Kamis, 05 September 2019

PIMPINAN MPR JANGAN DIJEJER SEPERTI WAYANG KULIT


Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

Sebagai orang yang pernah mengabdikan diri bekerja di MPR menjadi PNS sekarang ASN (Aparatur Sipil Negara) selama 13 tahun, saya malu hati  dan kesel tatkala saya membaca detikcom pada hari Kamis, tanggal 5 September 2019 bahwa RUU UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) akan kembali menjejer Pimpinan MPR dari 8 orang bertambah 10 orang. https://news.detik.com/berita/d-4694133/dpr-gelar-paripurna-bahas-revisi-uu-md3-dan-uu-kpk-pagi-ini?_ga=2.164530367.1446272999.1567495107-1109816018.1543445715. 
         MPR seharusnya punya rasa malu setelah amandemen UUD 1945, seyogyanya lembaganya tidak dipermanenkan, legislatif keseharian cukup dijalankan DPR dan DPD, cluster MPR itu baru ada setelah adanya joint session sidang gabungan antara DPR dengan DPD seperti melantik presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali. Jika ada sidang gabungan maka pimpinan MPR  dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan Pimpinan DPD. Apa fungsi dan manfaatnya jika pimpinan MPR akan dijejer seperti wayang kulit?. Orang yang ahli analisis akan mudah membaca apalagi kalau bukan bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan saja. Sedangkan tugas dan kewenangan MPR pasca amandemen UUD 1945 sudah dipangkas secara signifikan MPR tidak diberikan kewenangan memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN lagi. Praktis bekerjanya MPR hanya lima tahunan sekali untuk melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Soal kewenangan merubah UUD 1945 dan impeachment terhadap presiden setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi didahului dugaan DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden melanggar UUD 1945 itu hanya insidentil sifatnya sewaktu-waktu saja.
Menurut Laica Marzuki, hampir semua Negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya. Rakyat adalah segala-galanya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan kedaulatan tertinggi. The founding fathers di dalam UUD 1945 mencantumkan paham kedaulatan rakyat dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama), dikala konstitusi dimaksud disahkan dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Komanfu, Pedjambon 2, Djakarta. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Selain itu, MPR juga sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR  memiliki kewenangan luar biasa dahsyat yaitu, dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal lembaga tertinggi Negara  bernama MPR ini. Sebelum reformasi konstitusi kedudukan presiden sebagai mandataris MPR, menjadi tidak berfungsinya organ-organ hubungan antar kelembagaan Negara dengan baik serta tidak berfungsinya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Amandemen UUD 1945 itu, berdampak kepada tereduksinya kewenangan MPR antara lain, tidak lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kini sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR sekarang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi.
 Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) kini UU. No. 2 Tahun 2018 tentang MD3. Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Dengan memahami fungsi, tugas dan kewenangan MPR, maka tidak selayaknya menjejer Pimpinan MPR seperti wayang kulit dari 8 orang yang sudah banyak  bertambah 10 orang lagi ini jelas akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. Saat ini rakyat sedang susah harga-harga sembako membumbung tinggi banyak rakyat yang sudah tidak mempunyai ikat pinggang lagi, jangan asal-asalan membuat undang-undang yang tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat banyak. Seharusnya legislatif yang telah kita pilih itu malu membuat rumusan undang-undang yang menyakiti hati rakyat dengan menjejer Pimpinan MPR, sementara rakyat berjibaku memikirkan kebutuhan sehari-hari sudah klenger. Lebih baik dan sangat bijak jangan diputuskan atau dihentikan saja usulan yang tidak baik itu.


Rabu, 04 September 2019

ETIKA DOSEN MENGHADAPI MAHASISWI YANG MENGGODA


                                                          

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

 

      Semua profesi apa pun tentu memiliki  kode etik untuk  mengaturnya, tak terkecuali profesi sebagai dosen yang memiliki predikat luhur sebagai pendidik profesional yang bertugas utama untuk mentransformaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya kepada anak-anak didik. Kode etik bagi suatu perkumpulan adalah kaidah moral yang harus ditaati, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh segenap anggota perkumpulan dengan penuh rasa tanggungjawab.

