Jumat, 13 September 2019

DISERTASI PENELITIAN MELEGALKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI DILUAR NIKAH TIDAK BERDASAR TEORI, DATA DAN NALAR

Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.


       Ada-ada saja perilaku manusia, banyak cara ditempuh untuk menjadi orang terkenal dengan cara instan. Tidak peduli apakah haram atau halal yang terpenting tujuan dapat tersampaikan. Kalau keterpopulerannya diperoleh dengan proses keilmuan yang positip misalnya, dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan umat manusia itu sangat bagus, karena manfaatnya dapat dirasakan oleh khalayak ramai. Tetapi, jika tujuan ingin terkenal dengan melakukan penelitian menerabas norma-norma yang berlaku ini sangat berbahaya sekali. Selain berbahaya bagi diri sendiri karena akan dihinakan dan dihujat masyarakat, juga berbahaya bagi masyarakat luas karena penelitiannya dapat berdampak buruk mempengaruhi perilaku masyarakat. Jika penemuan IPTEK tidak dilandasi dengan IMTAQ maka akan membawa malapetaka bagi umat manusia.
   Adalah Abdul Aziz, mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dalam melakukan penelitian disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor yang melegalkan hubungan seksual di luar nikah menjungkirbalikkan hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum positif, hukum islam dan hukum adat, penelitian disertasi jenis ini cacat hukum harus dibatalkan dianggap tidak pernah ada. 
     Disertasi Abdul Aziz berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital diuji di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 28 Agustus 2019 lalu. https://muslim.okezone.com/read/2019/09/04/614/2100501/penulis-disertasi-hubungan-seksual-di-luar-nikah-sah-mohon-maaf-ke-umat-islam.
   Bahasa jelasnya keabsahan hubungan seksual non marital adalah hubungan seksual yang dilakukan bukan suami istri itu dianggap legal. Kalau penelitian itu mengambil konsep Milik Al-Yamin Muhammad Syahrur jangan ditelan mentah-mentah. Sebab, tidak semua Hak Asasi Manusia itu bisa berlaku universal. Ada beberapa negara-negara yang mengesahkan undang-undang untuk perkawinan sejenis, tetapi untuk di Indonesia undang-undang semacam ini tidak mungkin dapat diundangkan meski banyak demonstrasi oleh kaum homo dan lesbian untuk  membuat undang-undang perkawinan sejenis, karena bertentangan dengan semua norma-norma yang berlaku.
   Sebab hak asasi manusia itu bersifat partikulatif terbatas pada negara tertentu dimana aturan itu berlaku bagi suatu negara. Kecuali hak asasi yang bersifat universal misalnya, kebebasan memeluk agama, tidak diskriminasi ras atau warna kulit, itu hak asasi yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Disertasi Abdul Azis sangat berbahaya sekali karena bertentangan dengan Al-quran perintah Allah SWT “Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32). Jangankan berzina kita mendekat saja sudah dilarang. Selain bertentangan dengan hukum islam juga kontradiktif dengan Pasal 2 UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu”. Disertasi tentang keabsahan hubungan seksual diluar nikah oleh Abdul Azis semua melanggar norma-norma yang ada di Indonesia, seperti yang saya sebutkan diatas termasuk norma etika dan keadaban di masyarakat.
  Gelar doktor adalah gelar pencapaian akademik tertinggi, seharusnya keilmuan doktor itu dalam sekali karena S3 sudah mengerucut keahlian atau kompetensi ke satu bidang. Yang dibutuhkan doktor bukan keluasan ilmu, tapi kedalaman ilmunya itu yang dipertaruhkan, dengan kedalaman ilmu tersebut penelitiannya tidak hanya mengambil satu sisi referensi harus cros cek ulang atau komparasi dikaitkan keilmuan dari berbagai sumber dan referensi berbagai pakar, sehingga penelitiannya menghasikan temuan baru untuk umat manusia, bukan sebaliknya, hasil penelitiannya menjungkirbalikkan logika dan norma-norma yang berlaku. Prinsip ilmuan itu boleh salah, tetapi tidak boleh bohong, kunci meneliti itu adalah  teori, data dan nalar. Dimana nalar Peneliti yang menyatakan hubungan seksual non marital itu sah?. Peneliti itu nalarnya harus jalan, setelah ada data-data yang disajikan, teorinya diolah dan pendapat-pendapat para pakar dicermati, setelah itu nalar peneliti harus jalan jangan sekedar memakai kaca mata kuda.
   Demikian juga profesor adalah jabatan tertinggi untuk kepangkatan dosen, mulai dari asisten ahli, lektor kepala sampai guru besar (profesor). Guru besar semestinya ketika menguji promovendus yang disertasinya menyimpang dan melanggar norma-norma yang berlaku sudah selayaknya penguji tidak meluluskan, bukannya malah diluluskan dengan predikat sangat memuaskan dan PADA BERTEPUK TANGAN. Dalam hal ini Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki otoritas tertinggi didunia kampus dapat membatalkan kelulusan disertasi yang penelitiannya melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia. Jika tidak dibatalkan, kelulusan atas disertasi yang melanggar norma-norma ini, dapat berdampak mempengaruhi perilaku buruk di masyarakat yang tengah terdegradesi moral. Menurut saya antara promovendus dengan profesor yang menguji disertasi ini, sama-sama besar dosanya  karena berani melawan perintah Allah SWT.
Na’udzu billahi mindzalik.

