Senin, 08 Februari 2016

Kemana Kajian Komisi Konstitusi?

.

Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007

Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

                Frasa:  “Komisi Konstitusi” (KK), dengan “Mahkamah Konstitusi” (MK), sering terdengar di samar-artikan oleh khalayak umum. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi diberi tugas untuk melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang merupakan peradilan progresif di abad mutakhir  ini. Kewenangan MK diberikan langsung oleh UUD 1945 Pasal 24C, juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, yaitu: menguji UU terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; membubarkan Partai Politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar  UUD 1945.
            Jika MPR dilambangkan dengan  gedung bulat nan megah beserta air mancurnya di Senayan, maka, MK dilambangkan dengan gedungnya 9 jangkar pilar nan kokoh, di depan Monumen Nasional (monas) bermakna 9 hakim berjubah merah nan gagah berani siap mengawal gawang konstitusi (guardian constitution).
Komisi Konstitusi telah terbentuk dengan susah payah, tetapi, MPR sengaja “menghilangkan” dengan mengusulkan kembali membentuk sebuah tim penelaah  secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama ini?. Sayang, TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002 pada Pasal 6 dikelompokkan menjadi: “TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak berlaku lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan”. Padahal, amanat TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut belum pernah dilaksanakan. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  di MPR  pada hari Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Hal ini, dapat dibaca dengan terang, bahwa MPR tidak mempercayai kerja keras MPR periode sebelumnya dalam pembentukan KK.  Namun, keseriusan MPR untuk membentuk sebuah Komisi Konstitusi jilid II patut diuji dan dipertanyakan. Pasalnya, hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga dilaksanakan, khabar pembentukan komisi ini pun perlahan-lahan  menghilang bak ditelan bumi.
MPR Lupa
            Berangkat dari gagasan pembentukan komisi penelaah konstitusi, ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan, MPR pernah menerbitkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004 dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan pembentukan komisi untuk amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif ketika itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR (Kompas, 30/8/2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan komisi pengkaji konstitusi disampaikan Presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu. Sebenarnya lembaga negara manakah yang menangguk keuntungan jika pembentukan Komisi Konstitusi dilaksanakan?. DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden ataukah DPD?. Hampir pasti adalah Dewan Perwakilan Daerah. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, sudah sepantasnya jika DPD gigih mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi. Harapan DPD kajian Komisi Konstitusi  tentunya dapat menguatkan  kelembagaannya sejajar dengan DPR untuk melakukan kegiatan fungsi  saling mengontrol (check and balances). Kehadiran komisi tersebut sudah pasti disambut gegap gempita sekaligus sebagai obat penawar DPD, ditengah keputusasaan gagal melakukan amandemen kelima UUD 1945.
            DPD meminjam tangan agar Presiden yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9/2008). Mengapa DPD berharap Presiden yang berinisiatif membentuk Komisi Konstitusi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” menjadi anggota  MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh Presiden kala itu, justru dapat menjerumuskan Presiden sendiri. Jebakan maut akan mengintai tuan Presiden jika nekat mengusulkan pembentukan KK. Pertanyaannya, bolehkah Presiden berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Bukankah Presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya? (Pasal 9 UUD 1945). SBY dalam kapasitasnya  sebagai Presiden kala itu tidak boleh mempersoalkan substansi UUD 1945 meski ia tahu terdapat coreng moreng dan ketidaksinkronan antar muatan konstitusi. Berhati-hatilah kepada siapa pun tuan Presiden, untuk tidak sembarangan  mengusulkan pembentukan komisi pengkaji konstitusi, boleh jadi jebakan maut Presiden ke tubir jurang  untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk komisi pengkaji konstitusi di ranah MPR, bukan kepada Presiden bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