     Dalam prakteknya, tidak banyak dosen mengajar menjalankan TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI berpegangan teguh untuk memahami kode etik dosen, sehingga disana-sini banyak diketemukan dosen yang seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik kepada mahasiswanya, justru melakukan perbuatan tidak terpuji, misalnya: tersangkut narkoba, praktek jual beli nilai, dan perbuatan pelecehan seksual kepada mahasiswinya sendiri. Pada umumnya, mahasiswa mendekat-dekat dosen tentu ada maunya, apalagi kalau bukan soal urusan nilai. Maka tak heran ikhtiar mahasiswa yang berpura-pura berkehendak bersilaturrahim ke rumah dosen dengan membawa oleh-oleh (hal ini masih wajar), ada juga yang menawarkan pekerjaan untuk profesi jasa hukum (masih batasan wajar), bahkan ada yang menawarkan untuk mengisi pulsa (ini sudah tidak etis), ketika ujian susulan atau semester pendek ada mahasiswa yang konyol terus terang memberikan amplop kepada dosen dengan berdalih ikhlas, ini pernah saya alami sendiri DEMI ALLAH saya menolak amplop tersebut (sebab ini kurang ajar), kalau saya terima yang bersangkutan pasti akan ngomong kesana-kemari.
        Khusus untuk dosen laki-laki, baik yang mata keranjang (sengaja mengincar mahasiswinya yang bening untuk dipacarinya) atau dosen bersikap pasif saja, terkadang ada mahasiswi mendekat-dekat dosen untuk menggoda. Dosen yang instuisinya tajam dalam hal asmara ketika ada mahasiswi yang menawarkan diri seperti siap untuk pergi bersama dengan alasan ditemani mencari buku-buku untuk referensi atau membantu mencari referensi skripsi, sambil berujar: “Yang penting kita jangan di Perpus Kampus pak!, kita nyari diluar saja!.  Waduhhhh….kalau sudah begini jelas sinyal kuat untuk bisa "diajak", hati dosen siapa yang tidak KLEPEK-KLEPEK jika diajak mahasiswi seperti ini?. Pengalaman saya ketika menghadapi seperti ini antara hasrat hati dan rasa takut kalau-kalau ketahuan sama orang lain. Kalau saya bilang tidak kepengin pastilah saya dianggap orang munafik, dosen itu manusia juga yang PENDULUMNYA BISA NAIK TURUN yang masih ingin merasakan kesegaran dan keindahan lekuk tubuh wanita muda. Menemui kenyataan seperti ini bagi orang yang berfikir panjang bathin akan konflik terus antara dimanfaatkan kesempatan emas ini atau dibiarkan berlalu sebagai kenangan indah yang tak terlupakan.

 

