangan?.

Gebrakan positif DPD.

         Disamping kelemahan DPD sebagaimana diutarakan diatas, secara proporsional, kita juga harus memberikan apresiasi kepada DPD. Apresiasi itu kita berikan kepada DPD karena saat ini telah melakukan terobosan baru melahirkan konvensi dalam sistem ketatanegaraan. Dimana setiap tanggal 23 Agustus DPD mengadakan sidang paripurna khusus dengan mengundang Presiden, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Walikota, dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk menghadiri pidato presiden tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Sidang Paripurna khusus tersebut pada akhirnya tidak bermanfaat, penyebabnya adalah tidak ada tindaklanjut dari DPD mengumpulkan pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif tersebut. Namun demikian, sidang paripurna khusus tersebut sedikit dapat mengangkat harkat dan martabat Dewan Perwakilan Daerah yang selama ini dianggap publik "antara ada dan tiada". Setidaknya sidang paripurna khusus itu dapat mengenalkan DPD kepada publik. Sebagaimana konsepsi publik sekarang lebih mengenal DPD itu sebagai Dewan Pimpinan Daerah ketimbang Dewan Perwakilan Daerah. Kalau kepanjangan MPR dan DPR tidak perlu dipertanyakan. Dari mulai anak SD, SLTP, SMU dan Perguruan tinggi bahkan sampai kakek dan nenek dikampung-kampung sudah mengenalnya.

Sosialisasi DPD

        Sebagai lembaga negara baru, DPD harus giat melakukan sosialisasi baik melalui media cetak, maupun elektronik. Sosialisasi DPD yang dilakukan setiap Jum’at melalui radio SMART FM selama ini kurang menggema. Agar DPD memiliki greget dan membumi di seantero negeri ini, sosialisasi utama yang perlu dilakukan DPD adalah melalui media elektronik. Hal ini lebih efektif mengingat hampir di seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, agar supaya DPD membumi di nusantara, yaitu dengan cara mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini DPD sedikit akan dikenal oleh masyarakat.

     Menginjak dewasa, DPD saat ini menyadari, ternyata kelembagaannya hanya dijadikan accessoir/ikutan dalam sistem ketatanegaraan belaka. Karena sesungguhnya "perikatan utama konstitusi" adalah DPR sebagai pemegang dan pelaku sepenuhnya kebijakan nasional (baca: DPR yang memutuskan undang-undang). Oleh karena itu, wajar jika DPD yang dilahirkan melalui amendemen UUD 1945 protes menuntut perubahan untuk memperkuat kelembagaannya. Saatnya sekarang MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan diberi kewenangan atau dibubarkan saja karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memiliki arti (meaningless).
        Usulan perubahan UUD 1945 yang pernah digagas DPD digembosi oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya, padahal usulan perubahan UUD 1945 itu telah mencapai 238 anggota MPR, dengan demikian telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 (226 anggota MPR) dari keseluruhan jumlah 678 anggota MPR. Kegagalan amendemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang manut dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amendemen. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR tersebut dukungan menggembos tinggal 204 anggota,sehingga kesempatan bagi MPR untuk menyatakan usulan amendemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi syarat konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh hari MPR menindaklanjuti usulan amendemen tersebut. Yang terjadi mengapa batas waktu 90 hari tadi dipelintir oleh pimpinan MPR untuk menarik atau memberikan dukungan amendemen?..
      Hal lain kegagalan amendemen UUD 1945 juga disebabkan karena pada saat anggota membuat perjanjian memberikan dukungan amendemen UUD 1945 tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah notaris. Usulan amendemen dalam bentuk perjanjian tersebut hanya dibuat dibawah tangan yang di legalisir oleh notaris (notaris melakukan pengesahan kecocokan foto copy sesuai dengan surat aslinya). Agar supaya anggota DPR yang telah memberikan dukungan amendemen tidak mudah untuk menarik, setidak-tidaknya usulan perjanjian amendemen itu di legalisasi (notaris mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus). Jika saja DPD membuat perjanjian usulan amendemen kepada anggota majelis (baca: kepada anggota DPR) dihadapan langsung notaris, maka akta itu berkekuatan otentik. Syarat-syarat akta otentik harus memenuhi unsur-unsur berikut: a. bentuknya ditentukan oleh undang-undang; b. dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang; c. dan ditempat dimana akta tersebut dibuat. Apabila unsur-unsur itu telah terpenuhi, maka akta otentik tersebut memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat di dalamnya. Akta otentik memiliki tiga pembuktian kekuatan yaitu: a. aspek formal, artinya, bentuknya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang; b. aspek materiil, yaitu orang tidak dapat memungkiri akta yang sifatnya otentik kecuali dapat membuktikan sebaliknya; c. aspek lahiriah, artinya, apabila sewaktu-waktu terjadi sengketa di pengadilan, maka, akta tersebut akan dapat membuktikan kebenaran dirinya sendiri. Meskipun perjanjian itu sifatnya hanya dibawah tangan, tidak selayaknya anggota majelis unsur DPR menarik dukungannya kembali. Sesuai asas kebebasan berkontrak, bahwa hakekat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga perjanjian itu mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak (baca: pihak pertama adalah DPD dan pihak kedua adalah DPR ) yang sama-sama merangkap menjadi anggota MPR.

