Jumat, 06 Desember 2024

Kedekatan Saya dengan H. Harmoko: Persahabatan yang Terjalin Melalui Tenis di Widya Chandra

 

Kedekatan saya dengan H. Harmoko, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua MPR/DPR, bukanlah karena saya pejabat Sekretariat Jenderal MPR RI. Persahabatan kami terjalin melalui hal yang lebih sederhana: olahraga tenis. Sebagai seorang pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal MPR dengan pangkat rendah, golongan IIa, saya tidak pernah dianggap sebagai sosok yang penting di mata rekan-rekan sejawat. Namun, kedekatan saya dengan H. Harmoko membawa dampak yang berbeda, bahkan memicu rasa iri dari beberapa teman yang merasa cemburu.

Bermain Tenis di Widya Chandra: Momen Berharga yang Tak Terlupakan

Setiap minggu sekali, saya menemai H. Harmoko bermain tenis di Widya Chandra, kompleks perumahan para pejabat negara di Jakarta. Mengingat posisi saya yang sangat jauh dari lingkungan pejabat tinggi, kesempatan ini adalah hal luar biasa. Tidak banyak yang tahu bahwa hubungan kami ini lebih terjalin karena persahabatan pribadi, bukan semata-mata karena jabatan atau kekuasaan.

Yang membuat pertemuan kami semakin berkesan adalah cara H. Harmoko ketika mengajak saya bermain tenis di Wisma Shaba Kopo DPR RI. Saya diminta untuk naik ke kendaraan Fortuner warna hijau miliknya, dan beliau meminta saya untuk duduk di tengah bersamanya. Saat itu, saya terdiam sepanjang perjalanan, hanya mampu menjawab pertanyaan ketika bertanya. Rasa terhormat bercampur canggung menguasai saya, tidak mampu berkata banyak selain ketika beliau bertanya langsung.

Namun, setelah kami bermain tenis bersama, suasana mulai lebih santai. H. Harmoko mengajak saya makan sate Pak Kadir yang disuguhkan oleh Sekretariat Jenderal DPR, sambil bercerita lelucon dan berbagi cerita-cerita politik yang sedang hangat dibicarakan. Dari percakapan-percakapan inilah, saya mulai memahami lebih dalam tentang dinamika politik Indonesia, serta perkembangan ketatanegaraan yang jarang terdengar oleh publik. Salah satu cerita yang beliau ceritakan adalah tentang rencana Presiden Soeharto pada tahun 1997 untuk kembali mencalonkan diri sebagai Presiden, sebuah informasi yang hanya sedikit orang yang tahu di saat itu.

Tuntutan Reformasi dan Pandangan Saya Terhadap H. Harmoko

Meskipun kedekatan saya dengan H. Harmoko banyak memicu rasa iri di kalangan rekan-rekan kerja saya, terutama karena saya dianggap hanya pegawai rendah, saya tidak pernah merasa terpengaruh dengan pandangan negatif mereka. Sebagian besar rekan saya menilai kedekatan ini sebagai hal yang aneh, di era reformasi ada yang menuduh H. Harmoko sebagai seorang pengkhianat terhadap Presiden Soeharto. Namun, saya memiliki pandangan berbeda.

H. Harmoko adalah sosok yang bijaksana, terutama dalam konteks sejarah politik Indonesia saat itu. Ketika situasi reformasi mulai berkembang dan suara-suara untuk menggulingkan Soeharto semakin keras pada tahun 1998, H. Harmoko mengambil sikap yang berat namun perlu. Sebagai Ketua MPR, beliau memiliki wewenang dan tugas untuk memimpin proses tersebut dengan bijaksana. Keputusan beliau untuk mendukung mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia tidak diambil begitu saja. Itu adalah pilihan yang penuh pertimbangan, dengan tujuan untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara, meskipun dihadapkan pada tekanan besar.

Pada akhirnya, pada Kamis pagi, tanggal 21 Mei 1998, tepat pukul 9.05 WIB, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden Indonesia. Itu adalah momen sejarah yang besar, dan saya menyaksikan bagaimana H. Harmoko menjadi salah satu tokoh kunci dalam proses transisi yang berlangsung dengan penuh ketegangan namun akhirnya membawa perubahan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.

Di Balik Panggung: Kehidupan Sosial H. Harmoko yang Sederhana

Saya juga tak akan melupakan momen-momen ketika H. Harmoko menjalani kehidupan sosialnya di luar urusan politik. Saat beliau selesai menunaikan ibadah Jumat di belakang Griya Sabha, Wisma DPR RI, saya sering melihat beliau disapa oleh banyak ibu-ibu yang berjejer di sana dengan sebutan “si ganteng”. Sifat rendah hati dan kepribadian beliau yang ramah membuat beliau disukai banyak orang, tak hanya sebagai seorang pejabat, tetapi juga sebagai sosok yang mudah bergaul dengan siapa saja.

Kesimpulan: H. Harmoko sebagai Tokoh yang Bijaksana

Bagi saya, kedekatan saya dengan H. Harmoko bukanlah tentang mencari keuntungan pribadi atau menjalin hubungan karena kepentingan politik. Ini adalah persahabatan yang tulus, yang terbentuk melalui aktivitas yang sederhana, yaitu bermain tenis. Melalui pertemuan-pertemuan santai dan percakapan kami, saya belajar banyak tentang dunia politik Indonesia, terutama tentang pengambilan keputusan yang penuh pertimbangan.

Pandangan saya terhadap H. Harmoko tidak tergoyahkan oleh isu-isu negatif yang beredar di luar sana. Saya percaya bahwa beliau adalah seorang tokoh yang bijaksana, yang selalu berusaha mengambil langkah-langkah terbaik demi kepentingan bangsa dan negara. Keputusannya untuk mendukung pengunduran diri Soeharto pada tahun 1998 adalah salah satu bukti bahwa kadang-kadang, keputusan besar yang tampaknya sulit adalah langkah yang paling bijaksana demi menjaga stabilitas negara dan kebaikan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Sobat Ingin Belajar Hukum Yang Baik dan Benar Rajinlah membaca Blog Hukum dan Ketatanegaraan ini dan Tinggalkanlah Komentar Yang Baik.

HUKUM, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI

Pembentukan dan Fungsi Komisi Pemilihan Umum dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia

  Pembentukan dan Fungsi Komisi Pemilihan Umum dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan salah satu lembaga...

Pak Jokowi, Kami Dosen Belum Menerima Tunjangan Covid-19