            Mengapa DPD menaruh harapan penuh kepada Presiden yang berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Selain DPD tahu diri, boleh jadi, DPD melihat gelagat tidak baik dari MPR sebagai lembaga Negara yang sesungguhnya memiliki kewenangan, tetapi enggan untuk membentuk tim penelaah konstitusi. Apakah maksud dibalik sesungguhnya MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Sebab, didalam MPR terdapat kepentingan 560 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat menjadikan DPR dimadu bersama DPD dalam bidang legislasi. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya Pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak MPR yang terdiri dari mayoritas anggota DPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (cluster bertemunya DPR dengan DPD), Pimpinan MPR bakalan dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Konsekuensi logisnya, Pimpinan MPR secara permanen akan dihapuskan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan kewenangan MPR, merubah UUD 1945 dan memberhentikan Presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
            Bagaimanakah jika 132  anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Percuma!. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti mudah dijungkalkan melalui Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945.
            Nyata sudah, dengan bahasa sederhana bisa dipahami, mengapa DPD perlu meminjam tangan Presiden untuk membentuk Komisi Konstitusi, karena posisi DPD lemah tak berdaya. Meski secara yuridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden tidak memiliki makna apa-apa, namun, pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden, yang bersifat dukungan politis dampaknya dahsyat sekali dapat memengaruhi anak buah Presiden di parlemen guna memuluskan penguatan DPD. Masalahnya, apabila Presiden nekat membentuk Komisi Konstitusi, maka inkonstitusional.
Sebelum MPR membentuk Komisi Konstitusi terdapat desakan kuat dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya, MPR mengakui bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Kekurangcermatan MPR melakukan perubahan UUD 1945 itu tersirat diakui pada konsideran pembentukan TAP MPR tentang  Komisi Konstitusi yang menyatakan, bahwa perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara, tetapi masih diperlukan pengkajian secara komprehensif dan transparan dengan melibatkan masyarakat luas. Ironinya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak terpakai oleh MPR periode 2004-2009 maupun periode 2009-2014. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah, MPR hanya sekadar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR.
Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II apapun nama telaahan konstitusi. Untuk apa membentuk komisi tandingan, jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan UUD 1945? Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, nampak sekali MPR sistem bekerjanya STM (sibuk tidak menentu) hanya mencari-cari kerjaan belaka.
            MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sisi lain, MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara yuridis memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh). MPR masih memiliki wewenang yang kuat, yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
            Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga Negara ini tidak diberi wewenang sedikit pun oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling), maupun bersifat penetapan (beschikking). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan
            Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah sebelas  tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga Negara  ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerjanya memakai kaca mata kuda hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU  MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga Negara hiburan (konsolasi), maka lebih baik dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945.
            Kesimpulannya, MPR tidak perlu sibuk mencari-cari kerjaan baru membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kitab kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi.  Jangan setiap pergantian periode, selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004 jangan dihilangkan, MPR periode 2004-2009 justru ingin membentuk Komisi tandingan. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara, namun, MPR tidak boleh obral menerbitkan Ketetapan MPR jika sekadar untuk hiburan kepada masyarakat. Sebab, selain akan menguras uang rakyat, MPR bekerjanya hanya STM (sibuk tidak menentu), dan hasilnya dipastikan akan sia-sia belaka, karena nasibnya akan sama dengan pembentukan komisi sebelumnya.