Senin, 09 September 2019

TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP HUTANG PEWARIS


Oleh WARSITO, SH., M.Kn..

      

Sering kita mendengar ketika ada keluarga yang meninggal, keluarga ahli waris memberitahukan kepada pelayat, apabila semasa hidup pewaris punya sangkutpaut urusan hutang-piutang dengan kerabat, handai taulan, dan tetangga mohon kiranya untuk menghubungi ahli waris akan diselesaikan. Benarkah demikian? Bagaimana jika hutang-hutang pewaris melebihi harta yang ditinggalkan bahkan minus?. Sedangkan ahli waris hidup berkekurangan, apakah ahli waris wajib untuk melunasi hutangnya?. Tidak!!. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. (Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam). Misalnya Pewaris (yang meninggal) punya hutang 150juta sedangkan harta yang ditinggalkan cuma 100juta, sebelumnya sudah dikurangi biaya rumah sakit dan biaya pemakaman terlebih dahulu. Maka yang wajib ahli waris bayar hutangnya sebesar harta yang ditinggalkan tsb sebanyak 100juta. Hutang sisa 50juta tidak menjadi keharusan ahli waris untuk dibayar. Namun, jika pewaris memiliki anak yang shaleh dan shalehah dan mampu untuk melunasi hutang-hutang pewaris seyogyanya hutang pewaris tetap dilunasi, karena hutang ini dihadapan Allah SWT kelak tetap hutang yang harus dipertanggungjawabakan, meski urusan dunia (urusan hukum) tadi sudah dianggap selesai, namun urusan akhirat belum selesai. Kecuali hutang yang memang sudah ada hak tanggungan (jaminan), maka jaminan itu bisa dieksekusi untuk dijual guna pengambilan pelunasan hutangnya. Disini debitur (Pewaris) sudah dianggap lunas baik secara hukum positip (hukum negara) maupun hukum islam.

