Jumat, 12 Februari 2016

Konstitusionalitas Pemilihan Pilkada dan Berbagai Permasalahannya

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.                                                                                                                        Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                                                          Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta-Barat
Warsitopati1967@gmail.com

ABSTRAK
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung yang dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, dalam prakteknya selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, juga rentan adanya konflik. Jika diteruskan, Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak pihak yang mengkhawatirkan akan terjadi benturan fisik secara masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman itu, terjadi pro kontra dari berbagai kalangan perlunya mengevaluasi kelemahan dan kelebihan Pilkada secara langsung oleh rakyat. Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, adalah rumusan yang bersifat multitafsir. Dalam amandemen kelima UUD 1945, MPR diharapkan melakukakan perubahan secara komprehensif untuk menata ulang kelembagaan Negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances), termasuk didalamnya mempertegas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD. Hal ini penting, guna memberikan kepastian hukum, agar tidak ada lagi anggota DPR yang menafsirkan rumusan konstitusi sesuai selera: kelompok, golongan dan/atau partai politiknya.
Kata Kunci: Legitimasi, pemilihan langsung rakyat, kepastian hukum, amandemen UUD 1945.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar belakang Masalah
Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru.
Dalam Panduan memasyarakatkan UUD 1945[1], era reformasi memberi harapan besar terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan mempunyai akuntabilitas tinggi, serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan pendapat. Tuntutan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan berbagai komponen bangsa, bertujuan  antara lain:
a.    amandemen UUD 1945;
b.    penghapusan dwi fungsi ABRI;
c.    penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN);
d.    desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);
e.    mewujudkan kebebasan pers;
f.     mewujudkan kehidupan demokrasi.
            Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat disambut gegap gempita untuk pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di era reformasi ini. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat menjadikan Indonesia pusat pusaran perhatian dunia dalam bidang demokratisasi. Kemajuan pesat demokrasi di Indonesia diikuti pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2005. Pilkada dipilih secara demokratis ditentukan melalui perubahan kedua amandemen UUD 1945 pada Sidang MPR tahun 2000. Marilah menyimak dengan saksama Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Pilkada: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.[2] Pada frasa “dipilih secara demokratis” mengandung rumusan yang bersifat multitafsir, sehingga konstitusionalitas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam  pelaksanaannya menjadi masalah.
            Dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang  tinggi, selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, sering terjadi konflik horizontal antar pendukung. Pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak yang mengkhawatirkan terjadi benturan fisik lebih masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara langsung oleh rakyat, berbagai pihak telah mengevaluasi kelemahan dan kelebihannya. Terjadi pro kontra, ada yang ingin mempertahankan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak sedikit yang menginginkan kembali kepada pemilihan tidak langsung oleh DPRD.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU. Nomor: 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR melebar ke paket Pimpinan MPR, sehingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU. No. 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU. No. 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Filosofi Pilkada secara langsung oleh rakyat tertuang di penjelasan umum UU. No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menyatakan bahwa[3], untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan. Namun, pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi. [4]

1.  2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut:
1.   Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan seberapa penting amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait Pilkada dilakukan? .
2.   Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya Undang-Undang yang terkait dengan kepentingan daerah sehingga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?.
3.  Apakah tepat, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, jika dikaitkan dengan Pilkada serentak 9 Desember 2015?


1.3.    Tujuan Penelitian
             Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:
1.   Faktor-faktor yang menyebabkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif baik konflik horizontal maupun vertikal dan  pentingnya amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada agar memiliki kepastian hukum.
2.   Faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini tidak turut serta memutuskan undang-undang (regelling), utamanya yang berkepentingan dengan daerah, DPD juga tidak dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara.
3.   Faktor-faktor yang menyebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tidak relevan lagi ketika pemilu digelar serentak pada 9 Desember 2015.
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Negara
2.1.1. Pengertian Pemerintahan
Konsepsi Negara menurut Mcllwain (1961:146) dalam Nasution[5] bahwa Undang-Undang Dasar akan memberi kerangka normatif kepada Negara, membatasi kekuasaan pemerintah, dan mengatur pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat. Menurut Natsir masih dalam Nasution[6] negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi. Natsir beranggapan bahwa negara merupakan lembaga, sebuah organisasi yang mempunyai tujuan, lengkap dengan sarana fisik serta norma-norma khusus yang diakui umum. Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai lembaga: Pendidikan, ekonomi, agama, politik, keluarga, perdagangan, dan sebagainya. Negara mencakup keseluruhan masyarakat dan semua lembaganya; Negara mempersatukan lembaga-lembaga ini didalam sistem hukum, mengatur bagian-bagian masyarakat yang berbeda-beda itu. Negara juga berhak memaksa anggotanya mematuhi peraturan dan hukumnya; tujuannya ialah untuk membimbing dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik[7]. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh konstitusi[8].
Mengantisipasi tidak ada lagi daerah yang lepas dari NKRI, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keberagaman harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai khasanah budaya nasional, maka tepat MPR merumuskan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan[9]: Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
            Ilmu pemerintahan menurut Ndraha[10] dapat dedefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan, sehingga dapat diterima pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Ilmu pemerintahan mempelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana seharusnya sehingga dapat diterima oleh yang bersangkutan pada saat dibutuhkan, jadi normatif, ideal, das sallen dan kedua dari sudut bagaimana senyatanya pada saat dibutuhkan oleh orang yang bersangkutan, apakah ia menerima pelayanan atau tidak, jadi empirik, das sein.
            Sedangkan pemerintahan menurut Suradinata[11] berasal dari kata pemerintah, yang artinya bertujuan menyuruh melakukan sesuatu. Pemerintah, sebagai kata benda, berarti suatu kekuasaan untuk memerintah suatu Negara, sedangkan pemerintahan adalah suatu kegiatan, proses atau juga suatu prosdur bagaimana menjalankan perbuatan pemerintah suatu Negara. Utrech, sehubungan dengan pengertian pemerintah dalam Suradinata (1998:16) menguraikan lebih lanjut pengertian pemerintah sebagai berikut:
a.      Pemerintah merupakan gabungan penyelenggaraan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam arti kata yang luas, semua badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum. Ini berarti mencakup badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b.      Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu Negara, misalnya, Raja, Presiden dan yang Dipertuan agung.
c.      Pemerintah dalam arti kepala Negara (Presiden) bersama dengan para menterinya, sebagai organ eksekutif, yang disebut dewan menteri atau cabinet, di Inggris disebut Privacy Council.
           
            Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
            Syarat dan Pelaku Good Governance dikemukakan oleh Santosa (2001), didalam Sedarmayanti[12], secara teoritis, keberadaan Good Governance yang kokoh membutuhkan berbagai persyaratan yaitu:
a.   Lembaga perwakilan rakyat memiliki legitimasi politik dan mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif.
b.   Pengadilan independent (mandiri, bersih dan profesional).
c.   Aparatur pemerintah (birokrasi) profesional dan memiliki integritas kokoh.
d.   Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol publik.
e.   Desentralisasi dan lembaga perwakilan di daerah yang kuat.

2.1.2. Otonomi Daerah
            Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pemerintahan daerah diatur didalam Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota  dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.


BAB III
METODOLOGI
3.1.    Pengertian Metodologi
Pengertian metodologi[13] adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Salah satu metode yang harus ditentukan dalam metode peneitian ini adalah metode penelitian. Setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Pada bab ini adalah bagian dari epistemologi ilmu pemerintahan yang menjadi fokus penelitian tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan berbagai permasalahannya dalam sistem pemerintahan daerah dan ketatanegaraan di Indonesia. Sementara itu, salah satu realitas (bagian ontologi) tentang Pilkada menarik untuk diteliti,  dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, tetapi pada frasa “dipilih secara demokratis”, mengandung rumusan multitafsir, apakah dipilih secara langsung oleh rakyat, atau melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD.
Dalam penelitian tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan maksud mendapatkan teori baru guna memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia. Untuk mengadakan pengkajian penelitian kualitatif, dapat merujuk definisi dari Bogdan dan Taylor (1975:5) di dalam Lexy J. Moleong[14] mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Dokumen yang dikumpulkan meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mekanisme Pilkada yaitu: UUD 1945; Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota; Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, dan; UU No 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015. UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang Mahkamah Konstitusi.

3.2.     Pengertian Metode Penelitian
Metode Penelitian menurut Noeng Muhadjir[15] merupakan ilmu yang mempelajari tentang metode-metode penelitian, ilmu tentang alat-alat penelitian. Di lingkup filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran, bila ditata dalam sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian dari logika.
3.3.     Sarana Berpikir Ilmiah
Untuk melakukan kegiatan ilmiah masih menurut Jujun S. Suriasumantri[16] secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.                                   Pembahasan
            Tujuan Negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945  untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah.
            Bangsa Indonesia pernah memiliki GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang merupakan arah penyelenggaraan Negara dalam waktu lima tahun mendatang untuk mencegah disintegrasi bangsa, didalam kondisi umum dijelaskan[17] konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi diberbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh, dan Irian Jaya, hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat. Terkait dengan gambaran umum Pembangunan Daerah, GBHN yang pernah kita miliki juga mengamanatkan untuk mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. GBHN mengamanatkan kepada pemerintah meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
4.1.1. TAP MPR No. 1/MPR/2003
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003[18], tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002. TAP MPR tersebut berdasarkan Materi dan Status Hukumnya mengelompokkan menjadi enam bagian. Pertama, TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (8 ketetapan). Kedua, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 ketetapan). Ketiga, TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ( 8 ketetapan). Ke empat, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan). Kelima, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 ketetapan). Ke enam, TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Sayangnya, TAP MPR No IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi panduan pembangunan lima tahunan agar pembangunan terintegrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, termasuk kelompok ketiga yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Karena hasil pemilu 2004 sudah terbentuk, maka TAP MPR tentang GBHN sekarang  sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, era reformasi Negara kita tidak memiliki panduan  jelas mengenai  keberlangsungan pembangunan yang terstruktur dan berkelanjutan (sustainable).
4.1.2. TAP MPR No. XV/MPR/1998
Selain itu, kita masih memiliki Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998[19], tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi dari Ketetapan MPR tersebut penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Meski Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah diterbitkan sebagaimana diamanatkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 karena Ketetapan MPR ini belum seluruhnya dituangkan ke dalam Undang-Undang, maka Ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy)[20]. Dalam konsideran Ketetapan MPR tentang Otonomi Daerah tersebut menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4.1.3. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Multitafsir
Mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 18 ayat (4)  UUD 1945 yang menyatakan: “dipilih secara demokratis” agar tidak menimbulkan tafsiran bersayap harus dilakukan amandemen oleh MPR. Melalui amandemen kelima UUD 1945, MPR mempertegas, apakah Pilkada dipilih oleh rakyat secara langsung, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD. Oleh karena itu, MPR perlu didorong untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif, tetapi tidak terbatas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 yang tegas tidak ada interpretasi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung”.
 Penegasan mekanisme Pilkada ini penting dilakukan, agar DPR yang menciptakan kubu-kubuan tidak menafsirkan konstitusi sesuai: selera; kelompok; golongan, dan/atau partai politiknya.  Hal lain, dimaksudkan agar Presiden tidak mudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, kecuali Negara benar-benar dalam keadaan genting sebagaimana syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang yang harus mendapat persetujuan DPR”.
Gerakan reformasi menuntut antara lain, amandemen UUD 1945 untuk menata ulang sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances). Penjelasan umum UU. No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan[21], bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya dalam bingkai NKRI efektif sekali diterapkan untuk menekan terjadinya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sejak Timor Timur melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1999, daerah-daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat apalagi telah terjadi kesenjangan sosial dalam pembangunan, dapat mengancam keutuhan NKRI. Contoh, Papua, Aceh dan Ambon pernah kita dengar ingin memisahkan diri dari NKRI. Pemerintah yang diberi amanat konstitusi untuk: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pembangunan yang digerakkan di segala bidang harus merata dan dirasakan oleh setiap anak negeri ini. Pemerintah terus berusaha dan berupaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pengentasan kemiskinan, dengan pemerataan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi, maka rakyat akan semakin mencintai pemimpinnya, lebih dari itu, akan bertambah bangga menjadi bangsa Indonesia. Perlu disadari, bahwa penyebab utama separatisme di negeri ini adalah keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang mendera anak-anak negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika separatisme dapat diakibatkan faktor-faktor politik yang mempengaruhinya, antara lain untuk memperoleh kekuasaan.

