Oleh WARSITO, SH., M.Kn
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta
Dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi@Binis Universitas Primagraha
Kampus Tangerang
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan istimewa yang diberikan oleh konstitusi salah satunya adalah memutus sengketa kewenangan Lembaga negara padahal Mahkamah Konstitusi sendiri berkedudukan sebagai Lembaga negara. Mahkamah Konstitusi (MK) dilembagakan yang dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 24C UUD 1945 melalui perubahan ketiga amandemen UUD 1945 pada tahun 2001. Mahkamah Konstitusi di design sebagai guardian constitution (Penjaga Gawang konstitusi) dan satu-satunya pejabat negara yang dipersyaratkan negarawan hanyalah hakim konstitusi.
Sembilan Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memiliki 9 hakim konstitusi terdiri dari 3 unsur legislatif, 3 unsur eksekutif dan 3 unsur yudikatif siapa pun yang terpilih menjadi hakim konstitusi harus bisa negarawan untuk kepentingan Masyarakat, bangsa dan negara, hakim MK harus bisa menanggalkan kepentingan kelompok, pribadi dan golongan. Oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) maka orang-orang yang menjadi hakim MK seharusnya bukan orang sembarangan tetapi orang-orang yang benar-benar memiliki integritas dan negarawan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Seseorang dapat dikatakan negarawan adalah orang yang yang mengutamakan kepentingan Masyarakat, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Contoh negarawan sejati adalah para pendahulu kita yang dengan rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan ini. Contoh lagi seorang negarawan adalah pasca kemerdekaan para pendahulu kita membuat UUD 1945 dan undang-undang yang benar-benar untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan inilah hebatnya para pendahulu kita semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dimasukkan kedalam golongan orang-orang yang mulia di syurganya Allah SWT.
MK, pernah diplesetkan Mahkamah Keluarga dan Mahkamah Kalkulator.
Akhir-akhir ini Mahkamah Konsitusi (MK) diplesetkan menjadi Mahkamah Kalkulator dan Mahkamah Keluarga karena ada dugaan beberapa putusannya yang dinilai tidak mencerminkan rasa kebenaran dan keadilan di tengah-tengah Masyarakat. Bahkan ada putusan MK yang dinyatakan telah melanggar etika profesi karena meloloskan persyaratan batas minimum usia Capres dan Cawapres dibawah 40 tahun dengan syarat yang di embel-embeli pernah menjabat sebagai kepala daerah padahal Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator ini pelanggaran berat konstitusi, hal ini tidak boleh dibiarkan. Pelanggaran berat hakim konstitusi diperkuat dengan putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang vonisnya menyatakan putusan MK terjadi pelanggaran berat etika sehingga ketua MK dicopot dari jabatannya.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 24C UUD 1945 Kewenangan MK adalah sebagai berikut: Menguji Undang-undang terhadap UUD 1945; b. membubarkan partai politik; c. memutus sengketa kewenangan Lembaga negara; d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; e. memutus dugaan bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 baik korupsi, pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan melakukan perbuatan tercela. Semua putusan MK bersifat final dan mengikat kecuali satu tentang putusan impeachment presiden dimana putusan MK akan dikembalikan kepada DPR yang selanjutnya DPR akan mengadakan sidang Paripurna DPR untuk meneruskan usul pemberhentian presiden kepada MPR. Dengan demikian pada akhirnya MPR jualah yang akan memberhentikan presiden. Oleh karenanya wajar selama ini jika presiden berusaha menjaga relasi yang baik kepada MPR, DPR dan DPD dimana anggota DPR dan DPD adalah merangkap menjadi anggota MPR, dimaksudkan agar kebijakan presiden di DPR tidak diganggu dan ketika terjadi impeachment oleh MPR maka presiden masih akan aman karena koalisi pendukung pemerintah sudah sangat overload sehingga jika terjadi pemakzulan presiden besar kemungkinan presiden akan lolos dari impeachment. Banyaknya koalisi yang overload di parlemen ini tentu tidak baik untuk check and balance antar kelembagaan negara.