Selasa, 26 Januari 2016

Mengapa MK Membolehkan Politik Kekerabatan?


Oleh WARSITO
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta             Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


Pada hari, Rabu, tanggal 8 Juli 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah mencabut haramnya dinasti politik keluarga petahana mengikuti Pilkada. Putusan MK tersebut dipuji sekaligus dicaci. Dipuji, oleh orang-orang yang hak asasinya dipasung tidak diperbolehkan mengikuti Pilkada. Dicaci, oleh orang-orang yang menghendaki  politik kekerabatan (nepotisme) segera diakhiri. Berangkat dari Pro kontra putusan MK, masing-masing memiliki argumentasi, baik dari perspektif politik maupun kajian hukum ketatanegaraan. Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menganulir larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada sudah tepat dan perlu diapresiasi, karena yang diputuskan menyangkut norma konstitusionalitas hak dasar sebagai warga Negara. Larangan keluarga petahana ikut serta Pilkada, dianggap memiliki konflik kepentingan, kelihatannya aturan yang baik untuk menghindari nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power), kita tidak menutup mata memang adanya pelanggaran seperti itu. Akan tetapi, pemasungan hak asasi oleh orang lain akan mengacaukan konstitusi dan hukum ketatanegaraan Indonesia, dan dipastikan bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal-Pasal UUD 1945 berikut ini dilanggar MK, jika larut mengikuti opini publik memutuskan larangan keluarga Petahana ikut Pilkada.
Pertama, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kedua, Pasal 28D Ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Ketiga, Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: “Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Ke empat Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015, perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang  yang ingin membatasi calon Pilkada bagi keluarga Petahana tidak ada dasar hukum yang membenarkan, maka harus ditolak. Oleh karena itu, meski aturan larangan keluarga Petahana mencalonkan Pilkada sudah lolos melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada,  MK yang memilki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 harus menganulir isi Undang-Undang yang secara filsafati dibuat tidak memenuhi kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Lolosnya larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada  diatur didalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada, akibat kecerobohan pembuat Undang-Undang  tidak memenuhi kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh UU P3 (UU No 12 Tahun 2011, Tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Amanat pasal 6 Undang-Undang tersebut menyatakan, bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Batas Penalaran Logis
Jika MK mengabulkan larangan keluarga petahana mengikuti Pilkada, justru menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran logis, jika orang tuanya sebagai bupati/walikota atau gubernur melakukan korupsi, apakah anak-anaknya yang tidak berdosa harus ikut dihukum gantung? Adilkah Pasal-Pasal yang mengatur demikian?. Jika dicari sampai kepala botak pun tidak akan pernah menemukan aturan hukum yang keblinger itu.
 HAM Universal dan Partikulatif
Pasal 28J Ayat (2)berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perlindungan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditutup pada Pasal tersebut adalah perluasan hakekat Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh ditafsirkan sembarangan. Memahami Hak Asasi Manusia tidak sekadar membaca teks redaksional UU maupun UUD 1945, tetapi harus terintegrasi, holistik dan komprehensif agar menemukan makna filosofi yang terkandung hakekat dari isi Hak Asasi Manusia itu sendiri.