Hasil
 4.2.      
Akibat perseteruan kubu-kubuan antara KMP dengan KIH tidak hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan pusat, dampak secara langsung juga dirasakan oleh  pemerintahan daerah yang akan memilih calon pemimpinnya, baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Jika mekanisme Pilkada diserahkan kembali kepada DPRD, selain kemunduran demokrasi, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi dihadapan rakyat. Lebih dari itu, tuntutan reformasi untuk menuju kehidupan negara yang demokratis akan menjadi terdegradesi, bahkan hilang dari falsafah Pancasila yang mengutamakan asas musyawarah mufakat.
            Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir tidak memberikan kepastian hukum, jika dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berdasarkan Pasal 10 UU. No. 30 Tahun 2014[22] tentang Administrasi Pemerintahan yang meliputi meliputi:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
            Berdasarkan penjelasan umum UU. No. 8 tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan, MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Putusan ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka komisi pemilihan umum yang diatur di dalam Pasal 22E tidak berwenang menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

4.2.1.    Wewenang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu sejalan dengan Pasal 24C UUD 1945 Juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut:
a.      Menguji UU terhadap UUD 1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara;
c.      Pembubaran Partai Politik;
d.      Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Dan Kewajiban MK untuk memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
           
 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
          Bentrokan antarpendukung (konflik horizontal) maupun konflik vertikal  ketika pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak dapat dijadikan alasan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikembalikan kepada DPRD. Bagaimana pun, Pilkada oleh rakyat secara langsung jauh lebih baik, akan memiliki legitimasi, derajat, dan akuntabilitas yang tinggi, dibandingkan dipilih oleh DPRD yang belum tentu mewakili aspirasi rakyat. DPD saat ini gencar ingin melakukan perubahan kelima UUD 1945, kelak MPR tidak terbatas hanya memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances), tetapi perubahan yang komprehensif, terintegrasi dan holistis termasuk didalamnya memperjelas mekanisme pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota, apakah dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui DPRD. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir membuka ruang interpretasi sesuai selera kelompok, golongan, atau partai politiknya. MPR tidak boleh melakukan pembiaran terhadap substansi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, sebab, jika MPR tidak melakukan perubahan UUD 1945 terkait mekanisme Pilkada, sama saja MPR menciptakan ketidakpastian hukum di negeri ini.
            Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C juncto Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diputuskan  melalui Sidang MPR pada perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia, tidak diberikan kewenangan sedikit pun  oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Dengan tidak berfungsinya kelembagaan DPD aspirasi rakyat daerah tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
Pada terminologi “dapat mengajukan” RUU kepada DPR tidak menjadi keharusan diterima DPR menjadi Undang-Undang, karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan Undang-Undang meski terkait kepentingan daerah.
                Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.
            
5.1.1.   Saran
1.    Meski Pilkada secara langsung oleh rakyat terjadi bentrokan masif antar pendukung, dan berbiaya tinggi, bagaimana pun pelaksanaannya tetap lebih baik dibandingkan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Menuju Negara berdemokrasi itu memang mahal. Pilkada oleh rakyat secara langsung akan memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi. Amandemen UUD 1945 diharapkan secara komprehensif, tidak terbatas menata ulang sistem ketatanegaraan agar memiliki kegiatan fungsi saling mengontrol (checks and balances). Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, penting dilakukan amandemen konstitusi, apakah demokratis itu secara langsung oleh rakyat, atau melalui pemilihan tidak langsung oleh DPRD;
2.    Amandemen pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang multitafsir, harus di inisiasi oleh DPD sebagai lembaga Negara perwakilan daerah (regional representation). Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 DPD memiliki fungsi legislasi sebagai berikut: “DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat  dan daerah”.
3.    Pemilihan kepala Daerah secara serentak pada 9 Desember 2015, menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan, bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, menjadi tidak relevan lagi. Ketika Pilkada serentak dilakukan 9 Desember 2015 yang berskala nasional, justru kewenangan MK untuk memutus perselisihan tentang hasil Pilkada.
DAFTAR PUSTAKA

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif.  Bandung: Rosdakarya.

Nasution, Adnan Buyung. (2001). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio- Legal atas  
                 Konstituante 1956-1959). Jakarta: Temprint.

Ndraha, Taliziduhu. (2003). Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru).
                 Jakarta: Rineka Cipta.

Sedarmayanti. (2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan                                     Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima  dan Kepemrintahan  yang baik). Bandung: Refika Aditama.

Suradinata, Ermaya. (1999). Filsafat dan Metodologi Ilmu Pemerintahan. Bandung: Ramadan Citra Grafika.


Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

TAP MPR No. IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
            Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS          dan MPR-RI Tahun 1960-2002.

Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,      Pembagian, dan  Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU. No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 1 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 8 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

UU. No. 23 Tahun 2014, Tentang Pemerintahan Daerah.

UU. No. 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi.

UU. No. 8 Tahun 2011, Tentang Mahkamah Konstitusi.

UU. No. 4 tahun 2014, Tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur,  Bupati dan Walikota.

Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, Tentang Mahkamah Konstitusi

           Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta: Sekretariat  
                Jenderal MPR-RI, 2014)  hal. 69.



[1] Panduan  Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945, 2004,   (Jakarta: Sekretariat Jenderal  MPR RI,
  2004), hal xi, xii 5,6, 16, 25
[2] Indonesia, Undang Undang  Dasar 1945, ps. 18 ayat (4).
[3] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota UU No. 1, LN  No.
  2015  Tahun 2015, TLN. No. 5588.
[4] Ibid.
[5] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,  (Studi Sosio-  Legal atas  
  Konstituante 1956-1959), (Jakarta: Temprint, 2001), hal. 85.

[6] Ibid, hal. 107.

[7] Indonesia, Undang Undang  Dasar 1945, ps. 1 ayat (1).
[8] Ibid, ps. 37 ayat (5).
[9] Ibid, ps. 18A.
[10] Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.7

[11] Ermaya Suradinata, Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Cet. 1, (Bandung: Ramadan, 1999), hal.  
   99.

[12] Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan
   (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan  yang  baik), (Bandung: Refika Aditama,  2009), hal. 302.


[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal.
    328.

   [14] Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hal.3.

[15] Noeng Muhadjir, Metode Riset, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 4.

[16] Ibid, hal. 165.
[17] Penjelasan Umum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999, Tentang Garis-Garis Besar
   Haluan Negara.
[18] Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum  Ketetapan
   MPRS dan MPR-RI Tahun 1960-2002.
[19] Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
   Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
   Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[20] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, (Jakarta:
   Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2014)  hal. 69
[21] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23, LN  No. 244  Tahun 2014,
   TLN. No.5587.
[22] Indonesia, Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30, LN  No. 292  Tahun 2014, TLN.
    No. 5601, ps. 10.

Kamis, 11 Februari 2016

Heboh Raja Dangdut Dirikan Partai Idaman


Oleh WARSITO                                                                                      
                
 -Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                      
-Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta                                                   -Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007                                                                                  -Juara I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003


Sebagai penggemar berat lagu-lagu dangdut Bang Haji (Rhoma Irama), saya terperanjat kaget, tatkala bang haji masih tidak kapok-kapoknya menelusuri lembah ngarai dibelantara perpolitikan nasional dengan niat mendirikan partai politik kembali. Padahal, sebelumnya bang haji sudah dikecewakan berat oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak jadi  dicalonkan Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019.
Di  bulan puasa menjelang lebaran tahun kemarin, publik dihebohkan sekaligus disuguhi hiburan menarik adanya pemberitaan dari Raja Dangdut, Rhoma Irama. Kegemparan itu lantaran Rhoma mendirikan Partai Politik yang diberi nama, Partai Idaman (Islam, Damai dan Aman). Partai tersebut diketuai oleh Rhoma Irama dan dideklarasikan pada hari, Sabtu, tanggal 11 Juli 2015, bertempat di Restoran Raden Bahari, Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta-Selatan (detikcom, Sabtu, 11/7/2015).
            