DOSEN ITU JUGA MANUSIA PENTINGNYA MEMEGANG TEGUH KODE ETIK DODEN

    Dosen Dalam Mengajar harus Memegang Teguh kode etik dosen Agar Tidak melakukan tindakan tidak terpuji. Dosen yang memegang teguh Kode Etik Dosen ketika ada mahasiswi yang sudah memberikan sinyal bisa diajak kemana pergi,  pastilah akan mikir panjang antara bayangan keindahan dibandingkan resikonya, istilahnya NGERI-NGERI SEDAP begitu. Syaitan pasti akan mengompori kapan lagi kalau tidak dimanfaatkan, ini kesempatan emas yang susah untuk terulang kembali. Sedangkan jika mahasiswi nekat dibawa pergi ada perasaan takut yang menggelayuti kalau-kalau ada teman atau tetangga yang memergoki di penginapan sebab dunia ini terasa sempit bisa saja kita kepergok teman atau kerabat bahkan sanak saudara. Apalagi penulis sering menjadi imam di masjid, apa kata dunia nanti jika memergoki saya di penginapan bukan dengan istri. Demi Allah penulis tidak bohong pernah ditantang aduhai-aduhainan oleh mahasiswi, bilang  begini: “Saya pengin tahu, coba nanti bapak kuat berapa kali?”. Ini sudah bukan sinyal lagi tapi sebuah permintaan terus terang yang menggiurkan, jantung siapa yang tidak berdegup kencang mendengar permintaan seperti ini, antara ya atau tidak kesempatan emas ini saya manfaatkan, bathin saya terus bergejolak apalagi dia terus merengek-rengek sambil mendesah: “Please pak,!. Please Pak!, saya pengin air bapak!, Waktu itu, kebetulan istri saya sedang berbaring melahirkan anak yang pertama cesar di Rumah Sakit Harapan Kita, bayangan saya teringat istri yang sedang melahirkan apa iya saya setega itu bersenang-senang dengan wanita lain (walaupun sebenarnya jujur saya juga klepek-klepek). Menurut mahasiswi ini, temannya juga ada yang melakukan seperti itu suka kepada  laki-laki yang sudah beristri, karena dianggap sudah berpengalaman untuk beradegan. Dia memberitahu saya bahwa: "Saya ini masih PRW Lho pak!, waktu itu saya bengong tidak tahu singkatan PRW itu apa?. Sekarang saya sudah tahu akronim PRW yang saya tanyakan temen-temen perempuan sekantor pada waktu itu tertawa cekikikan. Menurut teman-teman perempuan se kantor itu, mahasiswa itu sudah tidak PRW lagi, mana mungkin kalau PRW dia duluan yang terus terang meminta "Digituin" memangnya perempuan apaan?, biasanya kan laki-laki duluan yang mengajak?. Saya pikir masuk akal juga kata teman saya itu, soalnya seumur-umur saya baru kali itu saya menemui perempuan yang terus terang meminta "ditemani" tanpa teding aling-aling padahal sifat perempuan itu seharusnya malu-malu dan jinak-jinak merpati bukan agresif seperti ini. Berbeda jika laki-laki memang ditakdirkan untuk memulai duluan merayu wanita. Setahu saya jika laki-laki baru megang tangan wanita sedikit saja dia sudah setengah marah, atau kalau tidak mau menyakiti hati dia bergeser sedikit badan. Ini benar-benar pengalaman yang tak terlupakan ketika mendapatkan ikan gurih atau durian runtuh yang siap saji untuk dimakan.


PADA AKHIRNYA

        Sebenarnya hati siapa yang tidak kepengin apalagi badan mahasiswi itu atletis dan betis bunting padi, tapi dengan pertimbangan istri sedang melahirkan di rumah sakit, dan menjaga marwah kode etik dosen dengan berat hati, saya harus bilang bahwa istri saya sedang di Rumah Sakit melahirkan saya mau buru-buru untuk menemaninya. Sontak saja mahasiswi itu bilang: Ahhhhhh… sebentar saja pak itu hotelnya dekat!. Please pak!. Please pak!. Hal ini menjadikan benar-benar kenangan hidup saya , terkadang kalau sedang mau tidur sekali-kali saya teringat kenapa kesempatan emas waktu itu tidak saya manfaatkan sebaik mungkin?. Eeee...buru-buru bathin saya menjawab sendiri bisa jadi jika waktu itu saya manfaatkan ke penginapan, dia sudah hamil duluan betujuan untuk menjebak saya, apakah saya nantinya tidak ribut dengan istri?. Dan tentunya saya berdosa kepada Allah SWT, inilah barangkali rahasia ilahi mengapa waktu itu saya tidak jadi menerima tawaran ikan asin, padahal ibarat kucing itu sudah tinggal makan kriuk-kriuk  dan pendulum saya juga masih normal.

                Semoga bermanfaat.