 Sebagai contoh sederhana, merokok adalah hak asasi setiap orang, tetapi jika dilakukan disembarangan tempat bukan di area khusus merokok, tentu tidak boleh dilakukan. Apalagi ketika merokok disampingnya ada ibu-ibu sedang hamil, maka hak asasi ibu tersebut terlanggar. Berarti hak asasi setiap orang itu dibatasi. Analogi lain, demonstrasi besar-besaran mahasiswa, adalah hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang, tetapi dalam menjalankan hak asasi harus menghormati hak asasi orang lain, tidak boleh menutup jalanan, karena akan menimbulkan gangguan lalu lintas. Apalagi dalam unjuk rasa tersebut melakukan tindakan anarkis, dengan membakar ban-ban mengakibatkan polusi asapnya akan membahayakan kesehatan jiwa, lebih kriminal lagi jika dibarengi dengan membakar mobil, selain melanggar hak asasi orang lain, juga mengganggu keamanan dan ketertiban umum di masyarakat. Bisa dibayangkan, jika mahasiswa yang sedang unjuk rasa menutup jalanan, sedangkan ada mobil ambulan yang ingin lewat membawa orang sakit, atau orang yang sedang hamil tua, maka akan terhalang jalanannya. Contoh-contoh diatas, adalah HAM yang sifatnya dapat diterapkan secara universal.
Bahwa Pasal 28J ayat (2) menurut Ikrar Nusa Bhakti dapat digunakan membatasi peserta Pilkada dari keluarga Petahana, itu tidak tepat, dan beda kontek, jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengkaji pengertian Hak Asasi Manusia, harus dalam perspektif universal dan sisi partikulatifnya. Penting untuk disimak dengan saksama, bahwa Pasal HAM, selalu diawali dengan kalimat  “setiap orang” (individu), bukan setiap keluarga (yang memiliki hubungan darah) atau tali perkawinan. Yang dimaksud  setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang adalah meski seseorang berhak hidup bebas kemana dia suka, tetapi ketika dia diputus pengadilan bersalah secara hukum dan masuk penjara, maka, kebebasannya dibatasi oleh Undang-Undang, ia tidak bisa menghirup udara bebas, harus mengikuti aturan umum yang berlaku di penjara. Meski calon kepesertaan Pilkada dari keluarga Petahana dibatasi/dilarang oleh Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang menyatakan calon peserta Pilkada tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana, tetapi secara hirarki, ada keputusan yang lebih tinggi, yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang membolehkan keluarga Petahana ikut bertarung Pilkada, putusan MK itu final dan mengikat.
Dalam kaitan ini, Profesor Ikrar Nusa Bhakti juga gelisah dan mempertanyakan, mengapa tidak ada alur pikir yang linier antara keputusan hukum dan politik. Perlu diketahui, bahwa hukum itu adalah produk politik, ketika sudah diputuskan, maka semua orang termasuk anggota DPR dan Presiden yang membuat Undang-Undang bersama, dan MPR yang menetapkan UUD 1945 harus tunduk, menghormati dan melaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Keputusan hukum dan kemauan politik tidak harus linier, sebab, politik punya kepentingannya, sedangkan hukum punya tugasnya, untuk aspek penegakan hukum. Fiat Justia et Pereat Mundus (Sekalipun langit akan runtuh hukum harus ditegakkan). Meski opini publik dan kemauan politik begitu gencar mengharamkan keluarga Petahana ikut bertarung Pilkada, tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh terpengaruh, apalagi gentar, MK harus  tetap tegar demi tegaknya cita Negara hukum.
Terakhir, Ikrar Nusa Bhakti mengutip Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Mengaitkan sistem Negara Kesatuan jika  keluarga Petahana dibolehkan maju Pilkada, akan  menghidupkan Dinasti, dan berpotensi menuju Negara berbentuk kerajaan, sama sekali tidak ada hubungannya. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik begitu Agung, luhur dan mulianya, tidak dapat disandingkan dengan pertarungan Pilkada. Karena begitu luhurnya NKRI, amanat konstitusi, khusus mengenai bentuk NKRI, satu-satunya materi yang tidak dapat dilakukan amandemen (Pasal 37 Ayat (5) UUD 1945). Sedangkan Makna Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, justru memberikan kesempatan yang sama kepada keluarga petahana ikut bertarung Pilkada, rakyat berdaulat lah yang akan menentukan pilihannya dibilik suara, terlepas dari keluarga petahana atau bukan. Negara Indonesia, kedaulatan berada ditangan rakyat, bukan hukum yang berdaulat, apalagi politik. Politik itu seni, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya lah kepentingan. Sedangkan tugas hukum, menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum, sekalipun langit akan runtuh. Jadi, keputusan politik dan keputusan hukum tidak harus selalu linier.
     