Ingatan kita masih segar tatkala 2014 lalu, Rhoma Irama di gadang-gadang oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi calon Presiden 2014. Tetapi, sayangnya, Rhoma Irama, nampaknya tidak menyadari, bahwa pencalonannya hanya manuver PKB, dugaan kuat hanya untuk memanfaatkan kepopuleran Rhoma Irama  untuk vote getter pada ajang kontes pemilihan umum legislatif  9 April tahun lalu.  Sebab, elektabilitas Rhoma Irama untuk menjadi Presiden sangat  rendah sekali.
Apalagi dikuatkan dengan  sebanyak 330 profesor di 33 provinsi jadi responden survei pakar yang diselenggarakan Pol-Tracking Institute untuk mencermati kualitas calon presiden. Skor teratas ketika itu diduduki Jusuf Kalla dan paling rendah Rhoma Irama.  “Hasil yang didapat merupakan penilaian setiap tokoh dari rerata tujuh aspek dimensi yang dinilai,” kata Hanta. Tujuh aspek itu adalah integritas, visi dan gagasan, leadership dan keberanian mengambil keputusan, kompetensi dan kapabilitas, pengalaman dan prestasi kepemimpinan, kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, serta kemampuan memimpin koalisi Partai Politik di pemerintahan (Kompas. com, 24/3/2014). Masih nekatkah Rhoma Irama ingin mencalonkan Presiden?. Pencalonan Rhoma Irama menjadi Presiden direaksi publik dengan sikap agak tertawa ger-geran. Bahkan pengamat politik  Burhanuddin Muhtadi pernah menganggap sebagai jokey of the month (Kompas.com, Selasa, 13/11/2012). Terbukti, setelah hasil pemilu April 2014 lalu, Rhoma Irama benar-benar dibuang oleh PKB. Padahal, jika PKB serius ingin mencalonkan Rhoma Irama menjadi Presiden, PKB dapat berkoalisi dengan Partai-Partai  lain.
Dangdut Berbeda dengan Pemerintahan
Berbicara soal lagu-lagu dangdut Rhoma Irama, hampir tidak ada orang yang menyanggah julukannya sebagai raja dangdut. Sampai sekarang, tidak ada orang yang bisa menandingi kepiawaian olah vokal raja dangdut, baik nasional, maupun internasional. Itulah kehebatan Rhoma Irama. Saya pun termasuk orang yang mengagumi lagu-lagu dangdut album Bang haji. Namun, jika orang yang saya idolakan itu dijerumuskan ke Partai Politik, saya termasuk penggemar yang tidak rela, sebab, besar kemungkinan Rhoma Irama akan terperosok ke kubangan Partai Politik. Penggemar setia tidak ingin, ketika sudah berpolitik, Rhoma Irama tidak lagi dapat membedakan antara warna hitam atau putih. Meski, pendirian Partai Politik adalah hak setiap warga Negara.. Penggemar akan lebih antusias ketika satria bergitar menggebrak panggung menyanyikan lagu-lagu dangdut dan berdakwah dibandingkan jadi presiden. Itulah habitat Rhoma yang sebenarnya. Namun, institusi Partai Politik tetaplah penting sebagai pilar demokrasi untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan guna memastikan keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat.
Belajar dari  KH Zainuddin MZ
Meski berpolitik itu seni, stigma politik untuk Rhoma Irama tidak bisa diterima oleh publik. Apalagi  jargon politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan. Rhoma Irama, perlu belajar dari dai sejuta umat,  KH. Zainuddin MZ, yang dengan jujur mengatakan selama melakoni kegiatannya di Partai Politik, ia sadar merasa bukan  dunianya. Kemudian bergegas kembali ke habitatnya menjadi dai yang sebenarnya, publik pun akhirnya memaafkan dan menerima kembali sang dai sejuta umat tersebut. Hal lain, pelajaran berharga yang perlu dipetik Rhoma Irama dari KH Zainuddin MZ, selama aktif di Partai Politik, orang-orang yang mengagumi  ceramahnya, berangsur-angsur meninggalkannya. Hal ini, bukti kecintaan penggemarnya kepada KH. Zainuddin MZ untuk berkiprah di dakwah, bukan di ranah Partai Politik.  Dalam batas penalaran logis, sulit diterima akal sehat, mengapa pendirian Partai Politik yang sudah legal dan menjadi hak setiap warga Negara, tetapi direaksi negatif oleh publik? . Jawabannya, masyarakat memberikan sanksi sosial, karena publik memiliki kriteria dan hukumnya sendiri dan menghendaki agar idolanya berkarya ke habitatnya. Meski pendirian Partai Politik hak konstitusional Rhoma Irama, tetapi masyarakat lebih menggandrungi ketika Rhoma Irama menyanyikan lagu-lagu Dangdut di panggung dan berdakwah, ketimbang Rhoma Irama mencalonkan Presiden. Saya pikir Rhoma Irama sudah paham  betul, bahwa segala sesuatu, jika diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran (HR. Al-Bukhari  dari Abi Hurairah). Meski hak konstitusional Rhoma Irama untuk mendirikan Partai Politik dan dilindungi oleh Undang-Undang. 
Kesimpulannya, berkarya dibidang musik dangdut tidak kalah mulia dan terhormatnya dengan pengabdian-pengabdian lain  seperti di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.  Karyamu di bidang musik dangdut jauh lebih besar yang memuat pesan-pesan moral, agama, untuk  menggelorakan jiwa nasionalisme bangsa yang sekarang mulai terdegradesi. Jika, Rhoma Irama memaksakan mencalonkan Presiden lewat Partai Politik yang didirikan, sudah dapat diprediksi selain tidak direaksi baik oleh masyarakat, akan mengalami dua kegagalan besar,. Pertama, masyarakat sulit menerima sebagai  calon Presiden melalui Partai Politik yang didirikannya. Kedua, perlahan-lahan, namun pasti, Rhoma Irama bakalan ditinggalkan penggemarnya, karena penggemar menganggap Partai Politik bukan dunianya raja dangdut. Bang Haji..


Selasa, 09 Februari 2016

Benarkah DPR Itu Mirip Taman Kanak-Kanak?

Oleh WARSITO
-Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                -Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta                                                   -Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007                                                                                  -Juara I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003


Menonton perilaku anggota DPR yang kerap membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat, padahal fungsi utama  dewan sesungguhnya adalah mengemban aspirasi rakyat, kita patut menilai bahwa DPR sudah bermuka tembok dan mati rasa. Ingatan kita masih segar  tatkala di ruang sidang paripurna MPR, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur  menyebut  anggota DPR mirip Taman Kanak-anak (TK). Sontak ucapan GusDur itu membuat DPR bermuka merah, dan gigi berkerut-kerut, hujan interupsi di persidangan tak terbendung lagi meminta penjelasan GusDur atas ucapannya itu. Anggota DPR menilai ucapan GusDUR sebagai bentuk pelecehan terhadap lembaga terhormat DPR (contemp of parliament).Bukan GusDur kalau tidak bisa menjelaskan maksud dari analogi DPR sebagai anak TK.
Seiring dengan perkembangan zaman, ternyata ucapan Gus Dur itu terbukti ada benarnya. Kebuktian itulah banyak kalangan yang menganggap GusDur memiliki linuwih (kelebihan), karomah, bahkan tidak sedikit yang mengatakan GusDur itu aulia atau Waliyullah. Kita akan membenarkan ucapan GusDur bahwa DPR itu mirip anak-anak TK, tatkala kita menyaksikan DPR sedang rapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, tetapi ada anggota dewan malah ngorok dan mendengkur. Begitu pula orang akan  “mensaktikan” ucapan GusDur, ketika anggota DPR yang baru dilantik hujan interupsi berebutan microphone biar terlihat masuk layar kaca. Perilaku sebagian anggota DPR mirip seperti TK, terlihat ketika akan merubah UU. No. 27/2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang akrab disebut UU MD3. DPR menggunting pasal 82 ayat (1) UU yang semula posisi Ketua DPR otomatis berasal dari pemenang pemilu, dirubah tidak otomatis sebagai pemenang pemilu (baca PDI-P). Koalisi yang tergabung merah putih seperti Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP yang mengusung Capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa berdalih, dengan perubahan itu akan memperkuat fungsi pengawasan parlemen agar terjadi check and balance antara legislatif dan eksekutif. Kelihatannya argumentasi itu baik untuk penguatan sistem ketatanegaraan, karena salah satu fungsi DPR adalah pengawasan. Memang ada masalah besar jika pemenang partai otomatis menjadi ketua DPR, sebab, jika ketua DPR  berasal dari partainya presiden, sedangkan presiden melakukan pelanggaran UU atau konstitusi  atau kebijakannya telah merugikan rakyat banyak, tentu DPR pengawasannya tidak akan menjadi maksimal.