 

Senin, 02 September 2019

RELEVANSI MASA JABATAN PRESIDEN DENGAN PILPRES SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT



Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

            Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandement (perubahan) UUD 1945 sejak 1999-2002, perubahan yang dilakukan selama empat kali itu setelah penulis mengamati dan memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh, MPR tidak melakukan perubahan dengan cermat dan hati-hati. Pasalnya, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam UUD 1945 terjadi jonjing (tidak nyambung), hal ini dapat dilihat melalui pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan Presiden yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.  Artinya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dikatup oleh konstitusi dengan nyala lampu merah maksimal dua kali masa jabatan. Mari kita kaitkan dengan Pasa 6A ayat (1) yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Dimana Letak Tidak Nyambungnya?.

            Presiden yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung semestinya konstitusi tidak perlu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan. Bagaimana jika kinerjanya Presiden sangat baik untuk rakyat negara dan bangsa, tetapi konstitusi mengatup sudah memberikan lampu merah tidak dapat dipilih kembali?, Jika saja pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR, maka pasal antar pasal seperti ini nyambung untuk membatasi maksimal dua kali masa jabatan presiden, bersebab  anggota DPR dan DPD yang merangkap menjadi anggota MPR itu dikhawatirkan suaranya dalam pemilihan Presiden tidak sejalan dengan suara rakyat yang diwakilinya.

            MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

          Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.

      Komisi Konstitusi ini lahir karena desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan dan parsial. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipakai  oleh MPR sendiri. MPR nampak sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tentang pembentukan Komisi Konstitusi tetapi tidak digunakan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif.

Hasil MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja seperti DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

          Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan kurang profesional, indikatornya, setiap pergantian periode MPR sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi Konstitusi tandingan waktu itu.  MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara maka dibuatlah TAP MPR tersebut yang berisikan tentang pengkajian secara komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pertanyaannya bagaimana tindaklanjut TAP MPR ini?.

Selasa, 27 Agustus 2019

PINDAHLAH IBUKOTA NEGARA INDONESIA ASAL TIDAK MELANGGAR KONSTITUSI


   Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

                                      Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta                                         Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta


   

Gaduh wacana pemindahan ibukota negara dari periode ke periode masa jabatan Presiden Republik Indonesia tak berkesudahan. Saatnya Presiden Joko Widodo memimpin negeri ini, nampaknya niat untuk merealisasikan pemindahan ibukota ke Kalimantan akan diseriusi, wajar  usulan ini  pun menuai  pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

   Sesungguhnya usulan pemindahan ibu kota negara ini sudah digulirkan mulai dari Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, (usulan ibukota di Palangkaraya), Soeharto, (menetapkan ibukota alternatif ke Jonggol melalui Keppres 1 Tahun 1997), BJ. Habibie, ( Mengusulkan ibukota pindah Sidrap, Sulawesi Selatan), Susilo Bambang Yudhoyono (mengusulkan Banyumas, Purwokerto, Jawa-Tengah). https://www.kompasiana.com/babomoggi/5cd26e4295760e6c05055b62/5-presiden-pernah-wacanakan-pemindahan-ibukota-negara-siapa-saja-mereka?page=2,  dan terakhir  ini Joko Widodo (mengusulkan ibukota negara ke Kalimantan). https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan.

   Mengapa wacana pemindahan ibukota negara yang sudah lama ini sulit dikonkretkan?. Pertama, sejak amandemen UUD 1945 dimulai tahun 1999-2002 negeri ini tidak memiliki lagi GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dalam rangka menjalankan haluan negara yang terstuktur dan sistematis untuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan ke depan termasuk didalamnya mengatur pola perpindahan ibukota Negara. Dampak GBHN yang ditiadakan, akibatnya setiap pergantian pemimpin nasional wacana pemindahan ibukota selalu mengemuka oleh Presiden lebih ironisnya lagi, setiap pemimpin negeri ini memilki pemilihan tempat pemindahan ibukota yang berbeda-beda.