Senin, 25 Januari 2016

"Hak Waris Engeline"

                             Oleh WARSITO   
     Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama,Jakarta,        
 Alumni Magister Kenotariatan UI  
               Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta


Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati (QS: Ali ‘Imron:185, QS: Al Anbiyaa’:35 dan QS: Al’ankabuut:57). Siapa pun tidak dapat menyangkal kebenaran Firman Allah SWT, senyatanya tidak ada makhluk yang berjiwa dapat hidup kekal Abadi. Ribuan, bahkan jutaan umat manusia telah meninggal dunia mendahului kita, namun, tidak seheboh pemberitaan mengenai meninggalnya seorang anak yang bernama Engeline. Dahsyatnya pemberitaan tragis kematian Engeline mendapat simpati meluas dari publik bersebab gencar-gencarnya media masa cetak maupun elektronik mampu memainkan perannya sebagai fungsi kontrol sosial. Kematian Engeline sampai-sampai dapat mengalihkan isu hebohnya pemberitaan dugaan gelar doktor palsu yang disandang oleh anggota DPR Fraksi Hanura, Frans Agung Mula Putra  sebagaimana dilaporkan mantan stafnya Denti Noviany Sari, Kini, kasusnya perlahan namun pasti hilang bak ditelan bumi. Kematian Engeline tidak saja mendapat perhatian luas masyarakat menengah-bawah, tragedi pilu ini juga mendapat simpati dari anggota DPR, Dua menteri yaitu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) Yuddy Chrisnandi dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise berbondong-bondong telah mengunjungi rumah orang tua angkat Angeline. Kunjungan para pejabat Negara sedikitnya menghibur,  setidaknya elite politik tidak sekadar pandai bersilat lidah yang membosankan rakyat, masih ada terbesit empati dan simpati menyikapi kematian Engeline yang menjadi pusat pusaran perhatian publik. Diharapkan  para pejabat Negara ini tidak berhenti hanya mengunjungi kasus Engeline, lebih diperluas kepada kematian “Engeline-Engeline” lain yang luput dari pemberitaan media masa secara luas. Berkunjungnya pejabat Negara tersebut, paling tidak dapat mendongkrak kinerja menteri-menteri yang sedang dievaluasi oleh presiden, dengan  jantung berdetak tidak beraturan menunggu nasib reshuffle yang tak kunjung pasti. Mengapa pandangan publik kini ke anak yang bernama Engeline?. Bersebab dengan kematiannya melalui cara  sadis tidak berperikemanusiaan, tentu rasa haru biru akan menyelimuti  setiap jiwa yang masih hidup nuraninya. Bagaimana publik tidak termagnet pemberitaan kematian Engeline?. Wajah bocah ini imut, ingatan publik lesung pipinya tersungging manis ketika tersenyum, melihat anak yang masih suci dan polos ini, membuat orang merasa melas dan trenyuh. Barangkali manusia yang sudah dirasuki iblis saja yang tega membunuh anak ini.
Semula Engeline yang dikhabarkan hilang akhirnya ditemukan dirumahnya di dekat kandang ayam sudah terkubur ditelan bumi, kerja keras kepolisian perlu diapresiasi untuk mengungkap kasus ini, kini pelakunya sudah tertangkap tidak lain adalah seorang pembantunya yang bernama Agus Tay Hamba May (Agustinus Tae). Pengakuan Agus mengagetkan publik bahwa sesungguhnya yang menyuruh membunuh adalah ibu angkat Engeline, Margriet, dengan menjanjikan uang sebesar Rp 2 Milyar jika pembunuhan berjalan lancar. Dalam batas penalaran logis, pengakuan Agus dapat diterima akal sehat. Apa kepentingannya jika Agus yang membunuh?.
Hak Waris Engeline
      Pengakuan Agus bahwa yang menyuruh membunuh Engeline adalah ibu angkatnya sendiri, sesungguhnya kebenarannya dapat dilacak melalui akta notaris ada atau tidaknya hubungan keperdataan antara Engeline dan ayah angkatnya yang dikhabarkan meninggalkan harta warisan milyaran rupiah. Jika Engeline statusnya menjadi anak angkat (adopsi) yang telah disahkan pengadilan melalui akta notaris, tentu Engeline memiliki hubungan keperdataan, dengan sendirinya memiliki hak mewaris yang bagiannya sama dengan  anak sah (stblt No:1917 No. 129).
     Engeline Tidak Memenuhi Prosedur Pengangkatan Anak
     Prosedur pengangkatan anak sudah diatur PP No 54 Tahun 2007, Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam Pasal 13 PP tersebut dijelaskan calon orang tua angkat harus memenuhi syarat antara lain: memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial, calon orang tua angkat harus beragama sama dengan agama calon anak angkat, berstatus menikah paling singkat (5) lima tahun, tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak. Jika ditilik dari mekanisme pengangkatan anak tersebut maka jelas tidak memenuhi persyaratan, karena orang tua angkat sudah memiliki dua orang anak, begitu juga calon anak angkat harus seagama dengan calon orang tua angkat. Sedangkan yang saya ketahui Engeline tidak seagama dengan orang tua angkat. (http://forum.detik.com/jenasah-angeline-akan-dimakamkan-dengan-tata-cara-agama-apa-t1216572.html)
Tidak dikenal Anak Angkat (Adopsi)
 Berbeda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), kedudukan anak angkat (adopsi) tidak dikenal, sehingga dipersamakan dengan anak luar kawin yang diakui, bagiannya bergantung dengan golongan berapa anak luar kawin tersebut mewaris. Dalam kasus Engeline, mewaris bersama ibu angkatnya, Margriet dan anak-anaknya: Christine dan Yvonne Caroline Megawe, itu adalah golongan satu, maka bagian Engeline adalah sepertiga dikalikan seperempat yaitu seperduabelas harta yang ditinggalkan bapaknya (Pasal 863 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Baik menurut hukum kewarisan Islam maupun kewarisan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah anak angkat (adopsi). Dalam kewarisan Islam anak angkat tidak mendapatkan warisan tetapi dapat diberikan wasiat berupa wasiat wajibah, besarannya maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Untuk anak angkat ini marilah kita menyimak dengan saksama Firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4). Dari perspektif hukum Islam, menisbahkan anak angkat kepada orang tua angkat menjadi ayah kandungnya dilarang, sebagaimana firman Allah SWT: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Ahzaab: 5). Masih menurut hukum waris Islam, meski memiliki hubungan darah atau tali perkawinan, jika ahli waris dan pewaris berlainan agama tidak memiliki hak mewaris, tetapi dapat diberikan wasiat wajibah. 