 

POSISI DEBITUR Ketika Hutang di Bank

Jika kita hutang di Bank, oleh kreditur pada akad pembacaan akta menyatakan kepada debitur jika bapak/ibu nanti sudah tidak ada umur, maka hutang di bank ini sudah dianggap lunas. Dalam konteks hukum positip maupun hukum islam maka urusan hutang-piutang ini sudah selesai pun demikian urusan akhirat karena asas kesepakatan sudah dilunaskan oleh kreditur maka selesai pula soal hutang piutang di bank ini, karena pewaris sudah ditanggung asuransinya. Tetapi jika disana-sini masih ada keraguan lebih baik ahli waris membayar hutang pewaris tersebut supaya pewaris lebih lancar dalam menghadapi pengadilan ilahi. Saran saya kepada anak-anak yang mampu untuk membayar sebagai bukti anak yang berbakti kepada kedua orang tua maka seyogyanya hutang-hutang orang tua ini dapat dilunasi.

 

Ahli waris hanya berkewajiban membayar hutang sebatas harta yang ditinggalkan Pewaris.

           Baik ketentuan Kompilasi Hukum Islam maupun  Pasal 1032 KUHPerdata: 1. Bahwa ahli waris itu tidak wajib membayar hutang-hutang dan beban-beban harta peninggalan itu lebih daripada jumlah harga barang-barang yang termasuk warisan itu, dan bahkan ia dapat membebaskan dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua barang-barang yang termasuk harta peninggalan itu kepada penguasaan para kreditur dan penerima hibah wasiat. 2. Bahwa barang-barang ahli waris sendiri tidak dicampur dengan barang-barang harta peninggalan itu, dan bahwa dia tetap berhak menagih piutang-piutangnya.

            Jika ahli waris menerima warisan secara murni, maka ia bertanggungjawab atas utang pewaris, namun,  jika ia menerima dengan hak istimewa (beneficiair), maka ia hanya harus menanggung utang pewaris, sejumlah aktiva yang diterima. J. Satrio (hal. 316).

            Diperkuat dengan Martens (yang dibenarkan oleh Klassen-Eggens) mengakui bahwa mereka (ahli waris beneficiair) adalah debitur warisan, tetapi tidak untuk seluruh utang-utang warisan.

Semoga bermanfaat.

 

Kamis, 05 September 2019

PIMPINAN MPR JANGAN DIJEJER SEPERTI WAYANG KULIT


Oleh Dr (c) WARSITO, SH., M.Kn.

