Selasa, 27 Februari 2024

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBUL TENGGELAMNYA STATUS TAP MPR RI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

 

 

Oleh WARSITO, SH., M.Kn                                                                                                                                                                                          

     Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta 

Dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi@Binis Universitas Primagraha 

Kampus Tangerang

 

 

Pembentuk UU (DPR) nampaknya terlihat kebingungan untuk menempatkan posisi yang tepat mengenai status hukum Ketetapan MPR RI (TAP MPR-RI), apakah termasuk bagian dari Peraturan Perundang-Undangan atau tidak. Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945, mengakibatkan pergeseran MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar majelis diatur didalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002. Kebingungan ini terlihat ketika MPR menerbitkan produk TAP MPR. No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, pada pasal 2 dimana TAP MPR bagian dari hierarki peraturan Perundang-undangan di Indonesia, kedudukannya berada dibawah UUD NRI Tahun 1945 dan diatas UU. Status TAP MPR No. III/MPR/2000 tidak berlaku lagi setelah terbentuk UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU. P3). Didalam UU. No. 10 Tahun 2004 tsb status TAP MPR hilang dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.   Terbitnya UU. No. 12 Tahun 2011 Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU. No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mencabut dan menggantikan UU. No. 10 Tahun 2004 kembali memasukkan TAP MPR bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, TAP MPR Kembali dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan posisinya dibawah UUD NRI Tahun 1945 dan berada diatas UU.

 

Penyebab MPR Tidak Berwenang Lagi Membuat Produk Dalam Bentuk Regelling (Pengaturan)

Penyebab MPR Tidak Berwenang Lagi Membuat Produk Dalam Bentuk Regelling (Peraturan) berdasarkan Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 Pasal I yang menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003”. Tindak lanjut dari aturan tambahan tersebut MPR telah menerbitkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Timbul-tenggelamnya TAP MPR-RI dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesaia akibat kewenangan MPR pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah tereduksi secara signifikan. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih presiden karena pemilihan presiden secara langsung kuasa Daulat  berada ditangan rakyat. Namun, dalam hal-hal tertentu MPR masih memiliki kewenangan untuk memilih Presiden. MPR juga tidak berwenang lagi menetapkan GBHN dan membuat TAP MPR yang bersifat regelling (pengaturan), MPR hanya berwenang membuat TAP MPR dalam bentuk beschikking (penetapan). Pancasila  merupakan sumber segala sumber hukum negara sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi. Sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. MPR kala itu dapat dikatakan sebagai Lembaga negara yang purbawisesa. Sejak UUD 1945 dilakukan perubahan dari tahun 1999 s/d 2002 kedudukan MPR berubah menjadi Lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan Lembaga-lembaga negara lain agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol dan saling mengimbangi (check and balances).

  Hilangnya kewenangan MPR untuk mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden inilah yang menyebabkan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara lagi melainkan berkedudukan sebagai Lembaga negara yang sederajat dengan Lembaga-lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia agar memiliki fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol (check and balances).

  Dengan dihilangkannya kewenangan MPR secara signifikan, kewenangan MPR secara periodik lima tahunan sekali hanya melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan, kewenangan MPR untuk merubah UUD NRI Tahun 1945 dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela: dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, hanya bersifat insidentil, (Pasal 7A Jo. Pasal 7B UUD 1945).

         Meskipun secara kelembagaan kewenangan MPR sudah dipangkas secara signifikan bukan sebagai lembaga tertinggi negara lagi, tetapi secara de fakto keberadaan MPR masih superior karena masih memiliki kewenangan memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden jika keduanya berhalangan tetap, serta dapat memilih satu dari dua Wakil Presiden jika berhalangan yang diajukan oleh Presiden. Hal ini diatur didalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Bermula rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menurut Rancangan UUD 1945 hasil Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar  yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, berbunyi, “Souvereneiteit” berada ditangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Badan Permusyawaratan Rakyat”. Istilah Badan Permusyawaratan Rakyat kelak diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat, sesuai usul anggota BPUPKI, Muhammad Yamin, dalam sidang Kedua anggota BPUPKI, pada tanggal 11 Juli 1945 (Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hal. 61.)

Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (Undang-Undang No. 17  Tahun 2014, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD  (MD3).     Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengontrol.

 

Tidak Ada Lembaga Negara Yang Menguji TAP MPR Jika Bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari mulai Tahun 1960-2002 yang telah dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003. MPR tidak berwenang lagi membuat Ketetapan yang bersifat regelling (pengaturan) MPR hanya berwenang membuat Ketetapan yang bersifat beschikking (penetapan). Sayangnya, perumus konstitusi melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang dimulai sejak 1999 s/d 2002 tidak merumuskan lembaga negara mana yang berwenang menguji TAP MPR Jika bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Jika Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU yang bertentangan dengan UU, lantas lembaga negara mana yang menguji TAP MPR jika bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945?. Ada kekosongan hukum (rechtvacuum). Akan terjadi kekacauan konstitusi jika pada saatnya TAP MPR bertentangan dengan UUD 1945 sementara tidak ada kejelasan lembaga negara mana yang berwenang untuk memutuskan uji materi.

       

    

 

        


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

ALHAMDULILLAH ANAK SAYA LULUS SKD TEST ASN di KEMENTERIAN ESDM SUMBER DAYA MINERAL UJIAN BERTEMPAT DI PPK KEMAYORAN

    Foto Anak Saya Test ASN di Gedung PPK Kemayoran Pada hari Minggu, Tanggal 27 Oktober 2024   Pada hari Minggu, tanggal 27 Oktober 2024 sa...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19