Senin, 02 Februari 2009

Lembaga Rechtsverwerking



Oleh Warsito, SH., M.Kn
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- Konsultan Pertanahan
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan Sendiri
- Pegiat DPD-RI




      Jika Tap MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan, maka, sengketa Pertanahan Meruya Selatan dapat dicairkan melalui Ketetapan MPR tersebut. Pasalnya Tap MPR tersebut sebagai landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang derajatnya mengalahkan UU. No. 5 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA). Sementara itu di dalam Pasal 2 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
      Sayangnya, Ketetapan MPR yang dibuat manis tersebut, kini bukan lagi bagian dari tata urutan peraturan perundang-undangan, karena berdasarkan UU. No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hierarki TAP MPR tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (dahulu status TAP MPR berdasarkan TAP III/MPR/2000 posisi ke-2 setelah UUD 1945). Sengketa Pertanahan Meruya Selatan antara H. Djuhri dengan PT. Portanigra yang dimenangkan PT Portanigra oleh Mahkamah Agung dengan reasoning girik yang dipegang oleh PT PORTANIGRA yang asli mengejutkan para ilmuwan hukum pertanahan dan sekaligus membuat resah warga Meruya Selatan yang telah memperoleh hak dengan itikad baik. Sebagaimana diketahui asas Hukum Tanah Nasional (HTN) kita, bersumber pada hukum adat. Jual beli tanah dalam hukum adat dikenal dengan istilah: Riil, tunai dan terang. Riil artinya warga Meruya Selatan tersebut nyata-nyata telah membeli tanah tersebut. Sedangkan tunai artinya jual beli tanah tersebut telah dibayar dengan tunai. Sementara yang dimaksud dengan terang adalah pembuatan akta jual beli tanah tersebut telah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebagai tanda bukti haknya diberikan sertipakat yang diterbitkan oleh BPN sebagai organ Negara kepanjangan tangan dari pemerintah.
     Marilah memerhatikan dengan saksama Pasal 32 PP. 24/97 tentang Pendaftaran Tanah: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Publikasi Pertanahan

      Di negara manapun dikenal dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat diganggu gugat, dalam hal publikasi positif ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena diterbitkan sertipikat baru atas nama pembeli yang terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura. Kedua, publikasi negatif, dalam publikasi negatif ini negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak bersengketa yang akan mengadakan research untuk membuktikan kebenarannya. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Menganut Publikasi Pertanahan yang Mana?.

       Sistem hukum Indonesia soft, alias lemah. Kelemahan Hukum Indonesia tidak terbatas pada Hukum Tata Negara Indonesia yang antara lain melahirkan lembaga Negara Dewan Perwakilan Daerah atau DPD tetapi tidak memberikan kewenangan. Pelemahan hukum kita juga terjadi pada Hukum Tanah Nasional (HTN). Pendaftaran Tanah Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif murni. Lantas Indonesia menganut publikasi pertanahan apa?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Negara ambivalensi. Disisi lain negara memberikan sertipikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2 UUPA), sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi sengketa di Pengadilan. Pasal 19 UUPA mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan yuridis pemerintah agar kasus pertanahan tidak semakin merebak.

         Kelemahan Sistim publikasi negatif adalah, pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga aquisitieve verjaring atau adverse possession.