Sebagai orang yang pernah mengabdikan diri bekerja di MPR menjadi PNS sekarang ASN (Aparatur Sipil Negara) selama 13 tahun, saya malu hati  dan kesel tatkala saya membaca detikcom pada hari Kamis, tanggal 5 September 2019 bahwa RUU UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) akan kembali menjejer Pimpinan MPR dari 8 orang bertambah 10 orang. https://news.detik.com/berita/d-4694133/dpr-gelar-paripurna-bahas-revisi-uu-md3-dan-uu-kpk-pagi-ini?_ga=2.164530367.1446272999.1567495107-1109816018.1543445715. 
         MPR seharusnya punya rasa malu setelah amandemen UUD 1945, seyogyanya lembaganya tidak dipermanenkan, legislatif keseharian cukup dijalankan DPR dan DPD, cluster MPR itu baru ada setelah adanya joint session sidang gabungan antara DPR dengan DPD seperti melantik presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali. Jika ada sidang gabungan maka pimpinan MPR  dijabat secara bergantian antara pimpinan DPR dengan Pimpinan DPD. Apa fungsi dan manfaatnya jika pimpinan MPR akan dijejer seperti wayang kulit?. Orang yang ahli analisis akan mudah membaca apalagi kalau bukan bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan saja. Sedangkan tugas dan kewenangan MPR pasca amandemen UUD 1945 sudah dipangkas secara signifikan MPR tidak diberikan kewenangan memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN lagi. Praktis bekerjanya MPR hanya lima tahunan sekali untuk melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Soal kewenangan merubah UUD 1945 dan impeachment terhadap presiden setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi didahului dugaan DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden melanggar UUD 1945 itu hanya insidentil sifatnya sewaktu-waktu saja.
Menurut Laica Marzuki, hampir semua Negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya. Rakyat adalah segala-galanya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan kedaulatan tertinggi. The founding fathers di dalam UUD 1945 mencantumkan paham kedaulatan rakyat dalam Pasal I ayat (2) UUD 1945 (redaksi lama), dikala konstitusi dimaksud disahkan dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Komanfu, Pedjambon 2, Djakarta. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Selain itu, MPR juga sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai lembaga tertinggi Negara, MPR  memiliki kewenangan luar biasa dahsyat yaitu, dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mengenal lembaga tertinggi Negara  bernama MPR ini. Sebelum reformasi konstitusi kedudukan presiden sebagai mandataris MPR, menjadi tidak berfungsinya organ-organ hubungan antar kelembagaan Negara dengan baik serta tidak berfungsinya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Amandemen UUD 1945 itu, berdampak kepada tereduksinya kewenangan MPR antara lain, tidak lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kini sudah diserahkan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) UUD 1945). Hilangnya kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat Presiden inilah yang menyebabkan salah satu kedudukan MPR sekarang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi.
 Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) kini UU. No. 2 Tahun 2018 tentang MD3. Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.
Dengan memahami fungsi, tugas dan kewenangan MPR, maka tidak selayaknya menjejer Pimpinan MPR seperti wayang kulit dari 8 orang yang sudah banyak  bertambah 10 orang lagi ini jelas akan menghambur-hamburkan uang rakyat belaka. Saat ini rakyat sedang susah harga-harga sembako membumbung tinggi banyak rakyat yang sudah tidak mempunyai ikat pinggang lagi, jangan asal-asalan membuat undang-undang yang tidak ada hubungannya untuk kepentingan rakyat banyak. Seharusnya legislatif yang telah kita pilih itu malu membuat rumusan undang-undang yang menyakiti hati rakyat dengan menjejer Pimpinan MPR, sementara rakyat berjibaku memikirkan kebutuhan sehari-hari sudah klenger. Lebih baik dan sangat bijak jangan diputuskan atau dihentikan saja usulan yang tidak baik itu.


Rabu, 04 September 2019

ETIKA DOSEN MENGHADAPI MAHASISWI YANG MENGGODA


                                                          

Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

 

      Semua profesi apa pun tentu memiliki  kode etik untuk  mengaturnya, tak terkecuali profesi sebagai dosen yang memiliki predikat luhur sebagai pendidik profesional yang bertugas utama untuk mentransformaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya kepada anak-anak didik. Kode etik bagi suatu perkumpulan adalah kaidah moral yang harus ditaati, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh segenap anggota perkumpulan dengan penuh rasa tanggungjawab.

     Dalam prakteknya, tidak banyak dosen mengajar menjalankan TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI berpegangan teguh untuk memahami kode etik dosen, sehingga disana-sini banyak diketemukan dosen yang seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik kepada mahasiswanya, justru melakukan perbuatan tidak terpuji, misalnya: tersangkut narkoba, praktek jual beli nilai, dan perbuatan pelecehan seksual kepada mahasiswinya sendiri. Pada umumnya, mahasiswa mendekat-dekat dosen tentu ada maunya, apalagi kalau bukan soal urusan nilai. Maka tak heran ikhtiar mahasiswa yang berpura-pura berkehendak bersilaturrahim ke rumah dosen dengan membawa oleh-oleh (hal ini masih wajar), ada juga yang menawarkan pekerjaan untuk profesi jasa hukum (masih batasan wajar), bahkan ada yang menawarkan untuk mengisi pulsa (ini sudah tidak etis), ketika ujian susulan atau semester pendek ada mahasiswa yang konyol terus terang memberikan amplop kepada dosen dengan berdalih ikhlas, ini pernah saya alami sendiri DEMI ALLAH saya menolak amplop tersebut (sebab ini kurang ajar), kalau saya terima yang bersangkutan pasti akan ngomong kesana-kemari.
        Khusus untuk dosen laki-laki, baik yang mata keranjang (sengaja mengincar mahasiswinya yang bening untuk dipacarinya) atau dosen bersikap pasif saja, terkadang ada mahasiswi mendekat-dekat dosen untuk menggoda. Dosen yang instuisinya tajam dalam hal asmara ketika ada mahasiswi yang menawarkan diri seperti siap untuk pergi bersama dengan alasan ditemani mencari buku-buku untuk referensi atau membantu mencari referensi skripsi, sambil berujar: “Yang penting kita jangan di Perpus Kampus pak!, kita nyari diluar saja!.  Waduhhhh….kalau sudah begini jelas sinyal kuat untuk bisa "diajak", hati dosen siapa yang tidak KLEPEK-KLEPEK jika diajak mahasiswi seperti ini?. Pengalaman saya ketika menghadapi seperti ini antara hasrat hati dan rasa takut kalau-kalau ketahuan sama orang lain. Kalau saya bilang tidak kepengin pastilah saya dianggap orang munafik, dosen itu manusia juga yang PENDULUMNYA BISA NAIK TURUN yang masih ingin merasakan kesegaran dan keindahan lekuk tubuh wanita muda. Menemui kenyataan seperti ini bagi orang yang berfikir panjang bathin akan konflik terus antara dimanfaatkan kesempatan emas ini atau dibiarkan berlalu sebagai kenangan indah yang tak terlupakan.