   Sebaiknya kepindahan ibukota negara tidak dapat diputuskan hanya melalui pembentukan undang-undang atas persetujuan bersama antara presiden dengan DPR, hal-hal yang menyangkut kebijakan strategis simbol-simbol negara untuk kepentingan rakyat negara-bangsa harus diambil putusan melalui forum musyawarah yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR harus menggelar sidang istimewa untuk menentukan perlu tidaknya nasib ibukota negara pindah dari Jakarta ke kota-kota yang disepakati dalam sidang MPR. Hasil keputusan itu dituangkan dalam bentuk Ketetapan MPR (TAP MPR) yang merupakan bagian tata perundang-undangan dibawah UUD 1945, bentuk TAP MPR ini lebih kuat ketimbang melalui undang-undang.

   Jika pemindahan ibukota dilandasi dengan argumentasi Jakarta sudah sarat dengan beban, terjadi kesenjangan antara jawa dengan luar jawa karena Jakarta selain sebagai ibukota negara juga pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat keuangan, pusat bisnis, dan juga karena alasan Jawa sarat beban penduduk (https://www.cnnindonesia.com/tv/20190806143827-405-418873/video-presiden-ibu-kota-negara-pindah-ke-kalimantan), maka alasan ini kurang tepat. Begitu pula jika  pemindahan karena alasan untuk pemerataan ekonomi juga kurang berdasar, sebab untuk pemerataan ekonomi selayaknya bukan hanya di Kalimantan saja, tetapi harus dapat menjangkau  ke seluruh pelosok tanah air.

Implikasi Pemindahan Ibukota

    Jika ibukota Negara dipindah ke Kalimantan bagaimana kedudukan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota Negara?. Ini artinya majelis nanti harus bersidang di Ibukota Negara yang baru dipilih, dengan demikian gedung yang megah MPR/DPR RI senayan ini tidak terpakai lagi untuk sidang majelis. Jika kepindahan ibukota negara dilakukan di Kalimantan, tetapi MPR tetap bersidang di Jakarta, sesungguhnya ini pelanggaran berat konstitusi. Konkretnya, dengan pemindahan ibukota negara juga akan berdampak pembangunan gedung baru MPR ke ibukota baru tersebut, karena konstitusi menyatakan MPR harus bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Dengan demikian pemindahan ibukota negara ke Kalimantan ini bakalan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikt. Namun untuk sidang DPR tetap dapat dilakukan di Jakarta karena untuk sidang DPR konstitusi tidak menentukan harus di ibukota negara.

    Jika pemindahan ibukota bertujuan untuk trickle down effect sebenarnya juga sangat baik, sebab segala kegiatan dalam bentuk ekonomi yang dilakukan dalam rangkaian yang lebih besar diharapkan akan dapat memberikan efek (menetes) terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang skala cakupannya lebih kecil. Pada prakteknya, teori ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya. Fakta dilapangan justru sebaliknya, dapat disaksikan dengan terang benderang justru trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya akan cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi, justru lupa untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin tetap miskin. Oleh karena itu, pembagian  pambangunan  tetap saja akan dinikmati oleh kalangan atas saja.

   Jika ditilik Jakarta yang sudah sarat dengan segalanya, ada baiknya pemindahan ibukota ini memang perlu dilakukan, paling tidak pemindahan ibukota ini bakalan mengurangi kemacetan Jakarta yang selama ini sulit diurai. Jakarta saat ini sudah menjadi neraka kemacetan, benar-benar ampun kemacetan Jakarta saat ini. Hal lain pemindahan ibukota di Kalimantan ini akan menggeliatkan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat.

    Inilah dampak baik dan buruknya pemindahan ibukota negara yang diwacanakan memilih tempat ke Kalimantan. Namun dalam tulisan ini saya mengapresiasi bapak Presiden Joko Widodo yang telah berkesungguhan untuk merencanakan pemindahan ibukota sebagaimana argumentasi yang dikemukakan diatas. Saya yakin seyakin-yakinnya pemindahan ibukota yang sudah diwacanakan sejak  lama ini akan terealisasi ketika era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Aamiin. Mengapa? Karena selama ini Presiden Joko Widodo sudah memberikan bukti dalam hal infrastruktur yang selama ini hasilnya kita nikmati bersama.