Lembaga Hukum Adat Rechtsverwerking

        Hukum Tanah Nasional kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga aquisitieve verjaring, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat ada lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu, lembaga Rechtsverwerking.
Rechtsverwerking artinya, dalam hukum adat jika seseorang sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka, hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sejalan dengan lembaga ini.
       Jika para hakim yang mengadili sengketa antara PT. PORTANIGRA dengan H. Djuhri dengan obyek pertanahan Meruya Selatan ini benar-benar memahami Lembaga hukum adat yang bernama Rechtsverwerking, maka, putusan Mahkamah Agung tidaklah memenangkan PT. PORTANIGRA sekalipun alas haknya berupa girik sebagai yang asli. PT. PORTANIGRA harus dianggap sekian tahun telah menelantarkan tanahnya, maka sesuai UUPA tanah tersebut musnah dan jatuh kepada Negara. Selain tidak sejalan dengan UUPA dan Lembaga hukum adat rechtsverwerking, putusan Mahkamah Agung juga bertentangan dengan hukum tanah nasional kita yang bersumber pada hukum adat yang menganut asas jual beli: Riil, tunai dan terang. Lebih dari itu, putusan Mahkamah Agung tidak progressif. Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT. PORTANIGRA benar-benar mengagetkan dunia hukum pertanahan, selain tidak menciptakan asas kemanfaatan hukum (zwechtsmassikheit) bagi masyarakat Meruya Selatan, hakim dianggap telah gagal menjalankan tugas sucinya yang putusannya memuat irah-irah yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kamis, 29 Januari 2009

MPR dan Politik Pertanahan



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Master Kenotariatan UI
- Konsultan Pertanahan
- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



        Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR telah menerbitkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sayang TAP MPR tersebut tidak dikenal lagi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU. No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS dan TAP MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003. Tap MPR tersebut tidak perlu dicabut, dengan sendirinya sudah tidak berlaku karena ia bukan hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.
       Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hal lain negara juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

        Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam artian kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Politik Pertanahan

       Politik Pertanahan diatur didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Politik Pertanahan juga diatur di dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Negara adalah sebagai organisasi pemegang tertinggi kekuasaan negara dibidang pertanahan, oleh karena itu, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme
      Salah satu prinsip utama dari UUPA adalah mengenai nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUPA berbunyi: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Demikian pula Pasal 1 ayat (2): "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional."
Ini artinya bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh para pendahulu kita sebagai keseluruhan, dan menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi tanah tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. Menurut Prof. Boedi Harsono tanah berfungsi sebagai komunalistis reigius. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan, tetapi menjadi tanah hak Bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan yang bersifat pribadi.
Adapun antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
       Pada masa Orde Baru-reformasi permasalahan agraria ditandai semakin banyaknya aksi-aksi protes oleh korban ke kantor pertanahan, DPR dan Komnas HAM. Permaslahan agraria itu tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah pertanahan.
Sebagai contoh ketidakpastian hukum dibidang pertanahan, kasus sengketa PT Portanigra dengan Warga Meruya Selatan yang diperoleh dari H. Djuhri. Seseorang yang sudah memiliki sertipikat yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang (BPN) selama bertahun- tahun telah menguasai secara fisik digugat, dan anehnya dapat dikalahkan di pengadilan, karena dapat dibuktikan sebaliknya.
Kelemahan Publikasi Pertanahan
        Di negara manapun ada dua jenis publikasi pertanahan. Pertama, publikasi positif, artinya negara menjamin data-data yang disajikan. Dengan perkataan lain orang yang telah memiliki sertipikat tidak dapat digugat, dalam hal ini negara benar-benar menjamin data yang disajikan. Pada publikasi positif ini pemilik tanah terdahulu tidak dapat diketahui, oleh karena sertipikat tertulis atas nama pembeli terakhir. Publikasi positif ini dianut oleh negara Australia dan Singapura.
Kedua, publikasi negatif, artinya negara tidak menjamin data-data yang disajikan. Jika terjadi konflik di pengadilan pihak yang bersengketa mengadakan research sendiri. Publikasi negatif ini dianut oleh negara Amerika Latin.