 

DOSEN ITU JUGA MANUSIA PENTINGNYA MEMEGANG TEGUH KODE ETIK DODEN

    Dosen Dalam Mengajar harus Memegang Teguh kode etik dosen Agar Tidak melakukan tindakan tidak terpuji. Dosen yang memegang teguh Kode Etik Dosen ketika ada mahasiswi yang sudah memberikan sinyal bisa diajak kemana pergi,  pastilah akan mikir panjang antara bayangan keindahan dibandingkan resikonya, istilahnya NGERI-NGERI SEDAP begitu. Syaitan pasti akan mengompori kapan lagi kalau tidak dimanfaatkan, ini kesempatan emas yang susah untuk terulang kembali. Sedangkan jika mahasiswi nekat dibawa pergi ada perasaan takut yang menggelayuti kalau-kalau ada teman atau tetangga yang memergoki di penginapan sebab dunia ini terasa sempit bisa saja kita kepergok teman atau kerabat bahkan sanak saudara. Apalagi penulis sering menjadi imam di masjid, apa kata dunia nanti jika memergoki saya di penginapan bukan dengan istri. Demi Allah penulis tidak bohong pernah ditantang aduhai-aduhainan oleh mahasiswi, bilang  begini: “Saya pengin tahu, coba nanti bapak kuat berapa kali?”. Ini sudah bukan sinyal lagi tapi sebuah permintaan terus terang yang menggiurkan, jantung siapa yang tidak berdegup kencang mendengar permintaan seperti ini, antara ya atau tidak kesempatan emas ini saya manfaatkan, bathin saya terus bergejolak apalagi dia terus merengek-rengek sambil mendesah: “Please pak,!. Please Pak!, saya pengin air bapak!, Waktu itu, kebetulan istri saya sedang berbaring melahirkan anak yang pertama cesar di Rumah Sakit Harapan Kita, bayangan saya teringat istri yang sedang melahirkan apa iya saya setega itu bersenang-senang dengan wanita lain (walaupun sebenarnya jujur saya juga klepek-klepek). Menurut mahasiswi ini, temannya juga ada yang melakukan seperti itu suka kepada  laki-laki yang sudah beristri, karena dianggap sudah berpengalaman untuk beradegan. Dia memberitahu saya bahwa: "Saya ini masih PRW Lho pak!, waktu itu saya bengong tidak tahu singkatan PRW itu apa?. Sekarang saya sudah tahu akronim PRW yang saya tanyakan temen-temen perempuan sekantor pada waktu itu tertawa cekikikan. Menurut teman-teman perempuan se kantor itu, mahasiswa itu sudah tidak PRW lagi, mana mungkin kalau PRW dia duluan yang terus terang meminta "Digituin" memangnya perempuan apaan?, biasanya kan laki-laki duluan yang mengajak?. Saya pikir masuk akal juga kata teman saya itu, soalnya seumur-umur saya baru kali itu saya menemui perempuan yang terus terang meminta "ditemani" tanpa teding aling-aling padahal sifat perempuan itu seharusnya malu-malu dan jinak-jinak merpati bukan agresif seperti ini. Berbeda jika laki-laki memang ditakdirkan untuk memulai duluan merayu wanita. Setahu saya jika laki-laki baru megang tangan wanita sedikit saja dia sudah setengah marah, atau kalau tidak mau menyakiti hati dia bergeser sedikit badan. Ini benar-benar pengalaman yang tak terlupakan ketika mendapatkan ikan gurih atau durian runtuh yang siap saji untuk dimakan.