Momentum Tidak Tepat

Meski argumentasi yang disampaikan oleh koalisi merah putih kelihatannya lebih masuk akal, masalahnya, pengguntingan otomatis jabatan ketua DPR itu dilakukan bebarengan dengan momentum Pilpres. Kita bisa membaca dengan jelas arah koalisi merah putih, ada kekhawatiran yang berlebihan jika Joko Widodo  terpilih menjad presiden akan melakukan kebijakan yang progresif. Kita juga mafhum, ini adalah pertarungan Pilpres, dugaan koalisi merah putih menghalangi PDI-P otomatis menjadi ketua DPR, agar sewaktu-waktu Joko Widodo menjadi presiden terpilih melakukan pelanggaran konstitusi, mudah digiring menuju impeachment (pemakzulan). UU MD3 jika dipaksakan voting, tentu koalisi yang di dalamnya PDI-P, PKB dan  NasDem.

Akankah Reformasi Jilid II Terjadi?.

Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta,                                                                Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta                                                   Tim Perumus Tata Naskah DPD RI Tahun 2007                                                                                 Juara I Lomba Pidato Tingkat MPR-DPR Tahun 2003


Dengan terdepreasinya nilai tukar rupiah hingga menyentuh level Rp. 14.145 per dolar, adakah alasan gerakan reformasi tahun 1998 berulang kembali?  
Situasi 1998 Berbeda Dengan Sekarang
Meski nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar, gerakan reformasi jilid II untuk menumbangkan presiden pilihan rakyat hampir mustahil bisa dilakukan. Sebab, kondisi reformasi tahun 1998 sangat berbeda dengan situasi sekarang, krisis ekonomi tahun 1998 tidak melulu soal ekonomi. Gerakan reformasi pada Tahun 1998 secara heroik puncaknya dapat menumbangkan Soeharto dari jabatan Presiden pada hari, Kamis, tanggal 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi berawal dari krisis ekonomi dipenghujung tahun 1997 hingga pertengahan 1998 yang memporakporandakan perekonomian nasional, berkembang liar menjadi krisis moral, politik, hukum, yang bermuara krisis kepercayaan kepada pemerintahan orde baru. Ini artinya, jika ada yang memanfaatkan suasana yang tidak menguntungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk meminta mundur, rakyat yang telah memilihnya, tentu akan merapatkan barisan untuk tetap mendukung presiden pilihan rakyat tersebut. Gema reformasi yang pernah mengguncang Indonesia dan disorot dunia pada tahun 1998, bertujuan, agar kondisi secara umum kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan semakin lebih baik kesejahteraannya.
 Tuntutan reformasi tahun 1998 adalah: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI;  penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);  desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah);  mewujudkan kebebasan pers; dan mewujudkan kebebasan demokrasi.
Bagaimana Reformasi di Bidang Politik?.
Ingatan kita masih segar, tatkala tahun 1999 ada kubu yang bernama poros tengah dimotori oleh Amien Rais dibentuk untuk mengimbangi kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilu tahun 1999. Partai-partai Islam (PAN, PPP, PKB dan PBB) yang tergabung dalam Poros Tengah, akhirnya, mengantarkan Abdurrahman Wahid (GusDur) dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Panggung sejarah membuktikan, dari periode ke periode masa bakti anggota DPR, kubu-kubuan nampaknya sulit dihindari. Hal itu, disebabkan kurang kesadarannya elite politik kita, ketika menjadi anggota DPR, sesungguhnya pengabdian kepada Partai Politik sudah berakhir berubah menjadi pengabdian kepada rakyat, bangsa dan Negara.
Kini, DPR periode 2014-2019 mengikuti jejak langkah periode sebelumnya, melahirkan Kubu KMP (Koalisi Merah Putih) yang di motori oleh Partai Golkar, dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang dimotori oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menambah deretan panjang kubu-kubuan antar parlemen di negeri ini. DPR yang kubu-kubuan, menjadikan parlemen tidak fokus memperjuangkan aspirasi rakyat, utamanya kepentingan rakyat daerah. Kekalahan Pilpres kubu KMP, yang menjagokan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berbuntut panjang di parlemen. Dampaknya, kubu KMP tidak menghendaki Ketua DPR otomatis dijabat peserta Partai Politik pemenang pemilu. Padahal, sebelumnya UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menentukan demikian. Hal ini, ada dugaan kuat untuk menahan laju kader PDIP menjadi ketua DPR sebagai partai peserta pemenang pemilu 2014. Berebut paket Pimpinan DPR merambah ke paket Pimpinan MPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang selama ini dianggap lembaga Negara “antara ada dan tiada”, tiba-tiba mendapat berkah didekati oleh DPR untuk mendukung memuluskan kandidat Pimpinan MPR unsur DPR. Perseteruan kubu-kubuan DPR ini, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat. Akibatnya, kubu KMP berhasil meloloskan Undang-Undang No 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh DPRD. Beruntung, SBY sebagai Presiden ketika itu cekatan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan Pilkada secara langsung kepada kuasa daulat rakyat. Ini semua menandakan bahwa elite politik kita masih jauh dari negarawan. Awalnya, Perpu Pilkada tersebut dengan berbagai kepentingan terancam penolakan, berhubung, desakan aspirasi rakyat sudah tidak terbendung lagi, Perpu tersebut mendapatkan dukungan meluas dari parlemen menjadi UU No 1 Tahun 2015, diubah terakhir UU No 8 Tahun 2015.
Jika dikalkulasi pertarungan kedua kubu tersebut, kubu KIH mengalami kekalahan telak dibandingkan kubu KMP, kecuali pertarungan memenangi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Jika mekanisme pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), besar kemungkinan kubu KMP akan memenangi pertarungan mutlak termasuk mengalahkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikawal oleh rakyat.
Hasil reformasi konstitusi tidaklah semuanya jelek. ketatanegaraan kita menjadi lebih modern dan progresif, antara lain, dapat menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang bukan mencerminkan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. Selain itu, konstitusi kita berhasil membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power). Penting bagi kita merefleksi sejenak makna reformasi yang digelorakan tahun 1998 yang usianya sudah  menginjak tujuh belas tahun sejak Soeharto digulingkan dari jabatan presiden. Kontemplatif diperlukan, agar reformasi yang telah diperjuangkan mahal oleh mahasiswa bersama komponen bangsa dengan mengorbankan harta benda, tetesan darah, bahkan nyawa taruhannya, kembali memiliki arah yang jelas. Sebagai mahasiswa pada tahun 1998, penulis menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya gerakan reformasi yang menggetarkan dunia di gedung MPR/DPR yang  dipadati lautan manusia. Salah satu tuntutan reformasi adalah meminta Soeharto berhenti sesegera mungkin dari jabatan presiden, tetapi tidak berpikir jauh ke depan apakah lengsernya Soeharto, keadaan negeri ini bisa menjadi lebih baik, ataukah justru sebaliknya.
 Mari Dukung Presiden Pilihan Rakyat

Dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak hanya dialami Indonesia saja, maka kita perlu mendukung langkah-langkah pemerintah yang akan menstabilkan perekonomian kita. Sepanjang presiden pilihan rakyat sudah bekerja sesuai panduan konstitusi, meski Negara dalam situasi sesulit apa pun, tidak ada alasan yang membenarkan untuk dimakzulkan (impeachment), niscaya rakyat akan tetap mendukung presiden yang dicintainya sampai titik darah penghabisan.

Senin, 08 Februari 2016

Kemana Kajian Komisi Konstitusi?

.

Oleh WARSITO
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Satyagama, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta,
Tim Perumus Tata Naskah DPD-RI Tahun 2007

Menurut Komisi Konstitusi: “karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bikameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah”.

                Frasa:  “Komisi Konstitusi” (KK), dengan “Mahkamah Konstitusi” (MK), sering terdengar di samar-artikan oleh khalayak umum. Berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi diberi tugas untuk melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang merupakan peradilan progresif di abad mutakhir  ini. Kewenangan MK diberikan langsung oleh UUD 1945 Pasal 24C, juncto UU No 24 tahun 2003 perubahan kedua UU No 8 Tahun 2011 diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No I Tahun 2013, perubahan terakhir UU No 4 tahun 2014, tentang MK, yaitu: menguji UU terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; membubarkan Partai Politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar  UUD 1945.
            Jika MPR dilambangkan dengan  gedung bulat nan megah beserta air mancurnya di Senayan, maka, MK dilambangkan dengan gedungnya 9 jangkar pilar nan kokoh, di depan Monumen Nasional (monas) bermakna 9 hakim berjubah merah nan gagah berani siap mengawal gawang konstitusi (guardian constitution).
Komisi Konstitusi telah terbentuk dengan susah payah, tetapi, MPR sengaja “menghilangkan” dengan mengusulkan kembali membentuk sebuah tim penelaah  secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Pertanyaannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama ini?. Sayang, TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut berdasarkan TAP MPR No I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002 pada Pasal 6 dikelompokkan menjadi: “TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak berlaku lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan”. Padahal, amanat TAP MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi tersebut belum pernah dilaksanakan. Keputusan MPR untuk membentuk tim penelaah secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945 diambil dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  di MPR  pada hari Senin 8/9-2008 (Kompas, 9/9-2008). Hal ini, dapat dibaca dengan terang, bahwa MPR tidak mempercayai kerja keras MPR periode sebelumnya dalam pembentukan KK.  Namun, keseriusan MPR untuk membentuk sebuah Komisi Konstitusi jilid II patut diuji dan dipertanyakan. Pasalnya, hingga saat ini mekanisme pembentukan komisi tersebut belum juga dilaksanakan, khabar pembentukan komisi ini pun perlahan-lahan  menghilang bak ditelan bumi.
MPR Lupa
            Berangkat dari gagasan pembentukan komisi penelaah konstitusi, ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan, MPR pernah menerbitkan TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945. Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004 dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR.
Dukungan pembentukan komisi untuk amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif ketika itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan ulang tahun ke-63 MPR, di gedung MPR (Kompas, 30/8/2008). Sebelumnya, dukungan pembentukan komisi pengkaji konstitusi disampaikan Presiden pada saat pidato kenegaraan dihadapan sidang paripurna khusus DPD-RI 2007 lalu. Sebenarnya lembaga negara manakah yang menangguk keuntungan jika pembentukan Komisi Konstitusi dilaksanakan?. DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden ataukah DPD?. Hampir pasti adalah Dewan Perwakilan Daerah. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, sudah sepantasnya jika DPD gigih mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi. Harapan DPD kajian Komisi Konstitusi  tentunya dapat menguatkan  kelembagaannya sejajar dengan DPR untuk melakukan kegiatan fungsi  saling mengontrol (check and balances). Kehadiran komisi tersebut sudah pasti disambut gegap gempita sekaligus sebagai obat penawar DPD, ditengah keputusasaan gagal melakukan amandemen kelima UUD 1945.
            DPD meminjam tangan agar Presiden yang berinisiatif membentuk komisi, demikian kata ketua DPD periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/9/2008). Mengapa DPD berharap Presiden yang berinisiatif membentuk Komisi Konstitusi?. Bukankah DPD sendiri berwenang membentuk Komisi Konstitusi dengan “menjelma” menjadi anggota  MPR?. Jika benar pembentukan Komisi Konstitusi dilakukan oleh Presiden kala itu, justru dapat menjerumuskan Presiden sendiri. Jebakan maut akan mengintai tuan Presiden jika nekat mengusulkan pembentukan KK. Pertanyaannya, bolehkah Presiden berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Bukankah Presiden bersumpah akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya? (Pasal 9 UUD 1945). SBY dalam kapasitasnya  sebagai Presiden kala itu tidak boleh mempersoalkan substansi UUD 1945 meski ia tahu terdapat coreng moreng dan ketidaksinkronan antar muatan konstitusi. Berhati-hatilah kepada siapa pun tuan Presiden, untuk tidak sembarangan  mengusulkan pembentukan komisi pengkaji konstitusi, boleh jadi jebakan maut Presiden ke tubir jurang  untuk di impeachment. Ketahuilah, bahwa kewenangan membentuk komisi pengkaji konstitusi di ranah MPR, bukan kepada Presiden bukan pula kepada lembaga-lembaga negara lain.