Kedudukan MK Dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Kedudukan MK adalah sebagai Lembaga negara yang sederajat/sejajar dengan Lembaga-lembaga negara lain agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi. Meski secara normatif Mahkamah Konstiusi kedudukannya sejajar dengan Lembaga-lembaga negara lain seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, BPK dan KPU dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi bukan Lembaga negara yang kedudukannya sejajar tetapi kenyataannya MK kedudukannya lebih tinggi dari Lembaga-lembaga negara lain hal ini dapat ditandai adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi yang antara lain memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Bagaimana MK yang kedudukannya sejajar dengan Lembaga-lembaga negara lain tetapi diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan Lembaga negara?. Pertanyaannya bagaimana jika suatu ketika Lembaga negara MK berkonflik dengan Lembaga negara lain apakah putusannya bisa adil?. Mengingat MK adalah pihak-pihak yang berpekara sekaligus Lembaga negara pengadil.
1. POST SCRIPTUM
Sebagaimana lazimnya, berlangsungnya suatu proses politik ketatanegaraan, Menurut Laica Marzuki, seperti halnya dengan pemeriksaan perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka proses daripadanya turut ditentukan oleh dinamika politik yang berkembang di gedung Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Tidak cukup dengan menghitung syarat kourum: Sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR guna pengajuan pendapat DPR kepada Mahkamah Konstitusi tentang adanya incasu pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden, juga tidak sekedar menghitung syarat kourum berlangsungnya rapat paripurna MPR yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota MPR (DPR+DPD) dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir guna pengambilan keputusan MPR atas usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal yang kiranya turut menentukan berlangsungnya proses ketatanegaraan dimaksud, adalah berapa banyak anggota MPR yang berasal dari partai politik pendukung Presiden dan/atau Wakil Presiden termasuk parpol koalisinya yang masih setia dan berapa jumlah anggota MPR yang merupakan oposisi di parlemen. Diperlukan sikap kenegarawanan dikala pengambilan keputusan pemakzulan, tidak boleh berdasarkan pada dendam kesumat politik. Apa pun keputusannya, harus senantiasa didasarkan belaka pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan di negeri ini.[1]
Sejarah ketatanegaraan Indonesia, mencatat mengenai Presiden yang pernah dimakzulkan yaitu seperti Soekarno yang memiliki perbedaan dengan Presiden RI ke-2 Soeharto yang sangat tragis nasibnya. Belum sempat dimakzulkan oleh MPR, Soeharto terpaksa memakzulkan dirinya sendiri,[2] mulanya Soeharto berusaha mempertahankan dengan kekuatan yang dimiliki, namun, Soeharto sudah tidak dapat membentengi dirinya lagi, apalagi menteri-menteri Soeharto di era orde baru satu demi satu mengundurkan diri. Sampai akhir hayatnya pun, Soeharto lepas dari pertanggungjawaban dan tidak pernah diadili di pengadilan, karena alasan sakit permanen gangguan daya ingatan. Selanjutnya, Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam masa pemerintahannya, lepasnya Timor Timur membuat rakyat marah besar, sehingga, pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Habibie pun nyaris dimakzulkan oleh MPR. MPR akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden BJ. Habibie setelah dilakukan voting secara tertutup dengan hasil 355 anggota menolak, menerima pertanggungjawaban 322 anggota, serta 9 abstain dan 4 suara tidak sah.
Lain lagi, pemakzulan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil GusDur, masa jabatannya sangat pendek sekitar dua tahun. Di pertengahan masa jabatannya, ditengarai terlibat kasus Buloggate dan Bruneigate, ditambah terjadi perseteruan panas antara parlemen dengan presiden karena telah memecat menteri-menterinya dari berbagai parpol. Kenekatan GusDur membekukan MPR/DPR, berujung, pada 23 Juli 2001 di impeachment oleh MPR. Pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid banyak terjadi pro kontra yang menyatakan konstitusional atau inkonstitusional. Ada yang berpendapat inkonstitusional karena impeachment tidak diatur didalam UUD 1945, sebaliknya ada yang menyatakan konstitusional, karena sudah diatur di dalam TAP MPR No. III/MPR/1978. Pasal 4 TAP MPR No. III/MPR/1978 menyatakan: Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya, karena: atas permintaan sendiri, berhalangan tetap dan telah melanggar Haluan Negara.
[1] Opcit, hal, 27
[2] Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia, 1997), h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.