PADA AKHIRNYA

        Sebenarnya hati siapa yang tidak kepengin apalagi badan mahasiswi itu atletis dan betis bunting padi, tapi dengan pertimbangan istri sedang melahirkan di rumah sakit, dan menjaga marwah kode etik dosen dengan berat hati, saya harus bilang bahwa istri saya sedang di Rumah Sakit melahirkan saya mau buru-buru untuk menemaninya. Sontak saja mahasiswi itu bilang: Ahhhhhh… sebentar saja pak itu hotelnya dekat!. Please pak!. Please pak!. Hal ini menjadikan benar-benar kenangan hidup saya , terkadang kalau sedang mau tidur sekali-kali saya teringat kenapa kesempatan emas waktu itu tidak saya manfaatkan sebaik mungkin?. Eeee...buru-buru bathin saya menjawab sendiri bisa jadi jika waktu itu saya manfaatkan ke penginapan, dia sudah hamil duluan betujuan untuk menjebak saya, apakah saya nantinya tidak ribut dengan istri?. Dan tentunya saya berdosa kepada Allah SWT, inilah barangkali rahasia ilahi mengapa waktu itu saya tidak jadi menerima tawaran ikan asin, padahal ibarat kucing itu sudah tinggal makan kriuk-kriuk  dan pendulum saya juga masih normal.

                Semoga bermanfaat.

 

Senin, 02 September 2019

RELEVANSI MASA JABATAN PRESIDEN DENGAN PILPRES SECARA LANGSUNG OLEH RAKYAT



Oleh WARSITO, SH., M.Kn.

            Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandement (perubahan) UUD 1945 sejak 1999-2002, perubahan yang dilakukan selama empat kali itu setelah penulis mengamati dan memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh, MPR tidak melakukan perubahan dengan cermat dan hati-hati. Pasalnya, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam UUD 1945 terjadi jonjing (tidak nyambung), hal ini dapat dilihat melalui pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan Presiden yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.  Artinya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah dikatup oleh konstitusi dengan nyala lampu merah maksimal dua kali masa jabatan. Mari kita kaitkan dengan Pasa 6A ayat (1) yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Dimana Letak Tidak Nyambungnya?.

            Presiden yang sudah dipilih oleh rakyat secara langsung semestinya konstitusi tidak perlu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali masa jabatan. Bagaimana jika kinerjanya Presiden sangat baik untuk rakyat negara dan bangsa, tetapi konstitusi mengatup sudah memberikan lampu merah tidak dapat dipilih kembali?, Jika saja pemilihan Presiden masih dilakukan oleh MPR, maka pasal antar pasal seperti ini nyambung untuk membatasi maksimal dua kali masa jabatan presiden, bersebab  anggota DPR dan DPD yang merangkap menjadi anggota MPR itu dikhawatirkan suaranya dalam pemilihan Presiden tidak sejalan dengan suara rakyat yang diwakilinya.