Minggu, 24 Januari 2016

Santet, “Antara Ada Memang Ada”




Oleh                                                                                                                                                                Dr. (c)  WARSITO, SH., M.Kn.                                                                                                   Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,                           Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,


            Kejahatan ilmu sihir/ilmu hitam (santet) pernah heboh diperbincangkan dan diusulkan melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi, nasib RUU tersebut perlahan namun pasti  menghilang bak ditelan bumi. Nampaknya, perumus undang-undang kebingungan bukti materiil yang akan dibawa ke persidangan untuk membuktikan seseorang melakukan santet atau tidak, dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan penghakiman massa.
            RUU KUHP Pasal 293 menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
 Keberadaan santet, selama ini masih banyak yang menganggapnya sebagai sebuah mistis. Banyak orang yang semula menggunakan pendekatan ilmiah semata, tidak mempercayai adanya santet, tetapi, setelah terkena dan merasakan sakitnya sendiri, baru percaya bahwa santet itu memang ada. Santet, teluh, tenung, guna-guna sudah sejak lama dikenal masyarakat, umumnya masyarakat pedesaan yang masih kental nuansa mistis, karena: iri hati, dengki, sakit hati, atau bisa juga karena ditolak cintanya.
            RUU KUHP yang akan memberlakukan santet terjadi pro kontra mengenai bukti materiilnya di persidangan. Hal ini menandakan, perumus undang-undang belum paham hekekat santet itu sendiri. Santet adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penanganannya harus dengan tindakan luar biasa pula. Santet tidak bisa dilakukan dengan pengadilan konvensional, harus menggunakan pengadilan khusus. Pengadilan Khusus, karena hakim dan saksi-sakinya harus didatangkan dari orang-orang yang ahli bidang ini. Tidak sembarangan, hanya orang-orang yang punya derajat kewalian atau aulia yang bisa membuktikan kena tidaknya santet. Jika orang yang mengirim ilmu hitam (santet) tersebut mungkir di persidangan, sedangkan saksi-saksi yang mempunyai tingkat kewalian mengatakan benar bahwa dia yang menyantet, tetapi tetap saja tidak  mengakui, maka orang yang memiliki tingkat kewalian tersebut tentu geram, mengajukan pertanyaan sekali lagi, guna memberikan kesempatan untuk berbicara jujur. Jika masih tetap tidak mengakui bahwa dia yang menyantet, puncaknya, waliyullah akan geram sambil berujar: “Jika benar kamu bukan yang menyantet, maka insya allah umurmu panjang, tetapi jika kamu yang menyantet tetapi mungkir, maka pendeklah umurmu. Kisah itu pernah terjadi orang yang mungkir tapi bukan di persidangan, dirumah waliyullah, karena tidak mengakui menyantet, terbukti selang tiga hari orang tersebut benar-benar meninggal dunia. Wallahu ‘alam.
            Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi setiap anak negeri ini, sudah seharusnya segera mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang untuk melindungi warganya dari kejahatan ilmu hitam. Pro kontra selama ini hanya terjebak soal saksi dan hakim, dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Tetapi jangan khawatir, di negeri ini ada orang-orang saleh yang memiliki derajat kewalian, hanya saja tidak mau menampakkan diri dipermukaan. Umumnya, waliyullah sembunyi dalam hingar bingar dunia yang penuh sandiwara. Tetapi, jika dibutuhkan untuk kesaksian perbuatan santet, demi untuk menyelamatkan umat manusia, tentu mereka akan siap sedia. Masalahnya sekarang tergantung kepada kita, mau atau tidak untuk membuat aturan tentang santet.
            Di Arab Saudi  saja yang bukan Negara Islam terbesar bisa memiliki Undang-Undang tentang sihir (santet). Apa kita tidak malu, mengapa kita sebagai Negara Islam terbesar di dunia tidak bisa menerapkan undang-undang santet? Itu sama saja, bahwa kita masih tidak yakin adanya santet, terlebih tidak yakin adanya keghoiban. Padahal, bagi umat Islam yang disembah sehari-hari adalah rajanya ghoib, yaitu, Allah SWT.

Selasa, 20 Oktober 2015

MENGGAGAS AMANDEMEN KELIMA DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA





Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
ABSTRAK
Kegaduhan wacana amandemen kelima konstitusi memantik perhatian publik. Usulan amandemen konstitusi selalu gencar diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bersebab, lembaga negara ini dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh UUD 1945. Ketiga fungsi yang dimiliki DPD, baik fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan apabila tidak ditindaklanjuti oleh DPR tidak memiliki implikasi yuridis. Dalam batas penalaran logis, untuk apa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melahirkan lembaga negara DPD, tetapi produknya tidak memiliki arti (meaningless). MPR telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002, hasil amandemen antara lain, membubarkan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sisi lain, MPR menukargantikan DPD yang secara substantif sama dengan DPA. Bedanya, jika pertimbangan DPA diberikan kepada presiden, tetapi, pertimbangan DPD diberikan kepada DPR. Persamaannya, keduanya tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan itu tidak ditindaklanjuti. Wajar, dari periode ke periode DPD yang gaduh dan gencar mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaanya agar kuat dan sejajar dengan DPR (strong bicameralisme). Selama ini, DPD praktis sebagai lembaga negara asessories dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali mengemuka setelah tahun 2007 gagal dilaksanakan. Perubahan konstitusi diharapkan tidak secara parsial terkait penguatan kelembagaan DPD, tetapi perubahan yang bersifat komprehensif termasuk menata ulang organ-organ kelembagaan negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (cheks and balances). Dengan demikian, konstitusi yang dihasilkan dapat menjangkau jauh ke masa depan Indonesia, tidak mudah lapuk dan usang dimakan zaman (verourded).
Kata Kunci: Amandemen UUD 1945, DPD meaningless, cheks and balances.













1.1. Pendahuluan

Sebagai buah reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamandemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Sayangnya , ketika melakukan perubahan UUD 1945 yang terpikirkan bagaimana membatasi kewenangan presiden. Keinginan ini dilatarbelakangi praktik kenegaraan sebelum perubahan UUD 1945 yang memposisikan presiden sebagai pusat penyelenggaraan negara (concentration of power and responsibility upon the president). Sebagai pengganti, pengubah UUD 1945 memindahkan pendulum kekuatan itu ke DPR.
Gerakan reformasi pada tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998 berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan Memasyarakatkan UUD 1945 , era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, bertujuan antara lain:
a. amandemen UUD 1945;
b. penghapusan dwi fungsi ABRI;
c. penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d. desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e. mewujudkan kebebasan pers;
f. mewujudkan kehidupan demokrasi.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dilahirkan, tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut:
“DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR menjadi permasalahan karena usulan dari DPD tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang. Banyak pakar hukum tata negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD “terbatas”. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika disimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD, baik: fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang disampaikan kepada DPR, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak mengikat untuk diterima DPR. Kelahiran DPD selain dipersepsikan publik “antara ada dan tiada” produknya juga tidak memiliki arti menjadikan problematika isi konstitusi.
Hasil reformasi konstitusi menghasilkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945). Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia sebagai pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 dirubah terakhir UU. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kelemahan hasil amandemen UUD 1945 selain melahirkan DPD tidak bermanfaat, juga dapat mengacaukan konstitusi, antara lain rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang mekanisme Pilkada yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam pelaksanaannya menjadi masalah. Usulan amandemen konstitusi yang diajukan oleh DPD selain untuk memperkuat kelembagaannya, juga ingin memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden agar dapat bertarung dalam arena Pilpres seperti halnya, pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang membolehkan calon perseorangan ikut berlaga di Pilkada.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi? .
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
3. Langkah-langkah apakah yang harus ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi?.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan DPD selama ini kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR untuk mengamandemen konstitusi.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya undang-undang yang terkait dengan kepentingan daerah, juga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3. Langkah-langkah yang ditempuh, jika MPR unsur DPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi.

Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Konstitusi
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda menyatakan , secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Menurutnya, dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri;
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Ke empat prinsip atau ajaran diatas merupakan “maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak di implementasikan dalam praktek penyelenggaraan negara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional. Sedangkan Wirjono Projodikoro (1989:10) masih di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:7) istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sementara itu, Sri Soemantri (1987:1), di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:9) dalam mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar), diatas, L.J. Van Apeldoorn membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.

Metodologi
3.1. Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari epistemologi amandemen konstitusi yang menjadi fokus penelitian mengapa gagasan DPD untuk mengusung amandemen kelima UUD 1945 tidak mudah menembus benteng keperkasaan DPR. Dalam penelitian tentang amandemen konstitusi ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan amandemen konstitusi yaitu: UUD 1945; Risalah Sidang BPUPKI; Risalah Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002.