Indonesia Masuk Publikasi Pertanahan yang Mana?.
        Sistem hukum Indonesia selalu soft, alias tidak jelas. Indonesia bukan menganut sistem publikasi positif juga bukan publikasi negatif. Lantas apa publikasi pertanahan Indonesia?. Indonesia menganut Publikasi Negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Ini artinya negara bersifat ambivalensi. Sebab, disisi lain negara memberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak kepemilikannya, sisi lain negara tidak menjamin sertipikat tersebut jika sewaktu-waktu terjadi konflik di Pengadilan. Publikasi Pertanahan Indonesia yang ambivalen ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 PP. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan: "Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah", alih-alih dapat dijadikan solusi sebagai landasan juridis pemerintah agar kasus pertanahan yang selama ini terjadi tidak semakin merebak.

Selasa, 27 Januari 2009

Makna Dibalik Angka 128 Anggota DPD



Oleh Warsito, SH M.Kn.

- Mantan Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI
- Dosen Universitas Satyagama Jakarta
- PNS DPD-RI Yang Berhenti Atas Permintaan
Sendiri
- Pegiat DPD



          Apakah sebenarnya makna dibalik jumlah 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD itu?. Suatu kebetulan, ataukah sudah diatur secara sistemik oleh MPR unsur DPR?. Untuk menjawab kebetulan atau sudah diatur secara sistemik,terlebih dahulu marilah kita mengkaji secara mendalam muatan konstitusi baik secara substantif maupun secara kwantitatif.
Dari segi kwalitatif, jelas DPD itu adalah lembaga Negara yang tidak memiliki makna(meaningless).Sebab ia hanyalah lembaga Negara pemberi pertimbangan dan pendapat kepada DPR yang tidak berimplikasi juridis. Namun jika kita mengkaji lebih mendalam dari segi kwantitatif, ada yang menarik dari keberadaan jumlah anggota DPD yang 128 itu. Mengapa harus berjumlah 128?. Marilah kita merefleksi sejenak hal ihwal ayat UUD 1945 pra amendemen yang berjumlah 71 ayat, sedangkan pasca amendemen UUD 1945 menjadi 199 ayat,dengan demikian penambahannya 128 ayat. Jumlah penambahan 128 ayat ini sama persis dengan jumlah anggota DPD. Apakah hal ini masih dianggap suatu kebetulan ataukah ada maksud tertentu agar amendemen UUD 1945 itu cukup ditambahkan 128 ayat saja?. Apakah berarti hal ini bisa dibaca tidak akan terjadi amendemen kelima UUD 1945?. Inilah kenyataannya, mau tidak mau harus diakui bahwa angka 128 anggota DPD itu menyimpan misterius. Padahal konstitusi menyatakan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih sepertiga dari jumlah anggota DPR, semestinya jumlah ideal anggota DPD adalah 224,jumlah yang masih diperbolehkan karena belum melebihi sepertiga jumlah DPR, dengan asumsi masing-masing tujuh anggota setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jumlah itu apabila dipandang terlalu banyak masih bisa diturunkan menjadi seratus sembilan puluh dua dengan asumsi enam anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Jika jumlah itu masih dianggap terlalu banyak masih dapat diturunkan lagi menjadi seratus enam puluh dengan asumsi lima anggota masing-masing untuk setiap provinsi sebanyak tiga puluh dua provinsi. Akhirnya keputusan DPR di UU Susduk memutuskan 128 untuk anggota DPD, yaitu, empat anggota untuk setiap masing-masing provinsi dari jumlah tiga puluh dua provinsi. Ada apa dengan jumlah 128 anggota DPD ini?.
Jika diadakan semacam perlombaan untuk menemukan bentuk hukum (rechtvinding) lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, maka, dipastikan peserta lomba akan kesulitan menjawab bentuk hukumnya. Pasalnya jika DPD sebagai lembaga legislatif, keberadaannya tidak ikut memutuskan undang-undang yang bersifat mengatur (regelling).Sebaliknya, jika bukan lembaga legislatif keberadaannya termasuk rumpun lembaga legislatif sebagaimana dimaksud oleh UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
         Sayang sekali lembaga DPD ini, dari tahun ketahun hanya bekerja berputar-putar tidak karuan, sedangkan produknya tidak memiliki arti (meaningless). Apabila DPD tidak segera diperkuat melalui amendemen UUD 1945, maka, cepat atau lambat lembaga ini akan bernasib sama seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jangan biarkan lembaga negara ini mengalum, dan mubadzir karena hanya akan memboroskan keuangan Negara.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Berbagai Permasalahannya

  Proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Berbagai Permasalahannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19