            MPR pernah menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang diberi tugas melakukan pengkajian secara komprehensif pelaksanaan perubahan UUD 1945, Komisi ini bekerja selama 7 bulan sejak 8 Oktober 2003 - 6 Mei 2004. Hasil kajian terhadap perubahan UUD 1945 yang telah diselesaikan Komisi Konstitusi diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja MPR pada tanggal 6 Mei 2004, dalam rapat pleno Badan Pekerja MPR. Permasalahannya, kemanakah hasil kajian Komisi Konstitusi selama 7 bulan yang menguras dana milyaran rupiah itu?.

          Sebenarnya lembaga negara manakah yang paling diuntungkan jika pembentukan Komisi Konstitusi terwujud?. Apakah lembaga negara yang diuntungkan itu DPR, MPR, MK, KY, MA, BPK, Presiden atau DPD?. Jawabannya adalah Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Mengapa?. Karena semua lembaga negara yang disebutkan diatas, diberi kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD. Maka, wajarlah jika DPD yang getol mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi, harapan DPD kajian KK dapat mensejajarkan kelembagaannya dengan DPR, sehingga dengan demikian, DPD tidak hanya memiliki tugas dan fungsi sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR saja. Kehadiran Komisi tersebut sudah pasti disambut gembira dan sekaligus sebagai obat penawar bagi DPD, ditengah keputusasaan DPD gagal melakukan amendemen kelima UUD 1945.

      Komisi Konstitusi ini lahir karena desakan dari berbagai pihak yang tidak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan kebablasan dan parsial. Adanya pembentukan Komisi Konstitusi itu, artinya MPR mengakui, bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali oleh MPR sejak 1999-2002 banyak mengandung kelemahan. Ironisnya, hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR itu, tidak dipakai  oleh MPR sendiri. MPR nampak sekedar memberikan hiburan kepada masyarakat dengan menerbitkan Ketetapan MPR tentang pembentukan Komisi Konstitusi tetapi tidak digunakan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan secara komprehensif.

Hasil MPR melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasilnya antara lain, membubarkan lembaga Dewan Pertimbangan Agung atau DPA sisi lain MPR menukargantikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang secara juridis memiliki fungsi dan tugas sama saja seperti DPA. Keberadaan DPD yang hanya dijadikan pelengkap dalam sistim ketatanegaraan ini mendapat sorotan tajam dari Komisi Konstitusi.
      Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah.’

          Singkatnya, MPR tidak perlu lagi membentuk Komisi baru untuk melakukan pengkajian terhadap perubahan UUD 1945. MPR lebih baik membuka kembali kajian Komisi Konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR/I/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi untuk menata ulang kelembagaan Negara menjadi lebih baik lagi. Kesalahan besar MPR tidak menindaklanjuti telaahan konstitusi sebelumnya, hal ini boleh jadi karena selama ini bekerjanya MPR tidak terstruktur dan kurang profesional, indikatornya, setiap pergantian periode MPR sering membuat produk dalam bentuk Tap MPR, tetapi MPR periode berikutnya tidak menindaklanjutinya. Contohnya, Pembentukan Komisi Konstitusi karya MPR periode 1999-2004, tetapi MPR periode 2004-2009 malah ingin membentuk Komisi Konstitusi tandingan waktu itu.  MPR menyadari bahwa hasil perubahan UUD 1945 selama empat kali terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan antar kelembagaaan Negara maka dibuatlah TAP MPR tersebut yang berisikan tentang pengkajian secara komprehensif pelaksanaan UUD 1945. Pertanyaannya bagaimana tindaklanjut TAP MPR ini?.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALUN-ALUN PATI YANG BERSIH DAN INDAH YANG MEMILIKI TAGLINE KOTA BUMI MINA TANI

                                                         Alun-Alun, Pati, Jawa-Tengah   Pati Jawa-Tengah kini terus berbenah untuk mewujudka...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19