Hasil Dan Pembahasan
4.1. Pembahasan
Usulan perubahan kelima UUD 1945 yang digagas DPD pada tahun 2007, telah mendapat dukungan 238 anggota MPR yang diserahkan kepada pimpinan MPR pada tanggal 8 Mei 2007. Ketika itu anggota MPR berjumlah 678 (550 anggota DPR dan 128 anggota DPD), dengan demikian sudah memenuhi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi (Pasal 37 ayat {1} UUD 1945). Usulan dukungan amandemen tersebut fluktuatif, ada upaya-upaya penggembosan, sehingga dukungan amandemen menjadi berkurang.
Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007 sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat elite politik akan "mempermainkan" DPD itu terbukti sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR dukungan berkurang tinggal 204 anggota, sehingga sidang majelis gagal mengagendakan perubahan UUD 1945. Seharusnya MPR sudah dapat menentukan agenda sidang Majelis, karena syarat 1/3 usulan amandemen tersebut sudah terpenuhi, bukan menunggu sampai tanggal 7 Agustus 2007 untuk menentukan jadi/tidaknya sidang majelis digelar. Sikap MPR seharusnya melarang penarikan dukungan kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Sebaliknya, dukungan amandemen tersebut, masih tetap dapat diberikan sebelum pelaksanaan sidang majelis digelar.
Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, yang menentukan batas waktu pemberian dan penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB adalah keputusan yang tidak tepat. Setiap anggota MPR itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat perjanjian persetujuan usulan perubahan UUD lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945).
Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945 itu sulit diwujudkan, mengingat jumlah anggota DPD saat ini hanya 132 kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh jumlah anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus mengingat jumlah anggota DPD tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR.
Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkan. Apabila hukum yang determinan terhadap politik, maka konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hidup ditengah-tengah masyarakat (living law). Ia akan senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka, cepat atau lambat, konstitusi akan ketinggalan dan mudah lapuk dimakan zaman (verourderd). Pemasungan DPD di konstitusi sudah terstruktur sedemikian sistemik. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Kemudian Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, tidak ada 1/3 nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Apakah muatan konstitusi ini tepat?. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang interpretasi hukum bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”.

4.2. Hasil
Dibubarkan Atau Dipertahankan
Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD selama ini sudah sebelas tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga negara ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Lembaga DPD selama ini bekerjanya hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, sedangkan produknya tidak bernilai. Jangan biarkan DPD diposisikan hanya sebagai lembaga negara assessories dalam sistem ketatanegaraan, lebih baik dibubarkan saja. Jika ingin mempertahankan DPD, konsekuensi logisnya harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Masih ada kesempatan bagi DPD untuk meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang akan diusung bukan semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi sebagai bentuk pengabdian dalam rangka mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesimpulannya, MPR dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Konstitusi MPR periode 1999-2004 perlu dibuka kembali untuk mengamandemen UUD 1945 agar kelembagaan negara menjadi lebih baik. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, lahirlah Ketetapan MPR untuk mengkaji secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 dimaksud.
5.2. Saran
1. Yang menyebabkan selama ini DPD kesulitan menembus benteng keperkasaan DPR mengamandemen konstitusi, bersebab, jumlah anggota DPD hanya 132 orang, tidak ada 1/3 jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Keniscayaan mengamandemen UUD 1945 memposisikan jumlah anggota DPR dan DPD menjadi berimbang.
2. DPD tidak dapat membuat produk dalam bentuk undang-undang disebabkan tidak memiliki kewenangan ikut memutuskan undang-undang. Selama ini fungsi DPD terbatas hanya mengajukan rancangan undang-undang kepada dan muaranya ditangan DPR. Merupakan keniscayaan MPR memberikan kewenangan kepada DPD ikut memutuskan undang-undang jika lembaga negara ini ingin dipertahankan.
3. MPR selama ini tidak terkesan serius merubah UUD 1945 terkait penguatan kelembagaan DPD. Sebab, didalam MPR mayoritas anggota DPR ada dugaan kuat akan menghadang amandemen UUD 1945. Dampak amandemen konstitusi kewenangan DPR menjadi dimadu bersama DPD. Namun, jika MPR tidak berkehendak untuk merubah konstitusi, atas kuasa Pasal 7C UUD 1945, sesungguhnya presiden dapat membubarkan DPD. Marilah kita menyimak dengan saksama Pasal 7C UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Presiden tidak dapat membekukan/membubarkan DPR.
4. Amandemen UUD 1945 agar dapat menyeimbangkan antara kekuasaan presiden dengan kekuatan DPR. Pasca amandemen UUD 1945 pendulum kekuatan dipindahkan ke DPR, sebelumnya kepada kuasa presiden. Pasca amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden terbelenggu dalam memilih pejabat negara yang menjadi hak prerogratifnya justru memerlukan persetujuan DPR.







DAFTAR PUSTAKA



Jujun S. Suriasumantri. (2000). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

















Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. (2003). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2014) hal. 69.

(http://www.unand.ac.id/images/berita/download/Term_Of_Reference.pdf).




HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19