            Mengapa DPD menaruh harapan penuh kepada Presiden yang berinisiatif membentuk komisi pengkaji konstitusi?. Selain DPD tahu diri, boleh jadi, DPD melihat gelagat tidak baik dari MPR sebagai lembaga Negara yang sesungguhnya memiliki kewenangan, tetapi enggan untuk membentuk tim penelaah konstitusi. Apakah maksud dibalik sesungguhnya MPR enggan membentuk tim penelaah konstitusi?. Sebab, didalam MPR terdapat kepentingan 560 anggota DPR yang sebagian besar tidak menghendaki DPD sejajar dengan DPR. Dalam batas penalaran logis, jika DPD kuat menjadikan DPR dimadu bersama DPD dalam bidang legislasi. Hal lain, penguatan DPD berdampak dihilangkannya Pimpinan MPR secara permanen. Ada kekhawatiran di pihak MPR yang terdiri dari mayoritas anggota DPR, jika terjadi joint session/sidang majelis (cluster bertemunya DPR dengan DPD), Pimpinan MPR bakalan dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dengan pimpinan DPD. Konsekuensi logisnya, Pimpinan MPR secara permanen akan dihapuskan. Gagasan ini masuk akal (reasonable) mengingat MPR secara periodik selama lima tahun hanya menjalankan tugas konstitusionalnya melantik Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan kewenangan MPR, merubah UUD 1945 dan memberhentikan Presiden menurut UUD 1945 hanya bersifat insidentil.
            Bagaimanakah jika 132  anggota DPD “menjelma” menjadi anggota MPR membentuk Komisi Konstitusi?. Percuma!. Akan sia-sia belaka, mengingat jumlah anggota DPD itu minoritas di Majelis. Hal lain, gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang diajukan DPD, pasti mudah dijungkalkan melalui Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945.
            Nyata sudah, dengan bahasa sederhana bisa dipahami, mengapa DPD perlu meminjam tangan Presiden untuk membentuk Komisi Konstitusi, karena posisi DPD lemah tak berdaya. Meski secara yuridis pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden tidak memiliki makna apa-apa, namun, pengharapan pembentukan Komisi Konstitusi oleh Presiden, yang bersifat dukungan politis dampaknya dahsyat sekali dapat memengaruhi anak buah Presiden di parlemen guna memuluskan penguatan DPD. Masalahnya, apabila Presiden nekat membentuk Komisi Konstitusi, maka inkonstitusional.
Sebelum MPR membentuk Komisi Konstitusi terdapat desakan kuat dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya, MPR mengakui bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Kekurangcermatan MPR melakukan perubahan UUD 1945 itu tersirat diakui pada konsideran pembentukan TAP MPR tentang  Komisi Konstitusi yang menyatakan, bahwa perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara, tetapi masih diperlukan pengkajian secara komprehensif dan transparan dengan melibatkan masyarakat luas. Ironinya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak terpakai oleh MPR periode 2004-2009 maupun periode 2009-2014. Singkatnya, MPR tidak mempergunakan kajian Komisi Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah, MPR hanya sekadar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR.
Oleh karena itu, sebaiknya urungkan saja niat membentuk Komisi Konstitusi jilid II apapun nama telaahan konstitusi. Untuk apa membentuk komisi tandingan, jika pada akhirnya MPR tidak memiliki itikad baik untuk menyempurnakan UUD 1945? Jika MPR memaksakan kembali membentuk Komisi Konstitusi, nampak sekali MPR sistem bekerjanya STM (sibuk tidak menentu) hanya mencari-cari kerjaan belaka.
            MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sisi lain, MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara yuridis memiliki fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, ternyata DPD masih lebih lemah (lintuh). MPR masih memiliki wewenang yang kuat, yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain, kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
            Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga Negara ini tidak diberi wewenang sedikit pun oleh konstitusi sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling), maupun bersifat penetapan (beschikking). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada jarak (distansi) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosan-terobosan politik secara progresif untuk merebut hati rakyat, dengan kegiatan yang tidak melanggar ketentuan konstitusi. Ada dugaan kuat DPD sengaja dilahirkan untuk percobaan (antifisial), Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD.

Dibubarkan Atau Dipertahankan
            Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, keberadaan DPD sudah sebelas  tahun. Mari merefleksi keberadaan lembaga Negara  ini, apakah bermanfaat untuk rakyat atau tidak? Jangan biarkan lembaga DPD ini bekerjanya memakai kaca mata kuda hanya memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU  MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai. Jika keberadaan DPD tetap diposisikan sebagai lembaga Negara hiburan (konsolasi), maka lebih baik dibubarkan saja. Sebaliknya, jika ingin mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945.
            Kesimpulannya, MPR tidak perlu sibuk mencari-cari kerjaan baru membentuk komisi pengkaji perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kitab kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi sebagai referensi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi.  Jangan setiap pergantian periode, selalu membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004 jangan dihilangkan, MPR periode 2004-2009 justru ingin membentuk Komisi tandingan. MPR menyadari bahwa perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara, namun, MPR tidak boleh obral menerbitkan Ketetapan MPR jika sekadar untuk hiburan kepada masyarakat. Sebab, selain akan menguras uang rakyat, MPR bekerjanya hanya STM (sibuk tidak menentu), dan hasilnya dipastikan akan sia-sia belaka, karena nasibnya akan sama dengan pembentukan komisi sebelumnya.



HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19