   Namun pak Presiden juga harus berhati-hati, niat yang baik dan tulus ini harus diberengi regulasi yang baik, tepat dan benar oleh karena itu saran saya pemindahan ibukota ini lebih tepat melalui pintu TAP MPR untuk pemindahan ibukota ketimbang melalui undang-undang.

Senin, 26 Agustus 2019

KEDUDUKAN ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MELALUI TAP MPR No VI/MPR/2001 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA





Oleh WARSITO
  Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta



            Manakah yang lebih tinggi kedudukannya etika moral ataukah hukum?. Jika seseorang melakukan perbuatan amoral, melanggar etika, kepatutan dan keadaban publik,  konsekuensinya sudah sepatutnya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi berupa pelanggaran kode etik yang akan dijatuhkan oleh kelembagaan atau organisasi profesi. Namun, ketika perbuatan amoral itu dilakukan oleh individu yang tidak terstruktur dengan kelembagaan atau organisasi profesi, konsekuensinya, yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan di tengah-tengah masyarakat.
            Tetapi bagaimana  jika hukum itu yang dilanggar?. Tentu sanksinya dapat berupa pidana atau gugatan ganti bagi atas perbuatan yang dilanggar.  Jika sanksi pidana berupa hukuman badan dapat dijalani beberapa tahun saja  sudah selesai yang bersangkutan sudah akan dapat bernapas lega, tidur nyenyak. Namun tidak bagi seseorang yang melakukan pelanggaran susila ditengah-tengah masyarakat, selamanya masyarakat akan melabeli orang itu tidak baik. Makanya di Jepang banyak pejabat negara yang bunuh diri (hara-kiri) sebelum kasusnya diadili karena dia sudah merasa malu dan bersalah. Berbeda dengan di Indonesia, meski banyak orang sudah salah bahkan sudah tertangkap Operasi Tangkap Tangan (TOT) KPK, tetap saja berkelit tidak bersalah dengan alasan masih ada praduga tidak bersalah yang menunggu mekanisme penjenjangan hukum yang bersifat incrhact (final).
            Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa (TAP MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Jika ada menteri yang seharusnya patuh kepada yang mengangkat (Presiden), dibelakang malah mengoceh menjelekkan, meski, perbuatannya bukan tergolong melanggar hukum, tetapi, dikategorikan sudah menyalahi etika kenegaraan. Jika ada menteri yang mengkritisi kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya didukung, biar secara normatif juga tidak menabrak undang-undang, tetapi dari norma: etika, kepatutan, kebiasaan dan nilai-nilai keadaban publik sudah jatuh ke titik nadir.
Merasa Malu Harus Mundur
            Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai saat ini masih berlaku dan merupakan hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3). Etika Kehidupan Berbangsa bertujuan membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan kualitas tiap-tiap anak negeri agar beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Dalam Etika Politik dan pemerintahan sudah memberikan amanat kepada setiap pejabat dan elit partai politik di negeri ini untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Etika Penegakan Hukum
            Etika Penegakan hukum yang berkeadilan, mengamanatkan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negeri ini, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap ada ketertiban umum di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya tertib sosial di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya ketenangan di masyarakat, tanpa adanya penegakan hukum jangan diharap adanya keteraturan di masyarakat, semua itu hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Etika Kehidupan berbangsa meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif kepada tiap-tiap anak negeri ini dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Jika para politisi, para menteri, pejabat publik dan warga masyarakat paham akan pentingnya etika kehidupan berbangsa ini, maka setiap tindakannya akan senantiasa berpikir ulang: Melanggar hukum atau tidak; baik atau buruk; patut atau tidak; dan pantas atau tidak. Terlebih, jika ada pejabat publik yang sudah diberi raport lampu kuning, bahkan merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht), baru mundur, menurut amanat Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini, sebenarnya pejabat tersebut selekas-lekasnya sudah harus mundur dari jabatannya. Tapi, jika nekat tidak mau mundur dan bermuka tembok meski melakukan kesalahan, pada hakekatnya, sesungguhnya yang bersangkutan sudah gugur dengan sendirinya menjadi pejabat publik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19